Minggu, 30 Agustus 2015

Buku Tugas buat Banu (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 30 Agustus 2015)


Sepulang sekolah, Banu melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia berbaring di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai kebiasaan, sesampai dari sekolah Banu mengucap salam, menjabat tangan orang tua, meletakkan sepatu dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya tidak kotor dan bisa dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Banu yang aneh, Bu Rina terheran-heran. Tidak biasanya Banu seperti itu. Selama ini, ia mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya, ingin sekali ia menegur Banu dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Rina memilih waktu yang tepat untuk meminta penjelasan Banu.
Setelah mengeluarkan nasi dari reskuker, Bu Rina menuju dapur dan mengambil ayam goreng krispi serta saus tomat. Ia menghidangkannya ke meja makan. Bu Rina mengerti bahwa menu itu adalah menu kesukaan Banu. Kalau makan berlauk ayam, Banu suka tambah. Makanya, selain ayam goreng krispi, Bu Rina gemar menyajikan masakan berbahan daging ayam lainnya. Seperti opor ayam, kare ayam, sayur ayam tahu kuning, juga ayam goreng kecap. Saat mengambil piring, sendok dan garpu, Bu Rina berkata dalam hati, “pasti Banu akan makan dengan lahap”.
Kini, hidangan sudah siap.
“Teereeeeng… Waktunya makan. Ayam goreng krispi. Ayo, siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Rina mengundang segenap anggota keluarga untuk berkumpul di ruang makan. Begitulah. Ia gemar melakukannya sesaat sebelum makan siang bersama.
Kalau dengar ada lauk ayam, biasanya Banu keluar terlebih dahulu sambil berteriak, “serbu…”. Akan tetapi, kali itu, Banu belum terlihat.
Pak Karim turun dari lantai dua untuk menyantap hidangan sang istri. Ia melihat di ruang makan sudah ada Riko, kakak Banu.
“Banu kenapa? Tumben belum ke sini. Padahal, Banu paling bersemangat kalau makan lauk ayam.” Tanya Pak Karim kepada Bu Rina.
Mendengar pertanyaan itu, Bu Rina menggeleng. Seperti Pak Karim, Bu Rina khawatir terjadi apa-apa dengan Banu.
Tak lama kemudian, Bu Rina mendekat ke pintu kamar Banu. Tak lupa ia memukul piring dengan sendok berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng krispi. Ayam goreng krispi.”
Banu keluar dengan mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia menangis sendirian di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya. Bu Rina mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Banu.
Setelah berkumpul, semua duduk melingkar di belakang meja makan. Pak Karim segera memimpin doa bersama. Hal ini bertujuan agar makanan yang masuk ke perut mendapat berkah dari Tuhan. Bu Rina dan Riko mengikuti dengan khidmat. Adapun Banu masih terisak-isak. Rupanya kesedihan yang disimpan belum hilang.
Pak Karim, Bu Rina, dan Riko mulai menikmati apa yang tersaji di depan mereka. Namun, ternyata Banu malah berdiam diri.
“Ayo makan, Banu.” Bu Rina membujuk anak keduanya itu.
Banu menunduk. Tiada satu katapun keluar dari mulutnya.
Sejenak kemudian, Banu mengangkat kepala dan melihat ke atas meja. Ayam goreng krispi. Wow! Banu memegang sendok lalu meletakkannya lagi.
Bu Rina dan Pak Karim saling bertatap muka. Terus terang, mereka berdua dibuat bingung dengan ulah Banu.
Sesungguhnya Banu ingin sekali menyantap hidangan di hadapannya. Tapi, ia malas untuk makan. Merasa sayang dilewatkan, akhirnya ia hanya makan ayam goreng krispi. Sepiring nasi yang disiapkan khusus buatnya dibiarkan begitu saja.
“Banu kenapa?” Bu Rina bertanya kepada Banu.
Banu tak menjawab. Ia terus saja menggigit dan mengunyah daging paha ayam yang digenggamnya.
“Banu.” Pak Karim membantu usaha Bu Rina.
Banu tidak menoleh.
Riko memilih tidak ikut-ikutan. Ia hanya memandangi adiknya.
“Ada apa, Banu? Ayo katakan. Barangkali ibu, ayah dan Kak Riko bisa membantu.” Bujuk Bu Rina untuk kesekian kali.
“Emmm….” Banu ragu-ragu berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Banu dihukum Bu Sita karena tidak mengumpulkan tugas.” Banu akhirnya memberanikan diri.
“Ha? Tidak mengumpulkan tugas?” tutur Pak Karim seolah tak percaya.
“Banu lupa mengerjakannya.” Ujar Banu polos.
“Tugas apa, Banu? Kapan tugas itu diberikan?” Tanya Bu Rina seraya mengelus rambut Banu.
“Tugas kliping koran. Tugas seminggu yang lalu. Banu kan lupa, Bu.” Sepasang mata Banu berkaca-kaca. Kalau tidak ditahan, pasti ia menangis lagi.
“O, begitu. Oke. Tunggu sebentar ya.” Pak Karim berkata-kata lalu bergegas menuju lantai dua.
Secepat kilat Pak Karim kembali ke ruang makan. Buku bersampul hijau muda berada di tangannya. Pak Karim memberikan buku itu kepada Banu dan berpesan, “mulai besok, setiap tugas harus dicatat di sini ya. Agar Banu tidak lupa dengan tugas-tugasnya.”
Banu tersenyum riang dan mengucapkan, “terima kasih, Ayah. Banu berjanji akan menggunakan buku catatan tugas ini dengan sebaik-baiknya.”
Pak Karim, Bu Rina dan Riko melanjutkan makan siang. Sedangkan Banu, merasa tidak ada beban lagi, ia bersemangat untuk menyantap nasi yang sudah mendingin. Hari itu, mereka sekeluarga makan begitu lahap.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar