Senin, 25 Februari 2013

Gedung Megah di Ujung Hutan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Padang Ekspres” edisi Minggu, 24 Februari 2013)


Mesian genap mengunjungi banyak negeri, melakukan banyak petualangan hebat. Barangkali, baru itu kali ada ksatria yang dengan keperkasaannya mampu singgah di berbagai loka. Gunung Humoy, lembah Sigrus, sungai Doha, hutan Neffa, tempat-tempat yang sukar diinjak oleh manusia pun tak luput darinya. Di Lohu, ia menyelamatkan seorang gadis cantik yang akan menjadi santapan ikan raksasa. Orang sepertinya, tentu tak butuh waktu lama untuk sekadar menundukkan makhluk bersirip penjaga pantai itu.
Keberuntungan memang sedang menyapa Mesian. Gadis yang ia tolong rupanya putri satu-satunya Raja Demon, penguasa serata daratan Hebres. Seseorang yang sangat disanjung-sanjung, baik di negeri sendiri maupun di negeri seberang. Dan, sesuai janji, Raja Demon hendak mengabulkan segenap permintaan seseorang yang telah menghindarkan putrinya dari marabahaya.
“Wahai anak muda, hadiah apa yang kau inginkan? Katakan! Aku bakal mempersembahkannya untukmu.”
“Hamba sama sekali tak berniat mencari hadiah, Baginda. Hamba hanya ingin menolong. Itu saja.”
“Baik benar budi pekertimu. Siapa namamu, anak muda?”
“Mesian, Baginda.”
“Mesian, ayolah utarakan keinginanmu! Apa kata para menteri jika aku urung membalas kebaikan yang terlanjur kau laksanakan.”
“Kurang pantas bagi hamba untuk menerima kehormatan ini.”
“Tidak. Ini bukanlah kehormatan. Anggap saja ini tanda terima kasih. Mintalah apa yang kau mau, Mesian!”
“Semuanya?”
“Segala yang kau kehendaki, sepanjang mampu kuusahakan, akan kulaksanakan.”
“Baiklah, Baginda. Maaf, kalau permintaan ini terlalu besar.”
“Apa itu?”
“Hamba ingin mempersunting putri Baginda.”
Dua netra Raja Demon berkaca-kaca. Bukan berarti sedih, melainkan sebaliknya, ia tampak bergembira. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi, ia mempunyai menantu rupawan, gagah, dan berhati mulia. Hal itu pasti bakal segera mengantar diri sekaligus kerajaannya kian berwibawa, disegani oleh rakyat serta kerajaan-kerajaan lainnya.
“Baiklah, Mesian.” Seraya mengulurkan senyum tipis, Raja Demon berujar lirih.
“Tapi, Baginda…”
“Tapi apa, Mesian?”
“Ijinkanlah putri Baginda untuk meninggalkan istana. Hamba akan membawanya pulang ke negeri hamba. Selain itu…..”
“Apa lagi, Mesian?”
“Selain menjadi istri hamba, ia juga menjadi istri saudara hamba, Hornames.”
Pundak Raja Demon terangkat, dua alisnya mengait, terperanjat. Sekaligus hampir oleng. Oleng? Ya. Tak layak dimungkiri, bahwa ia amat senang apabila putrinya bersuami pemuda tampan, elok tabiat pula. Namun, menyerahkan seorang perempuan selaku pendamping bagi dua laki-laki sekaligus adalah perbuatan gila. Ia tak habis pikir, mengapa pemuda di hadapannya itu berucap demikian.
“Bagaimana, Baginda?”
Aih, aih, aih…. Sepertinya, pemuda itu pemuda kiriman dari langit, yang ditugaskan untuk menguji hatinya. Baru dua bulan berduka atas meninggalnya permaisuri, dan, kini, adakah ia juga akan kembali mengulun kesedihan mendekati serupa: ditinggal pergi sang putri? Bagaimana rasanya hidup jauh dari seseorang yang begitu ia sayangi.
Di saat yang serba pelik demikian, bukanlah seorang raja, jika ia menghibahkan jawaban tanpa bijak.
“Jika itu kau anggap yang terbaik, laksanakanlah Mesian!”
“Terima kasih… Terima kasih…. Sejuta tabik bagi Baginda.”
***
Seperti biasa, pagi itu, Hornames pergi berburu. Pejantan yang berusia lima puluh tahun lebih itu gemar sekali melahap waktu demi menangkap kijang. Hampir saban hari, selepas surya mencagun dari sarangnya hingga senja menampakkan batang hidungnya, ia berkeliaran di belantara.
Hari itu, sebenarnya ia tak hanya berburu. Lalu? Derap langkahnya disertai hasrat mencari bunga Haya. Sebelum berangkat, Nommy berpesan untuk mencarikannya bunga paling kirana di dunia itu. Kali ini, ia urung pulang, sebelum berhasil memetiknya.
Senja menghilang. Malam semakin tua. Namun, Hornames belum pulang. Mesian khawatir terjadi apa-apa dengan kakaknya.
“Nommy, kakak belum juga kelihatan?”
“Belum, Mesian”
“Seharusnya ia sudah pulang dari tadi. Kalau untuk berburu empat sampai lima kijang saja, ia tak akan pulang selarut ini.”
“Maaf, Mesian. Mungkin ia masih berusaha mendapatkan bunga Haya.”
“Apa?”
“Benar. Akulah yang menginginkannya.”
“Apa kau belum tahu, bila bunga Haya hanya ada dalam cerita nenek moyang?”
“Sekali lagi, maafkan aku, Mesian.”
“Lantas apa yang kau harapkan?”
“Aku tak kuat lagi membagi cinta ini, Mesian! Cinta yang semestinya dipersembahkan utuh kepada seseorang, nyatanya harus dibelah-belah. Emm… tadi kukatakan pada Hornames, bahwa bunga itu tumbuh di ujung hutan Semme.”
“Adakah kau tahu, orang-orang yang pergi ke sana guna membuktikan dongeng itu tak dapat kembali?”
“Ya, Mesian. Aku juga dengar, kalau di sana terdapat raksasa yang tak mungkin dikalahkah oleh siapa pun.”
Mesian tergeragap, tak sanggup menghembuskan sebiji kata pun. Sepasang telinganya mendidih, kala menadah penjelasan yang dilontarkan perempuan bermata kucing itu.
“Apabila ia sudah tak berada di rumah ini, aku pun leluasa menghidangkan cintaku untukmu, Mesian.” Dengan enteng, Nommy melanjutkan.
“Tiada sepantasnya kau berkata demikian, Nommy. Ketahuilah! Sungguh, ketika bermaksud memboyongmu dari singgasana, yang ada dalam otakku adalah kakak. Aku tak tega melihatnya kerap dijuluki bujang lapuk.”
Udara diam, turut menyimak helai demi helai kata yang menyembul dari katup mulut Mesian.
“Dan, kau patut heran, kenapa dulu, aku memohon agar ayahmu bersedia menjadikanmu sebagai istri bagi sesetel adik-kakak secara bersamaan. Sesungguhnya, aku hanya berniat menguji sejauh mana kebenaran kata orang-orang. Kebenaran bahwa Raja Demon merupakan seseorang yang teguh menggenggam janji.”
“Jadi, selama ini kau mempermainkan perasaanku?”
“Menurutmu?”
“Tega benar kau, Mesian!”
***
Fajar mendarat. Dedaunan basah kuyup oleh dekapan embun. Saat Nommy masih terlelap itulah, Mesian keluar dengan mengendap-endap, bagai pencuri yang berhajat menggasak harta bidikan. Aku akan menyelamatkanmu, Kakak! Batinnya memekik.
Mesian mafhum, bahwa kepergiannya tiada lain merupakan sebutir pilihan menyulitkan. Benar. Pilihan antara membagul pulang saudaranya atau membuang nyawa sia-sia. Di tengah kegundahannya, ia tetap berkeras hati, meski ancaman kematian selalu menanti.
Mesian menggigil dengan sesekali mendengus berat. Perjalanannya benar-benar menguras peluh dan tenaga. Selama empat hari empat malam, dengan kaki gemetaran serta tenggorokan kerontang, khatamnya, Mesian tiba di loka tujuan. Sebelum sampai di sana, dalam otaknya tergambar tempat gelap menyeramkan dengan tengkorak manusia tergeletak di sana-sini serta bau mayat berseliweran. “Semoga tubuhku terasa pahit di lidah raksasa itu, sehingga ia memuntahkannya”. Begitulah kalam yang berulang-ulang dilempar.
“Luar biasa!” Mesian mendapati sebuah gedung megah dibungkus emas berlapis-lapis. Teronggok kubah menjulang di atasnya. Tiang-tiang besar berbahan marmer berdiri kokoh. Jendela-jendela mungil dengan kaca-kaca menyala melingkar. Permadani itu, permadani yang berwarna keperakan itu terhampar memesona. Setelah mendekat, lelaki berkumis runcing itu semakin takjub dan penasaran ketika mendengar suara riuh berpunca dari dalam. Suara tawa yang membahana. Tawa yang memperlihatkan kebahagiaan yang sangat.
“Mari, silakan masuk.”
Sekonyong-konyong Mesian dikagetkan dengan datangnya dua perempuan cantik jelita bertubuh aduhai indahnya. Dengan lembut, ia dituntun, ah tepatnya digandeng mesra, memasuki gedung berlantai dua puluh tiga itu.
Mesian tegemap. “Ai, mereka kan orang-orang kampung yang dikira mati! Rupanya mereka malah hidup bahagia di sini.”
Dengan jantung berdentum-dentum, dijangkapi kening berkerut, Mesian meneruskan langkahnya. Ranjang-ranjang empuk manawarkan bidadari-bidadari bermata purnama. Meja-meja bundar menyajikan makanan dan minuman yang nikmatnya tiada tara.
“Hai, Mesian!”
Lelaki jangkung memeluknya dari belakang.
Ia menoleh dan, “Kakak?”
Hornames berpakaian rapi dan anggun, memakai topi lancip dari sutra. Mesian mematung. Ah, mimpi?
“Ini kenyataan, Mesian. Mari, sebelum bersenang-senang, kuantar kau menghadap seseorang yang disepuhkan di sini.”
“Siapa?”
“Ayolah! Nanti kau tahu sendiri.”
Seorang lelaki bermahkota melendeh santai didampingi selir-selirnya. Jemari beberapa perempuan menyuapkan buah anggur hijau, sedangkan beberapa lainnya mengalirkan udara dengan kipas.
Mesian tercekat. Orang itu mirip sekali dengan raja. Ya, Raja Demon. Ayah istrinya sekaligus si mertua. Ah, di dunia ini mesti ada dua manusia berkembar rupa. Ia menghibur diri, mencoba meyakini bahwa seseorang yang dikelilingi beraneka ragam kenikmatan itu bukanlah Raja Demon.
“Mesian. Bagaimana kabar putriku?”
Benar. Tiada bukan, ialah Raja Demon!
Bibir Mesian menangkup. Bagaimana? Bagaimana jika raja mengerti kalau ia berkhianat pada Nommy. Bagaimana jika raja mengendus kemauannya memperistri putri raja sekadar basa-basi. Bagaimana jika apa yang ia sembunyikan tunai diketahui. Dan, entah berapa ekor lagi pertanyaan menusuk-nusuk kepalanya.
“Kenapa kau tak membawanya kemari, menantuku?”
Mesian menunduk; berlagak antara malu dan takut. Dan……

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar