Sejak dahulu kala, desa
memiliki potensi yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Salah satunya adalah
lokasi tamasya yang kerap menyajikan eksotisme surgawi yang menyedot banyak
atensi. Ada kecenderungan bahwa ketimbang menghabiskan waktu mengunjungi pusat
keramaian di kantong urban, para wisatawan lebih berminat menjadikan kawasan
pedesaan sebagai destinasi wisata. Betapa wilayah pedalaman menjadi daya tarik
tersendiri bagi mereka yang ingin merasakan ketenteraman, kesejukan, dan
kesegaran, sekaligus menjauhkan diri dari segala ingar-bingar.
Uniknya, selain
keindahan dan kenyamanan, di kawasan terakhir ini juga terdapat kearifan lokal
(local wisdom) yang diturunkan lintas generasi. Semangat kebersamaan,
kerukunan, dan gotong-royong senantiasa menjiwai lokalitas. Inilah yang
membedakan tempat pelesiran lokal dengan lokasi wisata nasional yang cenderung
berpihak pada kepentingan pemodal.
Setiap desa wisata
menjanjikan keunggulan masing-masing berdasarkan letak geografis, konstruksi
tanah, tipologi sosial, serta karakteristik masyarakatnya. Boleh dibilang,
perbedaan “label” antar desa wisata merupakan keniscayaan.
Misalnya, jika sebagian
menawarkan sarana permainan tradisional, maka sebagian lainnya menghadirkan
panorama alam dan aktivitas berkebun. Hal ini dikarenakan, “nilai jual” lokasi
tersebut terletak pada ciri khasnya. Keberhasilan desa wisata meraup keuntungan
antara lain ditunjang oleh kemampuan para pengelola dalam melakukan spesialisasi.
Berkembangnya desa
wisata belakangan ini turut membantu pemerintah pusat dalam menekan angka
pengangguran. Keberadaan beberapa titik wilayah yang mampu menarik pengunjung
tentu membuka lahan pekerjaan yang luas, sehingga kompetensi generasi muda
dapat diberdayakan secara maksimal. Akhirnya, mereka bisa bekerja, tanpa perlu
meninggalkan tanah kelahirannya.
Kepergian kawula muda
ke daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri antara
lain disebabkan minimnya kesempatan kerja di desa. Padahal, para pemuda menjadi
harapan terbesar bagi meningkatnya kesejahteraan desa. Ketika desa ditinggalkan
oleh generasi muda selaku pemegang estafet kehidupan, kondisi ekonomi di level
akar rumput (grass root) tampak kurang menggairahkan.
Dukungan
dari Aparat Desa
Hal di atas diperparah
dengan keengganan para sarjana untuk kembali ke tanah asal. Catatan historis
menunjukkan bahwa melalui pendidikan modernisasi genap memasuki kehidupan
perdesaan. Dalam konteks ini, banyak anak desa yang merantau ke kota untuk
mendaftarkan diri di berbagai lembaga pendidikan modern.
Sayangnya, kehidupan
ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan lantaran anak-anak desa
yang berhasil meraih gelar sarjana jarang pulang ke desa. Mereka lebih tertarik
bekerja di lembaga-lembaga modern di kawasan atau pinggiran kota. Oleh karena itu,
modernisasi pedesaan berjalan cukup lambat (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 94-95).
Potensi desa wisata
juga menjadi pemantik bangkitnya orang desa melawan jebakan kesengsaraan.
Prosentase kemiskinan desa dapat diturunkan dengan menggenjot produktivitas
warga melalui pendayagunaan lokasi-lokasi strategis.
Kini, sesuai fakta di
lapangan, para petani di desa merasa kesulitan untuk bertahan hidup dengan
mengandalkan sawah. Keuangan kaum tani kembang kempis jika hanya bersumber dari
apa yang telah ditanam. Bagaimanapun, hasil panen yang kurang menentu membuat
mereka mesti mencari usaha sampingan di luar aktivitas bertani. Di wilayah
perdesaan sekalipun, profesi yang berhubungan dengan bidang agraris tidak lagi
menjadi pilihan, kecuali dalam keterpaksaan.
Maraknya wisatawan baik
dari dalam maupun luar negeri, yang mengunjungi wilayah pedalaman, mesti
disikapi secara serius oleh pemerintah desa dengan mengoptimalkan keistimewaan
kawasan lokal. Aset desa berupa tanah ulayat, pasar, hutan, mata air, pemandian
umum, dan lain sebagainya harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengukuhkan desa
selaku destinasi wisata favorit.
Selain digunakan untuk
biaya operasional, pemasukan yang diperoleh dari usaha bertaraf lokal ini juga
dapat menambah kas desa. Dengan demikian, pembangunan desa wisata bisa
dilakukan secara mandiri, karena tidak hanya bergantung pada transfer keuangan
dari APBN dan APBD yang disebut dana desa dan alokasi dana desa. Berkurangnya
ketergantungan terhadap kekuasaan supra desa menjadikan desa semakin kreatif dan
inovatif.
Dengan difasilitasi
oleh aparatur desa, setiap warga yang berpenghasilan rendah atau bahkan tanpa
penghasilan bisa turut ambil bagian dalam mengembangkan desa swasta. Dalam
konteks inilah, kebijakan kepala desa beserta netralitas pamong lainnya menjadi
kunci utama tersebarnya lapangan pekerjaan. Uraian tugas (job description)
sekaligus pembagian keuntungan (profit sharing) yang ditetapkan selayaknya
mengutamakan kepentingan bersama.
Komersialisasi sejumlah
lokasi jangan sampai terjebak pada individualisme. Akibatnya, pengelolaan desa
wisata hanya melibatkan orang-orang yang selama ini berada dalam “lingkaran
kekuasaan”, semisal sanak kerabat dan kolega pamong desa . Mereka inilah yang
memiliki hubungan khusus dengan para elite lokal.
Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pengelolaan
kekayaan milik desa berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian
hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, serta kepastian
nilai ekonomi. Adapun Pasal 77 ayat (2) undang-undang yang sama menggariskan
ketentuan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa diselenggarakan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta meningkatkan
pendapatan desa.
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar