Selasa, 19 Desember 2017

Mengawal Pembangunan Jalan Tol (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Senin, 18 Desember 2017)


Pemerintah mengebut pengerjaan jalan tol se-Indonesia. Sesuai target Presiden Joko Widodo, sepanjang 1.850 kilometer (km) jalan tol diusahakan terbangun pada tahun 2018. Demi mengecek langsung proyek-proyek jalan tol tersebut, presiden sengaja blusukan. Selain proses pengerjaan bisa terpantau secara maksimal, hal ini juga dilakukan supaya pembangunan cepat terselesaikan.
Apa yang digencarkan oleh pemerintah di atas patut diapresiasi oleh semua pihak. Keberadaan jalan tol dipercaya dapat memperbaiki jalur transportasi, meningkatkan hasil produksi dalam negeri, serta membuat taraf hidup masyarakat lebih tinggi. Jalan tol berperan besar dalam upaya menciptakan civil society dan mewujudkan prinsip-prinsip good governance. Betapa berlangsungnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangat terbantu oleh munculnya jalan-jalan tol di berbagai daerah.

Realitas Historis
Demi kelancaran proyek jalan tol, pembebasan lahan merupakan langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah. Fenomena pembelian tanah untuk memaksimalkan jalannya program pembangunan sebenarnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Salah satunya melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Raja-raja Mangkunegaran masa silam. Catatan sejarah menunjukkan,  meskipun tanah-tanah negara telah diserahkan secara tetap kepada desa, akan tetapi dalam hal-hal tertentu para penguasa Mangkunegaran boleh mengambil alih tanah tersebut. Pengambilan tanah bukanlah bentuk kezaliman dan kecongkakan penguasa. Dinilai legal karena dilindungi oleh hukum, tindakan demikian bermaksud agar negara bisa merealisasikan kepentingan publik dengan tetap memperhatikan asas demokrasi.
Dalam buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 165) menyebutkan bahwa pengambilan kembali tanah-tanah desa terjadi jika: (1) Pembebasan lahan diselenggarakan demi kepentingan umum (mundut bumi tumrap pahedahing akeh). Dalam bahasa sehari-hari, pengambilan tanah ini di Solo masyhur disebut dipijehake, istilah yang berakar dari kata dasar piji (sendiri) yang bermakna ‘tanah yang disisihkan’. Pemegang hak pakai yang diambil alih tanahnya untuk kepentingan umum berhak menerima ganti rugi atas bangunan atau tanaman yang terletak di atasnya. Sebuah komisi yang dibentuk oleh Mangkunegara bersama Residen Surakarta bertugas menaksir jumlah kerugian. (2) Pihak keraton memerlukan tanah desa yang akan dialokasikan untuk pengusaha perkebunan.
Adanya ketentuan di atas menunjukkan bahwa hukum selalu berubah mengikuti situasi dan kondisi. Berubahnya zaman menuntut hukum senantiasa memuat gejala-gejala ekonomi, politik, sosial, serta budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hukum memberikan atensi dan simpati terhadap apa yang terjadi, baik di dalam maupun di luar manusia.

Utamakan Musyawarah
Bagaimanapun, agar upaya percepatan pengerjaan jalan tol dapat segera terwujud, pemerintah membutuhkan tanah desa yang menjadi faktor produksi terpenting bagi rakyat. Kebutuhan negara dalam memanfaatkan tanah desa menuntut adanya penghargaan terhadap orang-orang yang selama ini merawatnya. Pemerintah selayaknya menyadari bahwa dikerjakannya proyek jalan tol dengan mengambil sumber daya lokal meniscayakan dilestarikannya nilai-nilai keadilan dan kebersamaan. Dilaksanakannya berbagai kebijakan pemerintah mesti bertumpu pada ditegakkannya fondasi Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan berlandaskan sila-sila Pancasila, implementasi pembangunan seyogyanya menyerap aspirasi rakyat.
Dalam catatan Yudi Latif (2011: 387-388), adanya kepemilikan bersama berupa tanah menggariskan ketetapan bahwa setiap orang yang ingin memanfaatkannya harus mengantongi persetujuan kaum. Ketentuan demikian mendorong lahirnya tradisi gotong-royong dalam menggunakan tanah yang merembet pada hal-hal lainnya, termasuk urusan pribadi. Adat hidup tersebut menciptakan kebiasaan musyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat. Sebagaimana pepatah Minangkabau: “bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat).
Semangat inilah yang selayaknya ditangkap oleh pemerintah. Besarnya jumlah ganti rugi tidak boleh ditetapkan secara kurang layak dan cenderung tidak manusiawi. Dicapainya kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah merupakan wujud penghormatan terhadap mereka yang terkena dampak pengerjaan jalan tol yang sudah berkorban demi lancarnya pembangunan. Merupakan suatu tuntutan bahwa dalam menjalankan tugasnya, tim pengadaan lahan mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Di dalamnya antara lain tercantum persyaratan digunakannya tanah desa untuk kepentingan publik.


Yogyakarta, 2017

Minggu, 17 Desember 2017

Desa dan Perkembangan Teknologi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Sabtu, 16 Desember 2017)


Lantaran tidak mempunyai jaringan seluler, warga Desa Lewoawan, Ile Bura, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur merakit tower tradisional. Sebuah tiang kayu setinggi kurang lebih satu meter yang menancap di atas tanah menjadi penopangnya. Tempurung kelapa yang terpasang di ujungnya berfungsi untuk menampung beberapa telepon seluler milik warga. Berbekal tower tersebut, mereka akhirnya nekat meluncurkan website desa. Atas kerja keras dan capaian prestasi inilah, Lewoawan ditetapkan sebagai desa pertama (bersama Desa Birawan) di Kabupaten Flores Timur yang berhasil menggunakan jaringan internet dalam Sistem Informasi Desa dan Sistem Administrasi Desa.
Berbekal bahan-bahan sederhana, warga Desa Lewoawan mampu mengejar ketertinggalan dan secara perlahan berusaha mencapai kemajuan. Fakta ini menggambarkan bahwa produk teknologi ternyata tidak selamanya identik dengan tersedianya sejumlah materi dengan harga selangit. Asalkan bahan-bahan di sekeliling manusia dapat dimodifikasi dengan sentuhan kreativitas, beragam inovasi tentu bisa tercipta.
Perubahan dan tuntutan zaman memaksa orang desa untuk menyesuaikan diri. Atas dasar itulah, mereka dituntut secara aktif terlibat dalam “logika modernisasi” tanpa harus mengorbankan jatidiri. Globalisasi yang oleh sejumlah pihak seringkali dimaknai sebagai kiat meredupkan lokalitas sekaligus upaya menggerus identitas suku bangsa, justru dianggap menjadi proses tak terelakkan kehidupan manusia.
Dalam konteks inilah, orang desa melakukan reinterpretasi terhadap semangat zaman dengan melepaskan ikatan-ikatan lama yang genap membelenggu pikiran dan membatasi kebebasan berekspresi. Mereka tidak ingin terjebak pada konsensus-konsensus kuno yang lebih bernuansa nostalgia ketimbang ideologis. Mereka tidak serta merta mengungkung diri dengan pola pikir primitif, melainkan membuka wawasan dan mengapresiasi perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi mereka, memelihara warisan pemikiran dan ajaran para pendahulu tidak perlu diwujudkan secara kaku, rigit dan ekslusif, namun dengan adaptif, dinamis dan inklusif.

Hak Kelola Rakyat
Orang desa mampu memanfaatkan sekaligus memaksimalkan apa yang ada di sekitarnya secara efektif. Di balik keterbatasan, tersimpan inspirasi dan imajinasi yang melimpah. Itulah mengapa, dari tangan mereka lahir beberapa produk istimewa dengan karakter yang unik dan khas. Lebih dari itu, dalam menghasilkan beraneka kreasi, mereka selalu menjunjung tinggi kearifan lokal (local genius). Dengan senantiasa memegang teguh etos, nilai serta prinsip leluhur, mereka terhindar dari perilaku eksploitasi dan perusakan lingkungan.
Dalam taraf tertentu, aspek kehidupan lokal berimplikasi positif terhadap pelestarian alam. Dengan kata lain, pemanfaatan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat perdesaan tidak selalu berakibat merugikan. Apa yang dilakukan oleh orang desa justru kerap membawa berkah bagi terpeliharanya ekosistem. Bagaimanapun, terdapat aspek-aspek tertentu yang bersifat menguntungkan sebagai hasil teknologi tradisional dan ikhtiar pemberdayaan sumber daya alam. Kenyataan inilah yang semestinya memperoleh perhatian publik dan pemerintah.
Nasruddin Anshoriy Ch dalam buku Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan (2008: 64) memandang bahwa wilayah kelola rakyat adalah wilayah belajar kembali dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lain demi terbentuknya sustainable livelihood bagi masyarakat perdesaan dan masyarakat desa-kota. Penyediaan, pengakuan serta perlindungan ruang kehidupan yang utuh bagi masyarakat Indonesia yang secara turun-temurun genap melakukan kegiatan produksi dan reproduksi sosial secara mandiri merupakan tujuan kontruksi hak kelola rakyat.

Perlunya Harmonisasi
Meskipun sebenarnya orang desa mampu mengadaptasi segala hal yang berasal dari luar, namun tetap ada batasan yang mesti diperhatikan. Dalam kondisi bagaimana pun, serta dengan alasan apa pun, tradisi lokal tidak boleh dikesampingkan atau bahkan dikorbankan. Siapa saja yang datang ke wilayah perdesaan dengan membawa hal-hal baru diwajibkan untuk mengindahkan “rambu-rambu” ini.
Penghormatan terhadap tradisi lokal menjadi bagian integral peneguhan hak-hak masyarakat perdesaan yang sejak dahulu kala menjadi unsur terbangunnya fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan realitas historis tersebut, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dibekali semangat utama “memberikan penghargaan terhadap asal-usul dan hak tradisional desa”. Sehingga, rekognisi dan subsidiaritas menjadi asas utama undang-undang tersebut. Kehadiran kedua asas inilah yang membedakannya dengan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang desa yang pernah terbit sebelumnya.
Sayangnya, konsep-konsep baru di bidang teknologi dengan mudahnya diselundupkan ke desa tanpa memperhatikan terlebih dahulu tradisi yang ada. Padahal, apa yang diintrodusikan kepada orang desa seringkali terbilang “sama sekali baru” dan tidak mempunyai kaitan dengan sesuatu yang mereka miliki, termasuk kearifan lokal (local genius) yang telah lama terkubur. Imbasnya, konsep-konsep baru itu mirip “benda asing”, sehingga sulit diterima oleh publik. Padahal, pembaharuan selayaknya tetap bersifat endogen (Benny H. Hoed, 2001: 28-29).
Di sinilah perlunya harmonisasi. Ikhtiar mengenalkan masyarakat pedalaman dengan berbagai bentuk “keramaian” seyogyanya ditempuh secara bijak. Tradisi lokal menjadi landasan utama diberlakukannya hal-hal baru. Dengan demikian, orang desa tetap mampu meneguhkan diri dalam kepungan jutaan informasi.

Yogyakarta, 2017

Rabu, 13 Desember 2017

Nasionalisme Perdesaan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Kamis, 23 November 2017)


November 1945 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam riwayat sebuah bangsa. Berbagai peristiwa gigantik, monumental, dan “penuh darah” yang terjadi sebelumnya merupakan kristalisasi motivasi, antusiasme, dan harapan orang desa dalam menggariskan cita-cita kebangsaan. Mereka berhasrat mengusir kaum kolonial dari bumi pertiwi untuk segera meraih kehidupan bebas, mandiri, dan penuh harga diri.
Saat Belanda memegang tampuk kekuasaan, nasionalisme orang desa dibuktikan dengan loyalitas dalam agenda perjuangan. Dapur umum digunakan untuk menyediakan logistik para pejuang. Perempuan-perempuan desa menyiapkan hidangan bagi mereka yang akan bertempur melawan bengisnya penjajah.
Saat tongkat estafet penjajahan beralih ke tangan Jepang, pemuda desa direkrut menjadi pasukan pembendung Perang Asia Timur Raya. Dibekali pendidikan militer agar kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria terpupuk dalam diri mereka. Akibatnya, desa menjadi tulang punggung seinendan. Di samping itu, dibentuk keibodan, organisasi beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing dengan misi utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Celakanya, siasat yang digencarkan oleh Jepang menjadi bumerang. Alih-alih menjadikan pemuda desa sebagai alat propaganda, Jepang justru terkena getahnya. Pemuda desa yang genap memperoleh latihan militer menjadi kekuatan yang merongrong kedudukan Jepang di Indonesia. Itulah mengapa, di samping iklim politik yang kurang mendukung, hengkangnya Jepang dari negeri ini juga lantaran garangnya pemuda desa dalam melancarkan serangan terhadap kaum kolonial.

Apatisme
Belakangan ini, nasionalisme orang desa tampak diragukan. Ketika materialisme dan hedonisme menjangkiti orang desa, tersebar asumsi bahwa rasa cinta tanah air mereka mulai luntur. Perhatian mereka terhadap keadaan bangsa juga mulai pudar. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa dalam situasi tertentu sebagian orang desa menunjukkan sikap egoistis. Merosotnya prinsip komunal sekaligus menguatnya dasar-dasar individual antara lain disebabkan oleh urbanisme sebagai pola dan cara hidup orang kota serta perkembangan daerah perkotaan yang mempengaruhi kosmologi orang desa.
Betapa “hasrat urban” membujuk pemuda desa untuk merantau, menimba pengalaman, serta berburu rupiah ke kota. Munculnya berbagai alternatif membuat kerja-kerja tradisional semakin ditinggalkan. Dengan menjadi buruh atau “pegawai kantoran”, misalnya, mereka ingin menyaksikan kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya. Pada waktu mereka bekerja, nilai-nilai desa dan kota saling bertukar. Asimilasi inilah yang dibawa untuk dibagi dengan warga desa lainnya Saat mereka kembali ke kampung halaman.
Gejala merembesnya nilai-nilai urban pada lingkungan perdesaan semakin dikokohkan oleh pendidikan. Abdul Munir Mulkhan (2009: 94) mensinyalir bahwa melalui pendidikan, modernisasi menelusup pada relung kehidupan orang desa. Banyak anak desa yang menempuh jenjang pendidikan modern di kota-kota besar, sehingga mereka mulai bersinggungan dengan prinsip hidup orang kota. Tarik menarik antara kepribadian rural di satu sisi dan kepribadian urban di sisi lainnya menyebabkan orang desa diderap kegamangan. Mereka merasa gagap dalam menggali sekaligus memaknai identitas kultural. Pendidikan yang semestinya mampu menabalkan jati diri justru mengaburkannya.
Selama ini, orientasi pendidikan seolah diarahkan pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban yang terselip melalui kurikulum pendidikan cenderung melahirkan kepribadian kasar, menang sendiri, serta sukar diatur. Hal ini berimbas pada meredupnya etos kerja dengan motif komunalisme sekaligus menanjaknya corak individualisme. Padahal, selama komunalisme masih diperhatikan oleh orang desa, kepedulian terhadap nasib bangsa akan tetap terpelihara. Sebaliknya, bila individualisme yang mendominasi corak pandang masyarakat, segala bentuk perhatian akan terpusat pada diri sendiri. Dalam perspektif terakhir inilah, mereka menganggap bahwa nasib tak kunjung berubah hanya dengan mengutamakan kepentingan bangsa.

Kearifan Lokal
Ketika tidak lagi berada pada jalurnya, pendidikan hanya akan memasung kreativitas manusia. Potensi anak desa akan terkubur seiring dengan semakin cepatnya arus globalisasi. Kearifan lokal sebagai penanda masyarakat adat bakal hilang tergantikan oleh ilmu pengetahuan yang serba rasional. Jika ini yang terjadi, maka kolonialisme genap berubah bentuk. Penjajahan berhasil melakukan transformasi bahkan evolusi dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam sistem pendidikan. Kemerdekaan yang berhasil diraih seakan sirna jika pendidikan kurang mampu membebaskan, melainkan justru mengekang daya cipta manusia.
Upaya merawat kemerdekaan bisa diwujudkan dengan menempatkan pendidikan sesuai “kodrat”nya. Dalam konteks ini, pemerintah perlu menapaki jejak seorang petani bernama Sabur yang berusaha memadukan kurikulum nasional dengan kearifan lokal. Setelah menjual sebidang kebun kelapa sawit untuk pendirian sekolah tingkat SLTP, warga Desa Aur Cina, Bengkulu, tersebut menyusun silabus pendidikan lingkungan hidup dengan menitikberatkan pada kehidupan siswa saat berada di rumah maupun di sekolah. Sejak dini, siswa didorong untuk memahami kerusakan lingkungan sekaligus imbasnya. Capaian ini telah mengantongi apresiasi dari berbagai pihak, sehingga beberapa sekolah di Provinsi Bengkulu menjadikan silabusnya sebagai referensi.
Dengan mengombinasikan materi pelajaran formal dengan kearifan para leluhur, tentu pemerintah memberikan rekognisi sekaligus apresiasi terhadap beragam pengetahuan masyarakat adat. Bukan hanya memberdayakan sumber daya lokal, langkah ini tentu juga dapat membangkitkan kembali nasionalisme perdesaan. Selain itu, gejala urbanisme yang dalam beberapa dekade terakhir begitu mencolok juga menurun akibat bertunasnya kepercayaan diri orang desa. Bagaimanapun, geliat modernisme tak selamanya diwujudkan dengan menghapus karakter “orang udik”, melainkan justru meneguhkannya.

Yogyakarta, 2017

Penokohan Individu dalam Pilkades (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Jumat, 17 November 2017)


Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak yang pertama kali bakal diselenggarakan di Kabupaten Purworejo, tercatat ada 217 calon kepala desa (Kades) dari 82 desa. Mereka berasal dari beragam latar belakang pendidikan, mulai SLTP hingga S3. Fenomena ini menunjukkan bahwa selalu terjadi persaingan dalam upaya merebutkan kursi Kades. Oleh masyarakat perdesaan, jabatan pemimpin di tingkat lokal tersebut senantiasa dianggap bergengsi dan berwibawa.
Dalam dasawarsa terakhir, meski simbol kekayaan tidak lagi melekat pada Kades, akan tetapi posisi orang nomor satu di level desa tersebut tetap menjanjikan keuntungan. Para calon Kades sadar bahwa bengkok dan tunjangan yang diterima kelak tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan baik sebelum maupun setelah digelarnya Pilkades. Namun demikian, mereka memahami bahwa Kades merupakan aktor lokal dengan banyak akses. Relasi ke pengusaha, pemodal, bahkan ke pemerintahan supra desa dapat diperoleh dengan mudah apabila Kades mampu membaca peluang. Tak heran jika Kades kerap terlibat dalam proyek-proyek pembangunan sekaligus mengantongi banyak profit.
Dengan demikian, berapa pun besarnya, rupiah yang digelontorkan demi meraup sebanyak mungkin suara pada waktu coblosan akan kembali. Di sinilah perlunya perhitungan yang jitu untuk menimbang kekuatan individu, dukungan publik, dan ongkos politik. Orang-orang yang mencalonkan diri selaku Kades dituntut mempunyai seni yang tinggi dalam melihat situasi. Kegagalan dalam hal ini rentan mengakibatkan kerugian material, hancurnya motivasi, serta merosotnya harga diri.

Perilaku Individu
Di zaman yang serban instan, masyarakat menilai apa yang dilakukan oleh para calon Kades, meski sebatas masa kampanye, benar-benar mencerminkan kepribadiannya. Ketika seorang calon Kades berhasil ‘mencuri hati’ masyarakat dengan membangun berbagai sarana publik, misalnya, dukungan akan mengalir deras kepadanya. Sepak terjangnya selalu dinilai positif apabila disertai dengan uang serta hal-hal yang bersifat kebendaan.
‘Ringan tangan’ sebagai tolok ukur kesuksesan di panggung publik juga berlaku ketika seseorang berhasil menduduki jabatan Kades. Salah satu Kades di daerah Jawa Timur nekat menguras kantong pribadi ketika sebagian warganya tidak menerima ‘sumbangan’ dari Pemda lantaran kesalahan pendataan. Ia mengaku tidak ingin desanya gaduh gara-gara ada sebagian kecil siswa yang tak menikmati bantuan pendidikan. Masyarakat menaruh simpati kepadanya, setelah ia mampu menghindarkan munculnya desas-desus yang tak diinginkan.
Penilaian masyarakat terhadap efektivitas pemerintahan desa cenderung diarahkan pada kedermawanan Kades. Kepedulian sang pemimpin dimaknai sebagai keikhlasannya menyumbangkan uang bagi kegiatan-kegiatan seremonial, peringatan hari besar serta perayaan tahunan. Kebaikan hati sang pemimpin diartikan sebagai kerelaannya mengeluarkan uang pribadi bagi kepentingan publik. Hal ini antara lain ditandai dengan dicairkannya beragam proposal yang disodorkan kepadanya.
Meskipun tidak sepenuhnya salah, namun penilaian demikian menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai tugas, fungsi, dan peran Kades yang genap diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh masyarakat, kinerja pemerintah desa sekadar ditinjau dari perilaku individunya. Kesan positif cenderung lahir lantaran sikapnya yang rendah hati kepada semua orang. Perhatiannya terhadap berbagai lapisan masyarakat tercermin dari kesediaan menghadiri acara dan hajatan yang diselenggarakan seluruh warga tanpa membedakan status sosial. Akibatnya, evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal terjebak pada penokohan Kades.

Keteladanan
Ketimbang mengandalkan siasat ‘kedermawanan sesaat’ lebih baik para calon Kades mempertimbangkan keteladanan sebagai unsur terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin. Ada pelajaran berharga dari pengalaman pahit seorang calon Kades yang bertarung dalam ajang Pilkades di suatu desa di Bojonegoro. Ia gagal meraih kemenangan lantaran terjerat kasus perselingkuhan. Masyarakat setempat sengaja memberikan sanksi kepada orang yang nekat menerjang salah satu norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu norma kesusilaan.
Bagaimanapun, diterjangnya suatu norma berimplikasi buruk bagi pelanggarnya. Ini berarti, masyarakat tidak selalu berada dalam kondisi ‘terjepit’. Bagi mereka, terdapat banyak pilihan dan alternatif dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Mereka tidak rela apabila dipimpin oleh orang dengan perilaku buruk dan integritas rendah.
Meski money politic dalam sejarahnya telah menghancurkan dinamika suksesi pemimpin lokal, namun di berbagai tempat, ternyata keteladanan masih menjadi alasan utama terpilihnya Kades. Dengan demikian, sebelum terdaftar sebagai calon Kades, seseorang dituntut mampu menilai dirinya sendiri: apakah ia dikenal gemar berbuat terpuji atau justru terbiasa menistakan harga diri.  

Bojonegoro, 2017

Selasa, 07 November 2017

Merosotnya Wibawa Kepala Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Duta Masyarakat" edisi Senin, 6 November 2017)


Citra sebagai figur teladan dan pemimpin masyarakat kerap dikorbankan lantaran banyak kepala desa tersandung korupsi dana desa. Fenomena ini tentu berbeda dengan masa silam, di mana selain dianggap selaku “bapak” yang mengayomi semua warganya, kepala desa juga mampu menjunjung tinggi kehormatannya.
Saat cara berpikir masyarakat masih konservatif, kepala desa bahkan didaulat selaku hakim perdamaian. Kharisma, kebijakan dan kewibawaan yang dimiliki kepala desa menimbulkan kepercayaan besar terhadap dirinya. Tak heran jika ia dipercaya mampu menyelesaikan sejumlah persengketaan warga. Masyarakat meyakini bahwa kepala desa sanggup meredam ketegangan sosial dan gejala perpecahan. Dalam hal ini, ia memosisikan diri sebagai penengah dan mediator. Ia memberikan saran, masukan, bahkan keputusan terhadap mereka yang bersengketa. Solusi yang ditawarkan seringkali mencegah agar persoalan tidak meluber.
Tampaknya, corak kehidupan masyarakat perdesaan turut menentukan posisi kepala desa. Semakin primitif suatu masyarakat, maka semakin pula mereka membutuhkan figur kepala desa. Dalam kondisi demikian, kepala desa mengemban amanat mengatasi problematika masyarakat. Semua keputusannya dijunjung tinggi dan dihormati.
Kini, saat masyarakat kian progresif, kebijakan kepala desa seakan tak berarti. Orang desa mulai dibekali kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan. Kemandirian sebagai salah satu tanda masyarakat modern mengurangi kemungkinan adanya pelibatan pihak lain dalam pengambilan keputusan. Untuk mengurai “benang kusut”, mereka sering kali mengesampingkan bantuan. Jadi, selama persengketaan bisa diselesaikan dengan cara sendiri, petuah kepala desa tidak diperlukan.
Bagi sebagian orang, membawa persengketaan ke hadapan kepala desa justru membuat persengketaan tersebut semakin membesar. Akhir-akhir ini, kepala desa yang cenderung birokratis dan formal kurang mampu memberikan nasehat dan solusi perdamaian atas mereka yang berselisih.

Hajatan Demokrasi
Dalam taraf tertentu, image positif kepala desa ternyata juga secara perlahan diruntuhkan oleh terselenggaranya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang jauh dari nuansa “kebaikan”. Beberapa temuan di lapangan menunjukkan, hingar-bingar politik lokal lebih merefleksikan upaya memenuhi kebutuhan sementara daripada mengangkat pemimpin.
Pilkades menjadi sarana pertaruhan nasib orang-orang desa. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta sempitnya lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja judi. Bersamaan dengan digelarnya Pilkades, mereka mengadu peruntungan lewat jalan haram. Bentuk pelarian dari realitas diwujudkan dengan berjudi. Bermodal rupiah, mereka bermaksud mengubah nasib dengan cara instan. Perjudian menjanjikan bahwa angan dan impian mereka dapat segera terwujud. Maraknya kasus perjudian dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan pragmatis. Betapa di balik agenda pemilihan pemimpin desa tersimpan ekses negatif. Citra Pilkades dinodai oleh ulah oknum yang bernafsu menambah pundi-pundi keuangan serta merusak generasi muda.
Pilkades merupakan ajang persaingan tokoh lokal yang selalu menarik perhatian. Bukan hanya bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, namun juga mereka yang ingin memanfaatkannya sebagai lahan bisnis. Pilkades bukan hanya milik panitia, tim sukses, serta simpatisan, akan tetapi juga mereka yang menyimpan beragam kepentingan. Oleh bandar judi, Pilkades dianggap mendatangkan omset besar, sehingga sayang jika terlewat begitu saja. Maka, perjudian sengaja digelar di titik strategis. Di sinilah bandar judi mengambil peran. Semaraknya Pilkades berutang pada “jerih payah” bandar judi.

Peran Bandar Judi
Sepak terjang bandar judi tidak hanya menyentuh tataran sosial, budaya, dan ekonomi, melainkan juga politik. Terjadi perluasan segmentasi aktivitas perjudian. Aktor-aktor judi begitu peka memperhatikan realitas. Bandar judi mampu melihat bahwa di balik panggung politik lokal tersimpan peluang berburu rupiah. Mereka berusaha mengawinkan antara pesta demokrasi dengan pasar taruhan. Fakta ini menggambarkan sosiologi politik pedesaan. Pilkades yang diwarnai oleh aksi bandar judi tentu memiliki corak, pola, dan bentuk tersendiri dibanding dengan Pilkades tanpa aktivitas perjudian. Betapa kegiatan berjudi menyumbang keunikan, kekhasan, dan keberagaman politik lokal.
Di Desa Pakandangan Barat Bluto, Sumenep, Madura, bandar atau pemain judi dianggap sebagai aktor yang menempatkan uang sebagai dorongan penentu pilihan pemilih. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon kepala desa yang terpilih dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costs-benefits di baliknya (Halili, 2009: 103).
Di sinilah letak anomali judi. Di satu sisi, judi selalu identik dengan kebiasaan buruk yang mengundang sanksi hukum dan reaksi sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa aktivitas perjudian merupakan jalan pintas menuju kesuksesan. Namun, di sisi lain, judi membawa berkah bagi orang-orang yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa. Mereka merasa diuntungkan dengan kesibukan bandar dan pemain judi meramaikan Pilkades. Maraknya aktivitas perjudian di sela-sela pelaksanaan pesta demokrasi dimanfaatkan untuk memecah suara.
Keberpihakan masyarakat terhadap salah satu calon bisa goyah sebab pengaruh bandar judi. Desas-desus yang mereka sebarkan turut menentukan ke arah siapa suara berpihak. Padahal, untuk menentukan siapa yang pantas mendapat dukungan, bandar judi tentu tidak berkompeten. Mereka tidak dibekali dengan kapasitas, kapabilitas, serta rasionalisasi memilih pemimpin.
Preferensi politik warga ikut ditentukan oleh jalannya perjudian. Besarnya uang taruhan berbanding lurus dengan kuatnya calon kepala desa. Semakin banyak dukungan kepada seorang calon semakin besar pula taruhan yang ditujukan padanya.

Yogyakarta, 2017

Rabu, 18 Oktober 2017

Memupuk Minat Bertani (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Rabu, 18 Oktober 2017)

Dalam rangka mencegah kaum muda bekerja ke luar negeri, warga Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), menginisiasi kelompok tani. Inisiatif ini juga muncul lantaran tingginya angka kematian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal TTS yang mengais rezeki di Malaysia.
Data Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang menunjukkan, selama Januari-Oktober 2017 terdapat 45 TKI asal NTT meninggal di Negeri Jiran tersebut. Mereka berasal dari 14 kabupaten di NTT, di mana Kabupaten TTS “menyumbang” korban paling besar, 10 orang. Kondisi inilah yang membuat mereka membentuk kelompok tani dengan fokus menanam berbagai jenis sayuran.
Desa sejak lama identik dengan pertanian. Maka, ketika belum muncul berbagai alternatif pekerjaan, mayoritas orang desa memilih bertani. Berbekal keyakinan dan keteguhan, mereka memantapkan diri terjun dalam bidang agraris, termasuk orang-orang yang tidak memiliki sawah yang menawarkan diri sebagai petani penggarap. Akhirnya, terjadilah hubungan saling menguntungkan antara pemilik sawah dan penggarap.
Kini, pertanian semakin kurang menarik bagi kaum muda. Mereka lebih tergiur bekerja kantoran. Minat bertani juga dikalahkan hasrat ke kota untuk mengundi nasib di perantauan. Mereka menjadi buruh pabrik dengan upah di bawah standar atau bekerja serabutan tanpa jaminan perlindungan kerja.
Selain kurang menguntungkan atau bahkan berimbas kerugian, mata pencaharian petani juga kerap dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Bacaan, tontonan, serta semangat zaman mengarahkan para remaja lebih mengutamakan style, gengsi, image, serta pola hidup. Mereka tak tertarik dengan filosofi bertani yang penuh kebijaksanaan dan kearifan nenek moyang. Globalisasi dan modernisasi genap melahirkan generasi instan yang selalu ingin mencapai hasil maksimal, tanpa melewati proses melelahkan. Akibatnya, orangtua gagal melakukan regenerasi petani.
Pertanian sebagai basis ekonomi perdesaan selalu berhubungan dengan pembangunan. Selama ini pembangunan desa lebih diorientasikan pada upaya mendorong produktivitas kerja penduduk desa. Kaum tani senantiasa dimotivasi dan dirangsang berproduksi. Sayang, masih banyak kendala serius. Di sana-sini ditemukan ketimpangan antara biaya produksi dan hasil penjualan hasil panen.

Kehilangan
Berbagai upaya tata niaga justru mengakibatkan para petani kehilangan peluang menyisir beragam informasi pasar. Sementara itu, masuknya modal ke desa kerap diikuti budaya urban bercorak konsumtif, sehingga memarginalkan kaum tani dan mengasingkan mereka dari tanah kelahiran (A Nunuk P Murniati, 2004: 200).
Kapitalisme sebagai ideologi dunia yang begitu mencengkeram negara-negara berkembang ternyata rentan mematikan pola pertanian tradisional dan komunal. Nilai-nilai modernitas yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan memaksa aktor-aktor bidang agraris menyesuaikan diri. Di tengah pusaran perdagangan bebas, cukup tampak bahwa industri pertanian berbasis kapitalistik semakin kokoh. Hal ini meningkatkan risiko kerusakan genetik, lingkungan, budaya, serta kesehatan.
Liberalisasi pertanian juga kian menghancurkan usaha pertanian lokal milik ratusan juta penduduk desa. Di samping menjadikan petani seringkali terancam bahaya kelaparan, hal ini juga mendorong mereka hijrah ke kota atau luar negeri guna berburu rupiah. Akhirnya, yang tersisa di pedalaman hanyalah kemiskinan dan busung lapar (Benget M Silitonga [ed], 2012: 105).
Padahal, menurut Bustanul Arifin (2005: 5), wujud keberhasilan revitalisasi pertanian antara lain ditandai kemampuan pembangunan dalam mengentaskan masyarakat petani dan warga perdesaan lainnya dari jeratan serta belenggu kemiskinan. Selama ini, pemahaman ekonomi pembangunan modern, bahkan mazhab neoliberal sekalipun, genap meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sektor pertanian semata tidak akan mampu memberantas kemiskinan.
Atas dasar inilah, para perumus kebijakan mesti menunjukkan keberpihakan penuh dan memberikan perhatian serius terhadap nasib petani dan kelompok miskin lainnya. Langkah paling mendasar yaitu meluncurkan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang menyentuh kelompok miskin secara langsung. Caranya, investasi besar-besaran pada hak-hak dasar masyarakat dalam sektor kesehatan, kecukupan gizi, serta pendidikan dasar dan menengah.
Keberadaan kelompok tani sebagai salah satu bentuk revitalisasi bidang agraris selayaknya didukung. Pembentukan kelompok tani tidak hanya mendorong kaum muda untuk menggeluti bidang agraris, tetapi juga memupuk ikatan persaudaraan dan kekerabatan antarwarga sesuai dengan nilai sila ketiga Pancasila. Dalam setiap kesempatan, mereka bisa saling berinteraksi dan memotivasi. Kebersamaan dan kekompakan menjadi bekal berharga menghasilkan panen terbaik. Dengan demikian, aktivitas ekonomi tidak hanya berdasarkan hasrat individu, tapi juga kehendak kelompok.
Berbagai target tidak sekadar ditujukan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi pemenuhan kepentingan bersama. Dengan memakai prinsip kolektivitas sebagai tolok ukur bekerja, keuntungan tidak hanya bersifat sementara. Berbagai program dalam jaringan kelompok tani diupayakan berjangka panjang agar menjanjikan surplus lebih besar. Hasilnya mengacu pada semua anggota kelompok tani agar kesejahteraan yang tercipta senantiasa berbasis komunitas.
Dalam konteks inilah, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menemukan urgensinya. Apa yang dihasilkan oleh kelompok tani berupa bahan pangan dapat dipasarkan melalui BUMDes. Lembaga ini memuat kehendak kelompok dengan mengutamakan prinsip, nilai, dan dasar kehidupan bersama dalam mencapai cita-cita komunal. Nuansa gotong-royong melandasi setiap anggota BUMDes dalam aktivitas perekonomian dan peningkatan kesejahteraan.
Mengantongi legitimasi melalui Peraturan Mendagri Nomor 39 Tahun 2010, BUMDes dinilai cukup fleksibel dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. BUMDes merupakan aset desa yang bermaksud memajukan usaha-usaha ekonomi di tingkat akar rumput, sekaligus mewujudkan keinginan masyarakat perdesaan dalam memperbaiki taraf hidup. BUMDes juga berfungsi sebagai lembaga pembiyaan warga yang ingin meningkatkan usaha setempat. Lebih dari itu, BUMDes mampu mengelola potensi, keragaman, kearifan lokal serta memberdayakan warga yang berada di garis kemiskinan.

Yogyakarta, 2017

Senin, 09 Oktober 2017

Nasionalisme Batik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Duta Masyarakat" edisi Senin, 9 Oktober 2017)


Patung lilin Presiden Jokowi di Madame Tussauds Hongkong kini mengenakan busana batik setelah lebih dari tiga bulan memakai baju putih. Selain penonjolan kain batik, aroma khas batik berbahan pewarna alami semisal kulit kayu dan bahan lainnya yang menyebar ke seluruh ruangan juga membuat nuansa museum tampak berbeda.
Seorang marketing executive Madame Tussauds Hongkong menilai bahwa tampilan di atas merupakan sebagian cara Presiden Jokowi mempromosikan pariwisata Indonesia sekaligus mengenalkan batik sebagai budaya asli Indonesia. Selain itu, dengan menyajikan pakaian tradisional, diharapkan para pengunjung yang berasal dari Indonesia merasa sedang berada di “rumah” sendiri.
Batik adalah ekspresi kebudayaan yang diwariskan turun-temurun. Sebagai warisan budaya (heritage), batik di antara isu penting yang patut mendapat perhatian. Batik telah mengantongi pengakuan dunia sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, batik diakui UNESCO sebagai karya bangsa yang termasuk daftar representasi warisan budaya manusia tak berwujud (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Dalam catatan sejarah, batik telah ada sejak abad 17 pada zaman Kerajaan Majapahit. Saat itu, motif batik didominasi lukisan flora dan fauna. Budaya Islam yang begitu kuat rupanya turut menyebarkan motif abstrak, berupa awan, relief candi, dan wayang beber. Selanjutnya, perkembangan batik mendapat sentuhan para pengrajin pada zaman Kerajaan Mataram, Solo, dan Yogyakarta.
Warna, pola, serta motif yang lebih beragam pada batik berangkat dari asimilasi budaya. Aneka corak menunjukkan terjadinya peleburan budaya Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang. Sebagai misal, motif Jlamprang mengambil inspirasi dari budaya India dan Arab. Encim dan Klengenan diilhami oleh budaya Cina dan Belanda. Pagi Sore merupakan sumbangan budaya Melayu. Adapun Hokokai merupakan hasil intervensi budaya Jepang. Perjumpaan unsur-unsur budaya ini sejak tahun 1800-an di antaranya mengukuhkan Pekalongan sebagai Kota Batik. 

Ciri Kebangsaan
Mengenai “batik Indonesia”, Bung Karno pernah melontarkan gagasan bahwa ciri kebangsaan dan nasionalisme bisa digali melalui batik-batik tradisional dengan ciri etnis (Purnawan Andra, 2014).
Barangkali karena gagasan itulah, berseragam batik, para menteri kabinet dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Upacara pelantikan gubernur, bupati, dan jajarannya juga kerap menggunakan batik. Batik menjadi bagian dari politik kultural yang dilancarkan oleh pemerintah. Pemaknaan nasionalisme ataupun sekadar pencitraan bisa diekspresikan melalui batik.
Busana yang awalnya digunakan untuk pernikahan adat Jawa tersebut kini sering dijumpai dalam upacara kenegaraan. Fakta ini memuat pergeseran dari hal-hal yang bersifat spiritual atau ritual ke seremonial.
Perlahan namun pasti, batik melancarkan serangan terhadap hegemoni jas dan dasi sebagai produk kolonial yang berhasil menancap di bumi pertiwi. Gaya berpakaian elit priayi yang meniru model Barat diimbangi dengan kehadiran batik yang mampu mendobrak formalitas dengan menawarkan kode busana yang berbeda.
Batik mewakili simbol perjuangan melawan budaya Barat. Batik menjadi sarana mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur kolonial yang dominan. Dengan mengenakannya, sisa-sisa pemikiran imperialisme dan kolonialisme diharapkan hengkang dari bumi pertiwi. Di dalam batik terdapat implementasi sekaligus ekspresi perubahan budaya.

Simbol Harmonisasi
Batik telah dilegitimasi menjadi identitas bangsa, aset berharga, hingga simbol harmonisasi. Dulu kala, penggunaan batik dikhususkan bagi kalangan bangsawan dan “darah biru”. Ketika diaplikasikan pada media kain, masyarakat awam tidak diperkenankan mengenakannya. Batik mulai diperkenalkan kepada rakyat jelata, saat para pengikut raja mulai tinggal di luar tembok keraton.
Saat ini, pemakaian batik tidak terbatas pada komunitas tertentu. Berbagai macam suku terbukti menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, batik sanggup melewati batas teritorial, sosial dan etnik.
Produksi batik juga meluas. Awalnya, batik hanya diproduksi kalangan terbatas. Para pengrajin batik adalah kaum wanita yang mengisi waktu senggang. Sekarang, dinamika ekonomi nasional tidak terlepas dari isu beberapa dekade terakhir yaitu impor tekstil dan produk tekstil bermotif batik. Ini dikarenakan, batik mulai dilirik sebagai industri menjanjikan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Industri batik menyimpan kearifan lokal yang turut mengukuhkan identitas bangsa. Di dalamnya terjalin hubungan yang intens, baik ekonomi maupun budaya, antara berbagai lapisan masyarakat. Di samping dapat memancing wisatawan, kearifan lokal pada batik menjadi aset berharga bagi pengusaha dalam pasar domestik dan ekspor. Dengan demikian, selain aset ekonomi, batik juga merupakan aset budaya bangsa.
Hal ini menjadikan reputasi batik terangkat. Ia bukan lagi representasi “kasta tinggi”, sebab milik semua kalangan. Batik memicu harmonisasi berbagai lapisan masyarakat dengan identitas sosial dan kultural yang berbeda. Ia menegasikan nilai dan prinsip feodalisme yang cenderung usang.
            Eksistensi batik semakin diakui saat para pemimpin dunia terbiasa mengenakannya, baik untuk pertemuan resmi maupun busana keseharian. Sebut saja Nelson Mandela (1918-2013). Revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan ini bisa digolongkan sebagai promotor batik global yang mempromosikan hasil karya anak bangsa.
Namun demikian, tampaknya terdapat upaya sistematis meredupkan citra batik. Akhir-akhir ini, batik bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko cendera mata di negeri tetangga. Karya perajin tradisional Indonesia tersebut berlabel produk asing. Ekspresi budaya tradisional telah dirusak oleh klaim kepemilikan negara lain yang mencuri serta mematenkannya.
Hal di atas diperparah dengan kasus-kasus pembakaran pasar batik oleh oknum tak bertanggung jawab. Kebakaran yang melanda Pasar Klewer dengan kerugian mencapai Rp 5 triliun belum lama ini dibumbui isu bahwa pasar tersebut sengaja dibakar oleh pihak-pihak dengan kepentingan terselubung. Padahal, mengutip Aris Setiawan (2014), “Pasar Klewer bukan hanya berkisah tentang aktivitas jual-beli sandang, tapi juga sosio-kultural masyarakat Solo.”

Yogyakarta, 2017

Minggu, 08 Oktober 2017

Optimalisasi Potensi Desa Wisata (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Sabtu, 23 September 2017)


Sejak dahulu kala, desa memiliki potensi yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Salah satunya adalah lokasi tamasya yang kerap menyajikan eksotisme surgawi yang menyedot banyak atensi. Ada kecenderungan bahwa ketimbang menghabiskan waktu mengunjungi pusat keramaian di kantong urban, para wisatawan lebih berminat menjadikan kawasan pedesaan sebagai destinasi wisata. Betapa wilayah pedalaman menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin merasakan ketenteraman, kesejukan, dan kesegaran, sekaligus menjauhkan diri dari segala ingar-bingar.
Uniknya, selain keindahan dan kenyamanan, di kawasan terakhir ini juga terdapat kearifan lokal (local wisdom) yang diturunkan lintas generasi. Semangat kebersamaan, kerukunan, dan gotong-royong senantiasa menjiwai lokalitas. Inilah yang membedakan tempat pelesiran lokal dengan lokasi wisata nasional yang cenderung berpihak pada kepentingan pemodal.
Setiap desa wisata menjanjikan keunggulan masing-masing berdasarkan letak geografis, konstruksi tanah, tipologi sosial, serta karakteristik masyarakatnya. Boleh dibilang, perbedaan “label” antar desa wisata merupakan keniscayaan.
Misalnya, jika sebagian menawarkan sarana permainan tradisional, maka sebagian lainnya menghadirkan panorama alam dan aktivitas berkebun. Hal ini dikarenakan, “nilai jual” lokasi tersebut terletak pada ciri khasnya. Keberhasilan desa wisata meraup keuntungan antara lain ditunjang oleh kemampuan para pengelola  dalam melakukan spesialisasi.
Berkembangnya desa wisata belakangan ini turut membantu pemerintah pusat dalam menekan angka pengangguran. Keberadaan beberapa titik wilayah yang mampu menarik pengunjung tentu membuka lahan pekerjaan yang luas, sehingga kompetensi generasi muda dapat diberdayakan secara maksimal. Akhirnya, mereka bisa bekerja, tanpa perlu meninggalkan tanah kelahirannya.
Kepergian kawula muda ke daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri antara lain disebabkan minimnya kesempatan kerja di desa. Padahal, para pemuda menjadi harapan terbesar bagi meningkatnya kesejahteraan desa. Ketika desa ditinggalkan oleh generasi muda selaku pemegang estafet kehidupan, kondisi ekonomi di level akar rumput (grass root) tampak kurang menggairahkan.

Dukungan dari Aparat Desa
Hal di atas diperparah dengan keengganan para sarjana untuk kembali ke tanah asal. Catatan historis menunjukkan bahwa melalui pendidikan modernisasi genap memasuki kehidupan perdesaan. Dalam konteks ini, banyak anak desa yang merantau ke kota untuk mendaftarkan diri di berbagai lembaga pendidikan modern.
Sayangnya, kehidupan ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan lantaran anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana jarang pulang ke desa. Mereka lebih tertarik bekerja di lembaga-lembaga modern di kawasan atau pinggiran kota. Oleh karena itu, modernisasi pedesaan berjalan cukup lambat (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 94-95).
Potensi desa wisata juga menjadi pemantik bangkitnya orang desa melawan jebakan kesengsaraan. Prosentase kemiskinan desa dapat diturunkan dengan menggenjot produktivitas warga melalui pendayagunaan lokasi-lokasi strategis.
Kini, sesuai fakta di lapangan, para petani di desa merasa kesulitan untuk bertahan hidup dengan mengandalkan sawah. Keuangan kaum tani kembang kempis jika hanya bersumber dari apa yang telah ditanam. Bagaimanapun, hasil panen yang kurang menentu membuat mereka mesti mencari usaha sampingan di luar aktivitas bertani. Di wilayah perdesaan sekalipun, profesi yang berhubungan dengan bidang agraris tidak lagi menjadi pilihan, kecuali dalam keterpaksaan.
Maraknya wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengunjungi wilayah pedalaman, mesti disikapi secara serius oleh pemerintah desa dengan mengoptimalkan keistimewaan kawasan lokal. Aset desa berupa tanah ulayat, pasar, hutan, mata air, pemandian umum, dan lain sebagainya harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengukuhkan desa selaku destinasi wisata favorit.
Selain digunakan untuk biaya operasional, pemasukan yang diperoleh dari usaha bertaraf lokal ini juga dapat menambah kas desa. Dengan demikian, pembangunan desa wisata bisa dilakukan secara mandiri, karena tidak hanya bergantung pada transfer keuangan dari APBN dan APBD yang disebut dana desa dan alokasi dana desa. Berkurangnya ketergantungan terhadap kekuasaan supra desa menjadikan desa semakin kreatif dan inovatif.
Dengan difasilitasi oleh aparatur desa, setiap warga yang berpenghasilan rendah atau bahkan tanpa penghasilan bisa turut ambil bagian dalam mengembangkan desa swasta. Dalam konteks inilah, kebijakan kepala desa beserta netralitas pamong lainnya menjadi kunci utama tersebarnya lapangan pekerjaan. Uraian tugas (job description) sekaligus pembagian keuntungan (profit sharing) yang ditetapkan selayaknya mengutamakan kepentingan bersama.
Komersialisasi sejumlah lokasi jangan sampai terjebak pada individualisme. Akibatnya, pengelolaan desa wisata hanya melibatkan orang-orang yang selama ini berada dalam “lingkaran kekuasaan”, semisal sanak kerabat dan kolega pamong desa . Mereka inilah yang memiliki hubungan khusus dengan para elite lokal.
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, serta kepastian nilai ekonomi. Adapun Pasal 77 ayat (2) undang-undang yang sama menggariskan ketentuan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa diselenggarakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta meningkatkan pendapatan desa.

Yogyakarta, 2017