Selasa, 08 November 2016

Isu Pendidikan dan Pilkada (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 3 November 2016)


Dari tahun ke tahun, kita terlalu sibuk mencari kelemahan Ujian Nasional (UN). Mulai dari soal yang bocor di internet, kecurangan panitia dan pengawas, hingga tertundanya hajatan tahunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tersebut di sejumlah sekolah lantaran kesalahan teknis. Kita terlalu memfokuskan perhatian pada apa-apa yang terjadi saat UN digelar. Celakanya, jarang sekali kita mengamati segala hal yang datang setelah UN. Padahal, evaluasi semestinya tidak terbatas pada penyelenggaraan UN, melainkan juga dampak bawaannya.
Kita enggan berpikir bahwa diselenggarakannya UN ternyata melahirkan kesenjangan sosial (social gap), baik antar sekolah maupun pengawas. Sekolah yang tergolong high class dapat memberikan pelayanan ekstra kepada pengawas dengan menghidangkan sajian serba mewah. Ruang tempat mangkal pengawas dipermak dengan beragam hiasan dan pengharum ruangan. Meja, pintu, jendela, dinding dicat. Toilet dan wastafel dibersihkan. Sekolah tiba-tiba berubah menjadi hotel dengan pelayanan dan fasilitas memuaskan. Sementara itu, sekolah berkategori low class  hanya sanggup menghidangkan makanan dan minuman seadanya. Di dalam gedung yang hampir roboh, usai menyampaikan sambutan dan ucapan selamat datang kepada pengawas, kepala sekolah dengan rendah hati bertutur “mohon maaf, sekolah kami tidak bisa memberikan hal yang berarti”.
Meskipun dana bantuan operasional UN, seperti belanja alat tulis kantor, ruangan, dan honor pengawas, bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekolah kategori pertama masih bisa memanfaatkan kas sekolah. Tak ayal, pengawas-pengawas UN di sana lebih sejahtera dibanding di sekolah kategori kedua, karena selain menikmati fasilitas cukup memadai, mereka menerima honor lebih tinggi. Situasi seperti ini rentan menjatuhkan mental guru-guru yang menjadi pengawas di sekolah kategori kedua.
Munculnya konsensus tak tertulis: “semakin bagus pelayanan, semakin besar peluang keberhasilan UN” menyebabkan sekolah-sekolah saling berlomba memanjakan para pengawas. Uang transport, uang lelah, maupun uang tanda terima kasih sengaja diselipkan sebagai upaya ‘pengondisian’. Maka, kecurangan-kecurangan selama UN berlangsung, semisal kerja sama antar peserta, ditemukannya handphone di ruang ujian, dan disembunyikannya kunci jawaban di bagian tubuh tertentu, di antaranya disebabkan kurang maksimalnya pengawas mengemban tugas.
Belum lagi ketimpangan sosial antar para guru honorer. Bagi mereka, UN merupakan hajatan besar yang dinanti-nanti. Alasannya sederhana: honor kerja tiga hari menyamai, atau bahkan melebihi, gaji sebulan. Maka, berbanggalah mereka yang mengantongi Surat Keputusan (SK) sebagai pengawas di sekolah high class. Adapun yang ditakdirkan menjadi pengawas sekolah low class hanya bisa gigit jari. Barang tentu hal ini membawa pengaruh disharmoni lingkungan pendidikan.
Kenyamanan dan keguyuban yang sebelumnya dirasakan oleh para guru berubah menjadi kecemasan, kecurigaan serta iri hati. Konstruksi harmoni yang sudah lama terbentuk hancur berkeping-keping. Teologi kerukunan yang mereka bangun roboh dengan sendirinya. Dengan demikian, ada kecenderungan hegemonisasi yang terintrodusir secara sistematis di bawah payung materi. Kondisi ini memperkuat tesis Pierre Bourdieu, bahwa pendidikan cenderung menjadi instrumen reproduksi kelas dan bukannya instrumen mobilitas sosial.

Makelar Pilkada
Wacana penghapusan UN dimanfaatkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk memanfaatkan guru dengan tingkat ekonomi rendah. Mereka dapat membaca bahwa dihapusnya UN berimbas pada hilangnya pendapatan guru pada agenda tahunan tersebut. Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) banyak siasat yang ditempuh para simpatisan, relawan, dan tim sukses untuk mengantar seseorang meraih tampuk kekuasaan. Di antaranya, mereka menggandeng guru untuk aktif berpartisipasi dalam kampanye. Tugas guru yang strategis sangat potensial dijadikan boneka politik. Guru dapat difungsikan sebagai penggiring para pemilih pemula untuk menjatuhkan keputusannya.  
Momentum konstitusional bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang jujur, bersih, dan kompeten terkontaminasi oleh hal-hal yang tak diinginkan. Sarana penentu aktor-aktor pengemudi bangsa mendapat ancaman serius dari para pembajak ruang publik yang berhasrat mengeruk keuntungan baik politis, sosial, maupun finansial.
Berdalih mengarahkan siswa pada “pilihan” yang paling baik dan tepat, guru leluasa memanfaatkan posisinya dalam mewujudkan ekspresi politik siswa. Guru bisa saja meletakkan identitas siswa dalam bingkai politik. Di sinilah tercipta jejaring politis yang membentuk relasi antar berbagai aktor dalam panggung politik. Mobilisasi massa berlangsung demi meramaikan drama dan sandiwara politik. Dengan demikian, secara sadar maupun tidak, guru telah menjadi korban politisasi.
Parahnya, politisasi guru tidak hanya berhenti sampai sini. Beragam modus lahir dengan tujuan menyeret guru ke dalam pusaran arus kepentingan. Antara lain penyelenggaraan pertemuan guru dengan tim sukses, upaya menjadikan guru sebagai alat sosialisasi, alih fungsi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kapitalisasi program-program pendidikan, serta mobilisasi dukungan melalui Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pendidikan.
Modus-modus ini sengaja dimunculkan demi melempar iming-iming dan janji busuk bagi para guru. Bukan mustahil, sebagai guru PNS, ada yang berniat menambah pundi-pundi kekayaan melalui jalur politis. Seberapa pun gaji yang diterima, jika dalam diri guru tersimpan hasrat “kemaruk”, maka mereka akan menempuh berbagai jalan, termasuk menjadi bagian dari kampanye.
Belum lagi guru honorer yang terkesan kurang fokus pada profesinya. Di luar jam mengajar, mereka kerap “nyambi” dalam berbagai bidang pekerjaan lain. Hal ini dilakukan bukan lantaran kurangnya kepedulian mereka terhadap masa depan siswa dan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya, melainkan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Bagaimana pun, gaji rendah tak cukup memenuhi kebutuhan seabrek. Tipe guru semacam ini juga tak luput dari incaran tim sukses. Dengan sekuat tenaga, tim sukses berusaha mendekati guru honorer.
Gayung pun bersambut. Di tengah sulitnya membuat dapur terus mengepul, mereka bersedia melancarkan misi politis. Dalam konteks ini, problem ekonomi dan sosial yang membelit guru honorer berhasil dimanfaatkan oleh calon kepala daerah guna memperoleh dukungan sebanyak mungkin.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar