Rabu, 13 Februari 2019

Genderuwo (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alinea" edisi Senin, 31 Desember 2018)


Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019, muncul beberapa istilah dalam jagat politik yang segera menjadi bahan pembicaraan khalayak, salah satunya ‘politik genderuwo’.
Lahirnya istilah ini merupakan respons atas gencarnya sejumlah politisi yang gemar menakuti rakyat dengan bermacam pernyataan ngawur, irasional, dan cenderung bombastis. Padahal, bila ditinjau secara mendalam, dilontarkannya pernyataan tersebut bukannya menyumbang pencerahan, tetapi justru terkesan membodohi rakyat.
Bagaimanapun, kata-kata yang dirangkai sebagai materi propaganda dapat mengancam keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Narasi yang disusun menjadi bahan provokasi rentan mengundang kekhawatiran, ketakutan, serta kecemasan tak berdasar di kalangan akar rumput (grass root).
Dengan demikian, di samping optimisme publik terhadap fondasi kebangsaan bisa memudar, rakyat juga mudah terpapar isu hoaks dan fitnah. Dicetuskannya pernyataan oleh sebagian elite politik sebenarnya lebih pada upaya menjatuhkan lawan politik ketimbang menyuguhkan data dan fakta sebagai bagian dari ikhtiar mencerdaskan bangsa.
Di negeri ini, pembahasan mengenai genderuwo bukan dianggap muskil. Mengingat, kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia tak mungkin terlepas dari hal-hal transendental. Dalam taraf tertentu, apa yang susah dicerna logika turut mewarnai sosiologi dan psikologi masyarakat sejak masa silam. Kecenderungan ini terutama ditemukan pada kehidupan desa yang cukup kental dengan perkara gaib.

Etos Tradisional
Globalisasi dan modernisasi yang menyentuh beragam bidang kehidupan manusia rupanya tidak lantas menghilangkan etos tradisional. Ketika nilai-nilai usang dan warisan pemikiran nenek moyang masih menyelimuti cara berpikir manusia, legitimasi pemimpin lokal kerap dihubungkan dengan kehadiran makhluk astral.
Hal ini antara lain terwujud dalam kepercayaan publik terhadap kelayakan seseorang menjadi kepala desa. Diangkatnya seseorang menjadi pemimpin bertaraf lokal tersebut bukan berdasarkan kompetensi atau kapasitas menyelenggarakan pemerintahan desa, melainkan kemampuannya menggarap hamparan tanah yang berpenghuni makhluk gaib.
Merujuk Sadikin dan Sofwan Samandawai (2007: 31-32), di lingkungan masyarakat Desa Pangur, Kebumen, Jawa Tengah, tersebar cerita menarik tentang tanah bengkok yang dikhususkan bagi kepala desa. Menurut masyarakat setempat, tanah jabatan tersebut dianggap wingit atau angker lantaran mempunyai ‘penunggu’. Bahkan, muncul keyakinan bahwa tanah bengkok ini hanya bisa digarap oleh siapa yang layak menduduki kursi kepala desa. Orang yang tidak pantas menjabat selaku kepala desa bakal merasa dihantui terus-menerus oleh makhluk halus melalui mimpi atau penyakit.
Kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi makhluk gaib turut menentukan pola, bentuk, serta corak agraris di sejumlah daerah. Upaya para petani melindungi ladangnya sekaligus menghasilkan panen berlimpah dilakukan dengan melibatkan dukun yang berperan mengusir hantu-hantu yang berkeliaran di sekitar lokasi perkebunan. Bagi masyarakat Desa Kundi, Sumatera Selatan, kepercayaan tersebut cukup menonjol dalam upacara adat Ceriak Laut.
Orang-orang yang bermukim di sekitar Pulau Bangka tersebut memegang teguh perkataan dukun laut dalam ritual Ceriak Laut. Selain menyelamatkan sampan atau perahu yang melewati Tanjung Tadah, penyelenggaraan ritual juga bertujuan untuk menghalau ‘setan pengganggu’ ladang perkebunan yang datang dari seberang. Sebelum ritual digelar, dukun laut terlebih dahulu menetapkan waktu yang tepat untuk diumumkan kepada masyarakat setempat.
Menurut tradisi ini, tiga hari menjelang pelaksanaan ritual, dukun laut bersama tiga orang pembantu pergi ke Tanjung Tadah untuk tidur di tengah hutan. Di sana, mereka menanak nasi kuning dan ketan hitam serta memanggang ayam. Aneka masakan tersebut sengaja dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dan keturunan leluhur dukun laut. (Djoko Pramono, 2005: 147).

Bentuk Penghormatan
Sejak lama, kultur-kultur Jawa terikat erat dengan sikap manusia terhadap ‘makhluk nir kasat mata’. Makhluk ini kerap dipandang oleh masyarakat Jawa selaku penghuni semesta yang berhak diakui keberadaannya. Bahkan, banyak kegiatan bercorak religi, terutama selamatan, diadakan dalam rangka menghormatinya. Tak berlebihan apabila antropolog Clifford Geertz menaruh perhatian besar terhadap genderuwo. Hal ini menandakan bahwa persepsi masyarakat tentang makhluk astral dapat menjadi objek kajian yang menarik.
Dalam buku Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Clifford Geertz menyebutkan bahwa genderuwo acap dijumpai pada malam hari, terutama di tempat-tempat gelap dan sepi. Jenis memedi yang paling umum ini pada umumnya menampakkan diri dalam wujud orangtua, kakek, anak, atau saudara kandung, baik hidup maupun mati. Genderuwo biasanya lebih senang mempermainkan ketimbang menyakiti manusia, semisal menepuk pantat perempuan, mengambil pakaian seseorang dan membuangnya ke sungai, melemparkan batu ke atap rumah, serta menunjukkan diri dengan wajah menyeramkan dari balik pohon kuburan.
Namun demikian, peneliti asal Amerika Serikat tersebut juga mencatat bahwa betapapun senangnya dengan lelucon, genderuwo terkadang perlu diwaspadai karena dinilai berbahaya. Dalam situasi tertentu, genderuwo bisa saja bertindak melampaui batas dengan menyerupai suami seorang perempuan sebelum tidur dengannya.
Tentu saja penyamarannya lolos dari pengetahuan manusia. Itulah mengapa, walaupun pada galibnya berpenampilan ‘baik’, tetapi genderuwo tak boleh disepelekan oleh manusia. Alasan inilah yang melahirkan larangan bagi setiap orang untuk membicarakannya. Bagaimanapun, aktivitas ini rentan diketahui oleh makhluk halus sehingga menjadikannya murka.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar