Minggu, 30 Agustus 2015

Buku Tugas buat Banu (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 30 Agustus 2015)


Sepulang sekolah, Banu melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia berbaring di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai kebiasaan, sesampai dari sekolah Banu mengucap salam, menjabat tangan orang tua, meletakkan sepatu dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya tidak kotor dan bisa dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Banu yang aneh, Bu Rina terheran-heran. Tidak biasanya Banu seperti itu. Selama ini, ia mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya, ingin sekali ia menegur Banu dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Rina memilih waktu yang tepat untuk meminta penjelasan Banu.
Setelah mengeluarkan nasi dari reskuker, Bu Rina menuju dapur dan mengambil ayam goreng krispi serta saus tomat. Ia menghidangkannya ke meja makan. Bu Rina mengerti bahwa menu itu adalah menu kesukaan Banu. Kalau makan berlauk ayam, Banu suka tambah. Makanya, selain ayam goreng krispi, Bu Rina gemar menyajikan masakan berbahan daging ayam lainnya. Seperti opor ayam, kare ayam, sayur ayam tahu kuning, juga ayam goreng kecap. Saat mengambil piring, sendok dan garpu, Bu Rina berkata dalam hati, “pasti Banu akan makan dengan lahap”.
Kini, hidangan sudah siap.
“Teereeeeng… Waktunya makan. Ayam goreng krispi. Ayo, siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Rina mengundang segenap anggota keluarga untuk berkumpul di ruang makan. Begitulah. Ia gemar melakukannya sesaat sebelum makan siang bersama.
Kalau dengar ada lauk ayam, biasanya Banu keluar terlebih dahulu sambil berteriak, “serbu…”. Akan tetapi, kali itu, Banu belum terlihat.
Pak Karim turun dari lantai dua untuk menyantap hidangan sang istri. Ia melihat di ruang makan sudah ada Riko, kakak Banu.
“Banu kenapa? Tumben belum ke sini. Padahal, Banu paling bersemangat kalau makan lauk ayam.” Tanya Pak Karim kepada Bu Rina.
Mendengar pertanyaan itu, Bu Rina menggeleng. Seperti Pak Karim, Bu Rina khawatir terjadi apa-apa dengan Banu.
Tak lama kemudian, Bu Rina mendekat ke pintu kamar Banu. Tak lupa ia memukul piring dengan sendok berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng krispi. Ayam goreng krispi.”
Banu keluar dengan mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia menangis sendirian di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya. Bu Rina mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Banu.
Setelah berkumpul, semua duduk melingkar di belakang meja makan. Pak Karim segera memimpin doa bersama. Hal ini bertujuan agar makanan yang masuk ke perut mendapat berkah dari Tuhan. Bu Rina dan Riko mengikuti dengan khidmat. Adapun Banu masih terisak-isak. Rupanya kesedihan yang disimpan belum hilang.
Pak Karim, Bu Rina, dan Riko mulai menikmati apa yang tersaji di depan mereka. Namun, ternyata Banu malah berdiam diri.
“Ayo makan, Banu.” Bu Rina membujuk anak keduanya itu.
Banu menunduk. Tiada satu katapun keluar dari mulutnya.
Sejenak kemudian, Banu mengangkat kepala dan melihat ke atas meja. Ayam goreng krispi. Wow! Banu memegang sendok lalu meletakkannya lagi.
Bu Rina dan Pak Karim saling bertatap muka. Terus terang, mereka berdua dibuat bingung dengan ulah Banu.
Sesungguhnya Banu ingin sekali menyantap hidangan di hadapannya. Tapi, ia malas untuk makan. Merasa sayang dilewatkan, akhirnya ia hanya makan ayam goreng krispi. Sepiring nasi yang disiapkan khusus buatnya dibiarkan begitu saja.
“Banu kenapa?” Bu Rina bertanya kepada Banu.
Banu tak menjawab. Ia terus saja menggigit dan mengunyah daging paha ayam yang digenggamnya.
“Banu.” Pak Karim membantu usaha Bu Rina.
Banu tidak menoleh.
Riko memilih tidak ikut-ikutan. Ia hanya memandangi adiknya.
“Ada apa, Banu? Ayo katakan. Barangkali ibu, ayah dan Kak Riko bisa membantu.” Bujuk Bu Rina untuk kesekian kali.
“Emmm….” Banu ragu-ragu berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Banu dihukum Bu Sita karena tidak mengumpulkan tugas.” Banu akhirnya memberanikan diri.
“Ha? Tidak mengumpulkan tugas?” tutur Pak Karim seolah tak percaya.
“Banu lupa mengerjakannya.” Ujar Banu polos.
“Tugas apa, Banu? Kapan tugas itu diberikan?” Tanya Bu Rina seraya mengelus rambut Banu.
“Tugas kliping koran. Tugas seminggu yang lalu. Banu kan lupa, Bu.” Sepasang mata Banu berkaca-kaca. Kalau tidak ditahan, pasti ia menangis lagi.
“O, begitu. Oke. Tunggu sebentar ya.” Pak Karim berkata-kata lalu bergegas menuju lantai dua.
Secepat kilat Pak Karim kembali ke ruang makan. Buku bersampul hijau muda berada di tangannya. Pak Karim memberikan buku itu kepada Banu dan berpesan, “mulai besok, setiap tugas harus dicatat di sini ya. Agar Banu tidak lupa dengan tugas-tugasnya.”
Banu tersenyum riang dan mengucapkan, “terima kasih, Ayah. Banu berjanji akan menggunakan buku catatan tugas ini dengan sebaik-baiknya.”
Pak Karim, Bu Rina dan Riko melanjutkan makan siang. Sedangkan Banu, merasa tidak ada beban lagi, ia bersemangat untuk menyantap nasi yang sudah mendingin. Hari itu, mereka sekeluarga makan begitu lahap.

Yogyakarta, 2012

Kamis, 27 Agustus 2015

Merayakan (Permainan) Kemerdekaan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Rabu, 26 Agustus 2015)

Bulan Agustus menjadi sarana mengingat kembali cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh founding fathers. Pada bulan ini, pekik semangat sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur senantiasa dikumandangkan. Bulan Agustus menjadi penanda bahwa masyarakat diajak untuk bersama-sama merawat ingatan kolektif sebuah bangsa. Romantisme perjuangan dalam bentuk solidaritas kebangsaan disuguhkan. Betapa dengan segenap jiwa dan raga, para pahlawan mampu mengusir kaum kolonial dari bumi pertiwi. Pertempuran para pejuang yang heroik senapas dengan wujud kemerdekaan politik, yakni merdeka dari penjajahan bangsa lain.  
Pawai kemerdekaan yang gegap gempita muncul sebagai ekspresi kebanggaan warga negara. Perayaan ini merupakan reorientasi nilai kepahlawanan sebagai upaya mengobarkan imajinasi tentang heroisme, nasionalisme, serta revolusi. Harapannya, lahir inspirasi perubahan dan semangat mengisi kemerdekaan menuju Indonesia yang beradab. Refleksi kemerdekaan diletakkan dalam bingkai keharmonisan dan solidaritas. Dalam konteks inilah, ajang perlombaan permainan tradisional digelar dalam rangka menciptakan solidaritas nasional (national solidarity).
Permainan-permainan tradisional seperti panjat pinang, makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, balap kelereng, dakon, layang-layang, gobak sodor, engklek, congklak, serta galah asin dapat mempererat ikatan emosional yang menyatukan pluralitas masyarakat dalam bingkai keindonesiaan.
Dilestarikannya kembali permainan tradisional yang dapat mengembangkan emosi antar personal, memupuk daya kreatifitas, meningkatkan kemampuan bersosialisasi, melatih sportivitas, serta mengembangkan beragam kecerdasan (intelektual, logika, spasial, kinestetik, dan natural) sebagai respons atas munculnya gejala-gejala kapitalisme di hampir semua lini kehidupan.
Globalisasi yang ditunjang derasnya arus teknologi informasi menyulut perubahan terjadi begitu cepat. Di balik perubahan inilah kapitalisme mengambil celah dan keuntungan. Akibatnya, kemerdekaan sekadar dipahami dalam konteks kapitalisme yang menyimpan beragam kepentingan. Seiring dengan mewabahnya demam online, para kapitalis mulai mencetuskan permainan berbasis teknologi sehingga jutaan orang di seluruh dunia bisa menikmati game dengan sistem jaringan, tidak terbatas pada personal computer.
Maraknya game online menunjukkan bahwa perbudakan telah lahir kembali setelah deklarasi kemerdekaan digaungkan 70 tahun silam. Padahal, demokrasi modern bertumpu pada prinsip kemerdekaan yang membebaskan seseorang dari hegemoni dan dominasi pihak lain. Pilar kesetaraan mendasari berjalannya mekanisme demokrasi sehingga otonomi sebagai warisan alam (natural endowment) layak dijunjung tinggi.
Mengutip Sahal (2014), negara bukan entitas yang mendahului individu. Negara lahir atas dorongan kontrak antarindividu yang berusaha melindungi kemerdekaan semua orang. Pemerintah tak memiliki lisensi untuk memberangusnya, sebab kemerdekaan bukan anugerah dari negara, tetapi melekat dalam diri tiap manusia. Alhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan merupakan dua sisi koin demokrasi yang saling melengkapi.
Pada dasarnya, proklamasi kemerdekaan adalah sebuah declaration of independence. Kebebasan merupakan urat nadi dan napas kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Hadirnya game online dalam kehidupan anak barang tentu bertolak belakang dengan prinsip kemerdekaan yang merefleksikan keteguhan komitmen, cita-cita, harapan, dan perjuangan membentuk kebebasan sebagai pribadi mandiri dalam kesadaran inklusif.
Menjamurnya game online mengindikasikan bahwa nuansa penjajahan di negeri ini telah berubah dalam bentuk lain. Penindasan dan pemasungan baru lahir dengan ditelannya tradisi dan permainan tradisional oleh serbuan hiburan media dan barang pabrikan. Fenomena ini menandakan di samping gagap membaca identitas diri, kita juga cenderung meneguhkan arti kemerdekaan yang bias. Padahal, kemerdekaan yaitu kepedulian untuk memberdayakan manusia dalam memahami dirinya sendiri serta mengaktualisasikan kreativitasnya demi membangun bangsa dan negara. Kemerdekaan bangsa adalah cerminan dari manusia sebagai individu yang otonom. Kenyataannya, meski kita sudah merdeka, arti kemerdekaan lebih berkonotasi sebagai kemerdekaan kolektif, formalistis, dan simbolistis, bukan sebagai kemerdekaan jiwa dan otonomi individu di dalamya (Susetyo, 2014).

Pemantik Nasionalisme
Ajang perlombaan permainan tradisional setiap Agustus menjadi sarana mengelaborasi potensi generasi muda dan memupuk nasionalisme. Digelarnya event ini juga sebagai penangkal bahaya game online yang tampak di depan mata. Game online memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan kognisi dan afeksi anak dengan prestasi belajar yang rendah, sekaligus telah mengeksploitasi kelemahan individu warga negara.
Sayangnya, terbatasnya ruang publik menjadikan anak-anak tertarik bermain game online. Mereka lebih gemar menghabiskan waktu dengan permainan yang terbatas, tertutup, dan berbayar, daripada permainan tanpa biaya yang mengadu ketangkasan dan menguras keringat.
Efek game online bagi anak-anak sangat dahsyat. Game online rentan merusak simpul saraf anak-anak. Perilaku kompulsif anak yang kecanduan game online akan mengikat secara negatif dan terus-menerus sehingga kehilangan kontrol dan kemampuan dalam membatasi penggunaannya (Baedowi, 2013). Hal yang perlu diingat, entertainment event bernuansa “merah putih” yang berwujud permainan tradisional semestinya tidak terjebak pada nasionalisme musiman. Jangan sampai nasionalisme tereduksi sekadar menjadi ritual tahunan yang serba banal dan dangkal makna.
Digelarnya ajang perlombaan permainan tradisional bukan sebatas seremonial, melainkan sebagai momentum spesial guna mengembalikan spirit dan marwah hari kemerdekaan. Permainan tradisional harus mampu mewariskan nilai-nilai patriotisme dan jiwa kebangsaan daripada sekadar menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past). Di tengah laju kebudayaan yang semakin kencang, kita dituntut memikirkan bagaimana tradisi dan permainan tradisional kelak bisa diwariskan kepada generasi mendatang.


Bojonegoro, 2015

Selasa, 25 Agustus 2015

Resolusi Konflik Desa Adat (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 25 Agustus 2015)

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendiskusikan beragam konflik untuk menemukan solusi atas problematika adat. Ini dilakukan dalam Festival Nusantara bertajuk "Merayakan Peradaban Matahari". Mereka bersepakat menjadikan adat Bali sebagai salah satu referensi.
Komunitas adat di Bali dianggap sebagai simbol toleransi dan kerukunan. Keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan di Bali tidak terlepas dari penghormatan masyarakat terhadap norma adat. Berlandaskan pada ajaran Tri Hita Karana, awig-awig menjadi pedoman warga Pulau Dewata sebagai implementasi teologi dalam relasi sosial. Demi mendatangkan kebahagiaan, masyarakat dianjurkan menjaga keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungan.
Dalam awig-awig dijelaskan adanya sanksi bagi mereka yang melanggar. Bagi warga Bali, Tri Dana merupakan konsep tiga sanksi bagi pelanggar. Mereka merasa malu karena menyalahi aturan. Hukuman lain dendan uang dan harus menyucikan diri dalam upacara ritual. Sanksi-sanksi diterapkan sesuai dengan dosa dan kesalahan.
Anom B Prasetyo (2012) menyatakan, realisasi awig-awig merupakan alternatif kebuntuan hukum positif. Kegagalan negara membangun kesejahteraan dan keamanan direspons positif oleh masyarakat dengan mensubtitusikannya dalam hukum adat.
Masyarakat Bali minim konflik karena kuatnya komitmen komunitas adat memegang teguh Pararam, sebuah aturan yang lahir atas kesepakatan masyarakat desa adat. Ini disusun dalam kondisi dan waktu tertentu guna merespon persoalan yang dihadapi. Kesepakatan tersebut dinilai mampu menjawab perkembangan zaman.

Urgensi Desa Adat
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui eksistensi desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang menggabungkan unsur-unsur genealogis dan teritorial. Sepanjang sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara.
Sebagai street level bureaucracy, desa adat dibekali hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur kepentingan masyarakat dan wilayahnya. Hak adat yang selama ini dirampas mulai mendapat ruang. Maka, masyarakat hukum adat dapat memanfaatkannya sebagai modal pembangunan desa adat dan kawasan perdesaan.
Berbekal hak adat, desa adat dapat mengaktualisasikan nilai-nilai budaya bangsa dan memperkuat ketahanan budaya dalam menghadapi derasnya arus budaya global. Dengan pengelolaan berbasis budaya lokal, desa adat bisa meningkatkan intensitas interaksi masyarakat dalam ikatan sosial yang harmonis.
Sayang, desa adat kerap diwarnai beragam konflik, seperti menjamurnya industri yang memangkas tanah penduduk, kaburnya batas wilayah antar desa, pemanfaatan lembaga musyawarah adat untuk kepentingan pribadi, klaim kepemilikan lahan oleh pihak swasta dan pemerintah. Kemudian rebutan dana desa, kapitalisasi warisan leluhur, involusi sumber-sumber ekonomi, kriminalisasi atas nama hukum, serta pelanggaran norma adat.
Maraknya konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, karena sebagai akumulasi peristiwa yang berlangsung sebelumnya. Mulai dari kurang seriusnya pemerintah daerah memfasilitasi program penguatan kapasitas lokal dalam kerangka tata kelola pemerintahan hingga klaim kebenaran masyarakat adat yang akhir-akhir ini semakin menguat. Boleh dibilang, beragam konflik di perdesaan seringkali disulut hal-hal sepele.
Selama ini, pemerintah daerah sebagai supra-desa, yang mestinya melindungi justru lebih berpihak pada penguasa dan pemodal. Kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dan berdasar kepentingan sektoral, kelompok, agama, adat atau suku rentan memicu konflik horizontal. Pemerintah daerah juga cenderung melihat segala sesuatu dalam optik legal, tanpa memperhatikan aspek sosial. Padahal, di desa-desa adat, ikatan dan pergaulan masyarakat kerap berlandaskan kesadaran sosial. Hubungan emosionalitas terbangun dari rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Klaim kebenaran muncul dari usaha setiap komunitas adat memperjuangkan hasrat dan kehendaknya. Desa adat menjadi kumpulan aneka suku di mana mereka mengklaim sebagai paling benar. Klaim ini diyakini sebagai kebenaran tunggal. Sayangnya, klaim yang merujuk pada mitos tersebut bersifat parsial. Di satu sisi, merupakan kebanggaan karena berkisah tentang keperkasaan diri. Namun di sisi lain, ia menjadi pemantik lahirnya disharmoni dan ketegangan sosial.
Jika konflik-konflik ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan kearifan lokal, keunikan, serta keragaman pada desa adat bukan menjadi “madu pembangunan”, melainkan “racun” yang dapat menghabisi nyawa perubahan. Kebinekaan yang semestinya menjadi kekayaan justru menjadi bahaya laten. Dampaknya, berbagai bentuk kekerasan lahir dalam dinamika konflik.
Konflik dan integrasi merupakan siklus dalam kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali di desa adat. Konflik yang terkontrol dengan baik dapat menimbulkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang kurang sempurna rentan menghasilkan konflik. Konsep inilah yang harus dipahami dalam meredam letusan intensitas konflik masyarakat hukum adat.
Upaya integrasi sosial perlu guna menyelesaikan berbagai perselisihan secara damai. Untuk merealisasikannya, desa adat yang merupakan basis terkecil dan ”ujung tombak” otonomi mesti dibekali dengan kepiawaian meresolusi konflik. Masyarakat hukum adat diajak untuk mendeteksi konflik dan merancang strategi agar konflik tersebut tidak melebar (Robert Bala, 2014).
Sebagai solusi pencegahan dan penyelesaian konflik, simbol-simbol masyarakat adat juga harus dihargai. Misalnya, pamabakng di Dayak Kanayatn untuk mengakui kesalahan. Ini merupakan simbol kedaulatan hukum adat. Pamabakng menolak perilaku yang bertentangan dengan prinsip dan ajaran nenek moyang.
Pembahasan RUU Kebudayaan harus mendapat kawalan ketat. Panitia kerja (panja) seyogyanya menjaring masukan dari semua pihak, terutama akademisi dan budayawan. Kelak, lahirnya UU Kebudayaan tidak lantas memasung kreatifitas, tapi memberi keleluasaan berekspresi, seperti komunitas adat, masyarakat tradisi, dan penghayat kepercayaan.
RUU Kebudayaan dinilai memiliki daya tawar dan isu strategis. Legalitas kebudayaan diperlukan guna memayungi aturan-aturan lain yang segaris dan senafas. Undang-undang menjadi induk perundang-undangan lain yang lebih praktis. Maka, UU Kebudayaan akan menjadi cantolan bagi UU Cagar Budaya, UU Perfilman, dan UU Pariwisata.

Bojonegoro, 2015

Senin, 24 Agustus 2015

Presiden yang Pengertian (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Senin, 24 Agustus 2015)

Kepada DPR, Presiden Jokowi menyodorkan 786 Pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk disetujui menjadi KUHP. Dari ratusan pasal tersebut, terselip pasal mengenai penghinaan Presiden, yaitu Pasal 263 ayat 1 dan Pasal 264 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau dikenai denda.
Mengutip pendapat Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (2015), pasal penghinaan Presiden merupakan warisan feodalisme yang menganggap pemimpin negara sebagai simbol negara. Padahal, ketika mendapat penghinaan, Presiden bisa melapor ke aparat kepolisian sebagai individu, bukan sebagai institusi.
Jimly juga mengatakan bahwa pembatalan pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 mendapat pujian. Dalam special report, Dewan HAM PBB menilai Indonesia lebih maju dibanding sejumlah negara lain, termasuk negara-negara Eropa seperti Belgia, Swedia, dan Belanda.
Di mayoritas negara Dunia Ketiga, dimana kehidupan ekonominya bercorak agrikultur, budaya feodal mendapat tempat. Fenomena ini turut menumbuhkan jamur-jamur kolonialisme. Kekuatan kolonialisme telah memperalat para penganut feodalisme untuk memuluskan praktek penjajahan.
Aldino (2014) mensinyalir para elit priyayi dimanfaatkan sebagai piranti kekuasaan untuk melakukan penindasan kepada mereka yang lemah. Ketimpangan sosial muncul dari serangan kekuatan kolonialisme dan feodalisme, sehingga membagi masyarakat dalam beberapa kluster atas kepemilikan modal.

Bayang-bayang Feodalisme
Hal di atas bertolak belakang dengan sistem demokrasi modern yang menegasikan kultur feodalistik-konservatif. Hubungan-hubungan paternalistik yang feodal dalam masyarakat mendapat gugatan. Dalam corak kehidupan demokratis, nilai dan prinsip feodalisme yang sudah berusia ribuan tahun dianggap kurang rasional, sehingga hak-hak istimewa kaum feodal, termasuk Presiden, harus dikritik.
Elit-elit kolonial bersama kaum feodal dibekali hak istimewa dalam kehidupan sosial. Adapun masyarakat biasa hanya dapat menikmati akses yang sangat terbatas. Sistem sosial semacam ini menjadikan masyarakat Indonesia memiliki ‘mentalitas inlander’ yang pasrah terhadap keadaan dan ‘mentalitas amtenar’ yang gila kehormatan dan mengagungkan kredo ‘asal bapak senang’.
Kedua mentalitas ini merumuskan bahwa kepatuhan merupakan tolok ukur moralitas. Hegemonisasi kuasa dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dapat melahirkan segala bentuk ketidakadilan berupa fanatisme dan kesetiaan membabibuta.
Atas dasar inilah, pasal penghinaan Presiden harus dihapus. Presiden merupakan institusi yang ritus kehidupannya tidak lepas dari bayang-bayang feodalisme. Dipertahankannya nilai dan prinsip feodalisme dalam regulasi pemerintah berimplikasi serius terhadap ruang sosial masyarakat di mana keluhuran dan keadiluhungan menjadi acuan utama. Sistem yang diproduksi oleh nilai-nilai kehormatan dan kewibawaan telah memantapkan “garis darah biru” sebagai trah kekuasaan.
Logika feodal telah berhasil mengidentifikasi bahwa kemuliaan dan citra kebesaran seseorang diperoleh melalui “kasta tinggi” yang menutup rapat-rapat kesempatan bagi masyarakat kecil. Logika ini cenderung driskiminatif dan rasialis, sebab dibebani watak kolonial yang eksploitatif. Akses kesejahteraan dan kemakmuran lebih berpihak pada orang-orang yang dekat dengan Presiden dibanding mereka yang jauh dari kursi kekuasaan.

Pemimpin Berkualitas Pengertian
Beberapa pakar berpandangan bahwa kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Pemimpin muncul dari kemampuan dan keterampilannya memecahkan beragam permasalahan, meski dalam keadaan tertekan.
Dalam “The 21 Indispensable Qualities of a Leader” disebutkan bahwa pemimpin besar mempunyai 21 kualitas (Maxwell, 2000). Di antara ke-21 kualitas itu adalah pengertian. Ia merupakan kemampuan seorang pemimpin menemukan akar persoalan berdasarkan intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling urgen bagi pemimpin manapun yang ingin memaksimalkan tugas dan tanggung jawabnya. Pengertian akan membantu mengerjakan hal-hal penting, yaitu:
Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin besar harus bisa mengatasi kekacauan serta kerumitan yang luar biasa setiap harinya. Seorang presiden tak akan mampu mengumpulkan informasi yang cukup untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari segalanya. Sehingga ia harus mengandalkan pengertian yang memungkinkan seorang presiden melihat sebagian persoalan, melengkapinya secara intuitif, dan menemukan inti persoalannya.
Mengetahui akar permasalahan merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Ketika seorang presiden bisa menggabungkan antara intuisi dan nalarnya, maka bisa dipastikan ia akan menemukan akar persoalan dengan tepat. Dengan demikian, persoalan bangsa akan segera teratasi.
Kedua, meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan. Presiden ibarat seorang dokter yang mampu mendeteksi penyakit bangsa sekaligus mengatasinya. Ia harus bisa mengobati penyakit tersebut semaksimal mungkin. Kondisi dan keadaan yang sering berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif dalam memecahkan persoalan yang lebih kompleks.
Ketiga, mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada demi hasil maksimal. Seorang presiden yang bisa mendeteksi penyakit bangsa dan mengobatinya masih berkewajiban melihat perkembangan bangsa. Dengan demikian, ia harus mampu menilai apakah yang ia lakukan telah menambah daya vitalitas bangsa, atau masih terbelenggu dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi kinerja sangat penting, agar kesehatan dan stamina bangsa tetap senantiasa terjaga.
Maka, ketimbang terjebak pada modus penyalahgunaan institusi dan terjebak pada kultur feodalistik-konservatif, seorang Presiden lebih bijak jika menanggapi serangan pribadi sebagai “alarm” introspeksi diri demi mengembangkan kualitas pengertian.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 09 Agustus 2015

Langgam Pemberontakan dalam Memoar Kehilangan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 9 Agustus 2015)

Dengan terbitnya buku puisi Memoar Kehilangan (Koekoesan, 2012) karya Sabiq Carebesth (SC), saya—yang kebetulan juga penulis puisi—merasa bahagia. Ternyata, dalam dunia yang penuh hingar-bingar ini, masih ada seseorang yang terlampau bersemangat mencatat “hal-hal yang raib dari kehidupan”.
Sepanjang riwayat hidup manusia, entah berapa banyak “sesuatu yang hilang”. Sesuatu yang acap kali luput atau justru sengaja dilupakan. Faktor inilah yang barangkali mendorong SC mengekalkannya dalam puisi.

Waktu, Masa Lalu
Puing waktu dan keping masa lalu menempati porsi besar dalam karya SC. Ini berarti, apa yang terlanjur hilang dari kehidupan tidak lantas disingkirkan, namun tetap diabadikan dengan atau tanpa perayaan. Tak heran jika dalam salah satu puisinya, SC berseloroh: “Cinta adalah cahaya paling tua yang ingin rebah menjadi kemolekan tubuh telanjang di hadapan penyair mabuk: agar tercatat dan terkenang sebelum penghabisan di persimpangan//
Sebenarnya tema-tema dalam karya SC kerap ditemukan dalam puisi-puisi penyair-penyair sebelumnya. Meskipun demikian, SC tidak sekadar menyentuh tema-tema usang. Ia berusaha memprovokasi pembaca untuk bersama-sama menghargai apa yang terlanjur menjadi ‘onggokan masa silam’. Hal ini bisa ditemukan misalnya dalam puisi “Puisi untuk Puisi”: Puisi adalah ingatan/ Museum bagi jiwa yang kehilangan/ Waktu yang menjelma kenangan/ Agar tak musnah dalam kegilaan/ Dari zaman yang gemar lupa//. Juga puisi “Babak Asmaradana”: Memilih kuda pacu/  Niat hati mau melaju/ Tapi tunggu dulu/ Bawalah serta masalalu//
Iman Budi Santosa (2012) menganggap bahwa SC berhasil memoles tema kecil dengan tetap apik dan menarik. Tema-tema yang digarap SC merupakan tema-tema sederhana yang berseliweran di sekelilingnya, bukan tema agung yang digarap penuh genit serta antusias dalam rangka menceramahi pembaca.
Saya menduga bahwa SC mengangkat tema-tema yang tampak remeh itu bukan sekadar menempatkannya dalam bingkai kegundahan membabibuta. Dalam puisi-puisinya, SC berusaha menerjemahkan kekeliruan dalam keseharian menjadi lebih rasional. Dengan upaya tersebut, ada harapan besar guna merajut kehidupan dengan lebih baik.

Lembut-Garang
Oleh penyair, puisi dipilih sebagai penanda masa, di mana manusia begitu mudah hanyut oleh riak globalisasi, modernisasi, asupan ideologi, bahkan oleh tingkah-polahnya sendiri. Ketika itulah, manusia dituntut sanggup memberikan kepastian juga peneguhan terhadap jatidiri. Atas dasar inilah, SC mewujudkannya lewat pemberontakan, meski coraknya tak segarang M. Iqbal, yang menjadi pemantik tercetusnya proklamasi kemerdekaan Pakistan. 
Bermedium puisi, SC memberontak terhadap diri sendiri maupun lingkungan. SC berupaya berdiri teguh di atas pijakan dengan ikhtiar menggali kegelisahan terhadap hal-hal yang luput dari perhatian. Hal yang tak perlu dipertanyakan, mengingat “lahir memberontak dan mati” merupakan motto hidup pendiri Galeri Buku Jakarta tersebut.
Dalam kadar tertentu, puisi SC menghadirkan paradoks: ritme yang penuh kelembutan serta pola pemberontakan yang garang. Ini terlihat antara lain dalam puisi bertajuk “Kepada Segelas Kopiku”: Ia turut menari kini/ Dalam pencarian/ Sampai penghabisan/ Dan diukirnya sebuah nama dan cinta/ Dengan tinta hitam dari samuderamu// Ia menatap padaku:/ Seorang gila dalam segelas kopiku// Ia, serupa aku//.
Dari puisi di atas, proses kreatif SC juga terungkap. Ia memetik beragam fenomena dari kronik hidupnya secara intens seraya menyisipkan pikiran cerdas dalam menawarkan alternatif. Menariknya, ia justru menyajikan fenomena-fenomena tersebut ala kadarnya, tanpa bermaksud menyelipkan efek bombastis. Ia seolah memiliki ‘bakat’ memandang realitas dengan rileks.

Sejumlah Notasi
Hamdy Salad (2012) berpandangan bahwa SC mampu menyajikan hal baru dalam kancah perpuisian Indonesia. Meskipun cenderung memiliki kemiripan dengan pola karya-karya beberapa dasawarsa terakhir. Sebut saja Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Negeri Lima Menara (A. Fuadi).
Sebagaimana dalam sejumlah karya prosa yang sedang ‘naik daun’, puisi-puisi SC juga menampilkan memoar. Inilah yang menjadi kelebihan karya SC, mengingat hal ini masih sangat langka dalam puisi-puisi Indonesia. Dengan memoar tersebut, SC mengajak pembaca untuk menyimak apa yang tersaji dalam lembaran kehidupan.
Namun demikian, penyair adalah manusia biasa yang penuh cacing dalam perutnya. Dalam berkarya, terkadang ia terpaksa angkat tangan. Celah ini bukan menjadi alibi bagi SC. Dalam kondisi tertentu, SC meninggalkan puisinya tanpa sentuhan akhir yang manis. Barang tentu, ini menjadi salah satu kelemahan karya SC. Ini juga yang menjadi alasan mengapa dalam menetaskan puisi, saya gemar membiarkannya dalam kondisi moncong menganga. Berkepala, berlengan, berkaki, namun belum tampak separuh badannya.
Akhir kata, sesiapa yang berhasrat meringkus “hal-hal yang raib dari kehidupan”, tak ada salahnya untuk mencarinya dalam Memoar Kehilangan. Selamat menikmati!

Yogyakarta, 2015

Sabtu, 08 Agustus 2015

Urbanisasi dan Mentalitas Priayi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Jumat, 7 Agustus 2015)

Fenomena urbanisasi pasca-Lebaran memiliki keterkaitan dengan fenomena gerak penduduk (population mobility). Ritus mudik para perantau yang ingin merayakan hari raya Idul Fitri bersama sanak saudara dan handai taulan biasanya disertai kecenderungan mengajak kerabat, teman, atau tetangga yang ingin mengadu nasib di kota.
Dalam literatur kependudukan, inilah yang disebut migrasi berantai (chain migration). Kisah manis para perantau menyebabkan orang-orang berbondong-bondong ke kota untuk mengikuti jejak kesuksesan mereka. Permasalahannya, para pendatang baru tersebut tidak semuanya memiliki skill memadai dan bekal pendidikan yang mumpuni. Kehadiran orang-orang yang tergolong unskilled worker, sebab miskin ekonomi dan kapabilitas, hanya menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan di kota. Ditambah beragam ekses negatif migrasi lainnya, semisal meluasnya permukiman kumuh, munculnya masalah estetika, serta meningkatnya angka kriminalitas.
Realitas di atas mengindikasikan bahwa urbanisasi di Indonesia lebih bersifat urban involution; pertumbuhan sektor informal yang begitu pesat dibanding sektor industri menjadi faktor utama kemunduran kota. Dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang rendah, tenaga kerja dari desa tidak mampu bersaing di sektor formal. Asal mendapat uang, apapun jenis pekerjaannya dilakukan. Bahkan, tak jarang mereka rela mengorbankan martabat dan harga diri. Ini merupakan solusi yang realistis agar kaum migran tetap bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang serbakeras. Saat proses involusi sektor pertanian di desa menjadikan lapangan kerja menyempit, sektor informal adalah pilihan paling logis.
Sejumlah kajian menyimpulkan, kehadiran kaum migran di kota-kota besar merupakan respons terhadap pembangunan antardaerah yang kurang merata, meluasnya tingkat pengangguran, dan merebaknya kemiskinan di pedesaan. Dengan demikian, perkembangan jumlah migran di berbagai kota besar lebih merupakan imbas terjadinya bias urban dalam pembangunan daripada faktor internal dalam diri mereka sendiri (Bagong Suyanto, 2014).
Di samping mengundi nasib dan memperbaiki status sosial, ada juga penduduk desa yang bermigrasi ke kota untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Kelompok terakhir inilah yang menjadi tumpuan bagi berkembangnya desa. Sebagai migran berpendidikan, mereka sebenarnya mampu menggali akar kemunduran tanah kelahiran untuk kemudian mengadakan perbaikan. Sayangnya, setelah mengantongi ijazah, mereka justru bertahan di kota dan enggan kembali ke desa. Selama ini, pendidikan secara tidak langsung turut membentuk mentalitas priayi. Warisan ide kolonial yang mengejawantah pada sistem pendidikan di negeri ini membuat banyak lulusan perguruan tinggi bermimpi menjadi pegawai dengan gaji bulanan, tunjangan, pangkat, serta gengsi.
Saat ini, kaum terpelajar terperangkap oleh paradigma bahwa kebahagiaan dan kesuksesan diukur dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja merupakan tujuan akhir studi. Kerja menjadi indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses dalam pendidikannya adalah pekerja bergaji tinggi. Meskipun dalam kenyataannya, ketimbang di desa, biaya hidup di kota relatif lebih mahal (Junaidi Abdul Munif, 2013). Menetapnya kaum terpelajar di kota berimplikasi pada semakin berkurangnya sumber daya manusia (SDM) di pedesaan. Mereka yang didaulat sebagai aktor utama pembangunan desa justru tergiur dengan peluang kerja serta tingginya gaji di perkotaan.
Generasi muda dengan mentalitas priayi hanya akan menjadi “manusia kantor”. Di balik status sosial dan kehormatan, mereka sebenarnya telah tercerabut dari akar kehidupan tradisional akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa kota adalah masa depan. Kota merupakan komunitas imajiner (imagined community) yang merepresentasikan kekayaan, kemajuan, dan kemewahan. Orang-orang yang menghirup udara perkotaan adalah mereka yang berikhtiar meninggalkan kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan.

Revitalisasi Desa
Kebijakan pemerintah daerah dalam meredam laju migrasi penduduk desa ke kota terbukti kurang efektif. Program Operasi Bina Kependudukan (OBK) di Jakarta misalnya. Kebijakan yang bertujuan membatasi pergerakan migran dari luar kota tersebut berangkat dari asumsi bahwa migrasi merupakan penyebab membeludaknya jumlah penduduk Jakarta sebesar 10,1 juta jiwa (tahun 2015) yang rentan memancing problematika kependudukan. Melarang migran tingal di kota tentu bukan solusi yang menyentuh akar persoalan. Selama ini, mayoritas kebijakan pemerintah daerah terkait migrasi hanyalah siasat ‘pemadam kebakaran’ yang manfaatnya tidak dapat dirasakan dalam jangka panjang. Selama gejala-gejala ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih ditemukan, urbanisasi merupakan proses alamiah yang tak bisa dimungkiri. Oleh sebab itulah, pembangunan desa merupakan keniscayaan.
Revitalisasi desa harus diagendakan, demi mewujudkan cita-cita UU No.6/2014 Tentang Desa: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dalam negara kesatuan. Revitalisasi desa dapat membendung arus urbanisasi. Hasrat penduduk desa merantau ke kota melemah. Keinginan para sarjana untuk tinggal di kota meredup. Jumlah kaum terpelajar priayi menurun. Lebih jauh, simbol kemandirian, kenyamanan, dan kesejahteraan melekat pada desa. Dengan revitalisasi, desa menjadi kanal pemberdayaan yang mampu mendongkrak taraf hidup dan kesejahteraan penduduk desa. Dalam merealisasikannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, setiap kota/kabupaten tidak boleh memupuk egoisme. Kordinasi yang intens antarpemerintah daerah harus terjalin demi penyediaan lapangan kerja dan perencanaan ketenagakerjaan yang matang. Kedua, perekonomian pedesaan harus diperbaiki dengan menggenjot aktivitas ekonomi di luar usaha tani (off-farm). Menjamurnya usaha kecil-menengah, perdagangan, dan jasa di desa berdampak pada meningkatnya diversifikasi sumber pendapatan penduduk desa. Dengan demikian, terdapat penghasilan lain di samping ekonomi usaha tani (on-farm) (Kadir, 2014). Ketiga, sebagian Alokasi Dana Desa (ADD) yang begitu besar sebaiknya dialokasikan untuk “menghidupkan” dan “menghidupi” Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang menjadi katalisator pertumbuhan produktivitas penduduk desa. Pengembangan 69.000 BUMDes yang menjadi cita-cita pemerintahan Jokowi-JK tidaklah mustahil.
Jika ketiga hal di atas menjadi agenda bersama, baik para pemangku kebijakan, stakeholder, maupun semua elemen masyarakat, desa mampu merintis fondasi peradaban yang darinya lahir insan-insan genial.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 04 Agustus 2015

Absolutisme Judi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Selasa, 4 Agustus 2015)

Akhir-akhir ini, kasus-kasus perjudian, seperti judi online, toto gelap (togel), judi bola, remi, dan sabung ayam, mengalami peningkatan cukup signifikan. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah kasus perjudian pada 2013 menyentuh 580 kasus sedangkan pada 2014 naik menjadi 1.100 kasus atau sebesar 89,65 persen.
Menyikapi keadaan, aparat kepolisian ‘blusukan’ mengobrak judi dan menangkap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Akibat ulah mereka, para penjudi harus merasakan pengapnya udara bui.
Fenomena ini menyentil telinga batin kita yang acap kali abai terhadap problematika sosial. Kita, yang terlanjur mengidap penyakit egosentrisme tahap akut, menganggap remeh dengan mengatakan bahwa maraknya perjudian di negeri ini disebabkan rendahnya moralitas masyarakat. Padahal, dari kasus-kasus perjudian, bisa diambil hipotesa bahwa ketimpangan sosial yang melanda masyarakat menjadi motif mengapa orang berjudi.
Perjuangan hidup yang begitu keras membuat orang-orang kecil berpikir mengambil jalan pintas dengan mempertaruhkan uang di meja judi. Hal ini tentu saja berbeda dengan orang kaya dimana berjudi sebagai bagian dari gaya hidup, atau orang Tionghoa yang menggelar fantan, sik-po, pai-kao, dan mahyong demi berburu kesenangan dan kegiatan bersama keluarga (Dawis, 2010).
Judi adalah permainan di mana hasilnya ditentukan oleh kebetulan. Unsur spekulatif inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa judi digandrungi oleh sebagian orang. Ketidakpastian judi menyebabkan orang untuk selalu mencoba. Ada harap-harap cemas yang selalu menyertai saat berjudi. Ada semacam garansi bahwa suatu saat seorang penjudi mampu mewujudkan mimpi yang tak terbeli.
Anehnya, kenisbian judi menjadi kepastian bagi si penjudi. Di sinilah tercipta oposisi biner antara relativitas judi dan keyakinan penjudi yang absolut. Sehingga, meskipun tidak menjamin kepastian, penjudi yakin bahwa judi menjanjikan harapan tentang keberuntungan yang suatu saat akan diketam.
Bagi orang yang hidupnya dilingkupi kabut pesimisme, judi merupakan alternatif paling logis. Judi menjadi jawaban bagi orang-orang bernasib buruk. Judi merepresentasikan ikhtiar bagi mereka yang bergulat dengan permasalahan klise: ekonomi. Dengan berjudi, target yang ingin digapai yaitu peningkatan taraf hidup. Dalam konteks inilah judi memainkan arti penting usaha seseorang dalam meningkatkan status sosialnya. Dengan demikian, seorang penjudi selalu merasa benar, sebab memanggul cita-cita mulia. Barang tentu hal ini bertolak belakang dengan pandangan Sigmund Freud, di mana penjudi adalah masokhis yang diliputi rasa bersalah dan ingin menghukum dirinya.
Meskipun bagi sebagian orang, fenomena perjudian merupakan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna), tetapi bagi penjudi, berjudi adalah kegiatan mulia. Apalagi, judi pernah mendapat pengakuan dari pemerintah. Mengutip buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi (2009: 176), bahwa dulu marak perjudian Hwa Hwe. Ketentuan dalam judi ini yaitu pembeli kupon bernomor yang sesuai dengan nomor yang diumumkan berhak atas sejumlah uang. Pajak judi seperti ini menjadi salah satu sumber dana pembangunan DKI Jakarta.
Saat ini, penjudi semakin bersemangat lantaran banyak aparat kepolisian ikut terlibat, bahkan asyik masyuk, di meja judi. Sehingga, seseorang yang terjerumus dalam komunitas perjudian akan merasa betah. Motivasinya meningkat dan uang taruhan pun berlipat. Keikutsertaan polisi dalam berjudi mengukuhkan legalitas bagi bandar judi untuk menggelar aktivitas perjudian.
Penjudi menemukan pembenaran ketika mendapati banyak anggota legislatif rela menggadaikan harga diri demi syahwat politik. Undang-undang yang seharusnya mencerminkan kepentingan rakyat justru diselewengkan sesuai pesanan pemodal dan partai politik. Sudah tak terhitung berapa anggota DPR yang merasakan pengapnya udara bui karena terlibat kasus korupsi. Asalkan menerima uang, mereka tidak peduli walaupun martabat harus dikorbankan. Sikap hedonistis telah menjadikan makhluk ‘pemuja kursi’ tersebut nekat berjudi: mempertaruhkan kehormatan Ibu Pertiwi.
Ditambah lagi dengan menjamurnya aksi selebratikal para artis yang mengumbar kemewahan. Demi popularitas belaka, mereka rela merogoh miliaran rupiah untuk operasi plastik, mobil mewah, bahkan asuransi kecantikan. Pertaruhan gengsi merupakan hal lumrah bagi siapa saja yang ingin langgeng di jagat keartisan. Egoisme yang dipupuk telah melupakan bahwa di balik keglamoran ada penderitaan: korban longsor di Banjarnegara, korban kezaliman Lapindo di Sidoarjo, serta korban miras oplosan di Garut. Perjudian harga diri dan gengsi sudah menjadi keniscayaan bagi anggota legislatif dan artis.
Dalam hal taruhan, antara anggota legislatif, artis, dan penjudi terdapat persamaan. Hanya saja, penjudi cenderung dianggap kalah oleh keadaan. Sekalipun seseorang menang di meja judi, sebenarnya ia tetap kalah dalam realitas kehidupan. Ia tidak sanggup memenangkan persaingan yang berlangsung, baik sosial maupun finansial. Karena itulah, saat menang togel, misalnya, seseorang berusaha menghibur diri. Di hadapan kolega judi, ia bisa mendongak ke atas, meski di tengah masyarakat ia terbiasa menundukkan kepala serendah-rendahnya. 

Bojonegoro, 2015

Senin, 03 Agustus 2015

Mengelola Ekonomi Kerakyatan (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 3 Agustus 2015)

Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menemukan gejala-gejala kemerosotan omzet dalam setahun terakhir. Menjamurnya toko modern mengakibatkan pasar tradisional kelimpungan bahkan gulung tikar (Koran Jakarta, 27/07). Padahal, di samping sarana kota dan fasilitas umum, pasar tradisional juga sangat karena merupakan salah satu mata rantai perekonomian rakyat tumpuan masyarakat kecil.
Pasar tradisional juga sebagai pranata sosial yang merawat kohesi dan harmoni sosial antar komunitas dan terbukti mampu menyangga dinamika sosio-kultural masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Di sinilah pasar tradisional berperan meredam konflik beragam kepentingan. Berlangsungnya peleburan masyarakat lintas kelas dan etnik bisa dilihat dalam mekanisme pasar tradisional.
Inilah yang menjadi pembeda dengan pasar modern sebagaimana rumusan Cyril S Belshaw. Faktor nonekonomi mempunyai peran penting dalam pasar tradisional. Sedangkan dalam pasar modern, ekonomi adalah satu-satunya faktor keberhasilan. Adanya harga yang sudah dipatok (fixed price) mengindikasikan hubungan aktor-aktor yang terlibat bersifat mekanis, bukan lagi humanis (Bre Redana, 2015).
Namun demikian, sebagai produk kebudayaan, pasar tradisional terdesak laju modernitas. Gempuran pasar retail modern sebagai alarm terbukanya keran liberalisasi ekonomi mengakibatkan tersingkirnya pasar tradisional. Perdagangan tanpa moralitas (commerce without morality) memunculkan egoisme pelaku-pelaku bisnis yang hanya menghamba uang dan keuntungan semata. Akibatnya, usaha kecil menengah (UKM) tergencet pedagang besar, preman, rentenir, serta jaringan pemasok produk berskala besar. Hal ini menjadi penanda lahirnya peradaban baru yang cenderung pragmatis-kapitalis.
Keberadaan pasar tradisional tidak mungkin dipisahkan dari PKL. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Dalam jagat urban, pasar tradisional bak oase di tengah keringnya peradaban manusia. Di samping barang-barang yang ditawarkan memiliki ciri khas tersendiri, interaksi sosial-budaya juga melandasi setiap relasi jual-beli.
Menyitir Clifford Geertz dalam buku Penjaja dan Raja (1977), pasar adalah pranata ekonomi sekaligus cara hidup yang memuat beberapa aspek sekaligus. Sebagai entitas dengan fungsi dan tanggung jawab kompleks, pasar tradisional tidak sekadar menopang fondasi ekonomi kerakyatan dengan mempertemukan penjual dan pembeli.
Dia menjadi “melting pot” serta lokus perjumpaan aneka warna budaya. Di dalamnya melebur beragam corak mata pencaharian, religi, serta sistem sosial kemasyarakatan. Sehingga dia mempunyai makna, identitas, dan sejarah. Pasar lebih berkarakter dan unik dibanding yang modern karena cenderung seragam.

Dilema
Hadirnya PKL di kota-kota besar selalu menampilkan sebuah dilema. Di satu sisi, mereka menawarkan komoditas dengan harga terjangkau. Bisa dibayangkan jika mereka tidak ada. Masyarakat harus mengeluarkan banyak uang untuk sekadar mengganjal perut. Biaya hidup di kota lebih tinggi, sehingga menghasilkan efek berantai yang menyentuh semua pemangku kepentingan (Imanuel More Ghale, 2014).
Di sisi lain, ketertiban dan kenyamanan publik terganggu. Keberadaan PKL identik dengan gejolak sosial dan kriminalitas. Tak heran, publik menaruh sinisme terhadap PKL karena dianggap sebagai biang keladi munculnya problematika perkotaan, seperti polusi suara, kemacetan lalu lintas, amburadulnya ruang publik, serta minimnya keindahan.
Sisi terakhir inilah yang menjadikan upaya penataan dan penertiban ruang kota di sejumlah daerah kerap diwarnai bentrok fisik antara PKL dan Satpol PP. Ruang kota terbukti tak berpihak pada PKL, sektor informal, dan kaum miskin kota. Mereka kerap digusur,  relokasi, hingga kriminalisasi. Dalam ruang kota, dominasi kelas pemodal begitu kentara. Kepentingan ekonomi kelas ini terjamin, sebab sejumlah kota besar di Indonesia lebih sibuk membangun mal daripada menata pasar tradisional.
Fenomena membludaknya PKL bisa dipahami dari konteks perencanaan tata kota yang belum mengalokasikan lebih banyak ruang bagi orang-orang dengan skill dan pendidikan kurang mumpuni. Bagi penganut konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, mengintegrasikan orang-orang yang tergolong unskilled worker, sebab miskin ekonomi dan kapabilitas, dalam sektor formal merupakan ikhtiar “pembusukan ruang publik”. Itulah mengapa, hingga hari ini, transformasi informalitas masyarakat urban belum berhasil diwujudkan.
Padahal, berkembangnya PKL dan sektor informal tidak terlepas dari peran pemerintah daerah yang bersedia menata, membina, dan mengintegrasikan sektor informal ke dalam kebijakan ruang kota yang visioner dan komprehensif. Bahkan, dengan komitmen yang kuat, PKL sebenarnya bisa ditampilkan sebagai identitas kota, potensi ekonomi, serta daya tarik wisatawan.
Pemberdayaan PKL merupakan upaya peningkatan akses rakyat atas pembangunan di perkotaan. Pemerintah daerah yang memberikan perhatian terhadap keberlangsungan PKL tidak hanya memupuk kepercayaan terhadap pemimpin dan birokrat, melainkan juga menumbuhkan kemampuan rakyat kecil sebagai warga. Dengan demikian, produktifitas masyarakat bisa berkembang.
Eksistensi pasar tradisional dan PKL sebagai aset perekonomian bangsa perlu didukung dan dipertahankan agar terhindar dari gejala-gejala eksklusivisme. Aktor-aktor yang bergerak di pasar tradisional tidak boleh menyalahkan perilaku konsumen yang memilih pasar retail modern dengan penampilan lebih bersih, pelayanan lebih prima, dan tempat yang lebih nyaman. Maka, demi menggait konsumen, daya tarik pasar tradisional perlu diperkuat.
Revitalisasi fisik pasar tradisional merupakan kebutuhan mendesak. Modus bertahan yang cenderung konvensional dan kurang responsif terhadap perkembangan zaman di antara faktor mengapa pasar tradisional semakin ditinggalkan. Yang perlu dicatat, revitalisasi harus disertai target dan prosedur yang benar. Mengingat, akhir-akhir ini, revitalisasi justru dijadikan modus ’bancakan’ proyek beberapa oknum. Meroketnya harga los baru membuat tak terjangkau pedagang kecil. Belum lagi pembakaran pasar yang dilakukan secara sengaja supaya para pedagang tradisional tergusur dan mal bisa didirikan tanpa halangan.
Lokasi dan waktu kegiatan pedagang kaki lima (PKL) juga perlu diatur sebagai bagian dari strategi penguatan ekonomi. Setiap pemerintah daerah menyusun data jumlah PKL dan peta sebaran mereka guna didistribusikan ke dalam pasar tradisional. Jika langkah ini berhasil, selain menjadi ruang publik di mana masyarakat berkumpul dan bertransaksi, pasar tradisional dapat menyediakan lapangan kerja yang besar. Kota yang ramah bersedia menampung dan menggali potensi PKL. Kekuatan dan partisipasi mereka selalu dibutuhkan dalam pengelolaan kota. Negara harus mampu mengelola perekonomian rakyat ini.

Bojonegoro, 2015