Rabu, 13 Februari 2019

Disabilitas dalam Politik dan Sejarah (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 3 Januari 2019)

Beragam respons negatif lahir setelah Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental dapat menyumbangkan suara pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 digelar. Meskipun KPU menjelaskan bahwa “orang gila” yang menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus disertai surat rekomendasi atau keterangan dari dokter, tetapi suara sumbang mengenai ketentuan tersebut terus bermunculan.
Bentuk penghormatan dan perlindungan pemerintah terhadap penyandang disabilitas mental selaku warga negara dilakukan dengan menyetarakan mereka dengan orang waras. Padahal, ditempuhnya langkah ini justru rentan mengesampingkan keberadaan warga negara lainnya. Siapa saja yang dianggap sehat rohani boleh jadi merasa tersinggung lantaran telah disamakan dengan orang gila. Dalam konteks ini, ikhtiar menghargai hak warga negara rupanya diwujudkan dengan mengebiri hak warga negara lainnya.

Jabatan Publik
Di negeri ini, pembicaraan tentang keikutsertaan penyandang disabilitas mental dalam aktivitas kewarganegaraan memang selalu menarik perhatian khalayak. Bagaimanapun, siapa saja yang berpenyakit kejiwaan layak memperoleh perlakuan khusus. Ketentuan ini genap dikukuhkan oleh pemerintah melalui produk hukum. Norma-norma hukum mengatur mereka secara berbeda dibanding orang normal. Mengingat, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pembedaan keduanya merupakan suatu keniscayaan.
Merujuk catatan historis, pihak kerajaan pernah mengeluarkan larangan penyandang disabilitas mental menjadi kepala desa. Apabila peraturan perundang-undangan belakangan menentukan syarat-syarat kepala desa, maka peraturan perundang-undangan dahulu kala menetapkan orang-orang yang tak diperkenankan terpilih menjadi kepala desa. Sebagian normanya mengatur bahwa orang gila tak pernah diizinkan memperoleh jabatan publik.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) menulis ketentuan yang digariskan dalam Rijksblad Mangkunegaran Nomor 10 Tahun 1917. Peraturan yang dimaksud menyebutkan siapa saja yang tidak boleh diangkat menjadi kepala desa, yaitu:  (1) Perempuan, (2) Orang yang belum mencapai usia dewasa, (3) Mantan kepala desa dan pejabat yang diberhentikan secara tidak hormat, (4) Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras, (5) Orang-orang yang dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya sebagai kepala desa karena sakit, berusia lanjut, lemah fisik atau mental, serta alasan lain yang dinilai kurang sesuai bagi kepentingan publik, (6) Orang-orang yang pernah menerima hukuman selain denda uang dalam vonis yang dijatuhkan tanpa mengantongi grasi atau ampunan, (7) Orang yang tidak bermukim di desa bersangkutan, kecuali dalam keadaan mendesak atau darurat.
Namun demikian, penyetaraan orang gila dengan orang normal pernah termaktub dalam lembaran sejarah. Bagaimanapun, pemerintah dalam sejumlah hal pernah menyejajarkan keduanya. Ternyata sikap ini sejak lama genap mengundang atensi publik. Salah satu sasaran kritik pada waktu itu adalah apa yang digariskan dalam Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Oleh sebagian kalangan, sejumlah ketentuan di dalamnya dinilai merendahkan harga diri, kehormatan, serta martabat perempuan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang desa yang terbit pada masa kolonial tersebut, kaum Hawa dikategorikan sederajat atau setingkat dengan anak-anak dan lelaki bodoh atau gila, sehingga tidak berhak menjadi kepala desa.
Itulah mengapa, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menyuarakan pencabutan IGO/B yang melarang perempuan selaku kepala desa. Kampanye tersebut digencarkan dalam rangka menolak adanya pengorbanan hak perempuan dalam ranah publik. Betapa selain tradisi yang berkembang, kaum Hawa juga direndahkan sedemikian rupa oleh kebijakan pihak penjajah. Perlawanan yang dilancarkan oleh Gerwani terhadap kaum kolonial antara lain disulut terbitnya larangan perempuan menduduki kursi pemimpin lokal tersebut. Pada bulan Agustus 1957, seorang perempuan pertama terpilih sebagai kepala desa di Buloh, Blora, Jawa Tengah. Ia merupakan anggota PKI bernama Siti Hartini (kemudian bernama Sri Darningsih). Sayangnya, setelah mengantongi kepercayaan publik, ia justru dilarang menduduki jabatannya. (Saskia Eleonora Wieringa, 2010: 241).

Mantra
Kegilaan merupakan ancaman yang cukup menakutkan bagi setiap orang. Celakanya, penyakit tersebut ternyata dapat ‘dipanggil’ melalui ritual tertentu. Memanfaatkan mantra jaran goyang, misalnya, seorang perempuan leluasa dibuat tergila-gila atau gila (dalam arti sebenarnya). Apa yang terjadi pada kalangan suku Using di Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa objek pembacaan mantra tersebut sengaja ditundukkan atau ditaklukkan. Tujuannya adalah menjadikan sasaran tiba-tiba jatuh cinta pada subjek. Dalam konteks ini, mantra jaran goyang versi tertentu berdampak lebih buruk dan besar ketimbang versi-versi lainnya.
Pada versi pertama, orientasi atas keadaan tergila-gila tertera pada larik 9-11, yang menyebutkan “kalau gila tidak gila” (Kadhung edan sing edan), “kalau sinting tidak sinting” (Kadhung gendheng sing gendheng), serta “kalau teler tidak teler” (Kadhung bunyeng sing bunyeng). Semuanya menjelaskan adanya “kondisi-antara” (kondisi di tengah-tengah), yakni kondisi antara gila dan tidak gila, antara sinting dan tidak sinting, serta antara teler dan tidak teler. (Heru S.P. Saputra, 2007: 160-161).
Mengutip sumber yang sama, pada versi kedua, orientasi atas keadaan tergila-gila ditemukan pada larik 13, yang mencantumkan “kalau gila tidak gila” (Kadhung edan sing edan). Sebagaimana versi pertama, kutipan tersebut juga menunjukkan adanya “kondisi-antara”, yakni kondisi antara gila dan tidak gila. Pada versi ketiga, orientasi atas keadaan gila tercantum pada larik 13, yang berbunyi “kalau gila jadi gila” (kadhung edan sida edan). Hal tersebut menegaskan bahwa melalui beberapa versi mantra jaran goyang, penderitaan yang dialami oleh objek bukan hanya tergila-gila, melainkan juga gila ‘sungguhan’.
Dalam penelitiannya berjudul Fungsi Sosial Tari Jaran Goyang Aji Kembang pada Masyarakat Using Kabupaten Banyuwangi, Ewinda Sukma Dewi (2014: 37-38) mengutip petikan salah satu versi mantra ajian jaran goyang yang dimaksud: Bismillahirrahmanirrahim/ Niat isun matek aji Jaran Goyang/ Sun goyang ring tengah latar/ Sun sabetake gunung gugur/ Sun sabetake lemah Bangka/ Sun sabetake segara asat/ Sun sabetake ombak sirep/ Sun sabetake atine jebeng beyine/ Kadhung edan sing edan/ Kadhung gendheng sing gendheng/ Kadhung bunyeng sing bunyeng/ Aja mari-mari/ Kadhung sing isun hang nambani/ Sih-asih kersane Gusti Allah/ La illaha illahllah muhammadur rasullullah.
Terjemahan bebasnya: Bismillahirrahmanirrahim/ Aku berniat menerapkan keampuhan jaran goyang/ Kuterapkan di tengah halaman/ Kucambuk tanah menjadi gersang/ Kucambuk laut air hilang/ Kucambuk ombak menjadi jinak/ Kucambuk hati kekasih/ Jika gila, jangan gila dalam arti sebenarnya/ Jika sinting, jangan sinting dalam arti sebenarnya/ Jika mabuk, jangan mabuk dalam arti sebenarnya/ Jangan pernah sembuh/ Jika bukan aku yang menyembuhkan/ Jatuh cintalah berkat kekuatan Gusti Allah/ La illaha illallah muhammadur rasulullah.

Senjata
Dalam taraf tertentu, rupanya kegilaan menjadi senjata ampuh yang digunakan kalangan pribumi melawan kebengisan dan kebiadaban pihak penjajah. Suku Samin yang menunjukkan sikap, perilaku, serta tabiat orang gila menjadikan pemerintah kolonial menyerah lantaran tak mampu mengatasi mereka. Perlawanan tanpa kekerasan yang ditunjukkan oleh Suku Samin cukup tampak ketika suatu hari patih menuntut seorang petani untuk membayar pajak.
Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983 mengabadikan percakapan antara keduanya. Patih yang dimaksud bertanya, “Apa kamu gila atau pura-pura gila?” “Saya tidak gila atau pura-pura gila,” jawab si petani. “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?” cecar patih. “Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?” si petani bertanya balik.
Pegawai kolonial tersebut lantas berkata, “negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik.” Karena tiada jalan yang diaspal memakai uang pemerintah di kampungnya, si petani bertukas, “kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri,” jawabnya. Patih yang tak sabaran itu lalu membentak, “jadi kamu tak mau bayar pajak?” “Wong Sikep tak kenal pajak," tegas si petani.

Bojonegoro, 2018

1 komentar: