Senin, 25 Februari 2013

Gedung Megah di Ujung Hutan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Padang Ekspres” edisi Minggu, 24 Februari 2013)


Mesian genap mengunjungi banyak negeri, melakukan banyak petualangan hebat. Barangkali, baru itu kali ada ksatria yang dengan keperkasaannya mampu singgah di berbagai loka. Gunung Humoy, lembah Sigrus, sungai Doha, hutan Neffa, tempat-tempat yang sukar diinjak oleh manusia pun tak luput darinya. Di Lohu, ia menyelamatkan seorang gadis cantik yang akan menjadi santapan ikan raksasa. Orang sepertinya, tentu tak butuh waktu lama untuk sekadar menundukkan makhluk bersirip penjaga pantai itu.
Keberuntungan memang sedang menyapa Mesian. Gadis yang ia tolong rupanya putri satu-satunya Raja Demon, penguasa serata daratan Hebres. Seseorang yang sangat disanjung-sanjung, baik di negeri sendiri maupun di negeri seberang. Dan, sesuai janji, Raja Demon hendak mengabulkan segenap permintaan seseorang yang telah menghindarkan putrinya dari marabahaya.
“Wahai anak muda, hadiah apa yang kau inginkan? Katakan! Aku bakal mempersembahkannya untukmu.”
“Hamba sama sekali tak berniat mencari hadiah, Baginda. Hamba hanya ingin menolong. Itu saja.”
“Baik benar budi pekertimu. Siapa namamu, anak muda?”
“Mesian, Baginda.”
“Mesian, ayolah utarakan keinginanmu! Apa kata para menteri jika aku urung membalas kebaikan yang terlanjur kau laksanakan.”
“Kurang pantas bagi hamba untuk menerima kehormatan ini.”
“Tidak. Ini bukanlah kehormatan. Anggap saja ini tanda terima kasih. Mintalah apa yang kau mau, Mesian!”
“Semuanya?”
“Segala yang kau kehendaki, sepanjang mampu kuusahakan, akan kulaksanakan.”
“Baiklah, Baginda. Maaf, kalau permintaan ini terlalu besar.”
“Apa itu?”
“Hamba ingin mempersunting putri Baginda.”
Dua netra Raja Demon berkaca-kaca. Bukan berarti sedih, melainkan sebaliknya, ia tampak bergembira. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi, ia mempunyai menantu rupawan, gagah, dan berhati mulia. Hal itu pasti bakal segera mengantar diri sekaligus kerajaannya kian berwibawa, disegani oleh rakyat serta kerajaan-kerajaan lainnya.
“Baiklah, Mesian.” Seraya mengulurkan senyum tipis, Raja Demon berujar lirih.
“Tapi, Baginda…”
“Tapi apa, Mesian?”
“Ijinkanlah putri Baginda untuk meninggalkan istana. Hamba akan membawanya pulang ke negeri hamba. Selain itu…..”
“Apa lagi, Mesian?”
“Selain menjadi istri hamba, ia juga menjadi istri saudara hamba, Hornames.”
Pundak Raja Demon terangkat, dua alisnya mengait, terperanjat. Sekaligus hampir oleng. Oleng? Ya. Tak layak dimungkiri, bahwa ia amat senang apabila putrinya bersuami pemuda tampan, elok tabiat pula. Namun, menyerahkan seorang perempuan selaku pendamping bagi dua laki-laki sekaligus adalah perbuatan gila. Ia tak habis pikir, mengapa pemuda di hadapannya itu berucap demikian.
“Bagaimana, Baginda?”
Aih, aih, aih…. Sepertinya, pemuda itu pemuda kiriman dari langit, yang ditugaskan untuk menguji hatinya. Baru dua bulan berduka atas meninggalnya permaisuri, dan, kini, adakah ia juga akan kembali mengulun kesedihan mendekati serupa: ditinggal pergi sang putri? Bagaimana rasanya hidup jauh dari seseorang yang begitu ia sayangi.
Di saat yang serba pelik demikian, bukanlah seorang raja, jika ia menghibahkan jawaban tanpa bijak.
“Jika itu kau anggap yang terbaik, laksanakanlah Mesian!”
“Terima kasih… Terima kasih…. Sejuta tabik bagi Baginda.”
***
Seperti biasa, pagi itu, Hornames pergi berburu. Pejantan yang berusia lima puluh tahun lebih itu gemar sekali melahap waktu demi menangkap kijang. Hampir saban hari, selepas surya mencagun dari sarangnya hingga senja menampakkan batang hidungnya, ia berkeliaran di belantara.
Hari itu, sebenarnya ia tak hanya berburu. Lalu? Derap langkahnya disertai hasrat mencari bunga Haya. Sebelum berangkat, Nommy berpesan untuk mencarikannya bunga paling kirana di dunia itu. Kali ini, ia urung pulang, sebelum berhasil memetiknya.
Senja menghilang. Malam semakin tua. Namun, Hornames belum pulang. Mesian khawatir terjadi apa-apa dengan kakaknya.
“Nommy, kakak belum juga kelihatan?”
“Belum, Mesian”
“Seharusnya ia sudah pulang dari tadi. Kalau untuk berburu empat sampai lima kijang saja, ia tak akan pulang selarut ini.”
“Maaf, Mesian. Mungkin ia masih berusaha mendapatkan bunga Haya.”
“Apa?”
“Benar. Akulah yang menginginkannya.”
“Apa kau belum tahu, bila bunga Haya hanya ada dalam cerita nenek moyang?”
“Sekali lagi, maafkan aku, Mesian.”
“Lantas apa yang kau harapkan?”
“Aku tak kuat lagi membagi cinta ini, Mesian! Cinta yang semestinya dipersembahkan utuh kepada seseorang, nyatanya harus dibelah-belah. Emm… tadi kukatakan pada Hornames, bahwa bunga itu tumbuh di ujung hutan Semme.”
“Adakah kau tahu, orang-orang yang pergi ke sana guna membuktikan dongeng itu tak dapat kembali?”
“Ya, Mesian. Aku juga dengar, kalau di sana terdapat raksasa yang tak mungkin dikalahkah oleh siapa pun.”
Mesian tergeragap, tak sanggup menghembuskan sebiji kata pun. Sepasang telinganya mendidih, kala menadah penjelasan yang dilontarkan perempuan bermata kucing itu.
“Apabila ia sudah tak berada di rumah ini, aku pun leluasa menghidangkan cintaku untukmu, Mesian.” Dengan enteng, Nommy melanjutkan.
“Tiada sepantasnya kau berkata demikian, Nommy. Ketahuilah! Sungguh, ketika bermaksud memboyongmu dari singgasana, yang ada dalam otakku adalah kakak. Aku tak tega melihatnya kerap dijuluki bujang lapuk.”
Udara diam, turut menyimak helai demi helai kata yang menyembul dari katup mulut Mesian.
“Dan, kau patut heran, kenapa dulu, aku memohon agar ayahmu bersedia menjadikanmu sebagai istri bagi sesetel adik-kakak secara bersamaan. Sesungguhnya, aku hanya berniat menguji sejauh mana kebenaran kata orang-orang. Kebenaran bahwa Raja Demon merupakan seseorang yang teguh menggenggam janji.”
“Jadi, selama ini kau mempermainkan perasaanku?”
“Menurutmu?”
“Tega benar kau, Mesian!”
***
Fajar mendarat. Dedaunan basah kuyup oleh dekapan embun. Saat Nommy masih terlelap itulah, Mesian keluar dengan mengendap-endap, bagai pencuri yang berhajat menggasak harta bidikan. Aku akan menyelamatkanmu, Kakak! Batinnya memekik.
Mesian mafhum, bahwa kepergiannya tiada lain merupakan sebutir pilihan menyulitkan. Benar. Pilihan antara membagul pulang saudaranya atau membuang nyawa sia-sia. Di tengah kegundahannya, ia tetap berkeras hati, meski ancaman kematian selalu menanti.
Mesian menggigil dengan sesekali mendengus berat. Perjalanannya benar-benar menguras peluh dan tenaga. Selama empat hari empat malam, dengan kaki gemetaran serta tenggorokan kerontang, khatamnya, Mesian tiba di loka tujuan. Sebelum sampai di sana, dalam otaknya tergambar tempat gelap menyeramkan dengan tengkorak manusia tergeletak di sana-sini serta bau mayat berseliweran. “Semoga tubuhku terasa pahit di lidah raksasa itu, sehingga ia memuntahkannya”. Begitulah kalam yang berulang-ulang dilempar.
“Luar biasa!” Mesian mendapati sebuah gedung megah dibungkus emas berlapis-lapis. Teronggok kubah menjulang di atasnya. Tiang-tiang besar berbahan marmer berdiri kokoh. Jendela-jendela mungil dengan kaca-kaca menyala melingkar. Permadani itu, permadani yang berwarna keperakan itu terhampar memesona. Setelah mendekat, lelaki berkumis runcing itu semakin takjub dan penasaran ketika mendengar suara riuh berpunca dari dalam. Suara tawa yang membahana. Tawa yang memperlihatkan kebahagiaan yang sangat.
“Mari, silakan masuk.”
Sekonyong-konyong Mesian dikagetkan dengan datangnya dua perempuan cantik jelita bertubuh aduhai indahnya. Dengan lembut, ia dituntun, ah tepatnya digandeng mesra, memasuki gedung berlantai dua puluh tiga itu.
Mesian tegemap. “Ai, mereka kan orang-orang kampung yang dikira mati! Rupanya mereka malah hidup bahagia di sini.”
Dengan jantung berdentum-dentum, dijangkapi kening berkerut, Mesian meneruskan langkahnya. Ranjang-ranjang empuk manawarkan bidadari-bidadari bermata purnama. Meja-meja bundar menyajikan makanan dan minuman yang nikmatnya tiada tara.
“Hai, Mesian!”
Lelaki jangkung memeluknya dari belakang.
Ia menoleh dan, “Kakak?”
Hornames berpakaian rapi dan anggun, memakai topi lancip dari sutra. Mesian mematung. Ah, mimpi?
“Ini kenyataan, Mesian. Mari, sebelum bersenang-senang, kuantar kau menghadap seseorang yang disepuhkan di sini.”
“Siapa?”
“Ayolah! Nanti kau tahu sendiri.”
Seorang lelaki bermahkota melendeh santai didampingi selir-selirnya. Jemari beberapa perempuan menyuapkan buah anggur hijau, sedangkan beberapa lainnya mengalirkan udara dengan kipas.
Mesian tercekat. Orang itu mirip sekali dengan raja. Ya, Raja Demon. Ayah istrinya sekaligus si mertua. Ah, di dunia ini mesti ada dua manusia berkembar rupa. Ia menghibur diri, mencoba meyakini bahwa seseorang yang dikelilingi beraneka ragam kenikmatan itu bukanlah Raja Demon.
“Mesian. Bagaimana kabar putriku?”
Benar. Tiada bukan, ialah Raja Demon!
Bibir Mesian menangkup. Bagaimana? Bagaimana jika raja mengerti kalau ia berkhianat pada Nommy. Bagaimana jika raja mengendus kemauannya memperistri putri raja sekadar basa-basi. Bagaimana jika apa yang ia sembunyikan tunai diketahui. Dan, entah berapa ekor lagi pertanyaan menusuk-nusuk kepalanya.
“Kenapa kau tak membawanya kemari, menantuku?”
Mesian menunduk; berlagak antara malu dan takut. Dan……

Yogyakarta, 2012

Kamis, 14 Februari 2013

Apesnya Sengkon, Naasnya Karta! (Cerpen Sejarah_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Basis" edisi Februari-Maret 2013)


Desa itu, desa dengan hilir angin yang teduh dan rimbun pepohonan hijau itu, gempar. Kala itu, matahari sedang terik-teriknya. Para warga berkerumun di depan sebuah rumah. Mereka layaknya lalat mengerubung makanan. Tapi, adakah makanan menumpuk di sana hingga mengundang perhatian? Tidak. Cuma ada peristiwa yang membuat orang mendengus sedih dengan sesekali menitihkan air mata.
Sebelumnya, tiada seorang pun menyangka bahwa lelaki bercambang tebal dan perempuan bermata kelereng itu akan mati mengenaskan. Mati bersimbah darah dengan anggota tubuh terburai di lantai. Tentu mati seperti itu tak pernah diharapkan atau terbersit dalam bayangan. Namun, siapa yang mengira bahwa nasib keduanya bakal berakhir demikian?
Dua orang itu adalah Sulaiman dan Siti Haya. Suami-istri yang dikenal selaku pasangan mendekati ideal, selalu kelihatan romantis, dan nyenyai bertengkar. Entah bermimpi apa mereka berdua semalam, sehingga selain meregang nyawa, harta juga ludes. Lemari yang digunakan menyembunyikan rupiah hasil keringat Sulaiman dan sejumlah perhiasan Siti Haya porak-poranda. Sungguh, terbuat dari apa hati perampok yang bengis itu! Sehingga usai melenyapkan keduanya, ia pun tega menggondol harta yang dimiliki. Barangkali ia tengah dirundung utang, atau pacarnya sedang hamil tua dan minta biaya pengguguran janin, ataukah kehabisan uang untuk teler bersama komplotan? Adapun ia tak ingin nyemplung di penjara, hanya gara-gara laporan korban ke pihak berwajib.
***
Nur Ali tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah Ustad Siradjuddin. Nafasnya terengah-engah. Tampaknya, ada hal mendesak yang ingin disampaikan.
“Ada apa, nak Ali?” Tanya Ustad Siradjuddin setelah menyuruh pemuda itu duduk.
“Maaf. Maaf, Pak Ustad.”
“Memang ada apa?”
“Tadi malam saya lihat keributan di rumah Sulaiman.”
“Keributan? Keributan apa?”
“Sengkon dan Karta perang mulut dengan Sulaiman.”
Astaghfirullah. Jadi, yang membunuh Sulaiman adalah……”
Berbekal percakapan singkat tersebut, sore itu, Nur Ali dan Ustad Siradjuddin bergegas ke kediaman Pak Lurah. Begitulah yang berjalan beberapa dasawarsa terakhir di desa yang sejuk dan tentram itu. Dalam kondisi genting, rasanya tidak ada hal lain yang patut dikerjakan, kecuali lapor ke pemangku desa.
Lusa, ratusan warga berkumpul. Atas pengumuman beberapa Ketua RT—selaku penyambung lidah Pak Lurah, mereka berbondong-bondong riuh ke Balai Desa. Sesungguhnya, tanpa diperintah pun, mereka hendak menuntut keadilan atas matinya sesetel suami-istri yang selama ini gemar membagi-gratiskan buah nangka itu. Mereka benar-benar tidak terima jika kedua orang itu mati begitu saja. Aih, aih, aih. Mati demikian pastilah mengantar arwah keduanya penasaran. Dan, para warga jelas tak mau saban malam memergoki ada dua arwah gentayangan, berkeliling di desa mereka.
Dengan segala pertimbangan dan kebijakan, Pak Lurah menawarkan solusi yang menurutnya paling baik. Tentunya, sekali lagi tentunya, usai lelaki berumur setengah abad itu berbasa-basi agak lama. “Hadirin sekalian. Bagaimana bila kita semua tanda tangan, menuntut ke polisi untuk menangkap Sengkon dan Karta?”
“Setujuuuuu…….”
***
Sengkon dan Karta kena getahnya. Sengkon yang tengah membersihkan cangkul dan sebentar lagi ke sawah, digelandang seorang berambut cepak dan berperawakan besar. Begitu juga dengan Karta, yang saat itu asyik bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba diciduk dan diseret ke loka yang begitu mengerikan: kantor polisi.
Sengkon dan Karta mematung. Sesekali jemari Sengkon yang gemetaran mengusap bulir peluh yang merembes dari kening. Sedang Karta hanya komat-kamit sembari merapal doa. “Semoga Tuhan menyelamatkan saya.” Barangkali, itulah permohanannya di pagi setengah siang itu. Raut muka keduanya gugup bercampur kebingungan; masih belum mafhum perihal apa yang sedang terjadi.
Dengan ramah-tamah dari seorang berdada bidang, Sengkon dan Karta mulai paham; atau pura-pura paham. Dan, lama-lama benar-benar paham, bahwa keduanya dituduh melumat nyawa Sulaiman beserta istrinya. Dengan entengnya, polisi menyimpulkan bahwa kedua petani lugu tersebut beberapa hari kemarin pergi ke rumah Sulaiman untuk meminjam uang. Karena Sulaiman berberat siku, keduanya marah dan secara membabibuta membenamkan mata pisau ke perut Sulaiman dan istrinya secara bergantian. Ditambah lagi, harta dua orang yang genap jadi mayat itu juga dijarah.
“Benar, Pak. Kami memang ke rumah Sulaiman. Tapi kami tak membunuh.” Sengkon yang lebih berani ketimbang Karta, angkat suara. Adapun Karta hanya menunduk dan sekali dua memandangi temannya itu.
Serejang kemudian, bernada lirih, Sengkon melanjutkan, “membunuh itu dosa, Pak. Kami tak berani melakukan.”
“Mana ada pembunuh mau ngaku!” Sahut Pak Herman.
“Kami berani bersumpah, Pak.”
“Ah, sumpahnya pembunuh kan gak bisa dipercaya”
“Malam itu, memang kami sempat berselisih dengan Sulaiman.”
“Kenapa?”
“Kami cuma pengen pinjam uang. Jumlahnya sedikit kok.”
“Lantas?”
“Ia gak mau. Katanya ada keperluan mendesak.”
“Karena marah, kalian membunuhnya?”
“Tidak. Tidak, Pak!”
“Terus kalian mengambil uangnya?”
“Sumpah, Pak. Kami tak melakukannya.”
“Sudah, jangan berkelit! Buang-buang waktu saja. Masih banyak pekerjaan lain. Lebih baik ini kalian tandatangani.”     
Sengkon yang tak bisa tulis-baca—karena jauh dari bau sekolah—menurut saja dengan moncong Pak Herman. Ketika hendak dituntun mengguratkan ujung pena ke hamparan kertas di hadapannya, sekonyong-konyong Karta memegangi tangan Sengkon seraya memekik, “Jangaaan!”
Entah jin jenis apa yang mendorong Karta melarang Sengkon. Nyatanya, lembaran yang ditawarkan Pak Herman untuk segera ditandatangani Sengkon adalah Berita Acara Pemeriksaan.
***
Berhari-hari Sengkon dan Karta mengeremus perlakuan buruk dari aparat: dijambak, digebuk, ditempeleng, dipukul dengan ujung pistol, ditendang, dibelai dengan rokok yang menyala bibirnya, diludahi, diolesi pantatnya dengan balsam, dikencingi, ditelanjangi, dicabut kukunya hingga berdarah, serta berbagai ragam siksaan lainnya.
“Karta, sepertinya kita harus mengalah.” Suatu senja katup mulut Sengkon bergumam.
“Kenapa, Sengkon? Apa kau sudah tidak percaya lagi kepada Tuhan?”
“Saya sudah lelah, Karta.”
“Percayalah! Tuhan membela yang benar.”
Dan, mereka berdua mencoba tetap bertahan. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, hati Karta yang semula keras bagai batu itu, akhirnya luluh, terpengaruh dengan bujukan Sengkon. Ia sudah tak kuat lagi menampung kebengisan makhluk-makhluk sok yang mengaku penegak hukum itu. Badannya—seperti halnya Sengkon—rata dengan bekas sundutan rokok dan tonjokan. Belum lagi dengan kepalanya yang terlanjur bonyok dan gusinya yang terus mengalirkan darah. Sengkon dan Karta heran, kenapa dengan perlakuan sedemikian rupa, mereka berdua tak mampus juga.
Dengan pengakuan dua orang yang diperlakukan mirip kerbau itu, pada khatamnya, Pihak polisilah yang menang. Keduanya mendapat ganjaran masing-masing. Sengkon divonis 12 tahun—karena dinilai aksinya lebih brutal, sedangkan Karta 7 tahun. Betapa pilunya! Wahai Dewi Artemis, di manakah kau berada? Apakah ini yang dinamakan dengan keadilan? Tanpa sebiji kesalahan, dua petani tersebut terpaksa mempertanggungjawabkan kematian Sulaiman dan istrinya. Ya. Mau tak mau, mereka berdua bakal menelan hari-harinya di penjara.
***
“Karta. Kita sudah lama menetap di bui. Kapan kita bebas?”
“Entahlah, Sengkon. Saya juga tak tahu, adakah jatah pengurangan hukuman buat kita.”
“Saya mulai gak betah hidup. Penyakit TBC ini benar-benar menyiksa!”
Dengan geram, Karta memukul dinding penjara, hingga membuat Gunel terbangun. Jejaka yang bermukim di bui lebih dulu karena kasus pencurian itu dengan santainya berujar, “Maafkan, Saya, Paman!”
Sengkon terperanjat. Dan, “Paman”? Ah, sandiwara macam apa ini! Sepertinya, baru itu kali kupingnya mendengar mantan preman pasar itu memanggilnya demikian. Meski pemuda bertato kalajengking itu adalah keponakannya, selama ini ia tak pernah memanggilnya “Paman”. Apalagi, apalagi dalam dunia penjara, rasanya tak mungkin—meski berusia lebih muda—senior meminta maaf kepada juniornya. Ada gerangan apa?
“Sebenarnya, sayalah pembunuh Sulaiman dan istrinya.”
“Haaa…. Apa?” Sengkon masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Genul.
“Ya. Sayalah yang malam itu menghabisi nyawa kedua orang itu.”
Menadah pengakuan Genul, tangis Sengkon membuncah.
***
Di selembar siang, debu-debu membuntingi jalanan. Udara tampak capai mengurus pekerjaannya. Dan, orang-orang berkerumun membentuk lingkaran. Di tengahnya, seorang laki-laki dengan wajah kusut tergelepar di tanah. Satu jam lalu, kala menyeberang, sebuah truk menghantamnya dan melemparnya hingga beberapa meter.  
“Hai, itu kan Karta.” Mengarahkan telunjuknya, seseorang berteriak lantang.
“Karta siapa?”
“Orang yang baru beberapa bulan ini dibebaskan dari bui.”
Disergap kasihan, orang-orang dengan sigap membagulnya ke rumah sakit. Sial! Di tengah perjalanan ia menghembuskan nafas pungkasan.
Di mana Sengkon? Ternyata ia sibuk memelihara TBC-nya yang kian parah.

Yogyakarta, 2012

Keterangan:
Cerpen ini diolah dari tragedi Sengkon-Karta tahun 1974

Senin, 11 Februari 2013

Korupsi dalam Lirik Puisi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos " edisi Minggu, 10 Februari 2013)


Dalam tarafnya masing-masing, puisi dan korupsi sama-sama menjanjikan kenikmatan tiada tara. Keduanya sanggup membawa penikmatnya melayang ke udara sembari menapaki tangga pelangi di cakrawala. Alangkah hebatnya! Dengan puisi, seseorang sanggup menyelami keping-keping rahasia semesta. Pun betapa ajaibnya! Melalui korupsi, seseorang mampu meresapi bebulir dosa dan kebejatannya.
Sesuai kapasitasnya, puisi menghidangkan asupan nilai guna memperkaya jiwa. Adapun korupsi ringan menghibahkan penyakit radang sukma. Atas dasar itulah, menilik kedahsyatan puisi dan korupsi, para sastrawan mengombinasikan keduanya dalam karya-karya mereka. Seperti halnya Remy Sylado (2004) yang melahirkan puisi bertitel ‘Seorang Prajurit Memulai Korupsi dengan Sumpritan Seharga Rp 200’: Satu prit/ Jigo// Empat prit/ Cepek// Delapan prit/ Kembali pokok.

Korupsi Lebih Najis dari Babi
Melukiskan kegalauannya, Gus Mus pernah menulis puisi berjudul ‘Ada Apa dengan Kalian’: Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci/ Mengapa kalian diamkan korupsi/ Yang kadar memabukkannya jauh lebih tinggi/ Bila karena najis, babi kalian musuhi/ Mengapa kalian abaikan korupsi/ Yang lebih menjijikkan ketimbang kotoran seribu babi.
Dalam puisi yang diaktualisasikan secara terbuka tersebut, betapa korupsi dijelmakan menjadi barang yang harus dijauhi. Dijauhi karena mengandung daya mabuk luar biasa, sehingga bisa mengantar penikmatnya hilang kesadaran lalu mengamuk, membabibuta. Parahnya lagi, jika didera ketagihan, maka tak ayal baginya untuk melakukan apapun demi mengetam berbagai ragam khasiat yang dimuat serta merasakan ‘sensasi’-nya.
Korupsi digambarkan pula selaku barang dengan kadar najis selangit. Saking najisnya, bahkan ia lebih najis dari kotoran babi. Padahal dalam Islam, babi adalah hewan najis, yang apabila dijilat, maka seseorang wajib membasuh bagian tubuh yang terkena jilatan itu sebanyak tujuh kali dan salah satu diantarannya dengan air bercampur tanah. Sedemikian hina-dinanya, sebagian orang-orang fasik, orang-orang yang dimurkai Tuhan, menelan kutukan menjadi kera dan babi (surah al-Maidah: 60).
Babi juga dilarang untuk dikonsumsi. Nash al-Qur’an mengharamkan atas hewan yang serat dagingnya memuat cacing pita itu dalam surah al-Baqarah: 173, al-Maidah: 3, dan an-Nahl: 115.
Menurut hikmatu at-tasyri’ (hikmah ditetapkannya suatu syariat), suatu larangan menyimpan mafsadah (kerusakan). Ini berarti,—berdasar pada puisi Gus Mus di atas—bahaya serta kandungan kerusakan pada korupsi jauh lebih besar daripada tubuh babi.

Peti Mati bagi Koruptor
Dalam buku puisi ’Anak Mencari Tuhan’ yang dikemas satu paket dengan Pertempuran Rahasia anggitan Triyanto Triwikromo (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Nugroho Suksmanto sempat menuturkan kegelisahan akan korupsi. Berbekal racikan kata sederhana, Nugroho Suksmanto menapak ikhtiar dalam rangka menyuguhkan ‘sesuatu yang paradoks’ dalam korupsi—dengan ketus dan genit, pada puisi bertajuk ‘di China dan di Kita’: Di China/ Pemimpinnya keji/ Saat memberantas korupsi/ Tak segan menembak mati// Di Kita/ Para pemimpin baik hati/ Berderma dari hasil korupsi/ Pergi haji berkali-kali.
Dari puisi di atas, tampaklah bahwa China membentangkan ketegasan membabibuta. Ketegasan yang mengungkap bahwa guna memberantas korupsi, membenamkan nyawa penikmatnya merupakan pilihan paling tepat. Tidak seperti di negeri kita (Indonesia), yang justru pemimpinnya menjadikan rupiah hasil korupsi untuk bersedekah, bahkan berangkat ke Makkah.
Bukan sebiji kebetulan jika Nugroho Suksmanto mendayagunakan China dalam puisinya. Sudah barang tentu, kata tersebut telah melewati penyortiran yang matang. Mengapa? Sebab, China adalah salah satu teladan dunia dalam menangani korupsi. Sesiapa yang terbukti tersentuh korupsi, maka ia harus bersigap memeluk ajal esok hari. Akibat kegigihan dan keberaniannya, China pernah menadah peringkat terpuji dalam “Indeks Persepsi Korupsi” (CPI) maupun “Indeks Transparansi” (TI): berindeks 3,1; sejajar dengan Mesir.
Puncak dari tekad memberangus korupsi itu ialah ketika Presiden Hu Jintao (mulai berkuasa tahun 2003) berikrar menyediakan 100 peti mati untuk para koruptor dan 1 peti untuk dirinya sendiri, kalau ia juga terendus korupsi. Suatu pernyataan yang mengindikasikan simbol dari perwujudan hasrat seorang pemimpin bertanggung jawab.
Wacana pemberlakuan hukuman mati kepada para koruptor perlu mendapat angin baru. Kaum pengganyang uang negara sudah saatnya dijejali hukuman mati, karena selama ini hukuman bui enggan memberikan efek jera (deterrent effect) bagi mereka. Sebenarnya, dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati genap terakomodasi dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayang, dalam realitasnya pemerintah belum berani—atau lebih tepatnya belum punya nyali—secara tegas menerapkannya, sehingga para koruptor masih bisa menghisap rokok sambil ongkang-ongkang kaki.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor merupakan hal yang patut dilaksanakan. Sanksi tersebut bukanlah bersifat bengis atau kejam, karena korupsi tergolong crimes against humanity (kejahatan terhadap umat manusia), bukan lagi sekadar extraordinary crime (kejahatan luar biasa), dimana penikmatnya layak mengunyah balasan seberat-beratnya. Mengingat, bahwa korupsi rentan menetaskan dampak negatif yang tidak hanya membahayakan orang seorang, namun masyarakat secara keseluruhan.
Sudah semestinya hukuman perampasan ajal bagi koruptor mengantongi status primum remedium, di mana sanksi pidana dimanfaatkan selaku sarana utama dan pertama kali diancamkan dalam suatu ketentuan Undang-Undang, bukan lagi ultimum remedium, yang mempergunakan sanksi pidana manakala sanksi perdata maupun sanksi administratif sudah tidak berdaya.
Implementasi atas sanksi merupakan di antara jalan menggayuh tujuan masyarakat: the greates happiness of the greates number—dalam ungkapan Jeremy Bentham (1748-1832). Meminjam apa yang dilontarkan oleh pendiri utilitarisme individual tersebut, kejahatan menghilangkan kebahagiaan manusia dan penghukuman memastikan keamanan yang merupakan fondasi kebahagiaan. Walau tampak jahat, hanya dengan mengimplementasikan sebuah sistem paksaan rasional, pemerintah dapat menyokong kebahagiaan para warga. Raibnya kebahagiaan (atau kebalikannya, terjadinya kebahagiaan) merupakan basis utama untuk menghukum para pelaku kejahatan. Semakin seorang pelaku kejahatan “mengganggu kebahagiaan”, semakin “besar tuntutan kebahagiaan untuk menjatuhkan hukuman”. (Richard Schoch, 2009)

Yogyakarta, 2012