Selasa, 15 November 2016

Aborsi, Fenomena Gunung Es (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Senin, 14 November 2016)


Dalam catatan Dinas Kesehatan DIY, sepanjang 2015 tercatat 976 remaja hamil di luar pernikahan. Jika ditelisik lebih jauh, ternyata angka kehamilan di luar nikah merata di lima kabupaten/kota di Yogya: Bantul (276 kasus), Kota Yogyakarta (228 kasus), Sleman (219 kasus), Gunungkidul (148 kasus), dan Kulon Progo (105 kasus). Banyaknya remaja yang hamil di luar nikah menyebabkan mereka nekat melakukan aborsi. Dalam kondisi fisik dan mental yang belum siap, boleh jadi orang tua nekat mengakhiri anaknya sendiri dengan berbagai cara.
Aborsi merupakan problematika usang dalam dunia kesehatan yang selalu menimbulkan perdebatan sehingga menimbulkan pro dan kontra. Bagi sejumlah pakar, pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat tumbuh di luar tubuh ibunya merupakan tindakan kontroversial. Corak pemikiran tradisional menganggap bahwa upaya menggugurkan kandungan dinilai bertentangan dengan norma sosial, budaya, agama, dan hukum. Adapun pola pikir modern membuka kemungkinan diperbolehkannya aborsi dalam situasi tertentu dan dengan berbagai catatan.
Sejumlah kasus aborsi di negeri ini menggambarkan “fenomena gunung es”. Apa yang disajikan ke hadapan publik lewat beragam media cetak maupun online belum sebanding dengan realitas yang terjadi. Klinik pengobatan dan panti pijat tak jarang membuka layanan praktik aborsi. Praktik aborsi dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, mulai artis hingga wong cilik. Itulah mengapa, data-data kuantitatif menunjukkan bahwa angka kasus tersebut terbilang tinggi dan menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.
Selain membahayakan janin, aborsi juga mengancam kehidupan ibu. Berdasarkan prediksi WHO, 10-50% kasus aborsi tidak aman (unsafe abortion) berakhir dengan kematian ibu. Diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 20 juta aborsi tidak aman di seluruh belahan dunia. Dari jumlah ini, 26% praktik aborsi tergolong legal dan lebih dari 70.000 aborsi tidak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu (Tutik, 2011).

Dua Pandangan
Problem utama yang berkaitan dengan kasus aborsi adalah status moral janin. Dalam khazanah intelektual, muncul para pemikir dengan beberapa pandangan, di antaranya pandangan liberal dan pandangan konservatif. Kaum liberal diwakili oleh Judith Jarvis Thomson. Pemikir ini beranggapan bahwa aborsi masih bisa dibenarkan secara praktis dalam berbagai situasi. Bagaimanapun, janin tidak mampu hidup melainkan dengan bantuan tubuh sang ibu. Maka, seorang ibu berhak melakukan aborsi terutama dalam kasus perkosaan, di mana kehamilan dinilai membahayakan bagi kehidupan ibu.
Berbeda dengan pola pikir kaum liberal, kaum konservatif justru beranggapan bahwa janin memiliki kedudukan moral yang tinggi sehingga berhak untuk bernafas. John Noonan sebagai wakil dari kelompok ini menegaskan bahwa adanya berbagai risiko tidak lantas menggugurkan perlindungan terhadap keselamatan janin. Hak hidup berlaku tanpa pengecualian, entah sang janin merupakan hasil korban perkosaan atau karena mengindap kelainan-kelainan serius. John Noonan berpendapat, pada dasarnya aborsi adalah tindakan membunuh. Upaya penyelamatan sang ibu atau janin merupakan bentuk kompromi atas legalisasi pembunuhan.
Munculnya dua pandangan di atas membuat para dokter dan tenaga medis menghadapi suatu dilema. Di satu sisi, mereka ingin menjunjung tinggi profesionalitas dengan melayani permintaan pasien. Di sisi lain, mereka juga harus menanggung konsekuensi. Ancaman moral dan sanksi sosial telah menanti jika mereka berani menghilangkan nyawa seseorang. Dalam keadaan demikian, barang tentu mereka mengalami konflik batin yang mencekam.

Mutual Connection
Baik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), tindakan aborsi tidak diperbolehkan meski dengan berbagai alasan. Siapa saja dilarang melakukannya. Seseorang yang terbukti melakukan atau sekadar membantu praktik aborsi akan dikenai pemberatan pidana. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 2 dan 1363.
Belakangan ini, larangan terhadap praktik aborsi dibatasi oleh sejumlah pengecualian. Mengingat bahwa dalam mengeluarkan putusan, hakim seharusnya tidak hanya mengunakan argumen hukum. Kasus-kasus aborsi setidaknya memuat mutual connection antara prinsip hukum dengan nilai moral. Belum lagi, dalam hukum pidana positif Indonesia, ketentuan mengenai hukum aborsi diatur dalam hukum umum (lex generalis) berupa KUHP dan KUHPer dan hukum khusus dalam bentuk Undang-Undang Kesehatan (lex spesialis). Untuk yang terakhir, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melegalkan aborsi.
Meskipun demikian, Stanislaus Atalim (2011: 318) menilai bahwa aborsi merupakan bentuk lain dari “pembunuhan yang keji atas nyawa yang tak berdosa”. Nilai sosial, budaya, dan agama yang mengakar dalam keyakinan masyarakat Indonesia menjadikan aborsi sebagai aib sosial dan dosa berat.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar