Sabtu, 26 November 2016

Nobel, Judi, dan Literasi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 20 November 2016)


Pada 13 Oktober lalu, Akademi Swedia mengumumkan bahwa hadiah Nobel Sastra tahun ini jatuh pada penyanyi sekaligus pencipta lagu terkenal asal Amerika Serikat, Bob Dylan. Oleh panitia, ia dinilai mampu menciptakan gaya ekspresi baru dalam berpuisi sebagai tradisi musik Amerika Serikat.
Oktober menjadi saksi atas hiruk-pikuk semesta literasi. Oktober menampilkan profil calon penerima penghargaan Nobel Sastra. Setiap awal Oktober, media cetak dan online kerap menampilkan siapa yang digadang-gadang menjadi pemenang ajang paling bergengsi dalam jagat sastra tersebut.
Uniknya, selain wartawan dan akademisi, bandar judi juga turut meramalkan siapa yang berjaya dalam panggung sastra. Kabar dari rumah-rumah judi selalu ditunggu oleh pegiat literasi, khalayak pembaca, dan publik sastra. Bagaimanapun, terdapat keterkaitan antara literasi dengan spekulasi. Berdasarkan nama-nama yang beredar, sejumlah situs judi mengeluarkan prediksi.
Salah satunya Ladbrokes, poker dengan peringkat teratas di dunia dalam lalu lintas perjudian online. Memiliki lebih dari 2.400 kantor ritel, agen taruhan tersebut menyediakan platform olahraga, kasino, bingo, poker, backgammon, dan permainan judi lainnya. Ladbrokes dipercaya sebagai situs yang sanggup mengatrol omset bisnis perjudian beberapa perusahaan ternama.
Berdasarkan lansiran tirto.id, situs judi Inggris tersebut menyatakan bahwa peluang Haruki Murakami memperoleh penghargaan sastra terbesar sejagat tahun ini adalah 5/1, penulis Kenya Ngugi Wa Thiong'o (7/1), serta penulis Amerika Serikat Philip Roth (8/1). Beberapa tahun sebelumnya, portal yang sama juga mengutip Ladbrokes tentang siapa saja yang berpeluang memperoleh medali elektrum 18 karat berbalut emas 24 karat, sertifikat, dan 8 juta kronor Swedia (setara Rp 12 miliar rupiah).

Cerminan Popularitas
Bandar judi telah mendaulat Murakami sebagai salah satu favorit. Pengarang asal Jepang tersebut dikenal lewat buku-bukunya yang cukup populer di kalangan pembaca remaja dan dewasa di seluruh dunia. Hary B.K. (2013) menilai, Murakami genap menyedot perhatian publik lewat beberapa karyanya, antara lain Norwegian Woods dan 1Q84. Hampir di semua karyanya, Murakami menyinggung absurditas dan kesunyian manusia dalam kehidupan modern.
Alih-alih memberikan penilaian yang orisinil, “ramalan” situs judi sekadar cerminan popularitas para sastrawan di mata para petaruh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya tentu memiliki bias terhadap sastra dunia dan cenderung mengangkat penulis terkenal. Dalam setiap nama terkandung muatan kepentingan dan motivasi pragmatis. Bermodal uang, kaum kapital berusaha mengeruk keuntungan (benefits). Mereka menangkap peluang bisnis dengan memproduksi desas-desus. Tak heran jika banyak pihak meragukan nama-nama dalam shortlist. Apalagi, unsur politik boleh jadi mendapat porsi besar dalam proses kurasi penghargaan yang dimulai pada 1901 dan digagas oleh Alfred Nobel tersebut.
Namun demikian, dalam taraf tertentu, geliat literasi berutang budi pada situs judi. Bandar judi berperan memelihara bahkan menyemarakkan kultur literasi. Mereka mempunyai andil besar dalam memompa semangat manusia agar senantiasa melihat perspektif, menyebarkan wacana, serta membuka “jendela dunia”. Di dalam sepak terjangnya terkandung ikhtiar, motivasi, sekaligus kiat agar buku senantiasa dihormati.
Secara tidak langsung, situs judi di sejumlah negara menyimpan misi agar buku-buku sastra lebih digdaya, bermartabat, dan bergengsi. Menanggapi mewabahnya aktivitas perjudian dalam jagat sastra, Daniel D'Addario di majalah Time edisi 08 Oktober 2014 menulis, “Mungkin karena lebih banyak orang yang membaca buku ketimbang mengikuti perkembangan ilmu kimia. Mungkin karena manusia gemar berjudi, dan berjudi soal sastra terasa lebih mencerahkan daripada pergi ke pacuan.”

Cara Instan
Pernyataan D'Addario di atas tentu jauh berbeda dengan realitas di negeri ini. Judi selalu identik dengan kebiasaan buruk yang mengundang sanksi hukum dan reaksi sosial. Sebagian masyarakat menganggap bahwa aktivitas perjudian merupakan jalan pintas menuju kesuksesan. Penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis dilakukan oleh orang-orang yang ingin menggapai mimpi melalui cara instan.
Aktivitas perjudian menjadi sarana pertaruhan nasib wong cilik. Maraknya kasus perjudian belakangan ini dilatarbelakangi oleh alasan sosiologis dan pragmatis. Tingginya angka pengangguran, rendahnya pendapatan, serta sempitnya lahan pekerjaan membuat mereka tergiur untuk bergabung di meja judi. Kegiatan berjudi menjanjikan bahwa angan dan cita-cita dapat segera terwujud. Pelarian dari himpitan ekonomi diwujudkan dengan mengadu peruntungan lewat jalan haram.
Celakanya, pemerintah Orde Baru turut memrakarsai munculnya istilah lotre, porkas, Sumbangan Dana Sejahtera Bersama (SDSB), dan sinonim-sinonim lainnya. Atas dorongan penguasa, pemain judi senantiasa menempatkan uang sebagai faktor utama dalam siklus kehidupan. Dengan menggelontorkan rupiah, mereka berani bertaruh untuk memastikan kemenangan. Mereka tidak pernah khawatir terhadap hari esok, selama berada dalam rasio costs-benefits yang menggiurkan.
Aktivitas perjudian masyarakat Indonesia modern bertolak belakang dengan masa silam. Saat menyaksikan perhelatan adu ayam (tajen) di Bali pada awal April 1958, Clifford Geertz menuangkan pengalamannya melalui tulisan “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting” (termuat dalam Intrepetation of Cultures). Karya antropolog asal Amerika Serikat yang menelurkan konsep santri, abangan, dan priayi tersebut mengupas aspek antropologis perjudian. Geertz mengungkap, perjudian menjadi simbol maskulinitas bagi mayoritas lelaki Bali (Hanggoro, 2012).
Pada saat ini, sekalipun seseorang menang di meja judi, sebenarnya ia tetap kalah dalam realitas. Karena merasa lemah, ia tidak sanggup memenangkan rivalitas yang berlangsung. Di hadapan kolega judi, ia bisa mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terpaksa menundukkan kepala serendah-rendahnya. 

Yogyakarta, 2016

Selasa, 15 November 2016

Menyoal Alih Fungsi Lahan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Selasa, 15 November 2016)


Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) DIY sedang gencar membentengi eksistensi hutan rakyat dari ancaman alih fungsi lahan berupa pembangunan permukiman. Saat ini, luas hutan rakyat di DIY mencapai 74.000 hektar yang tersebar di Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo dan Sleman. Hutan rakyat dikelola melalui 1.700 kelompok tani dengan rata-rata kepemilikan sebesar 0,2 hektar.
Jika tidak dilakukan langkah strategis, dikhawatirkan beberapa tahun ke depan lahan hijau berubah fungsi menjadi area permukiman komersil. Apalagi, pengembang mulai melirik ke sejumlah lokasi untuk dijadikan perumahan. Dengan berbagai cara, beberapa titik ingin mereka jadikan sarana mengeruk keuntungan.

Ekses Negatif
Gencarnya alih fungsi lahan pertanian menimbulkan ekses negatif. Apa yang dilakukan pengembang menyebabkan terjadinya bencana alam dan merosotnya tanah sebagai sarana produksi pangan. Sulistyo (2016) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian merupakan keniscayaan. Salah satu penyebabnya yaitu laju pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal.
Dalam pandangan Sulistyo, lahan pertanian pangan harus benar-benar diproteksi agar tidak rentan dialihfungsikan untuk perkembangan industri. Muncul kekhawatiran bahwa arus modernisasi dan industrialisasi yang mengarah kepada daerah berkembang dimanfaatkan untuk investasi jangka panjang oleh para pemodal. Konsekuensinya, lahan pertanian terpaksa beralih fungsi.
Selain itu, ada keterkaitan antara proteksi lahan dengan upaya menjaga stabilitas dan ketahanan pangan. Luas lahan yang rawan alih fungsi harus benar-benar menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah DIY, apalagi jika lahan tersebut tergolong potensial dan produktif.
Di samping meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, terjadinya alih fungsi lahan juga disebabkan minimnya kesadaran bertani. Hal ini berimbas pada mudahnya masyarakat melepas lahan ke pengembang. Dahulu kala, mata pencaharian orang Indonesia rata-rata adalah bertani. Profesi ini digeluti karena pada waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan alam, demografi, dan kondisi lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah sebisa mungkin.
Saat globalisasi dan modernisasi menyentuh hingga wilayah pedalaman, pertanian semakin ditinggalkan. Selain karena munculnya berbagai alternatif berburu uang, anak muda lebih terobsesi untuk bekerja sebagai buruh kota. Mereka merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari kehidupan urban. Saat perasaan ini begitu menggebu, mereka mengalami apa yang disebut dengan “hasrat urban”. Gelimang cahaya perkotaan genap menyilaukan mata pemuda desa. Muncul kepuasan tersendiri ketika mereka melepaskan identitas kedesaan dan mulai disebut “orang kota”. Mereka ingin menjadi saksi atas kemajuan kota-kota besar berikut eksesnya.

Langkah Konkrit
Bagi mereka, berkutat pada tanah liat bukanlah pekerjaan yang membanggakan. Petani hanya cocok bagi orang-orang berumur dan remaja tanpa skill. Keputusan menjadi petani diambil ketika kondisi seseorang benar-benar terjepit. Sejak dini, dalam diri pemuda timbul kesadaran untuk “menjaga jarak” dari cangkul dan sabit. Kurikulum pendidikan membentuk seseorang kurang peka terhadap alam dan lingkungan. Buku-buku sekolah dan perguruan tinggi dirancang demi melahirkan generasi yang abai terhadap nasib tanah kelahiran.
Atas dasar inilah, harus ada langkah konkrit yang diambil Pemerintah Daerah DIY dalam rangka mempertahankan lahan pertanian yang masih tersisa. Generasi muda harus didorong untuk memiliki jiwa bertani. Bagaimanapun, di balik pertanian tersimpan keramahan, kesantunan, dan keharmonisan. Proses tanam dan panen meniscayakan adanya hubungan timbal balik antara pemilik tanah dan penggarap. Kultur pedesaan yang halus merupakan imbas dari kehidupan pertanian, di mana fondasinya genap dikokohkan nenek moyang berabad silam.
Di samping itu, guna membatasi penggunaan lahan dan meminimalisasi alih fungsi lahan pertanian, Pemerintah Daerah DIY bisa menerbitkan peraturan daerah (Perda). Melalui payung hukum ini, sekuat mungkin lahan yang ada dalam suatu wilayah dipertahankan dan dijauhkan dari tangan pengembang. Alih fungsi lahan semestinya berada dalam pengawasan ketat. Bilapun terpaksa dilakukan, jumlahnya harus selalu dibatasi.

Yogyakarta, 2016

Aborsi, Fenomena Gunung Es (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Senin, 14 November 2016)


Dalam catatan Dinas Kesehatan DIY, sepanjang 2015 tercatat 976 remaja hamil di luar pernikahan. Jika ditelisik lebih jauh, ternyata angka kehamilan di luar nikah merata di lima kabupaten/kota di Yogya: Bantul (276 kasus), Kota Yogyakarta (228 kasus), Sleman (219 kasus), Gunungkidul (148 kasus), dan Kulon Progo (105 kasus). Banyaknya remaja yang hamil di luar nikah menyebabkan mereka nekat melakukan aborsi. Dalam kondisi fisik dan mental yang belum siap, boleh jadi orang tua nekat mengakhiri anaknya sendiri dengan berbagai cara.
Aborsi merupakan problematika usang dalam dunia kesehatan yang selalu menimbulkan perdebatan sehingga menimbulkan pro dan kontra. Bagi sejumlah pakar, pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat tumbuh di luar tubuh ibunya merupakan tindakan kontroversial. Corak pemikiran tradisional menganggap bahwa upaya menggugurkan kandungan dinilai bertentangan dengan norma sosial, budaya, agama, dan hukum. Adapun pola pikir modern membuka kemungkinan diperbolehkannya aborsi dalam situasi tertentu dan dengan berbagai catatan.
Sejumlah kasus aborsi di negeri ini menggambarkan “fenomena gunung es”. Apa yang disajikan ke hadapan publik lewat beragam media cetak maupun online belum sebanding dengan realitas yang terjadi. Klinik pengobatan dan panti pijat tak jarang membuka layanan praktik aborsi. Praktik aborsi dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, mulai artis hingga wong cilik. Itulah mengapa, data-data kuantitatif menunjukkan bahwa angka kasus tersebut terbilang tinggi dan menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.
Selain membahayakan janin, aborsi juga mengancam kehidupan ibu. Berdasarkan prediksi WHO, 10-50% kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion) berakhir dengan kematian ibu. Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 20 juta aborsi tidak aman di seluruh belahan dunia. Dari jumlah ini, 26% praktik aborsi tergolong legal dan lebih dari 70.000 aborsi tidak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu (Tutik, 2011).

Dua Pandangan
Problem utama yang berkaitan dengan kasus aborsi adalah status moral janin. Dalam khazanah intelektual, muncul para pemikir dengan beberapa pandangan, di antaranya pandangan liberal dan pandangan konservatif. Kaum liberal diwakili oleh Judith Jarvis Thomson. Pemikir ini beranggapan bahwa aborsi masih bisa dibenarkan secara praktis dalam berbagai situasi. Bagaimanapun, janin tidak mampu hidup melainkan dengan bantuan tubuh sang ibu. Maka, seorang ibu berhak melakukan aborsi terutama dalam kasus perkosaan, di mana kehamilan dinilai membahayakan bagi kehidupan ibu.
Berbeda dengan pola pikir kaum liberal, kaum konservatif justru beranggapan bahwa janin memiliki kedudukan moral yang tinggi sehingga berhak untuk bernafas. John Noonan sebagai wakil dari kelompok ini menegaskan bahwa adanya berbagai risiko tidak lantas menggugurkan perlindungan terhadap keselamatan janin. Hak hidup berlaku tanpa pengecualian, entah sang janin merupakan hasil korban perkosaan atau karena mengindap kelainan-kelainan serius. John Noonan berpendapat, pada dasarnya aborsi adalah tindakan membunuh. Upaya penyelamatan sang ibu atau janin merupakan bentuk kompromi atas legalisasi pembunuhan.
Munculnya dua pandangan di atas membuat para dokter dan tenaga medis menghadapi suatu dilema. Di satu sisi, mereka ingin menjunjung tinggi profesionalitas dengan melayani permintaan pasien. Di sisi lain, mereka juga harus menanggung konsekuensi. Ancaman moral dan sanksi sosial telah menanti jika mereka berani menghilangkan nyawa seseorang. Dalam keadaan demikian, barang tentu mereka mengalami konflik batin yang mencekam.

Mutual Connection
Baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), tindakan aborsi tidak diperbolehkan meski dengan berbagai alasan. Siapa saja dilarang melakukannya. Seseorang yang terbukti melakukan atau sekadar membantu praktik aborsi akan dikenai pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 2 dan 1363.
Belakangan ini, larangan terhadap praktik aborsi dibatasi oleh sejumlah pengecualian. Mengingat bahwa dalam mengeluarkan putusan, hakim seharusnya tidak hanya mengunakan argumen hukum. Kasus-kasus aborsi setidaknya memuat mutual connection antara prinsip hukum dengan nilai moral. Belum lagi, dalam hukum pidana positif Indonesia, ketentuan mengenai hukum aborsi diatur dalam hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan KUHPer dan hukum khusus dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Untuk yang terakhir, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melegalkan aborsi.
Meskipun demikian, Stanislaus Atalim (2011: 318) menilai bahwa aborsi merupakan bentuk lain dari “pembunuhan yang keji atas nyawa yang tak berdosa”. Nilai sosial, budaya, dan agama yang mengakar dalam keyakinan masyarakat Indonesia menjadikan aborsi sebagai aib sosial dan dosa berat.

Yogyakarta, 2016

Selasa, 08 November 2016

Muharram dan Tamsil Bulan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Koran Merapi” edisi Jumat, 4 November 2016)


Dalam kalender Hijriyah, Muharram merupakan bulan pertama. Khalifah Umar bin Khattab menetapkan Muharram sebagai permulaan tahun Hijriyah. Kalender Hijriyah digunakan oleh umat Islam, terutama dalam penentuan waktu ibadah dan hari-hari penting. Berbeda dengan kalender Masehi yang memanfaatkan peredaran matahari sebagai acuannya, kalender yang penyebutannya berdasarkan peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah tersebut menggunakan peredaran bulan.
Maka, seolah ada yang kurang jika kita membicarakan Muharram tanpa menyebut bulan. Itulah mengapa, dalam menggelar perayaan tahun baru Islam terdapat upaya memberikan legitimasi terhadap eksistensi bulan.

Sumber Sejarah
Sebelum muncul banyak sarana hiburan, nenek moyang kita gemar bercengkerama di halaman rumah. Di atas tikar, mereka mendongakkan kepala sambil memandangi bulan. Ikatan kekeluargaan, jalinan kekerabatan, dan interaksi sosial pada masa lampau dikukuhkan oleh cahaya bulan. Berjalannya kehidupan manusia “berutang budi” pada keindahan bulan. Harmonisme, toleransi, dan gotong-royong tercipta karena adanya bulan.
Bulan menyajikan suasana damai dan menyejukkan. Cahaya yang berpendar ke segala penjuru semesta memberikan kegembiraan dan ketenangan hati. Di samping menyimpan kehendak, harapan dan semangat manusia menghadapi hari esok, ia juga menghadirkan kehebatan, kebijaksanaan, serta kesempurnaan Tuhan.
Ketika kehidupan manusia masih dilingkupi mitos dan tahayul, hadirnya bulan merupakan pemandangan luar biasa. Ia menampilkan “hiburan purba” yang menyentuh perasaan dan sisi-sisi humanis paling dalam. Sayangnya, setelah televisi, radio, tape recorder, gawai, dan jaringan internet memenuhi rumah-rumah di perkotaan dan perdesaan, bulan semakin ditinggalkan. Tiada lagi anak kecil yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk sekadar menengok bulan.
Bulan juga berperan sebagai sumber sejarah. Bagi para pakar, bulan turut memuluskan aksi penggalian sejarah. Bulan memupuk optimisme dalam menyibak tabir kehidupan. Masuknya agama Islam ke India ditandai dengan peristiwa terbelahnya bulan. Suatu malam, Raja Valiyathampuram dari Kodungallur di Central Kerala bersama istrinya berada di atas istana. Tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan fakta bahwa bulan terbelah menjadi dua bagian. Melalui informasi para pengembara dan pedagang mancanegara, sang raja akhirnya mengetahui bahwa peristiwa langka tersebut merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW.
Setelah melihat kejadian tersebut, hatinya bergetar hebat. Sang raja lekas membagikan harta kerajaaan dan mengangkat putranya menjadi gubernur. Ia juga menyerahkan tanahnya kepada para pemimpin lokal sebagai jaminan atas kesejahteraan singgasana. Tak lama kemudian sang raja menghadap Rasulullah SAW.
Pada awal abad ke-7, seseorang yang merupakan keturunan dari Raja Cheraman Perumal tersebut memeluk Islam dengan disaksikan oleh Abu Bakar dan berganti nama menjadi Tajuddin. Penggunaan nama ini sebagai bentuk “revolusi mental” dalam dirinya sekaligus lambang hijrahnya pada kebenaran. Sayangnya, sang raja menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan pulang ke India dan dimakamkan di tepi Laut Arab.

Pemantik Imajinasi
Bulan menampilkan sejuta keindahan. Tak heran jika banyak karya sastra, baik puisi, cerpen, maupun novel, memuat kata “bulan”. Penyair Sitor Situmorang dalam puisinya yang masyhur “Malam Lebaran” menulis Bulan di Atas Kuburan. Adapun cerpenis Is Mujiarso mengekalkan kumpulan cerpennya dalam buku bertajuk “Rahasia Bulan” (GPU, 2006).
Para sastrawan dan penulis menjadikan bulan sebagai tamsil atas kebaikan, kecantikan, dan kesempurnaan. Cahayanya yang dipantulkan ke muka bumi membuat manusia menangkap representasi indahnya Tuhan. Dalam taraf tertentu, bulan menjanjikan kreativitas, daya berpikir, dan geliat berkarya bagi manusia.
Dalam bulan terkandung kekuatan besar yang tak boleh diremehkan. Itulah mengapa, bagi para penyair, sering kali bulan menjadi pemantik atas lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas dan orisinal. Semisal Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin “meminjam” bulan untuk puisi-puisinya.
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
Dari puisi “Baju Bulan” (GPU, 2013) di atas, terselip pesan serta kritik sosial yang pedas. Dalam kelakarnya tersemat ekspresi, interpretasi, dan filosofi mendalam tentang kehidupan. Saat mengabadikan baris-baris kata pada puisi, tersemat upaya yang sungguh-sungguh dalam memaknai kehidupan. Tidak sekadar main-main atau bahkan menertawakan kehidupan itu sendiri. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling yang dangkal dan asal-asalan.
Lebih dari itu, dengan memakai kata “bulan”, Jokpin mampu memoles puisi dengan tampilan eksklusif sekaligus merakyat. Karyanya bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah dipahami. Ritual trial and error yang genap dijalani dalam durasi waktu cukup lama ternyata menghasilkan karya eksotis, yang mengandung nilai estetika tiada tara. Cara berpikirnya yang ketat turut membentuk puisi berkarakter, unik, dan tidak cengeng. Melalui berbagai eksperimen estetis, ia mampu mengawal puisi menjelma karya yang adiluhung.
Metafora yang disajikan pun terasa sangat berbeda, bahkan ganjil, bila dibandingkan dengan puisi-puisi pada umumnya. Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan segar. Ia mengatasi kejenuhan pembaca terhadap mainstream sastra yang berkembang. Puisinya merupakan wujud nyata dari konsep budaya tanding yang dianggap mampu bertahan menghadapi perubahan zaman. Dalam karyanya terdapat konsep perlawanan kultural terhadap tatanan yang sudah mapan.

Bojonegoro, 2016

Isu Pendidikan dan Pilkada (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 3 November 2016)


Dari tahun ke tahun, kita terlalu sibuk mencari kelemahan Ujian Nasional (UN). Mulai dari soal yang bocor di internet, kecurangan panitia dan pengawas, hingga tertundanya hajatan tahunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tersebut di sejumlah sekolah lantaran kesalahan teknis. Kita terlalu memfokuskan perhatian pada apa-apa yang terjadi saat UN digelar. Celakanya, jarang sekali kita mengamati segala hal yang datang setelah UN. Padahal, evaluasi semestinya tidak terbatas pada penyelenggaraan UN, melainkan juga dampak bawaannya.
Kita enggan berpikir bahwa diselenggarakannya UN ternyata melahirkan kesenjangan sosial (social gap), baik antar sekolah maupun pengawas. Sekolah yang tergolong high class dapat memberikan pelayanan ekstra kepada pengawas dengan menghidangkan sajian serba mewah. Ruang tempat mangkal pengawas dipermak dengan beragam hiasan dan pengharum ruangan. Meja, pintu, jendela, dinding dicat. Toilet dan wastafel dibersihkan. Sekolah tiba-tiba berubah menjadi hotel dengan pelayanan dan fasilitas memuaskan. Sementara itu, sekolah berkategori low class  hanya sanggup menghidangkan makanan dan minuman seadanya. Di dalam gedung yang hampir roboh, usai menyampaikan sambutan dan ucapan selamat datang kepada pengawas, kepala sekolah dengan rendah hati bertutur “mohon maaf, sekolah kami tidak bisa memberikan hal yang berarti”.
Meskipun dana bantuan operasional UN, seperti belanja alat tulis kantor, ruangan, dan honor pengawas, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekolah kategori pertama masih bisa memanfaatkan kas sekolah. Tak ayal, pengawas-pengawas UN di sana lebih sejahtera dibanding di sekolah kategori kedua, karena selain menikmati fasilitas cukup memadai, mereka menerima honor lebih tinggi. Situasi seperti ini rentan menjatuhkan mental guru-guru yang menjadi pengawas di sekolah kategori kedua.
Munculnya konsensus tak tertulis: “semakin bagus pelayanan, semakin besar peluang keberhasilan UN” menyebabkan sekolah-sekolah saling berlomba memanjakan para pengawas. Uang transport, uang lelah, maupun uang tanda terima kasih sengaja diselipkan sebagai upaya ‘pengondisian’. Maka, kecurangan-kecurangan selama UN berlangsung, semisal kerja sama antar peserta, ditemukannya handphone di ruang ujian, dan disembunyikannya kunci jawaban di bagian tubuh tertentu, di antaranya disebabkan kurang maksimalnya pengawas mengemban tugas.
Belum lagi ketimpangan sosial antar para guru honorer. Bagi mereka, UN merupakan hajatan besar yang dinanti-nanti. Alasannya sederhana: honor kerja tiga hari menyamai, atau bahkan melebihi, gaji sebulan. Maka, berbanggalah mereka yang mengantongi Surat Keputusan (SK) sebagai pengawas di sekolah high class. Adapun yang ditakdirkan menjadi pengawas sekolah low class hanya bisa gigit jari. Barang tentu hal ini membawa pengaruh disharmoni lingkungan pendidikan.
Kenyamanan dan keguyuban yang sebelumnya dirasakan oleh para guru berubah menjadi kecemasan, kecurigaan serta iri hati. Konstruksi harmoni yang sudah lama terbentuk hancur berkeping-keping. Teologi kerukunan yang mereka bangun roboh dengan sendirinya. Dengan demikian, ada kecenderungan hegemonisasi yang terintrodusir secara sistematis di bawah payung materi. Kondisi ini memperkuat tesis Pierre Bourdieu, bahwa pendidikan cenderung menjadi instrumen reproduksi kelas dan bukannya instrumen mobilitas sosial.

Makelar Pilkada
Wacana penghapusan UN dimanfaatkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk memanfaatkan guru dengan tingkat ekonomi rendah. Mereka dapat membaca bahwa dihapusnya UN berimbas pada hilangnya pendapatan guru pada agenda tahunan tersebut. Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) banyak siasat yang ditempuh para simpatisan, relawan, dan tim sukses untuk mengantar seseorang meraih tampuk kekuasaan. Di antaranya, mereka menggandeng guru untuk aktif berpartisipasi dalam kampanye. Tugas guru yang strategis sangat potensial dijadikan boneka politik. Guru dapat difungsikan sebagai penggiring para pemilih pemula untuk menjatuhkan keputusannya.  
Momentum konstitusional bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang jujur, bersih, dan kompeten terkontaminasi oleh hal-hal yang tak diinginkan. Sarana penentu aktor-aktor pengemudi bangsa mendapat ancaman serius dari para pembajak ruang publik yang berhasrat mengeruk keuntungan baik politis, sosial, maupun finansial.
Berdalih mengarahkan siswa pada “pilihan” yang paling baik dan tepat, guru leluasa memanfaatkan posisinya dalam mewujudkan ekspresi politik siswa. Guru bisa saja meletakkan identitas siswa dalam bingkai politik. Di sinilah tercipta jejaring politis yang membentuk relasi antar berbagai aktor dalam panggung politik. Mobilisasi massa berlangsung demi meramaikan drama dan sandiwara politik. Dengan demikian, secara sadar maupun tidak, guru telah menjadi korban politisasi.
Parahnya, politisasi guru tidak hanya berhenti sampai sini. Beragam modus lahir dengan tujuan menyeret guru ke dalam pusaran arus kepentingan. Antara lain penyelenggaraan pertemuan guru dengan tim sukses, upaya menjadikan guru sebagai alat sosialisasi, alih fungsi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kapitalisasi program-program pendidikan, serta mobilisasi dukungan melalui Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pendidikan.
Modus-modus ini sengaja dimunculkan demi melempar iming-iming dan janji busuk bagi para guru. Bukan mustahil, sebagai guru PNS, ada yang berniat menambah pundi-pundi kekayaan melalui jalur politis. Seberapa pun gaji yang diterima, jika dalam diri guru tersimpan hasrat “kemaruk”, maka mereka akan menempuh berbagai jalan, termasuk menjadi bagian dari kampanye.
Belum lagi guru honorer yang terkesan kurang fokus pada profesinya. Di luar jam mengajar, mereka kerap “nyambi” dalam berbagai bidang pekerjaan lain. Hal ini dilakukan bukan lantaran kurangnya kepedulian mereka terhadap masa depan siswa dan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya, melainkan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Bagaimana pun, gaji rendah tak cukup memenuhi kebutuhan seabrek. Tipe guru semacam ini juga tak luput dari incaran tim sukses. Dengan sekuat tenaga, tim sukses berusaha mendekati guru honorer.
Gayung pun bersambut. Di tengah sulitnya membuat dapur terus mengepul, mereka bersedia melancarkan misi politis. Dalam konteks ini, problem ekonomi dan sosial yang membelit guru honorer berhasil dimanfaatkan oleh calon kepala daerah guna memperoleh dukungan sebanyak mungkin.

Yogyakarta, 2016

Rabu, 02 November 2016

Membangun Kemandirian Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Rabu, 2 November 2016)

Koran Jakarta edisi 31 Oktober 2016 menurunkan tulisan Ir Sumaryono, MM berjudul “Memberdayakan Ekonomi Desa.” Di antara pekerjaan rumah terbesar pemerintah, mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Sayang, sampai hari ini, belum ada terobosan berarti. Atas dasar inilah, ditawarkan konsep ekonomi rakyat yang dipinjam dari gagasan Sumodiningrat sebagai “cara membangun dari, oleh, dan untuk rakyat.” Mulai dari diri sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Dalam upaya mewujudkan ekonomi rakyat, penulis tidak menyebutkan langkah konkret. Jadi, mestinya tidak hanya teoritis, namun juga praktis. Demi melengkapi tulisan tersebut, kolom ini disajikan. Konsep ekonomi rakyat meniscayakan aspirasi, daya cipta, dan potensi masyarakat perdesaan. Sejak dini, orang desa harus berani menentukan dan memperjuangkan nasib. Dalam berbagai momentum, mereka dapat menyampaikan inisiatif, gagasan, dan prakarsa. Dengan demikian, masyarakat tidak terjebak pada status quo. Progresivitas masyarakat ditunjukkan dengan kemampuan menyelesaikan beragam permasalahan.
Mentalitas dibentuk dalam rangka membentuk karakter dan tidak bergantung pada bantuan. Kemandirian sebagai salah satu tanda masyarakat modern memudahkan mengambil keputusan. Kedewasaan berpikir membuat kebutuhan terlindungi. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan hidup tidak lantas mengesampingkan tanggung jawab sosial.
Mereka tetap berkewajiban memegang teguh “hasrat kolektif.” Dengan bekerja bersama, kolektivitas orang desa tetap terpelihara berdasar prinsip gotong-royong. Keintiman, kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Orang desa tidak memerlukan situasi resmi atau formal demi mengekalkan jalinan persahabatan dan kekerabatan.
Ilustrasi keberhasilan pemerintah desa membangun kemandirian terlihat dalam “Desa Idiot” Karangpatihan, Balong, Ponorogo, Jatim. Musim paceklik membuat warga terhimpit ekonomi. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Upaya pemerintah desa dalam meningkatkan kesejahteraan mendirikan Balai Latihan Kerja guna meningkatkan keterampilan warga. Inisiatornya Kepala Desa Karangpatihan Eko Mulyadi.
Eko Mulyadi mampu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan membuat kebijakan, memberdayakan, serta mengubah image “Desa Idiot” menjadi “Desa Mandiri.” Kreativitas, ketekunan, dan kegigihan Eko Mulyadi membungkam orang-orang yang selama ini merendahkan desanya. Di antara pemimpin lokal dia sanggup menularkan motivasi kepada warga. Terpuruknya ekonomi desa tidak membuatnya patah semangat. Dia berusaha sekuat tenaga membangkitkan masyarakat dengan mengganti pesimisme menjadi optimisme.
Eko Mulyadi mengidentifikasi masalah infrastruktur, persepsi masyarakat, ketergantungan pada bantuan, dan keterampilan. Ini menjadi landasan merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi, kesehatan, infrastruktur, dan pendidikan.
Pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi masalah yang meliputi permasalahan dalam kapasitas SDM, prioritas, mental masyarakat dan sumber daya. Pemerintah desa lalu meningkatkan kapasitas masyarakat, kualitas BLK, serta mengembangkan jaringan. Strategi perubahan citra desa idiot menjadi desa mandiri dengan mengubah persesi masyarakat tentang keterbelakangan mental dan meningkatkan kemandirian desa.

Dana Desa
Kemandirian warga terwujud karena  kedaulatan pemerintahan desa. Penopangnya sumber daya material dan manusia. Kesuksesan program-program desa sering kali bergantung pada pendapatan dan upaya maksimal. Kemajuan sejumlah desa dilatarbelakangi besaran anggaran perangkat desa dan ikhtiar memanfaatkannya dengan baik. Tak sedikit desa yang ingin maju dan berkembang, terkendala dana dan lemahnya manajerial.
Kemandirian pemerintahan desa tecermin pada kemampuan membiayai kegiatan. Kebijakan desa bisa terwujud lantaran adanya sumber dana dan daya. Sebuah penelitian menyebutkan, kemandirian desa sulit terwujud karena keterbatasan jenis dan hasil sumber daya.
Dalam konteks inilah, dana desa sangat urgen. Bagi masyarakat perdesaan, pengucuran dana merupakan kabar gembira untuk mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kucuran dana desa cukup tajam dari 20,7 triliun rupiah (2015) menjadi 113 triliun rupiah (2016). Tapi, sistem distribusinya perlu diperbaiki karena kurang merata, sehingga memicu ketimpangan pendapatan antarpenduduk desa.
Bagong Suyanto (2015) mengungkapkan,  beragam kebijakan pemerintah lebih bersifat meritokratis. Dalam tataran praktis, keputusan-keputusan pemerintah terlihat adil dan kompetitif bagi semua. Padahal,  kenyataannya, hanya kelompok elite yang diuntungkan. Jika ini terus terjadi, elitisme membuat jurang ketimpangan semakin dalam.
Akhir-akhir ini, terdapat kecenderungan para pemimpin lokal Sumatera Barat mengubah bentuk nagari ke pemerintahan desa agar memudahkan terserapnya dana desa. Padahal, nagari terbukti mampu memperkuat identitas lokal di hadapan budaya global yang begitu dominan. Maka, rencana pemberangusan nagari demi memperoleh kucuran dana desa patut disayangkan.
Agar dana desa dapat dimanfaatkan maksimal, perlu dilakukan beberapa langkah. Pemerintah menginisiasi perubahan struktur masyarakat. Dalam pandangan Bagong, pemerataan kesejahteraan dan kompetisi yang adil hanya bisa terwujud bila struktur masyarakat diubah. Struktur masyarakat yang menggambarkan piramida dengan orang miskin berada di lapisan terbawah mesti dirombak dalam bentuk belah ketupat, di mana golongan menengah sebagai mayoritas.
Pemerintah mempermudah prosedur pencairan dana desa dengan segera menerbitkan peraturan perundang-undangan terbaru. Hingga kini, banyak desa belum menerima dana  karena tertahan di tingkat kabupaten. Birokratisasi telah mempersulit masyarakat perdesaan menjemput hak mereka. Alur dan langkah  ribet membuat pemerintah desa enggan berurusan dengan pemerintah lebih tinggi.
Pemerintah harus berprinsip, pertanggungjawaban dana desa bukan prioritas utama. Dalam upaya membangun Indonesia dari pinggiran, pemerintah semestinya lebih menitikberatkan pada pemanfaatan dana desa daripada mempertanyakan penggunaan dana tersebut. Pemerintah dituntut memiliki kepercayaan besar terhadap orang-orang desa. Dengan demikian, kedewasaan dan kepercayaan kembali tumbuh.
Bagaimanapun, terserapnya dana desa selama ini terganjal  kekhawatiran kepala desa beserta aparaturnya. Besarnya dana desa belum diimbangi  hasrat memanfaatkannya sebagai pembangkit perekonomian perdesaan. Mereka takut  suatu saat KPK mempermasalahkannya. Banyak pihak mencemaskan lahirnya “raja-raja kecil” dan koruptor di desa. Mereka bisa saja menghabiskan dana desa demi kepentingan pribadi dan golongan.
Pemerintah memaksimalkan peran pendamping desa yang wajib mengawal kepala desa beserta aparaturnya dalam membelanjakan anggaran. Mereka bertugas membantu penyusunan laporan keuangan dana desa serta penggunaannya. Pendamping desa dipercaya memfasilitasi aparatur agar dana dibelanjakan sesuai keperluan dan tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

Yogyakarta, 2016