Minggu, 09 Agustus 2015

Langgam Pemberontakan dalam Memoar Kehilangan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 9 Agustus 2015)

Dengan terbitnya buku puisi Memoar Kehilangan (Koekoesan, 2012) karya Sabiq Carebesth (SC), saya—yang kebetulan juga penulis puisi—merasa bahagia. Ternyata, dalam dunia yang penuh hingar-bingar ini, masih ada seseorang yang terlampau bersemangat mencatat “hal-hal yang raib dari kehidupan”.
Sepanjang riwayat hidup manusia, entah berapa banyak “sesuatu yang hilang”. Sesuatu yang acap kali luput atau justru sengaja dilupakan. Faktor inilah yang barangkali mendorong SC mengekalkannya dalam puisi.

Waktu, Masa Lalu
Puing waktu dan keping masa lalu menempati porsi besar dalam karya SC. Ini berarti, apa yang terlanjur hilang dari kehidupan tidak lantas disingkirkan, namun tetap diabadikan dengan atau tanpa perayaan. Tak heran jika dalam salah satu puisinya, SC berseloroh: “Cinta adalah cahaya paling tua yang ingin rebah menjadi kemolekan tubuh telanjang di hadapan penyair mabuk: agar tercatat dan terkenang sebelum penghabisan di persimpangan//
Sebenarnya tema-tema dalam karya SC kerap ditemukan dalam puisi-puisi penyair-penyair sebelumnya. Meskipun demikian, SC tidak sekadar menyentuh tema-tema usang. Ia berusaha memprovokasi pembaca untuk bersama-sama menghargai apa yang terlanjur menjadi ‘onggokan masa silam’. Hal ini bisa ditemukan misalnya dalam puisi “Puisi untuk Puisi”: Puisi adalah ingatan/ Museum bagi jiwa yang kehilangan/ Waktu yang menjelma kenangan/ Agar tak musnah dalam kegilaan/ Dari zaman yang gemar lupa//. Juga puisi “Babak Asmaradana”: Memilih kuda pacu/  Niat hati mau melaju/ Tapi tunggu dulu/ Bawalah serta masalalu//
Iman Budi Santosa (2012) menganggap bahwa SC berhasil memoles tema kecil dengan tetap apik dan menarik. Tema-tema yang digarap SC merupakan tema-tema sederhana yang berseliweran di sekelilingnya, bukan tema agung yang digarap penuh genit serta antusias dalam rangka menceramahi pembaca.
Saya menduga bahwa SC mengangkat tema-tema yang tampak remeh itu bukan sekadar menempatkannya dalam bingkai kegundahan membabibuta. Dalam puisi-puisinya, SC berusaha menerjemahkan kekeliruan dalam keseharian menjadi lebih rasional. Dengan upaya tersebut, ada harapan besar guna merajut kehidupan dengan lebih baik.

Lembut-Garang
Oleh penyair, puisi dipilih sebagai penanda masa, di mana manusia begitu mudah hanyut oleh riak globalisasi, modernisasi, asupan ideologi, bahkan oleh tingkah-polahnya sendiri. Ketika itulah, manusia dituntut sanggup memberikan kepastian juga peneguhan terhadap jatidiri. Atas dasar inilah, SC mewujudkannya lewat pemberontakan, meski coraknya tak segarang M. Iqbal, yang menjadi pemantik tercetusnya proklamasi kemerdekaan Pakistan. 
Bermedium puisi, SC memberontak terhadap diri sendiri maupun lingkungan. SC berupaya berdiri teguh di atas pijakan dengan ikhtiar menggali kegelisahan terhadap hal-hal yang luput dari perhatian. Hal yang tak perlu dipertanyakan, mengingat “lahir memberontak dan mati” merupakan motto hidup pendiri Galeri Buku Jakarta tersebut.
Dalam kadar tertentu, puisi SC menghadirkan paradoks: ritme yang penuh kelembutan serta pola pemberontakan yang garang. Ini terlihat antara lain dalam puisi bertajuk “Kepada Segelas Kopiku”: Ia turut menari kini/ Dalam pencarian/ Sampai penghabisan/ Dan diukirnya sebuah nama dan cinta/ Dengan tinta hitam dari samuderamu// Ia menatap padaku:/ Seorang gila dalam segelas kopiku// Ia, serupa aku//.
Dari puisi di atas, proses kreatif SC juga terungkap. Ia memetik beragam fenomena dari kronik hidupnya secara intens seraya menyisipkan pikiran cerdas dalam menawarkan alternatif. Menariknya, ia justru menyajikan fenomena-fenomena tersebut ala kadarnya, tanpa bermaksud menyelipkan efek bombastis. Ia seolah memiliki ‘bakat’ memandang realitas dengan rileks.

Sejumlah Notasi
Hamdy Salad (2012) berpandangan bahwa SC mampu menyajikan hal baru dalam kancah perpuisian Indonesia. Meskipun cenderung memiliki kemiripan dengan pola karya-karya beberapa dasawarsa terakhir. Sebut saja Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Negeri Lima Menara (A. Fuadi).
Sebagaimana dalam sejumlah karya prosa yang sedang ‘naik daun’, puisi-puisi SC juga menampilkan memoar. Inilah yang menjadi kelebihan karya SC, mengingat hal ini masih sangat langka dalam puisi-puisi Indonesia. Dengan memoar tersebut, SC mengajak pembaca untuk menyimak apa yang tersaji dalam lembaran kehidupan.
Namun demikian, penyair adalah manusia biasa yang penuh cacing dalam perutnya. Dalam berkarya, terkadang ia terpaksa angkat tangan. Celah ini bukan menjadi alibi bagi SC. Dalam kondisi tertentu, SC meninggalkan puisinya tanpa sentuhan akhir yang manis. Barang tentu, ini menjadi salah satu kelemahan karya SC. Ini juga yang menjadi alasan mengapa dalam menetaskan puisi, saya gemar membiarkannya dalam kondisi moncong menganga. Berkepala, berlengan, berkaki, namun belum tampak separuh badannya.
Akhir kata, sesiapa yang berhasrat meringkus “hal-hal yang raib dari kehidupan”, tak ada salahnya untuk mencarinya dalam Memoar Kehilangan. Selamat menikmati!

Yogyakarta, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar