Kamis, 14 Februari 2013

Apesnya Sengkon, Naasnya Karta! (Cerpen Sejarah_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Basis" edisi Februari-Maret 2013)


Desa itu, desa dengan hilir angin yang teduh dan rimbun pepohonan hijau itu, gempar. Kala itu, matahari sedang terik-teriknya. Para warga berkerumun di depan sebuah rumah. Mereka layaknya lalat mengerubung makanan. Tapi, adakah makanan menumpuk di sana hingga mengundang perhatian? Tidak. Cuma ada peristiwa yang membuat orang mendengus sedih dengan sesekali menitihkan air mata.
Sebelumnya, tiada seorang pun menyangka bahwa lelaki bercambang tebal dan perempuan bermata kelereng itu akan mati mengenaskan. Mati bersimbah darah dengan anggota tubuh terburai di lantai. Tentu mati seperti itu tak pernah diharapkan atau terbersit dalam bayangan. Namun, siapa yang mengira bahwa nasib keduanya bakal berakhir demikian?
Dua orang itu adalah Sulaiman dan Siti Haya. Suami-istri yang dikenal selaku pasangan mendekati ideal, selalu kelihatan romantis, dan nyenyai bertengkar. Entah bermimpi apa mereka berdua semalam, sehingga selain meregang nyawa, harta juga ludes. Lemari yang digunakan menyembunyikan rupiah hasil keringat Sulaiman dan sejumlah perhiasan Siti Haya porak-poranda. Sungguh, terbuat dari apa hati perampok yang bengis itu! Sehingga usai melenyapkan keduanya, ia pun tega menggondol harta yang dimiliki. Barangkali ia tengah dirundung utang, atau pacarnya sedang hamil tua dan minta biaya pengguguran janin, ataukah kehabisan uang untuk teler bersama komplotan? Adapun ia tak ingin nyemplung di penjara, hanya gara-gara laporan korban ke pihak berwajib.
***
Nur Ali tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah Ustad Siradjuddin. Nafasnya terengah-engah. Tampaknya, ada hal mendesak yang ingin disampaikan.
“Ada apa, nak Ali?” Tanya Ustad Siradjuddin setelah menyuruh pemuda itu duduk.
“Maaf. Maaf, Pak Ustad.”
“Memang ada apa?”
“Tadi malam saya lihat keributan di rumah Sulaiman.”
“Keributan? Keributan apa?”
“Sengkon dan Karta perang mulut dengan Sulaiman.”
Astaghfirullah. Jadi, yang membunuh Sulaiman adalah……”
Berbekal percakapan singkat tersebut, sore itu, Nur Ali dan Ustad Siradjuddin bergegas ke kediaman Pak Lurah. Begitulah yang berjalan beberapa dasawarsa terakhir di desa yang sejuk dan tentram itu. Dalam kondisi genting, rasanya tidak ada hal lain yang patut dikerjakan, kecuali lapor ke pemangku desa.
Lusa, ratusan warga berkumpul. Atas pengumuman beberapa Ketua RT—selaku penyambung lidah Pak Lurah, mereka berbondong-bondong riuh ke Balai Desa. Sesungguhnya, tanpa diperintah pun, mereka hendak menuntut keadilan atas matinya sesetel suami-istri yang selama ini gemar membagi-gratiskan buah nangka itu. Mereka benar-benar tidak terima jika kedua orang itu mati begitu saja. Aih, aih, aih. Mati demikian pastilah mengantar arwah keduanya penasaran. Dan, para warga jelas tak mau saban malam memergoki ada dua arwah gentayangan, berkeliling di desa mereka.
Dengan segala pertimbangan dan kebijakan, Pak Lurah menawarkan solusi yang menurutnya paling baik. Tentunya, sekali lagi tentunya, usai lelaki berumur setengah abad itu berbasa-basi agak lama. “Hadirin sekalian. Bagaimana bila kita semua tanda tangan, menuntut ke polisi untuk menangkap Sengkon dan Karta?”
“Setujuuuuu…….”
***
Sengkon dan Karta kena getahnya. Sengkon yang tengah membersihkan cangkul dan sebentar lagi ke sawah, digelandang seorang berambut cepak dan berperawakan besar. Begitu juga dengan Karta, yang saat itu asyik bercengkrama dengan keluarga, tiba-tiba diciduk dan diseret ke loka yang begitu mengerikan: kantor polisi.
Sengkon dan Karta mematung. Sesekali jemari Sengkon yang gemetaran mengusap bulir peluh yang merembes dari kening. Sedang Karta hanya komat-kamit sembari merapal doa. “Semoga Tuhan menyelamatkan saya.” Barangkali, itulah permohanannya di pagi setengah siang itu. Raut muka keduanya gugup bercampur kebingungan; masih belum mafhum perihal apa yang sedang terjadi.
Dengan ramah-tamah dari seorang berdada bidang, Sengkon dan Karta mulai paham; atau pura-pura paham. Dan, lama-lama benar-benar paham, bahwa keduanya dituduh melumat nyawa Sulaiman beserta istrinya. Dengan entengnya, polisi menyimpulkan bahwa kedua petani lugu tersebut beberapa hari kemarin pergi ke rumah Sulaiman untuk meminjam uang. Karena Sulaiman berberat siku, keduanya marah dan secara membabibuta membenamkan mata pisau ke perut Sulaiman dan istrinya secara bergantian. Ditambah lagi, harta dua orang yang genap jadi mayat itu juga dijarah.
“Benar, Pak. Kami memang ke rumah Sulaiman. Tapi kami tak membunuh.” Sengkon yang lebih berani ketimbang Karta, angkat suara. Adapun Karta hanya menunduk dan sekali dua memandangi temannya itu.
Serejang kemudian, bernada lirih, Sengkon melanjutkan, “membunuh itu dosa, Pak. Kami tak berani melakukan.”
“Mana ada pembunuh mau ngaku!” Sahut Pak Herman.
“Kami berani bersumpah, Pak.”
“Ah, sumpahnya pembunuh kan gak bisa dipercaya”
“Malam itu, memang kami sempat berselisih dengan Sulaiman.”
“Kenapa?”
“Kami cuma pengen pinjam uang. Jumlahnya sedikit kok.”
“Lantas?”
“Ia gak mau. Katanya ada keperluan mendesak.”
“Karena marah, kalian membunuhnya?”
“Tidak. Tidak, Pak!”
“Terus kalian mengambil uangnya?”
“Sumpah, Pak. Kami tak melakukannya.”
“Sudah, jangan berkelit! Buang-buang waktu saja. Masih banyak pekerjaan lain. Lebih baik ini kalian tandatangani.”     
Sengkon yang tak bisa tulis-baca—karena jauh dari bau sekolah—menurut saja dengan moncong Pak Herman. Ketika hendak dituntun mengguratkan ujung pena ke hamparan kertas di hadapannya, sekonyong-konyong Karta memegangi tangan Sengkon seraya memekik, “Jangaaan!”
Entah jin jenis apa yang mendorong Karta melarang Sengkon. Nyatanya, lembaran yang ditawarkan Pak Herman untuk segera ditandatangani Sengkon adalah Berita Acara Pemeriksaan.
***
Berhari-hari Sengkon dan Karta mengeremus perlakuan buruk dari aparat: dijambak, digebuk, ditempeleng, dipukul dengan ujung pistol, ditendang, dibelai dengan rokok yang menyala bibirnya, diludahi, diolesi pantatnya dengan balsam, dikencingi, ditelanjangi, dicabut kukunya hingga berdarah, serta berbagai ragam siksaan lainnya.
“Karta, sepertinya kita harus mengalah.” Suatu senja katup mulut Sengkon bergumam.
“Kenapa, Sengkon? Apa kau sudah tidak percaya lagi kepada Tuhan?”
“Saya sudah lelah, Karta.”
“Percayalah! Tuhan membela yang benar.”
Dan, mereka berdua mencoba tetap bertahan. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, hati Karta yang semula keras bagai batu itu, akhirnya luluh, terpengaruh dengan bujukan Sengkon. Ia sudah tak kuat lagi menampung kebengisan makhluk-makhluk sok yang mengaku penegak hukum itu. Badannya—seperti halnya Sengkon—rata dengan bekas sundutan rokok dan tonjokan. Belum lagi dengan kepalanya yang terlanjur bonyok dan gusinya yang terus mengalirkan darah. Sengkon dan Karta heran, kenapa dengan perlakuan sedemikian rupa, mereka berdua tak mampus juga.
Dengan pengakuan dua orang yang diperlakukan mirip kerbau itu, pada khatamnya, Pihak polisilah yang menang. Keduanya mendapat ganjaran masing-masing. Sengkon divonis 12 tahun—karena dinilai aksinya lebih brutal, sedangkan Karta 7 tahun. Betapa pilunya! Wahai Dewi Artemis, di manakah kau berada? Apakah ini yang dinamakan dengan keadilan? Tanpa sebiji kesalahan, dua petani tersebut terpaksa mempertanggungjawabkan kematian Sulaiman dan istrinya. Ya. Mau tak mau, mereka berdua bakal menelan hari-harinya di penjara.
***
“Karta. Kita sudah lama menetap di bui. Kapan kita bebas?”
“Entahlah, Sengkon. Saya juga tak tahu, adakah jatah pengurangan hukuman buat kita.”
“Saya mulai gak betah hidup. Penyakit TBC ini benar-benar menyiksa!”
Dengan geram, Karta memukul dinding penjara, hingga membuat Gunel terbangun. Jejaka yang bermukim di bui lebih dulu karena kasus pencurian itu dengan santainya berujar, “Maafkan, Saya, Paman!”
Sengkon terperanjat. Dan, “Paman”? Ah, sandiwara macam apa ini! Sepertinya, baru itu kali kupingnya mendengar mantan preman pasar itu memanggilnya demikian. Meski pemuda bertato kalajengking itu adalah keponakannya, selama ini ia tak pernah memanggilnya “Paman”. Apalagi, apalagi dalam dunia penjara, rasanya tak mungkin—meski berusia lebih muda—senior meminta maaf kepada juniornya. Ada gerangan apa?
“Sebenarnya, sayalah pembunuh Sulaiman dan istrinya.”
“Haaa…. Apa?” Sengkon masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Genul.
“Ya. Sayalah yang malam itu menghabisi nyawa kedua orang itu.”
Menadah pengakuan Genul, tangis Sengkon membuncah.
***
Di selembar siang, debu-debu membuntingi jalanan. Udara tampak capai mengurus pekerjaannya. Dan, orang-orang berkerumun membentuk lingkaran. Di tengahnya, seorang laki-laki dengan wajah kusut tergelepar di tanah. Satu jam lalu, kala menyeberang, sebuah truk menghantamnya dan melemparnya hingga beberapa meter.  
“Hai, itu kan Karta.” Mengarahkan telunjuknya, seseorang berteriak lantang.
“Karta siapa?”
“Orang yang baru beberapa bulan ini dibebaskan dari bui.”
Disergap kasihan, orang-orang dengan sigap membagulnya ke rumah sakit. Sial! Di tengah perjalanan ia menghembuskan nafas pungkasan.
Di mana Sengkon? Ternyata ia sibuk memelihara TBC-nya yang kian parah.

Yogyakarta, 2012

Keterangan:
Cerpen ini diolah dari tragedi Sengkon-Karta tahun 1974

2 komentar:

  1. kreatif utk penulisannya, miris utk kisahnya, semoga keturunan Sengkon dan Karta diberikan rejeki dan kebahagiaan hidup.

    BalasHapus