Rabu, 13 Februari 2019

Revitalisasi Pasar Tradisional (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Sabtu, 5 Januari 2019)

Globalisasi yang merangsek ke berbagai pelosok negeri berimbas pada terciptanya sistem, mekanisme, serta pola perekonomian bercorak modern. Hal ini antara lain ditandai dengan menjamurnya mal hingga wilayah pedalaman. Selain berdampak positif, fenomena tersebut rupanya juga mengundang bermacam ekses negatif.
Kehadiran mal genap meluluhlantakkan sendi-sendi pasar tradisional yang menampung toko-toko sederhana penyedia bermacam kebutuhan masyarakat. Bagaimanapun, kios-kios kecil yang awalnya memiliki pelanggan tetap pasti kalah bersaing dengan mal mewah dan elegan. Padahal, dari sumber perekonomian dengan hasil cupet inilah orang desa mampu bertahan hidup.
Berdirinya mal juga menyebabkan lahan pekerjaan di desa menyempit. Selain sebagian besar mal berada di bawah kepemilikan orang luar, beberapa karyawannya juga bukan masyarakat setempat. Sejumlah data di lapangan menggambarkan bahwa mereka yang dipekerjakan justru orang-orang tanpa “hubungan psikologis” dengan lokasi mal. Sehingga, penduduk asli merasa direndahkan bahkan dinihilkan.
Penghormatan terhadap siapa saja yang berhak menjadikan tempat kelahirannya selaku sarana mengais rejeki seolah hilang. Orang desa yang semestinya dapat bekerja di tanah kelahiran akhirnya terpaksa merantau ke luar daerah. Karena sumber penghasilan di desa kurang tersedia, mereka menjadi pekerja serabutan atau buruh perusahaan. Dalam konteks inilah, kawasan urban menjanjikan alternatif saat desa tak lagi menyuguhkan solusi. 

Kerukunan Sosial
Gaya hidup, image, serta citra positif yang ditawarkan oleh mal menyebabkan pasar tradisional semakin “sepi pengunjung”. Kondisi yang bersih dan rapi serta tampilan meyakinkan ternyata menjadikan pusat-pusat perbelanjaan masa kini lebih diminati. Para konsumen tak lagi mempersoalkan harga barang. Bagi mereka, kenyamanan dan pelayanan memuaskan merupakan prioritas utama.
Padahal, secara tidak langsung, merebaknya mal hingga kawasan perdesaan turut mengukuhkan nilai-nilai individualisme. Lantaran harga barang sudah dibandrol sedemikian rupa, tak ada proses tawar-menawar dalam semua transaksi. Di sinilah tingkat interaksi manusia selaku makhluk sosial mengalami kemerosotan. Komunikasi yang terjalin di antara mereka hanya berdasar kehendak dan kepentingan sesaat. Dalam taraf tertentu, hubungan penjual dan pembeli terputus setelah barang yang dibeli genap melewati proses pembayaran.
Hal di atas berbeda dengan pasar tradisional yang senantiasa memuat komunalisme. Betapa setiap transaksi menyimpan prinsip-prinsip kebersamaan. Mengutip Heri Priyatmoko (2018), corak pasar tradisional bukanlah “transaksi bisu” sebagaimana dijumpai pada mal. Proses tawar-menawar yang dikonsepsikan Clifford Geertz dengan istilah sliding price (harga luncur) tersebut sebenarnya meneguhkan kerukunan sosial secara alami.
Proses-proses yang dilalui oleh penjual dan pembeli di sana berlangsung guyub, rukun, serta saling menghormati. Dalam berbagai kesempatan, etos kekeluargaan berusaha dijunjung tinggi oleh semua pihak. Uniknya, sering pula transaksi terjadi antarpenjual. Di samping mengulurkan pertolongan, munculnya transaksi sesama penjual juga bertujuan memberikan motivasi. Dorongan semacam ini sangat penting bagi keberlangsungan usaha mereka. Bagaimanapun, semangat berburu rupiah turut dipupuk oleh para pelaku usaha dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Langkah Strategis
Apa yang berlaku di pasar tradisional berperan memangkas perilaku egoistis dalam diri manusia. Bertolak belakang dengan mal yang merefleksikan diraihnya kepentingan pribadi, eksistensi pasar tradisional mencerminkan tercapainya hajat hidup bersama. Itulah mengapa, perlu adanya revitalisasi pasar tradisional sebagai usaha mengokohkan fondasi harmonisme.
Apalagi, pemanfaatan pasar selaku medium terselenggaranya pembangunan kawasan perdesaan genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perdesaan salah satunya meliputi “pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.”
Pasal 19 undang-undang yang sama juga menyebutkan beberapa kewenangan yang dimiliki desa, antara lain kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan ini digunakan untuk mengatur dan mengurus kepentingan di level akar rumput (grass root), mulai dari tambatan perahu, pasar, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, perpustakaan, embung, hingga jalan.
Revitalisasi pasar tradisional membutuhkan setidaknya dua langkah strategis. Pertama, melalui pengaturan regulatif. Baik Peraturan Desa (Perdes) maupun Peraturan Daerah (Perda) harus menetapkan norma-norma pendirian mal. Ketentuan ini penting guna membatasi jumlah mal dalam suatu wilayah. Fakta menunjukkan bahwa hancurnya ekosistem, rendahnya ikatan sosial, serta tergusurnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikarenakan membludaknya mal dan tergerusnya pasar tradisional.
Kedua, melalui kebijakan yang progresif dan futuristik. Pemerintah desa bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan “pasar millenial” dengan tetap menampung aneka kearifan lokal, etos gotong royong, serta semangat persaudaraan. Pengelolaan pasar dengan menampilkan “wajah lama” barangkali memang kurang relevan. Bagi generasi masa kini, pasar cenderung dianggap terbelakang.
Apalagi, tersebar opini publik bahwa pasar identik dengan bangunan kuno, kumuh, disertai aroma kurang sedap. Persepsi inilah yang layak diluruskan. Ke depan, pasar mesti dihadirkan dalam tampilan yang enak dipandang serta mempunyai fasilitas memadai. Lahirnya nilai-nilai baru dalam kehidupan manusia meniscayakan interpretasi ulang terhadap realitas. Dengan demikian, modernisasi dalam segala aspek kehidupan tidak serta-merta menonjolkan hal-hal yang datang belakangan sekaligus mengubur warisan pemikiran nenek moyang. 

Bojonegoro, 2018

Disabilitas dalam Politik dan Sejarah (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 3 Januari 2019)

Beragam respons negatif lahir setelah Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental dapat menyumbangkan suara pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 digelar. Meskipun KPU menjelaskan bahwa “orang gila” yang menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus disertai surat rekomendasi atau keterangan dari dokter, tetapi suara sumbang mengenai ketentuan tersebut terus bermunculan.
Bentuk penghormatan dan perlindungan pemerintah terhadap penyandang disabilitas mental selaku warga negara dilakukan dengan menyetarakan mereka dengan orang waras. Padahal, ditempuhnya langkah ini justru rentan mengesampingkan keberadaan warga negara lainnya. Siapa saja yang dianggap sehat rohani boleh jadi merasa tersinggung lantaran telah disamakan dengan orang gila. Dalam konteks ini, ikhtiar menghargai hak warga negara rupanya diwujudkan dengan mengebiri hak warga negara lainnya.

Jabatan Publik
Di negeri ini, pembicaraan tentang keikutsertaan penyandang disabilitas mental dalam aktivitas kewarganegaraan memang selalu menarik perhatian khalayak. Bagaimanapun, siapa saja yang berpenyakit kejiwaan layak memperoleh perlakuan khusus. Ketentuan ini genap dikukuhkan oleh pemerintah melalui produk hukum. Norma-norma hukum mengatur mereka secara berbeda dibanding orang normal. Mengingat, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pembedaan keduanya merupakan suatu keniscayaan.
Merujuk catatan historis, pihak kerajaan pernah mengeluarkan larangan penyandang disabilitas mental menjadi kepala desa. Apabila peraturan perundang-undangan belakangan menentukan syarat-syarat kepala desa, maka peraturan perundang-undangan dahulu kala menetapkan orang-orang yang tak diperkenankan terpilih menjadi kepala desa. Sebagian normanya mengatur bahwa orang gila tak pernah diizinkan memperoleh jabatan publik.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) menulis ketentuan yang digariskan dalam Rijksblad Mangkunegaran Nomor 10 Tahun 1917. Peraturan yang dimaksud menyebutkan siapa saja yang tidak boleh diangkat menjadi kepala desa, yaitu:  (1) Perempuan, (2) Orang yang belum mencapai usia dewasa, (3) Mantan kepala desa dan pejabat yang diberhentikan secara tidak hormat, (4) Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras, (5) Orang-orang yang dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala desa karena sakit, berusia lanjut, lemah fisik atau mental, serta alasan lain yang dinilai kurang sesuai bagi kepentingan publik, (6) Orang-orang yang pernah menerima hukuman selain denda uang dalam vonis yang dijatuhkan tanpa mengantongi grasi atau ampunan, (7) Orang yang tidak bermukim di desa bersangkutan, kecuali dalam keadaan mendesak atau darurat.
Namun demikian, penyetaraan orang gila dengan orang normal pernah termaktub dalam lembaran sejarah. Bagaimanapun, pemerintah dalam sejumlah hal pernah menyejajarkan keduanya. Ternyata sikap ini sejak lama genap mengundang atensi publik. Salah satu sasaran kritik pada waktu itu adalah apa yang digariskan dalam Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Oleh sebagian kalangan, sejumlah ketentuan di dalamnya dinilai merendahkan harga diri, kehormatan, serta martabat perempuan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang desa yang terbit pada masa kolonial tersebut, kaum Hawa dikategorikan sederajat atau setingkat dengan anak-anak dan lelaki bodoh atau gila, sehingga tidak berhak menjadi kepala desa.
Itulah mengapa, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menyuarakan pencabutan IGO/B yang melarang perempuan selaku kepala desa. Kampanye tersebut digencarkan dalam rangka menolak adanya pengorbanan hak perempuan dalam ranah publik. Betapa selain tradisi yang berkembang, kaum Hawa juga direndahkan sedemikian rupa oleh kebijakan pihak penjajah. Perlawanan yang dilancarkan oleh Gerwani terhadap kaum kolonial antara lain disulut terbitnya larangan perempuan menduduki kursi pemimpin lokal tersebut. Pada bulan Agustus 1957, seorang perempuan pertama terpilih sebagai kepala desa di Buloh, Blora, Jawa Tengah. Ia merupakan anggota PKI bernama Siti Hartini (kemudian bernama Sri Darningsih). Sayangnya, setelah mengantongi kepercayaan publik, ia justru dilarang menduduki jabatannya. (Saskia Eleonora Wieringa, 2010: 241).

Mantra
Kegilaan merupakan ancaman yang cukup menakutkan bagi setiap orang. Celakanya, penyakit tersebut ternyata dapat ‘dipanggil’ melalui ritual tertentu. Memanfaatkan mantra jaran goyang, misalnya, seorang perempuan leluasa dibuat tergila-gila atau gila (dalam arti sebenarnya). Apa yang terjadi pada kalangan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa objek pembacaan mantra tersebut sengaja ditundukkan atau ditaklukkan. Tujuannya adalah menjadikan sasaran tiba-tiba jatuh cinta pada subjek. Dalam konteks ini, mantra jaran goyang versi tertentu berdampak lebih buruk dan besar ketimbang versi-versi lainnya.
Pada versi pertama, orientasi atas keadaan tergila-gila tertera pada larik 9-11, yang menyebutkan “kalau gila tidak gila” (Kadhung edan sing edan), “kalau sinting tidak sinting” (Kadhung gendheng sing gendheng), serta “kalau teler tidak teler” (Kadhung bunyeng sing bunyeng). Semuanya menjelaskan adanya “kondisi-antara” (kondisi di tengah-tengah), yakni kondisi antara gila dan tidak gila, antara sinting dan tidak sinting, serta antara teler dan tidak teler. (Heru S.P. Saputra, 2007: 160-161).
Mengutip sumber yang sama, pada versi kedua, orientasi atas keadaan tergila-gila ditemukan pada larik 13, yang mencantumkan “kalau gila tidak gila” (Kadhung edan sing edan). Sebagaimana versi pertama, kutipan tersebut juga menunjukkan adanya “kondisi-antara”, yakni kondisi antara gila dan tidak gila. Pada versi ketiga, orientasi atas keadaan gila tercantum pada larik 13, yang berbunyi “kalau gila jadi gila” (kadhung edan sida edan). Hal tersebut menegaskan bahwa melalui beberapa versi mantra jaran goyang, penderitaan yang dialami oleh objek bukan hanya tergila-gila, melainkan juga gila ‘sungguhan’.
Dalam penelitiannya berjudul Fungsi Sosial Tari Jaran Goyang Aji Kembang pada Masyarakat Using Kabupaten Banyuwangi, Ewinda Sukma Dewi (2014: 37-38) mengutip petikan salah satu versi mantra ajian jaran goyang yang dimaksud: Bismillahirrahmanirrahim/ Niat isun matek aji Jaran Goyang/ Sun goyang ring tengah latar/ Sun sabetake gunung gugur/ Sun sabetake lemah Bangka/ Sun sabetake segara asat/ Sun sabetake ombak sirep/ Sun sabetake atine jebeng beyine/ Kadhung edan sing edan/ Kadhung gendheng sing gendheng/ Kadhung bunyeng sing bunyeng/ Aja mari-mari/ Kadhung sing isun hang nambani/ Sih-asih kersane Gusti Allah/ La illaha illahllah muhammadur rasullullah.
Terjemahan bebasnya: Bismillahirrahmanirrahim/ Aku berniat menerapkan keampuhan jaran goyang/ Kuterapkan di tengah halaman/ Kucambuk tanah menjadi gersang/ Kucambuk laut air hilang/ Kucambuk ombak menjadi jinak/ Kucambuk hati kekasih/ Jika gila, jangan gila dalam arti sebenarnya/ Jika sinting, jangan sinting dalam arti sebenarnya/ Jika mabuk, jangan mabuk dalam arti sebenarnya/ Jangan pernah sembuh/ Jika bukan aku yang menyembuhkan/ Jatuh cintalah berkat kekuatan Gusti Allah/ La illaha illallah muhammadur rasulullah.

Senjata
Dalam taraf tertentu, rupanya kegilaan menjadi senjata ampuh yang digunakan kalangan pribumi melawan kebengisan dan kebiadaban pihak penjajah. Suku Samin yang menunjukkan sikap, perilaku, serta tabiat orang gila menjadikan pemerintah kolonial menyerah lantaran tak mampu mengatasi mereka. Perlawanan tanpa kekerasan yang ditunjukkan oleh Suku Samin cukup tampak ketika suatu hari patih menuntut seorang petani untuk membayar pajak.
Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983 mengabadikan percakapan antara keduanya. Patih yang dimaksud bertanya, “Apa kamu gila atau pura-pura gila?” “Saya tidak gila atau pura-pura gila,” jawab si petani. “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?” cecar patih. “Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?” si petani bertanya balik.
Pegawai kolonial tersebut lantas berkata, “negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik.” Karena tiada jalan yang diaspal memakai uang pemerintah di kampungnya, si petani bertukas, “kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri,” jawabnya. Patih yang tak sabaran itu lalu membentak, “jadi kamu tak mau bayar pajak?” “Wong Sikep tak kenal pajak," tegas si petani.

Bojonegoro, 2018

Genderuwo (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alinea" edisi Senin, 31 Desember 2018)


Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, muncul beberapa istilah dalam jagat politik yang segera menjadi bahan pembicaraan khalayak, salah satunya ‘politik genderuwo’.
Lahirnya istilah ini merupakan respons atas gencarnya sejumlah politisi yang gemar menakuti rakyat dengan bermacam pernyataan ngawur, irasional, dan cenderung bombastis. Padahal, bila ditinjau secara mendalam, dilontarkannya pernyataan tersebut bukannya menyumbang pencerahan, tetapi justru terkesan membodohi rakyat.
Bagaimanapun, kata-kata yang dirangkai sebagai materi propaganda dapat mengancam keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Narasi yang disusun menjadi bahan provokasi rentan mengundang kekhawatiran, ketakutan, serta kecemasan tak berdasar di kalangan akar rumput (grass root).
Dengan demikian, di samping optimisme publik terhadap fondasi kebangsaan bisa memudar, rakyat juga mudah terpapar isu hoaks dan fitnah. Dicetuskannya pernyataan oleh sebagian elite politik sebenarnya lebih pada upaya menjatuhkan lawan politik ketimbang menyuguhkan data dan fakta sebagai bagian dari ikhtiar mencerdaskan bangsa.
Di negeri ini, pembahasan mengenai genderuwo bukan dianggap muskil. Mengingat, kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia tak mungkin terlepas dari hal-hal transendental. Dalam taraf tertentu, apa yang susah dicerna logika turut mewarnai sosiologi dan psikologi masyarakat sejak masa silam. Kecenderungan ini terutama ditemukan pada kehidupan desa yang cukup kental dengan perkara gaib.

Etos Tradisional
Globalisasi dan modernisasi yang menyentuh beragam bidang kehidupan manusia rupanya tidak lantas menghilangkan etos tradisional. Ketika nilai-nilai usang dan warisan pemikiran nenek moyang masih menyelimuti cara berpikir manusia, legitimasi pemimpin lokal kerap dihubungkan dengan kehadiran makhluk astral.
Hal ini antara lain terwujud dalam kepercayaan publik terhadap kelayakan seseorang menjadi kepala desa. Diangkatnya seseorang menjadi pemimpin bertaraf lokal tersebut bukan berdasarkan kompetensi atau kapasitas menyelenggarakan pemerintahan desa, melainkan kemampuannya menggarap hamparan tanah yang berpenghuni makhluk gaib.
Merujuk Sadikin dan Sofwan Samandawai (2007: 31-32), di lingkungan masyarakat Desa Pangur, Kebumen, Jawa Tengah, tersebar cerita menarik tentang tanah bengkok yang dikhususkan bagi kepala desa. Menurut masyarakat setempat, tanah jabatan tersebut dianggap wingit atau angker lantaran mempunyai ‘penunggu’. Bahkan, muncul keyakinan bahwa tanah bengkok ini hanya bisa digarap oleh siapa yang layak menduduki kursi kepala desa. Orang yang tidak pantas menjabat selaku kepala desa bakal merasa dihantui terus-menerus oleh makhluk halus melalui mimpi atau penyakit.
Kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi makhluk gaib turut menentukan pola, bentuk, serta corak agraris di sejumlah daerah. Upaya para petani melindungi ladangnya sekaligus menghasilkan panen berlimpah dilakukan dengan melibatkan dukun yang berperan mengusir hantu-hantu yang berkeliaran di sekitar lokasi perkebunan. Bagi masyarakat Desa Kundi, Sumatera Selatan, kepercayaan tersebut cukup menonjol dalam upacara adat Ceriak Laut.
Orang-orang yang bermukim di sekitar Pulau Bangka tersebut memegang teguh perkataan dukun laut dalam ritual Ceriak Laut. Selain menyelamatkan sampan atau perahu yang melewati Tanjung Tadah, penyelenggaraan ritual juga bertujuan untuk menghalau ‘setan pengganggu’ ladang perkebunan yang datang dari seberang. Sebelum ritual digelar, dukun laut terlebih dahulu menetapkan waktu yang tepat untuk diumumkan kepada masyarakat setempat.
Menurut tradisi ini, tiga hari menjelang pelaksanaan ritual, dukun laut bersama tiga orang pembantu pergi ke Tanjung Tadah untuk tidur di tengah hutan. Di sana, mereka menanak nasi kuning dan ketan hitam serta memanggang ayam. Aneka masakan tersebut sengaja dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dan keturunan leluhur dukun laut. (Djoko Pramono, 2005: 147).

Bentuk Penghormatan
Sejak lama, kultur-kultur Jawa terikat erat dengan sikap manusia terhadap ‘makhluk nir kasat mata’. Makhluk ini kerap dipandang oleh masyarakat Jawa selaku penghuni semesta yang berhak diakui keberadaannya. Bahkan, banyak kegiatan bercorak religi, terutama selamatan, diadakan dalam rangka menghormatinya. Tak berlebihan apabila antropolog Clifford Geertz menaruh perhatian besar terhadap genderuwo. Hal ini menandakan bahwa persepsi masyarakat tentang makhluk astral dapat menjadi objek kajian yang menarik.
Dalam buku Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menyebutkan bahwa genderuwo acap dijumpai pada malam hari, terutama di tempat-tempat gelap dan sepi. Jenis memedi yang paling umum ini pada umumnya menampakkan diri dalam wujud orangtua, kakek, anak, atau saudara kandung, baik hidup maupun mati. Genderuwo biasanya lebih senang mempermainkan ketimbang menyakiti manusia, semisal menepuk pantat perempuan, mengambil pakaian seseorang dan membuangnya ke sungai, melemparkan batu ke atap rumah, serta menunjukkan diri dengan wajah menyeramkan dari balik pohon kuburan.
Namun demikian, peneliti asal Amerika Serikat tersebut juga mencatat bahwa betapapun senangnya dengan lelucon, genderuwo terkadang perlu diwaspadai karena dinilai berbahaya. Dalam situasi tertentu, genderuwo bisa saja bertindak melampaui batas dengan menyerupai suami seorang perempuan sebelum tidur dengannya.
Tentu saja penyamarannya lolos dari pengetahuan manusia. Itulah mengapa, walaupun pada galibnya berpenampilan ‘baik’, tetapi genderuwo tak boleh disepelekan oleh manusia. Alasan inilah yang melahirkan larangan bagi setiap orang untuk membicarakannya. Bagaimanapun, aktivitas ini rentan diketahui oleh makhluk halus sehingga menjadikannya murka.

Bojonegoro, 2018

Kiai dalam Logika Kepemimpinan Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bhirawa" edisi Kamis, 27 Desember 2018)


Lantaran diduga mencabuli santrinya, seorang kiai di Desa Kasilir, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember digeruduk 50 orang. Massa menuntut pertanggungjawabannya setelah mengetahui bahwa si santri genap mengandung 4 bulan. Apabila dugaan tersebut benar, maka tentu apa yang diperbuat telah menjatuhkan kehormatan, kewibawaan, serta kharisma kiai.
Bagi masyarakat perdesaan, ulama atau kiai adalah sosok yang dimuliakan, dihormati serta dianggap mempunyai banyak kontribusi. Sejak dahulu hingga sekarang, orang desa senantiasa mengakui eksistensi kiai. Betapa khazanah peradaban negeri ini genap diwarnai dengan posisi dan fungsi kiai dalam ruang publik. Fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin dikukuhkan dengan hadirnya kiai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penentang Kolonialisme
Hengkangnya penguasa kolonial dari bumi pertiwi berutang budi pada kiai. Sikap, perilaku, serta sepak terjang kiai merupakan ancaman nyata bagi penjajah Belanda dalam ikhtiar menyelundupkan misi kolonialisme. Hasrat menundukkan, menguasai, serta mengeruk kekayaan Nusantara memperoleh tantangan serius dari kiai. Dengan berbagai cara, kiai menebarkan bibit-bibit perlawanan rakyat, supaya tiang kolonialisme di negeri ini roboh. Nafsu berkuasa kaum kolonial ternyata diimbangi dengan militansi kebangsaan yang ditunjukkan oleh kiai.
Perlawanan yang tersusun secara rapi pertama kali tercipta pada penghujung abad ke-19. Pada tahun 1895, berdasarkan catatan Kuntowijoyo, pihak Belanda kerap mencurigai Kiai Semantri atau Kiai Lanceng yang diduga menghembuskan perasaan anti kolonial kepada penduduk desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang, Madura.
Kecurigaan menjadi alasan pemerintah Belanda menugaskan sejumlah orang untuk beberapa kali menangkapnya, meskipun akhirnya menerima kenyataan pahit. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat desa nekat mengulurkan perlindungan terhadap Kiai Semantri sekaligus mengusir utusan Belanda tersebut. (Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko [peny.], 2008: 446).

Patriotisme dan Nasionalisme
Tumbuhnya jiwa patriotisme di negeri ini tak luput dari getolnya kiai dalam meniupkan semangat perjuangan pada generasi muda. Bagaimanapun, rasa cinta terhadap tanah air mesti dibuktikan dengan jiwa dan raga. Demi menegakkan martabat dan harga diri negara (nation), kiai mewariskan nilai, prinsip, serta etos mulia. Upaya mempertahankan kedaulatan negara dari cabikan musuh diwujudkan melalui konsep nasionalisme. Selain peneguhan jatidiri dan identitas kebangsaan, harapannya agar ikatan kebersamaan dalam diri setiap warga negara senantiasa terpelihara.
Patriotisme dan nasionalisme semakin menggema ketika Resolusi Jihad terbit. Mengutip buku Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Factional Conflict and The Search for a New Discourse karangan Martin van Bruinessen (1999: 60), imbas Resolusi Jihad cukup terasa di Jawa Timur. Keluarnya resolusi ini direspons secara langsung dengan pembentukan pasukan non-reguler bernama Sabilillah.
Pada 10 November 1945, kaum muda NU terlibat aktif dalam pemberontakan massal. Mengenakan jimat pemberian kiai desa, mereka melancarkan perlawanan terhadap tentara Inggris yang mendarat di Surabaya. Secara tidak langsung kiai desa berandil besar dalam memompa motivasi para pejuang dan memantik heroisme Arek-arek Suroboyo. Berdasarkan pengamatan Martin, aksi menggerakkan massa di medan juang juga tak terlepas dari sumbangsih kiai. Sebelum menyampaikan “pidato perjuangan” dalam salah satu siaran radio, Bung Tomo ternyata terlebih dahulu mengunduh nasehat Kiai Hasyim Asy’ari.

Figur Sentral
Kiai menduduki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari. Terutama bagi para pengikut Nahdlatul Ulama (NU), kiai dinilai memiliki kharisma, kewibawaan, serta kepribadian luar biasa. Kaum nahdliyin dikenal sebagai kelompok masyarakat yang sangat tergantung pada kepemimpinan “kiai panutan”. Menyitir pernyataan Masdar F. Mas’udi, “Mereka bergantung pada kiai, bukan saja saat hendak memilih jalan (ibadah) untuk menuju Tuhannya, melainkan juga saat memilih jalan (politik) untuk membangun dunianya, membangun masyarakat dan negaranya”. (Khamami Zada dan A. Fawaid Syadzili [ed.], 2010: 9).
Kiai memenuhi unsur kepemimpinan lokal yang senantiasa mengantongi kepercayaan publik. Dalam banyak hal, orang desa bersandar dan berpegang teguh kepadanya. Pandangan-pandangannya seolah selalu dinanti dalam merespons beragam problematika kehidupan. Merujuk Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, kepemimpinan komunitas Islam di wilayah perdesaan biasanya berasal dari elite agama, yaitu guru, haji, dan kiai.
Penulis buku ini, Kuntowijoyo (2008: 205) mensinyalir bahwa meskipun bercorak informal, kepemimpinan elite agama mesti bisa mengurusi pendidikan agama, melaksanakan ritual-ritual keagamaan, serta memberikan pelayanan sosial, semisal melontarkan petuah, menempuh arbitrase dalam perselisihan sosial, bahkan mengobati orang sakit. Mereka juga merupakan simbol solidaritas sekaligus pembela kepentingan umat.

Bojonegoro, 2018

Nasib Desa di Tahun Politik (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Sabtu, 22 Desember 2018)



Menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, desa layaknya pasar yang sangat ramai. Tersedia banyak barang dagangan bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Sebagai calon pembeli, orang desa tak bosan-bosannya menerima berbagai tawaran yang cukup menggiurkan.
Kaum elite politik yang memosisikan diri selaku penjual membujuk, menggiring, atau sekadar meyakinkan orang desa untuk memborong barang dagangannya. Dengan bermacam intrik, upaya merebut atensi masyarakat bakal terus digencarkan selama transaksi belum genap berjalan.

Zoon Politicon
Saat seseorang menukarkan kepercayaan dengan apa yang tersaji di hadapannya inilah elite politik bertepuk dada. Bagaimanapun, mereka merasa berhasil melancarkan misinya. Di sinilah proses jual beli kerap berlangsung kurang transparan dan tidak berimbang lantaran konsumen seringkali dirugikan. Adanya alasan-alasan tertentu membuat elite politik enggan memberitahukan kondisi komoditas sebenarnya. Kiat menyembunyikan fakta dilakukan dengan menyajikan beraneka bentuk manipulasi.
Padahal, saat itulah kejujuran, integritas, serta harga diri manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dipertaruhkan. Apabila nekat mengorbankannya, mereka benar-benar jauh dari label mulia, bahkan layak dicap hina. Sehingga, transaksi yang semestinya menjadi domain kedua belah pihak atas dasar “suka sama suka” cenderung berada di bawah kendali penjual. Imbasnya, orang desa menjadi korban penipuan karena kualitas barang dagangan tidak sesuai dengan harga yang dibandrol.
Sejak lama, desa menjadi lapak strategis untuk menampilkan komoditas dalam bungkus program-program jangka pendek, menengah, atau panjang. Kepentingan-kepentingan politik dikemas cukup menawan dalam aktivitas-aktivitas seremonial yang mampu memancing simpati publik. Aksi sosial digelar demi menggaet dukungan penuh dari tokoh setempat, stakeholder, kawula muda, serta pihak lainnya. Motif-motif individu dihidangkan melalui wajah-wajah sejuk, bijak, alim, santun, sederhana, dermawan, serta Pancasilais. Untuk menampilkan karakter sesuai yang diinginkan, beberapa topeng telah disiapkan.

Citra Positif
Desa menampung ambisi-ambisi temporer orang-orang yang bernafsu mengeruk keuntungan sesaat. Desa dipenuhi dengan keinginan-keinginan materialistis mereka yang merindukan kebesaran dan kemuliaan bercorak artifisial. Betapa impian dan cita-cita dangkal tentang kehidupan digantungkan pada desa. Demi meraih tujuan ini, orang desa sengaja disilaukan dengan berbagai penampilan meyakinkan, tetapi sesungguhnya menyesatkan.
Oleh elite politik, usaha menampakkan citra positif ditempuh dengan memasang baliho, spanduk, serta poster di sejumlah titik dan sudut desa. Kiat memancing perhatian khalayak dilakukan dengan mengumbar slogan dalam beberapa kegiatan formal maupun informal. Desa menjadi ajang pertarungan politik berbiaya murah dengan hasil memuaskan. Mereka yang bertarung di atas gelanggang politik menilai orang desa mudah dikelabui lantaran tingkat pendidikan mereka lebih rendah dibanding orang kota.
Dalam taraf tertentu, kampanye yang sukses selalu melibatkan desa. Janji-jani politik senantiasa menjadikan orang desa selaku obyeknya. Waktu kampanye digunakan sebaik mungkin oleh elite politik untuk blusukan ke wilayah terpencil serta jauh dari berbagai kebisingan. Keberhasilan para calon pemimpin dan pemegang jabatan publik menebar image antara lain dikarenakan mereka mampu mendekati sekaligus mempengaruhi orang desa.
Siapa saja yang bermukim di wilayah pedalaman menjadi sarana tercapainya hasrat berkuasa. Mengaku sebagai pembela hak-hak warga desa, elite politik giat menebar pesona demi meraup suara. Celakanya, setelah elite politik menduduki kursi kekuasaan, orang desa segera dilupakan dan kembali mengakrabi penderitaan. Untuk ke sekian kalinya warga desa menjadi korban manisnya janji politik yang terlanjur diobral.

Sikap Kritis
Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan lima tahun sekali seharusnya menjadikan orang desa semakin dewasa. Jangan sampai pengalaman-pengalaman buruk sebelumnya kembali dialami oleh rakyat kecil dalam momentum serupa. Satu periode kepemimpinan atau masa jabatan presiden dan anggota legislatif semestinya memberikan waktu yang lebih dari cukup bagi orang desa untuk mengevaluasi pilihannya.
Dalam konteks inilah, pertimbangan matang tentang siapa yang berhak dipercaya pada ajang demokrasi tersebut merupakan keniscayaan. Orang desa dituntut untuk selalu berpikir kritis dan reflektif tentang siapa yang layak menjadi nahkoda negeri ini. Jangan sampai pilihan jatuh kepada para perompak yang bukannya mendatangkan keselamatan, namun justru menabur benih-benih kesengsaraan.

Bojonegoro, 2018