Rabu, 24 April 2013

Ihwal Sepatu (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 21 April 2013)


Sepatu menyimpan berbagai identitas diri. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Identitas-identitas tersebut melekat seiring dengan laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang.
Dahulu kala, penggunaan sepatu ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai sepatu pada umumnya bertujuan untuk melindungi kaki dari ancaman duri, paku, pecahan kaca, atau benda berbahaya lainnya yang bisa mengakibatkan seseorang terluka saat berjalan. Selain itu, sepatu juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh, utamanya kaki, dari kebekuan saat musim dingin tiba. Dengan kulit atau bahan baku lainnya, sepatu dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian, menggelindingnya bola waktu nyatanya menunjukkan kegunaan sepatu kian beragam. Sepatu tidak lagi melulu sebagai pelindung kaki. Lebih dari itu, sepatu telah dilegitimasi menjadi simbol kemapanan, kesopanan, serta profesionalitas.
Harga diri sepatu pun meningkat, sebab menjelma menjadi lambang gengsi kehidupan. Itulah mengapa, guna menopang penampilan dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah eksekutif sejati, maka seorang perempuan membutuhkan simbol-simbol kebudayaan (icon) yang membungkus tubuhnya sepanjang hari, di antaranya mode sepatu hak tinggi dengan ujung sempit. (Sidik Jatmika, 2009: 138). Dengan mengenakan sepatu tersebut, niscaya image rendah perempuan dengan sendirinya akan hilang.
Mengenai harga diri sepatu ini, Darmawijaya (1994) mencatat bahwa Michael Jordan pernah dijanjikan mengantongi kompensasi sangat tinggi apabila bersedia memakai sepatu Nike dalam pertandingan bola basket. Betapa hanya dengan menempel pada kaki pemain basket dunia, derajat sepatu juga turut melambung. Berbanding terbalik dengan apa yang dialami Sadisah, seseorang bermatapencaharian penjahit sepatu. Ia menjahit sepatu tersebut di Tangerang dengan menghabiskan waktu sekitar dua minggu dan dituntut bekerja ekstra keras selama 10 jam saban hari untuk bisa membeli sepatu yang biasa dijahitnya. Demikianlah, dengan mudahnya pemakai sepatu Nike memperoleh gengsi tinggi, namun begitu sulit bagi para pembuatnya untuk meraih gengsi tersebut.

Penyalahgunaan Sepatu
Meskipun terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam sepatu terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Sayangnya, kelebihan yang melekat pada sepatu justru kerap disalahgunakan. Misalnya, demi kepentingan pragmatis, sepatu dimanfaatkan para penguasa untuk melindas rakyat. Pada saat itulah sepatu berperan sebagai simbol kekuasaan.
Pada tahun 1997, dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, gerakan penyeragaman masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, karena menyelundup ke hampir segala sendi kehidupan, tak terkecuali kehidupan anak-anak. Betapa tidak! Upaya menyeragamkan segala-galanya yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak mencapai puncaknya dengan adanya penyeragaman sepatu sekolah. Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan sepatu berlogo Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) untuk dipakai oleh murid-murid baru. Sesuai rencana, sepatu bermerk OSIS tersebut akan dijadikan sepatu nasional (sepnas), dengan target semua murid Sekolah Dasar di seluruh Indonesia.
Sepatu yang dipasok oleh PT Aryo Nusa Pakarti dengan harga 21.000 rupiah tersebut dinilai terlalu mahal dan memberatkan wali murid. Padahal dengan kualitas yang sama sepatu semacam itu bisa didapat di Cibaduyut dengan harga 10.000 rupiah. Meskipun perusahaan milik cucu pertama Presiden Soeharto, Ary Sigit, tersebut berjanji menyumbang Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) untuk tiap 10 pasang yang terjual, sorotan luar biasa tetap datang dari berbagai pihak.
Syukurlah, gerakan penyeragaman sepatu sekolah tersebut dibatalkan. Didorong berbagai pertimbangan dan masukan, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut surat rekomendasi "bisnis sepatu sekolah" yang diberikan ke PT Aryo Nusa Pakarti.
Ikhtiar penyalahgunaan sepatu juga begitu nampak ketika sepatu dinobatkan sebagai simbol kekejaman. Hal itu diwakili oleh sosok bengis sepatu lars militer, yang merupakan lambang kekerasan serta produk dari pemerintahan tiran. Aksi-aksi kekerasan sengaja dirancang guna menyajikan teror kepada rakyat; berlangsung secara sistematik dan struktural dengan mendayagunakan sepatu lars militer selaku pendukungnya.
Anneline Marie Frank, gadis keturunan Yahudi yang hidup pada masa Perang Dunia II, begitu cemas ketika di tempat persembunyiannya mendapati suara derap sepatu lars militer Nazi. Sungguh, hanya dengan mendengar suara yang ditimbulkan sepatu tersebut, Anne bisa menggigil ketakutan. Dalam dirinya terdapat kekhawatiran, apabila ia beserta keluarganya ditemukan oleh para tentara Nazi. Untungnya, di bawah bayang-bayang sepatu lars militer, saksi peristiwa Holocaust tersebut tetap menulis kegelisahannya dalam buku harian. Meskipun kemudian ia tertangkap, ternyata diari tersebut berhasil diselamatkan, diterbitkan, dan diterjemahkan dalam banyak bahasa. Diari Anne dimasukkan dalam ribuan kurikulum sekolah menengah di seluruh dunia dan menjadi inspirasi tak henti bagi setiap pembaca.

Ilham dari Sepatu
Posisi sepatu tak ubahnya dengan pisau; pada suatu kali dipakai dalam keburukan, namun pada kali lain untuk perkara yang bermanfaat bagi kehidupan. Barang tentu hal itu tergantung pada siapa yang menggunakan. Tak ayal, selain menjadi simbol kekuasaan dan kekejaman, sepatu juga menjadi pemantik bagi lahirnya konsep arsitektur dan karya sastra. 
Di tangan arsitek handal, sepatu mengilhami tercetusnya konsep arsitektur yang mengagumkan. Philip K. Hitti (1970) dalam bukunya yang tersohor, History of Arabs, melanting notasi bahwa konsep arsitektur sepatu kuda yang kelak menjadi keistimewaan muslim-Barat merupakan salah satu ciri khas bidang arsitektur Spanyol-muslim. Sistem arsitektur itu merebak pada bangunan-bangunan di utara Suriah, Ctesifon, juga tempat-tempat lain.
Tapak lancip, penanda penting arsitektur Barat-Gotik, muncul pertama kalinya dalam arsitektur Islam pada Masjid Umayyah dan Istana Amrah. Beberapa jenis corak lingkaran sepatu kuda lainnya di Barat masyhur dengan sebutan lengkungan Moor. Di semenanjung utara terdapat kombinasi antara tradisi Kristen dan muslim sehingga muncul suatu corak berciri khas penggunaan tapak dan kubah sepatu kuda. Para arsitek Mudejar mengantar seni campuran ini menggapai puncak keindahan dan kesempurnaan serta menjadi gaya nasional Spanyol. 
Sepatu juga mendermakan inspirasi bagi Khrisna Pabichara dalam menganggit novel Sepatu Dahlan. Novel yang diangkat dari memoar Dahlan Iskan dalam menapaki terjalnya kehidupan sampai berhasil merengkuh kesuksesan. Di dalamnya digambarkan bagaimana beratnya perjuangan menteri BUMN tersebut untuk memiliki sepatu dan mengejar mimpi-mimpi lainnya. Begitu akrabnya telinga masyarakat dengan profil tokoh satu ini, didukung dengan penggarapan penulis yang serius dan intens, muncul animo luar biasa dari masyarakat dengan membelinya di toko-toko buku, sehingga dalam waktu singkat novel tersebut mengetam label “Best Seller”.  
Ada fenomena menarik ketika novel tersebut diluncurkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada waktu itu, Dahlan melempar sepatu yang ia pakai. Aksi pelemparan sepatu itu merupakan bentuk penolakan terhadap sepatu rakitan luar negeri. Usai melempar sepatu, Dahlan mengawali Gerakan Sepatu untuk Anak Indonesia dengan membagikan secara gratis sekitar 1.000 sepatu untuk anak-anak Sekolah Dasar di seluruh sudut Jakarta. Entah, apa yang dilakukan memang berasal dari lubuk hati terdalam, bertujuan pencitraan, ataukah dalam rangka membuat novel tersebut laris manis di pasaran. Yang pasti, respon masyarakat sangat berbeda bila dibandingkan ketika rencana penyeragaman sepatu OSIS digulirkan.

Yogyakarta, 2012

Serbuk Khianat buat Sahabat (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 21 April 2013)


Kecantikan Srintil senantiasa meruap laksana harum bunga kamboja tertiup angin utara. Berkulit langsat, berwajah purnama, berambut malam, bergigi mentimun, bersenyum embun. Entah, sekali lagi entah, cahaya jenis apa yang berseliweran di selingkar tubuhnya; hingga serata pemuda di desa kami kelenger bak babi hutan disergap pemburu kelaparan—kala bertembung muka dengannya.
Tunggu dulu! Lebih baik kalian tak mudah percaya dengan bualan kami. Bualan yang seutuhnya jauh dari benar ini. Kenapa? Tentu, enggan kami mengantongi gelar pengecoh sejati. Atau pembohong kelas tinggi. Lantas? Sabarlah serejang. Bila boleh berkotek, sesungguhnya apa yang kami sajikan di sini, tak bakal sanggup mewakili keelokan fisiknya. Akan tetapi, kalian mungkin tak hendak menolak jika kami melempar kalam bahwa kesempurnaan yang menempel pada diri Sritil adalah kesempurnaan seorang bidadari. Ya. Bidadari yang mendarat dari surga dan terdampar di bumi.
Di desa kami, pembicaraan mengenai tokoh idola Srintil merupakan menu utama bagi siapa saja, terlebih lagi para pemuda. Di gang, pos ronda, warung kopi, atau gubuk tengah sawah sekalipun, selalu saja nama gadis berlesung pipit itu disebut. Lembut perangainya, halus gaya bicaranya, dan segala tingkah-polahnya layak dielukan. Kedigdayaannya dalam menjerat kaum pejantan patut menadah pengakuan. Alamak! Pesonanya memang sungguh luar biasa. Pukaunya rajin mencolek kalbu dan jiwa. Kalau boleh kami ibaratkan, ketakjuban pemuda-pemuda itu layaknya keterpincutan Qais pada Laila, atau kekaguman Romeo pada Juliet.
Di antara pemuda pemuja dan penggandrung keanggunan Srintil itu ialah Ompu dan Tejo. Dua remaja yang sejak melungguh di bangku SD memilin ikatan persahabatan. Dua jejaka yang menyandang keadaan saling berlawanan. Jangan salahkan kami! Sekali lagi, kami sekadar mencoba jujur dan bermoncong apa adanya. Benar. Ompu tiada lain adalah jejaka buruk rupa, miskin harta, lapuk tabiat pula. Beda halnya dengan Tejo yang rupawan, hartawan, serta penimbun kebaikan. Ah, rasa-rasanya kami kurang adil memperlakukan keduanya. Namun, itu realita! Barangkali kalian menuduh bahwa kami punya kepentingan dengan hal ini. Aih, aih, aih… Jika benar demikian, asal tahu saja! Tuduhan itu sama sekali tak berdasar dan bisa dikategorikan fitnah.
Sepertinya, kurang pas bila dikatakan bahwa Ompu dan Tejo tercipta padat perbedaan. Paling tidak—sesama manusia—tersua sebiji persamaan yang kebetulan teronggok di tubuh keduanya. Dan, tahukah kalian? Kalau persamaan tersebut berada pada keberanian mereka berdua untuk menanam biji asmara di lubuk hati terdalam. Keberanian menaruh rasa pada putri kepala desa. Keberanian yang tak bakal dijamah oleh semua pemuda, kecuali Ompu dan Tejo. Siapa pun akan ciut nyali jika beradu kening dengan pemandu desa kami, Pak Sugiya. Seseorang yang pada suatu kali baiknya setengah mati, namun pada kali lain—ini yang paling sering—galaknya menjadi-jadi. Entahlah. Boleh jadi mereka berdua sudah gila. Walakin, kerap kali kegilaan mengantar manusia menyadari apa yang paling suci di dunia; ialah cinta.    
***
Sebutir perjanjian jangkap digulirkan oleh Ompu dan Tejo. Mereka berdua bagai dua ekor singa yang berebut satu buruan. Dan buruan tersebut adalah—siapa lagi kalau bukan—Srintil.
Guna meloloskan hasrat, terbitlah persaingan antara dua sahabat. Persaingan yang tampaknya lebih tepat dijuluki sebagai persaingan kurang seimbang. Bagaimana tidak? Persaingan Ompu-Tejo merupakan persaingan yang berhembus antara dua ekor singa yang berlainan kualitas. Yang satu tinggi besar, berbadan kokoh, bertaring panjang, kuat, dan mengaum lantang. Adapun satunya cebol, ceking, bertulang kambing, ompong, kudisan, lembek suara pula. Kami sempat heran, meski kurang dapat dicerna, ternyata persaingan ganjil tersebut terwujud juga.
Mulai hari pertama hingga keempat puluh, Ompu dan Tejo menjalankan ikhtiar masing-masing. Mereka rela memeras peluh dan air mata demi menjuarai persaingan. Persaingan yang mau tak mau mendesak harga diri keduanya dipertaruhkan. Dan, singkat cerita, nyatanya keberuntungan berpihak pada Tejo. Ompu takluk, jadi pecundang. Terang saja! Puan yang raib akal sekalipun bakal berminat pada Tejo ketimbang Ompu.
Ompu muntab. Benar-benar ia belum sanggup mengunyah kewirangan. Di mana-mana, amarah lekas menguasai si kalah. Sehingga, seenak udelnya, ia menuding seterunya telah melanting pelet pada Srintil. Bahkan, lebih dari itu, ia menganggap bahwa hanya demi mereguk kemenangan, begitu teganya Tejo mengesampingkan persahabatan.
Mulanya, Tejo tak ambil pusing dengan tindakan Ompu. Ia hanya tercekat ketika sahabat yang sering diajak mengetam jagung itu berkhianat. Namun, sialnya, jenderal syetan lebih berjaya. Makhluk paling durhaka dan sok pintar tersebut genap mengerahkan komplotan begundalnya untuk membujuk keteguhan Tejo. Terdesak rayuan, Tejo pun oleng. Kini, di antara sesetel sahabat tersebut berdiri dinding permusuhan yang begitu kekar, tebal, sekaligus mengakar.
***
“Anakku, pergilah ke kaki gunung Lowoireng, dekat desa Moroklawu. Di sanalah Kakekmu bertapa.”
Kalam itulah yang meluncur dari katup mulut perempuan renta kala menyambut keluhan anaknya. Sungguh, Ompu berbulat niat untuk melakukan apa saja guna menebus kegagalannya dalam perhelatan berburu Srintil. Ia gelap mata. Hingga kisah ini diwartakan, kami belum dapat menebak jin apa yang berhasil merasuki kepalanya.
Bertelanjang kaki, Ompu bertolak ke loka tujuan. Di sana, ia hendak memetik gemblengan serta didikan Mbah Karwo, sepuh sakti yang mendirikan puluhan perguruan pencak silat di berbagai tempat.
Membanting sepatah kata saja belum sempat, Ompu sudah dibuat tergemap. Rupanya, jantan berumur hampir seabad itu telah mengendus maksud kedatangan cucunya dengan berkecek enteng, “kalau cuma untuk balas dendam, serbuk ini lebih dari cukup, Cucuku.”
Sambil mengeluarkan botol berisi serbuk hitam, Mbah Karwo melanjutkan, “tapi, untuk memperolehnya, kau harus memenuhi dua syarat.”
“Apa syaratnya, Kakek?” segesit kilat bibir Ompu bergetar.
“Pertama, kau wajib ikut aku bertapa selama tiga tahun.”
“Kedua?”
“Sebelum serbuk ini kau gunakan, kau harus menjadikan binatang tak berkaki sebagai makanan keseharianmu.” 
Dahi Ompu bergelombang. Sepasang alisnya mengait. Sepemakan sirih kemudian, Mbah Karwo menghunjamkan pertanyaan, “Apa kau sanggup, Cucuku?”
“Baiklah, Kakek. Aku sanggup.”
***
Guna memuluskan tujuan, sepulang dari pertapaan, Ompu masih menghindari pantangan dari Mbah Karwo. Demi menyumpal lambungnya, ia menyantap cacing dan ular. Saban hari, ia mengendap-endap di hutan Rowokidul guna menangkap santapan pokoknya. Jika belum mendapat jatah tiga kali makan, ia pun enggan pulang.
Meski Ompu berusaha seliat tenaga menutupi kebiasannya, sebagian dari kami telah memafhuminya. Hal itulah yang takah-takahnya memicunya tertekan. Pasalnya, ia diduga melakoni ritual ilmu hitam. Tak ayal, dendamnya kepada Tejo kian menggumpal; hingga apabila dendam itu tersentuh benda tajam, pastilah akan pecah berkeping-keping.
Didorong bermacam pertimbangan, Ompu menganggap bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk bersiasat. Ia hendak menemui Tejo dan melucuti kesumatnya. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Kawi yang tengah memanggul sekarung beras. Memanfaatkan kesempatan, ia pun menghunus pertanyaan, “Hai, Kawi. Kau tahu di mana Tejo tinggal?”
“Tejo bermukim di desa Karanganyar. Ia sudah lama pindah ke sana, semenjak menikah dengan Srintil.” Dengan polosnya, Kawi mendedahkan jawaban.
Mendengar kaul buruh kasar itu, Ompu ingin muntah. Betapa kebencian yang dirawatnya semakin bertambah. Nekat betul Tejo menikahi gadis tepian matanya itu. Lantas ia mempercepat langkah agar bisa segera melampiaskan kegeraman. 
“O… Mas Ompu. Silakan masuk, Mas.”  
Buah tutur dan sambutan Srintil yang begitu kalem mudah memperdaya Ompu. Ia menurut layaknya anjing dituntun majikan. Ia sadar, sepenuhnya sadar, bahwa lelaki berhidung bengkok itu hanya ingin berurusan dengan Tejo; bukan yang lain. Tak perlu kiranya, dendam yang sedang ditabungnya menjalar pada tubuh perempuan yang pernah dipuja-puja itu. Cukuplah si bedebah Tejo yang laik melunasi kejengahan serta keberangannya.   
Sebenarnya, kami baru paham, bahwa Srintil ternyata sama sekali tak mencium bau permusuhan antara Ompu dan suaminya. Selama ini, bayangkan! selama ini, ia menganggap bahwa hubungan persahabatan antara keduanya baik-baik saja. Apalagi, Tejo juga tak suah menceritakan perihal kondisi perkaribannya itu.
Menggelesot di atas tikar daun pandan, Ompu menanti kemunculan Tejo. “Sebentar lagi kau bakal mampus, Tejo”, batinnya memekik.
Srintil keluar dari dalam dengan membawa daging kijang yang baru saja dipanggang. Perempuan berambut sebahu itu menghidangkannya di depan Ompu.
“Dimana suamimu?” Ompu bertanya tak sabar.
Ngapunten, Mas. Dari tadi pagi, Mas Tejo mencangkul di sawah. Mungkin sebentar lagi pulang. Monggo Mas, dimakan. Ini hasil buruan Mas Tejo kemarin.”
Menghirup aroma daging lezat meliuk-liuk, khatamnya Ompu lupa diri. Menunggu datangnya Tejo, bukanlah kesalahan jika ia menikmati secolek daging kijang sambil memandangi kecantikan Srintil. Barangkali begitulah pikirnya.
Jemari kanan Ompu mencubit dan menyantap suguhan yang menggoda itu. Sekonyong-konyong, lidahnya melepuh. Dari mulutnya menyembul ribuan cacing dan ular. Serbuk yang dikantongi tumpah, mengakibatkan serata tubuhnya hangus menghitam. Tangan beserta kakinya mengeras. Dan…..

Yogyakarta, 2012

Catatan:
Ngapunten       : maaf (bahasa Jawa)
Monggo           : silakan (bahasa Jawa)

Kamis, 18 April 2013

Sayembara Hobia dan Kegilaan Anaknya (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Joe Fiksi" edisi April 2013)


Hobia memasang siasat. Ia turun dari kamar dan menuju gudang senjata milik suaminya yang telah tiada. Di sana ia mengambil sebuah busur dan tabung berisi anak panah lalu membagulnya ke aula, loka di mana para pelamarnya berkumpul.
“Wahai, para pemburu cinta.” Lenguh Hobia. “Ini adalah busur milik Domus. Barang siapa di antara kalian mampu memasang tali busur ini dan melesatkan anak panah melewati tujuh belas lubang di ujung kampak yang disusun sejajar, maka ia berhak menggantikan posisi Domus.”
Ke tujuh pelamar Hobia berembuk. Mereka tengah memusyawarahkan siapa yang berhak mengambil bagian pertama kali. Binase, Joru, Obula, Guhor, Normuli, Suget, dan Paramican. Para ksatria itu hendak memperebutkan perempuan gilang-gemilang. Perempuan yang bersinar cerah layaknya mentari pagi. Perempuan yang bertutur kata kirana bagaikan embun yang menyentuh daun kasuari. Tubuhnya laksana pohon cemara. Bola netranya indah bak mata rusa. Rambutnya legam, tebal bergelombang. Hobia memang pantas menjelma buah bibir dan bahan obrolan yang enggan habisnya. Bila seorang lelaki menatap parasnya, niscaya jiwa lelaki itu akan gelisah dan membawa bayangannya dalam mimpi. Ya, perempuan yang meski pernah bersuami dan melahirkan titisan itu masih mengandung seribu pesona. Jikalau matahari tak terbit, cukuplah wajah Hobia yang menggantikannya. Bila rembulan malas menampakkan batang hidungnya, keelokan rona Hobia layak menyejukkan tanah Sutame.
Di antara para pelamar itu ada yang menarik untuk dicermati. Paramican; jejaka yang tak lain dan tak bukan adalah anak tunggal Hobia. Benar. Ialah hasil hubungan asmara perempuan cantik itu dengan Domus—yang jangkap berusia 18 tahun.  
“Kau mengkhianati leluhurmu, Ksatria.” Desis Binase, ketika menginjakkan kaki di pelataran rumah Hobia.
Paramican membisu. Lidahnya urung bergeser dari tempat semula. Ia tak tergoda secuil pun meladeni buah kalam ksatria berhidung bengkok itu. Selaku bujang satu-satunya Hobia, Paramican kurang tega melihat cinta ibunya diperebutkan oleh keenam lelaki yang riwayatnya belum genap ia ketahui. Sebelum berangkat menemui ajal, ayahnya melempar wasiat: “jagalah ibumu baik-baik, Anakku”. Dan, kini, ia bermaksud sepenuh hati menjalankan wasiat tersebut.
Meski Paramican menampung darah Domus—yang mashur dengan kepiawaiannya dalam memanah—, para ksatria itu sama sekali tak mengkhawatirkan kemampuannya.
“Bisa apa jejaka buntung itu?.” Obula membuka katup mulutnya.
“Anak malang. Gara-gara jadi taruhan Domus dalam perlombaan berburu serigala, ia yang harus menderita. Tangan kanannya ditebas oleh Trocus”. Sahut Normuli.
***
“Sudahlah. Daripada membuang waktu sia-sia, lebih baik kau urungkan niat, Paramican. Kami berenam yang beranggota badan sempurna kesulitan menembus lubang-lubang mungil itu. Apalagi kau, haha…”
Biji tutur Joru menyengat telinga Paramican.
“Tahukah kau, keturuan Domus yang dungu? Suget saja yang setiap senja menghunjamkan dua puluh satu panah ke paruh burung moyi dalam keadaan terbang, cuma tiga belas lubang yang dapat ia lalui.”
Imbuh Hugor seraya membusungkan dada.
Paramican mengernyitkan dahi. Matanya merah bara—tanda bahwa amarahnya memuncak. Ini kali, cercaan dua ksatria itu telah menggulung sendi-sendi etika hingga melampaui batas. Sebelumnya, jarang sekali ia mengunyah perkataan kasar sedemikian rupa, selain dari Protto, si lidah tajam. Kata-kata mereka menyayat perasaan Paramican. Dan kesabaran manusia tetap ada piasnya.
Sepamakan sirih kemudian, dengan merapatkan jemari, suara Paramican memecah udara: “Jika aku berhasil melakukan, apa yang bakal kalian berikan padaku?”
Guhor yang semenjak tadi berdiam diri, langsung mengulurkan jawaban meyakinkan: “Kepalaku yang akan kuserahkan!”
Jawaban yang terselip di luar purbasangka. Jawaban yang berhajat meremehkan  Paramican. Kelima ksatria tercengang dengan keputusan Guhor yang dinilai terlalu nekat. Namun, karena tertantang, akhirnya Binase, Joru, Obula, Normuli, juga Suget secara serentak meluncurkan madah. “Kepala kami juga, Paramican”.
Paramican mendengus. Betapa ia merasa dianggap lajang yang belum pernah menyentuh busur. Betapa ia diterka tiada mafhum tentang bagaimana mengalirkan anak panah pada sasaran. Betapa ia dijatuhkan serendah-rendahnya, sampai-sampai bagian tubuh terpenting keenam ksatria itu berani ditumbalkan.
“Kalian akan menyesal, Para Ksatria.”
Lantas ia tarik busur yang menggantung di lengan Suget. Dengan tangan kiri selaku pemegang busur dan gigi berperan mengawat anak panah, ia siap menunjukkan kebolehannya. Memorinya masih sangat kuat untuk sekadar merekam pesan sang ayah: “Dalam memanah, yang mesti diperhatikan hanyalah tempat di mana kau arahkan anak panahmu, Paramican. Bukan yang lain.”
Segesit kilat Paramican beraksi. Aksi memukau yang mengantar enam ksatria memungut janjinya. Aksi kegigihan Paramican dalam melibas kesombongan mereka. Benar. Tujuh belas lubang di ujung kampak yang disusun sejajar oleh ibunya berhasil ia terobos dengan satu anak panah.
***
“Kau wajib memenuhi janji, Anakku.”
“Tapi aku darah dagingmu, Ibu.”
“Seorang ksatria hendaklah memegang teguh kata-katanya.”
Sejak itulah, keguncangan melanda Sutame. Ikatan terlarang antara ibu dan anak menelurkan gunjingan luar biasa. Penduduk digemparkan dengan sesuatu yang sukar diterima logika. Moras, klan keluarga Hobia, mengutuk habis-habisan ulah melenceng sepasang ibu dan anak tersebut.
“Terlaknat kau, Hobia. Domus pasti marah dengan perbuatanmu. Tak sudi kami menganggap dirimu bagian dari klan suci ini.” Pekik Rosum, tetua klan Moras, kala menangkap urita memalukan itu dari Lohan.
Saban kali sepasang suami-istri—sekaligus anak-ibu—itu berjalan ke pasar Gire, orang-orang melambungkan umpatan: gares, muss, hebb; kata-kata keji yang ditujukan kepada mereka berdua. Kata-kata yang kalau diterjemahkan—meski kurang mewakili padanannya—adalah: anjing, tahi, dan sialan. Sebagian besar para pedagang serta-merta menutup toko mereka, sebab khawatir lekas mengantongi musibah kalau sampai Hobia dan Paramican mendekat. Sesuai mitos yang disebarkan oleh nenek moyang: “seorang anak yang mempersunting ibunya sama saja mendatangkan bencana selama dua puluh tahun bagi tempat yang ia kunjungi.”
***
Paramican terperanjat kala memergoki Hobia. Serata tubuh Hobia diselimuti warna merah. Merah yang bukan sosok mega saat surya pulang ke peraduan. Merah yang mengindikasikan cairan kental pembawa sel-sel manusia. Benar. Jasad Hobia menghembuskan rimbun darah—yang berpunca dari leher. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sekiranya ia mengajak Hobia berburu ikan bersama. Andaikan ia tak meninggalkan Hobia teronggok sekoteng di rumah. Atau kalau saja ia menunda dulu kepergiannya dan menemani Hobia yang sedang diserbu gundah. Tentu musibah itu urung terjadi. Pikirnya.
Sejak ditinggal Hobia, Paramican bertingkah aneh. Ia kerap berlari-lari di selingkar hutan Tesse. Ia juga sering mengoceh sendirian. Bila kebetulan menemuinya, orang-orang memanggilnya Ermu—nama yang disematkan bagi si hilang akal.
Sebelum ayam jago berkokok dua kali, Paramican keluar dari rumah; menggelinding tanpa arah. Ia ingin memuntahkan segala kegundahan pada pohon dan bunga yang dijumpainya.
Paramican gemar berlama-lama menggelesot di bukit Lomu. Di sana ia dapat dengan leluasa memanggil-manggil Hobia serta menghanyutkan airmata. Aroma kehidupannya raib, hingga menyebabkannya rajin putus asa. Yang lebih parah, ketika rindunya membuncah, Paramican akan menziarahi kuburan Hobia. Ia mengendap-endap saat memasuki Nero, taman yang menghubungkan bukit Lomu dengan tempat di mana mayat Hobia dibaringkan. Tatkala hinggap di ujung taman, jantungnya bergetar hebat. Bukan lantaran takut dipergoki oleh kakek bungkuk yang bertugas menjaga makam. Bukan, bukan. Namun karena jarak antara dirinya dengan Hobia begitu dekat. Apabila berhasil lolos dari indra penglihatan Qori—si juru kunci tadi—hatinya mengayuh gembira. Sebab, ia bisa mencium nisan ibu sekaligus istrinya itu dari pagi buta hingga tengah malam.
***
Esok adalah hari dimana prajurit Sutame menghadapi kebengisan orang-orang Fiour. Mereka sangat membutuhkan ksatria yang dengan tangannya mampu memukul mundur kekuatan lawan.
Sungguh disesalkan. Dengan penyakit jiwanya, Paramican tak sanggup lagi diharapkan. Sedang ke enam ksatria—Binase, Joru, Obula, Guhor, Normuli, serta Suget—yang selama ini didapuk menjadi kekuatan utama bagi pasukan perang Sutame, telah meregang nyawa di tangan Paramican.  

Yogyakarta, 2011

Catatan:
Cerpen ini terilhami dari “Laila Majnun”, karya Syeikh Nizami.