Senin, 24 September 2012

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian “Haluan” edisi Minggu, 23 September 2012)


Ibu

di setiap jengkal ubanmu
terkandung biji batuk anakmu

Malang, 2010


Amatir

baru dua tahun saya menyair
belum sanggup melawan sihir

apalagi menghadapi kata-kata
rajin sekali saya kena tenungnya

makanya akhir-akhir ini
saya pura-pura akrab dengan puisi
siapa tahu dalam waktu dekat
ia bersedia jadi body guard

Malang, 2010


Kereta Sapi

manusia sudah tak sanggup beli karcis
mereka lebih hobi pilih yang gratis

makanya mulai sekarang
langka sekali ada penumpang
kecuali para binatang
atau sapi jadi-jadian

Malang, 2010


Harga Bual di Pasar

sebagai pelanggan
kami malu tertipu ulang

kemarin keju yang kau lelang
katanya barang imporan
e, tahunya produk Bang Karjan

kalau gak ingin
makan perasaan, dihajar keadaan
atau bermalam di istana keamanan
jangan sekali-kali kau jual permainan
hingga akhirnya banyak spekulan

guna menebus saat lalu
juga bagi kesejahteraanmu
baiknya sekarang kau beritahu
berapa harga bual yang kau mau

agar kami paham
kapan bisa utang
kapan harus cuci tangan

Malang, 2010


Pesan Terakhir

lewat senyum kentalmu
aku hidupi keluarga

lewat cium kenyalmu
aku perbaiki ranjang bunda

tapi,
enggan sakit itu
kauwariskan padaku

lebih nyaman
kaupersembahkan
untuk anak-binimu

dengan begitu
kita akan selalu
menyalurkan,
mengembangkan cinta:
dua insan
sang pendosa
dua insan
pengharap surga

Malang, 2010


Surat dari Bulan
: Joko Pinurbo

bulan menatapnya lamat-lamat
tanpa tahu mengapa ia sering bugil
di jalanan

"ini anak berani sekali
pamer senjata
padahal milikku lebih berwibawa"

bukan hanya itu,
anak kurus bertabur ingus
selalu saja nongkrong
di taman kota
membawa kaleng bekas
mengajukan proposal
bagi para musafir
dan si enggan kikir

lama-lama bosan juga
sudah berjuta hari
ia menelan ludah,
mengernyitkan dahi
cahayanya tampak lebih redup
dari sebelumnya

"apa ia tak khawatir
kalau masuk angin
atau terkena pilek"

setelah berpikir seharian
muncul sebuah keputusan:
menulis surat
pada angin berkelabat

: "tak usah kau serang sakitnya
ini hanya ada sedikit cahaya
lumayan, untuk sementara
jadi ganti celana
yang telah lama
disimpan ibunya"

Malang, 2010

Ekspedisi ke Pulau Kematian (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 21-28 September 2012)


Angin hitam menampar gunung dan bebukitan. Debu-debu membuntingi udara. Rumputan hijau beralih rupa mendedahkan rona menakutkan. Burung-burung gagak berdengking memekakkan telinga. Benar-benar di luar dugaan! Negeri yang beberapa dasawarsa memeluk kesejahteraan itu, kini dirundung kekacauan.
Kekisruhan luar biasa bergulir di Bulma. Darah tumpah di sana-sini. Begitu mudah nyawa terapung sia-sia. Sehingga, dalam waktu singkat, muncullah janda-janda yang ditinggal mati para suami. Janin-janin lahir tanpa melihat sang ayah. Begitulah, jika seorang pemimpin yang diagung-agungkan tiba-tiba mangkat. Mangkat tanpa meninggalkan sepucuk wasiat.
Jangkap dua tahun ini, perebutan kekuasaan antar keturunan raja menerbitkan pertempuran dahsyat di berbagai tempat. Tiada lain yang menjadi tujuan, kecuali sekadar mewujudkan hasrat untuk mewarisi kekuasaan. Maka, menghabisi sesama saudara merupakan hal yang diperbolehkan, meski ajaran leluhur sepenuhnya melarang. Rumo, Karumis, dan Vigro—dengan pasukan pendukungnya masing-masing—menabuh genderang perang satu sama lain. Mereka bertiga laksana singa; hendak menunjukkan siapa yang lebih pantas menjelma raja diraja bagi belantara singgasana.
***
Di selembar pagi yang agak muram, seorang renta menggelesot di beranda rumah. Pandangannya tajam menghunjam ke angkasa. Jemarinya menggelatuk riuh di atas tanah. Dari gerak-geriknya, tampaklah ia tengah memikirkan sesuatu. Ialah Honcu, lelaki berhidung bengkok yang mengkhawatirkan nasib rakyat Bulma.  
Usai menimbang pikiran, Honcu bermaksud mengumpulkan beberapa orang. Sesepuh yang pernah menjadi penasihat raja ketika pemerintahannya sedang gilang-gemilang itu layak mengambil tindakan. Situasi kian menjepit. Kalau tak lekas ditangani, tentu akan membuat tanah kelahirannya luluh lantak. Bukanlah Honcu, jika ia membiarkan perseteruan antara ketiga putra raja itu berlarat-larat. Naga-naganya, moncongnya bosan menegur mereka untuk berdamai. Usahanya nihil. Tiga pangeran bersaudara itu menolaknya mentah-mentah. Bahkan, jika masih berbulat nekat melontarkan nasihat, ia terancam hukum pancung.
Seraya mengendap-endap, bertembunglah orang-orang kepercayaannya di Hutan Remu. Honcu menyambut kedatangan mereka dan segera mengutarakan apa yang sudah lama dikubur dalam-dalam.
“Kawanku sekalian. Akhir-akhir ini, aku bersua dengan raja dalam mimpi. Keningnya yang bergelombang dengan netra yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa ia sangat sedih. Baru kali itu aku melihatnya begitu tersiksa dengan kesedihan. Saking sedihnya, ketika aku melontarkan pertanyaan, tak sepatah katapun mengalir dari lidahnya.”
Honcu menghirup nafas dalam-dalam. Serejang kemudian, ia melanjutkan, “barangkali kesedihan raja melebihi kesedihan yang kurasakan.”
Orang-orang yang berdiri di depannya mematung, menyimak setiap bulir kata yang berhembus dari katup mulutnya.
“Aku merasa berdosa. Amat berdosa.” Sekonyong-konyong pipi Honcu basah tertusuk air mata.
“Juga kami, Honcu.” Salah seorang dari mereka—entah siapa—menyambung.
“Tentu kalian paham dengan maksud pertemuan ini.”
“Ya. Paham sekali malah.” Jawab mereka serentak.
Empat hari empat malam, orang-orang jangkung besar itu membicarakan rencana yang paling tepat guna membungkam keadaan. Sayangnya, menentukan keputusan bersama bukanlah urusan sepele. Betapa kata sepakat memang sukar didapat. Ya. Dalam otak mereka teronggok rencana-rencana yang berbeda disertai alasan yang sama-sama kuat.
Pada hari terakhir, Honcu mengangkat suara. Saat usulnya diulurkan, orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut mengangguk diam, tanda mereka setuju.
***
Usai menggelar rembuk bersama, pada khatamnya, orang-orang itu terpaksa mengikuti masukan Honcu. Ini memang keputusan pahit yang harus diketam: berlayar menuju Pulau Kematian.
Berbekal peta dari Juyi, berangkatlah sebelas orang dalam rangka menemukan tempat di mana ditampung arwah-arwah manusia. Ya. Mereka akan menjemput arwah raja, membagul pulang, lantas memasukkan ke jasad raja yang diawetkan dalam piramida. Dengan begitu, Bulma akan diperintah sang raja seperti sedia kala.
Entahlah! Akankah mereka mengunyah keberhasilan, ataukah justru tersesat di tempat yang belum suah mereka injak. Dalam riwayat manusia, rasanya, baru itu kali ada ekspedisi ke Pulau Kematian. Pulau yang selama ini dicerna dari cerita nenek moyang. Pulau yang sama sekali enggan terbersit dalam bayangan, namun sangat diyakini keberadaannya.
Sungguh, tiada pernah tersembul dalam benak orang-orang sebelumnya untuk bertandang ke sana. Maklumlah. Bagi sebagian besar orang, berziarah ke Pulau Kematian merupakan sebuah kebodohan. Kebodohan? Benar. Berkunjung ke loka mengerikan tersebut sama saja dengan menjemput kematian itu sendiri.
Di hari-hari pertama, perahu yang mereka tunggangi meluncur tenang. Meski berusia tua, nyatanya perahu tersebut jauh dari mengecewakan. Harapan kokoh menjulang di hati beberapa manusia yang berada di dalamnya. Sepuluh orang sebagai awak. Dan, satu orang—siapa lagi kalau bukan Honcu—bertindak selaku nahkoda. 
Setiba di Samudra Harmes, mereka tercengang. Apa yang didengar dari kakek-nenek mereka semenjak balita betul adanya: lautan kuning keemasan dengan ombak yang indah dan tiupan angin yang teduh. Mencerap itu semua, Zahel kurang terima. Ia ingin membuktikan satu lagi ciri yang sempat dibocorkan ayahnya sebelum tiada.
“Manis. Airnya manis! Ini memang samudra yang ada di dongeng itu.”
Lelaki itu… lelaki dengan alis kepak camar itu memekik riang, setelah meneguk air hasil gayuhannya dengan batok kelapa yang ia kaitkan dengan sebatang kayu. Anehnya, di tengah samudra sarat keelokan tersebut terdapat daratan sempit yang menampung ribuan tengkorak, membuat dada mereka berdesir dan penasaran. Adakah tumpukan mayat itu orang-orang yang berburu harta karun namun kehabisan bekal? Ataukah warga setempat yang dibantai oleh komplotan perompak? Ataukah serupa dengan mereka yang ingin pergi ke Pulau Kematian? Serta masih banyak lagi atau-atau yang lain.
Hingga hari keduapuluh tujuh mereka mampu bertahan hidup, dengan keadaan cukup memprihatinkan. Bukan sekadar lapar yang merajalela, melainkan juga kepiluan yang kian hari kian menganga. Entah sampai kapan mereka terus berlayar. Adapun peta pemberian Juyi, sebagai modal utama, buru-buru kabur bersama angin puting beliung yang menyerang mereka suatu malam. Untung saja, perahu sederhana yang mereka anggap rumah sementara itu tak terpelanting, meski beberapa bagian rusak berat.
Di hari keduapuluh delapan, kesulitan menumpuk. Bukan cuma makanan. Untuk minum saja, mereka kesusahan. Pelayaran yang diperkirakan menelan waktu paling lama dua minggu tersebut mau tidak mau memicu mereka berhemat, walaupun pada akhirnya mereka tetap saja kekeringan bekal. Hal ini diperparah dengan samudra yang sedang mereka lalui menghidangkan air amis, menyebabkan semua orang yang meminumnya muntah—sekebal apa pun orang itu. Bagaimanapun, penyesalan meruap di kemudian hari. Andai saja, sekali lagi andai saja dapat balik ke Samudra Harmes, niscaya mereka akan menjadikan airnya sebagai cadangan minuman. Sungguh, dugaan mereka bertutur, bahwa beberapa samudra yang bakal dilalui mengantongi ciri yang mirip dengan samudra indah tersebut. Celakanya, realita berkata sebaliknya.
Terang saja, harapan menemukan Pulau Kematian menciut. Daya semangat lumpuh. Keraguan mereka membuntang kala memergoki Brosut meregang nyawa, usai melawan luka hebat sebab tertimpa tiang perahu yang roboh diterjang badai. Dalam kondisi demikian, beberapa awak mulai memperlihatkan kegeraman. Di antara mereka yaitu Pirmol. Dengan geraham mengencang, ia membuka pembicaraan.
“Akan kau bawa ke mana kami, hai orang tua?”
“Sabarlah, Saudara! Sebentar lagi kita akan sampai.”
“Di manakah Pulau Kematian itu?”
“Percayalah! Kita akan lekas sampai di sana.”
“Sampai, sesudah kami semua mati satu per satu?”
Honcu terdiam. Kurang bijaksana, jika orang yang terlilit amarah dihadapi juga dengan kemarahan.
Di hari ke sekian, benarlah apa yang dikatakan lelaki berdada bidang itu. Dari kesebelas orang, dua yang tersisa: Pirmol dan Honcu. Mereka berdua lebih laik bertahan hidup ketimbang lainnya. Ketahanan fisik Pirmol memang tiada duanya. Tak ayal, kerap ia diminta menjadi pengawal ketika para pejabat istana hendak bepergian jauh. Adapun Honcu, keteguhan hati dan kepercayaan dirilah yang menerapnya sanggup bersikukuh.
Malam semakin tua. Hujan merangkak. Petir memancangkan tombaknya. Tubuh Pirmol menggigil. Butuh sebutir keajaiban untuk menghindarkannya dari maut. Di saat-saat terakhirnya, ia berpesan kepada Honcu.
“Jika Pulau Kematian itu berhasil kau temukan. Tolong sampaikan salam hormat kami kepada raja.”
Dengan gugurnya Pirmol, genaplah sepuluh orang menjemput ajal, sebelum dapat bertatap muka dengan raja di Pulau Kematian.
Layaknya serigala, Honcu meraung sekeras-kerasnya. Ingin sekali ia memberontak, tapi kepada siapa. Tanpa disadari, bibir perahu menyentuh daratan. Ia bergegas melemparkan sauh. Semangatnya pulih seketika. Dan, sebongkah kebahagiaan bertunas di pundaknya.
“Inilah Pulau Kematian!”
Honcu melihat banyak arwah berkeliaran. Namun, tak satu arwah pun dikenal. Jikalau mengetahui identitas salah satu dari mereka, pastilah ia bersoal tentang pengalaman bermukim di pulau berbau darah tersebut.
Honcu berlari ke sana kemari; berteriak, memanggil-manggil nama raja. Akan tetapi, tiada yang menyahut. Adapun para arwah malah berkerumun, memandanginya keheranan.
Seharian Honcu melacak di mana arwah raja bersarang. Sayang sekali, tak ia pungut tanda-tanda keberadaannya. Kelelahan, ia pun bersandar pada pohon besar berdaun di tanah serta akarnya menggantung di udara. Ketika itulah, ia melihat sesosok menyerupai dirinya tergeletak di perahunya.
Honcu mengguncang-guncangkan kepala, seakan ingin mengatakan bahwa manusia yang berada di perahu itulah dirinya yang sebenarnya. Ia baru ingat, bahwa ketika Pirmol menghirup nafas penutup, sepemakan sirih kemudian ia juga menyusul, angslup ke alam keabadian.
Dalam kegalauan yang membabibuta, ia dikagetkan dengan derap langkah dari arah belakang. Arwah berwajah tampan mendekat, memeluk Honcu begitu hangat.
“Tabik bagi Baginda.” Sambil sesenggukan, Honcu mengecup kaki raja.
“Bangunlah!”
“Seribu maaf, Baginda. Hamba terlanjur mati, sebelum membawa arwah Baginda kembali.”
Raja tersenyum. Sedang pertempuran ketiga pangeran di Bulma masih terus berlangsung.

Yogyakarta, 2012

Senin, 17 September 2012

Membangun Peradaban dengan Buku (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Lampung Post, edisi Sabtu, 15 September 2012)


Peradaban sebuah bangsa akan tumbuh berkembang dengan didirikannya banyak perpustakaan. Bagaimana tidak? Perpustakaan yang menyajikan beraneka bahan bacaan akan menggenjot minat belajar dan laju keingintahuan (curiosity) masyarakat. Efek positifnya, angka kebodohan masyarakat bisa ditekan. Sedangkan tingkat kepandaian masyarakat akan menunjukkan grafik yang signifikan.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan merupakan jendela dunia yang mengantarkan para pembaca ke cakrawala pengetahuan tak berhingga, sehingga mereka mengetam apa yang sebelumnya tidak diketahui juga terlewatkan dalam kehidupan sehari-hari. Wawasan yang dimiliki seseorang akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya buku yang dipelajari. Ide-ide cemerlang dan brilian akan lahir, karena apa yang ditawarkan dari buku-buku yang dibaca memengaruhi cara berpikir serta mengambil keputusan. Tak heran jika muncul negara-negara besar karena didorong oleh budaya membaca yang mengakar.
Sebagai contoh Jepang. Negara yang berjuluk Negeri Sakura tersebut mampu menyaingi Amerika Serikat atau Eropa berkat adanya minat membaca yang kuat. Kecanduan Jepang dalam membaca patut menjadi teladan bagi negara-negara lain. Tak jarang, di tempat-tempat umum orang-orang Jepang membawa buku, komik, koran atau majalah. Ketika bepergian, bekal utama yang diselipkan dalam koper atau tas ransel adalah bahan bacaan.
Boleh dibilang, tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa di antaranya bisa dicermati dari sedikit banyaknya para penggandrung buku dan perpustakaan di dalamnya.

Budaya Membaca dan Perpustakaan
Hubungan antara budaya membaca dan perpustakaan sangatlah erat. Membaca sebagai suatu cara atau kegiatan yang berguna untuk memperoleh informasi atau pengetahuan. Sedangkan perpustakaan sebagai tempat didapatkan media yang menghidangkan informasi atau pengetahuan tersebut. Keduanya—budaya membaca dan perpustakaan—merupakan kombinasi yang sulit terpisahkan. Sebab, kegiatan membaca memerlukan tempat yang didesain secara khusus agar para pembaca merasa nyaman, rileks, dan jauh dari gangguan. Begitu pula sebaliknya. Tanpa para pengunjung dengan budaya membaca yang tinggi, tentu perpustakaan akan kehilangan eksistensi serta fungsi alamiahnya.
Perpustakaan menjadi begitu urgen karena selain menyediakan banyak literatur, ia juga didaulat sebagai tempat yang memberikan nuansa penuh kedamaian. Itulah mengapa beberapa tokoh nasional menghabiskan waktu di dalamnya untuk menjemput ide, imajinasi, dan inspirasi yang tak henti. Sebut saja Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka senantiasa berusaha untuk mengakrabkan sekaligus merekatkan diri dengan perpustakaan.
Keempatnya memosisikan perpustakaan sebagai ruang yang sangat intim dengan urat nadi kehidupan. Ketika berjauhan dengannya, mereka merasakan kehilangan. Tanpanya, mereka akan merasakan penderitaan batin yang mendalam.

Mendirikan Perpustakaan Ideal
Untuk menyemarakkan perpustakaan sebagai pusat bergumulnya pecinta ilmu pengetahuan, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah. Harus ada langkah-langkah riil yang diambil secara terencana, teratur, dan berbasis tujuan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan akan terealisasi dengan mudah. Bagaimanapun juga, proses atau tahapan yang dilalui dengan asal-asalan akan membuahkan penyesalan dan menuai hasil yang kurang memuaskan.
Pertama, menumbuhkan kesadaran masyarakat atas pentingnya membaca dan mengunjungi perpustakaan sejak dini. Ini digencarkan dengan adanya sosialisasi aktif melalui seminar, lokakarya, juga forum-forum lain yang melibatkan masyarakat. Pun dengan penyebaran pamflet dan spanduk. Langkah ini untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa membaca memiliki banyak manfaat.
Kedua, memperhatikan perpustakaan yang sudah ada. Perpustakaan yang sepi pengunjung dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat tidak perlu ditutup. Justru seharusnya diperbaiki dan dibenahi secara bertahap. Jangan sampai perpustakaan yang ada dibiarkan amburadul, tak terawat, kotor, dan tampak seram, yang menyebabkan masyarakat enggan berkunjung.
Ketiga, pembangunan perpustakaan yang digalakkan pemerintah secara besar-besaran disertai dengan melimpahnya bahan bacaan di dalamnya. Ini dinilai lebih bermanfaat daripada menghambur-hamburkan rupiah untuk memperluas pusat perbelanjaan ataupun sarana hiburan.
Berbeda halnya dengan alun-alun kota atau gedung DPR yang mewah, perpustakaan megah yang menampung ribuan bahkan jutaan referensi akan terhindar dari kesan pemborosan dan berlebihan. Hal tersebut justru menandakan bahwa pemerintah mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap kemajuan masyarakatnya. Dengan pembangunan perpustakaan-perpustakaan baru, terdapat indikasi kuat yang menyebutkan bahwa pemerintah memperhatikan masa depan masyarakat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Beberapa abad silam, perpustakaan menjadi concern pemerintahan Islam. Perpustakaan selalu mendapatkan perhatian lebih dan prioritas utama dibanding sarana publik lainnya. Biaya besar sengaja dialokasikan demi mempercantik dan memperindah penampilan fisik perpustakaan. Selain itu, tentu koleksi bahan bacaannya ditambah dengan mendatangkan referensi dari luar atau dengan melakukan penerjemahan sejumlah referensi penting dan berharga.
Pada pengujung abad kedua Hijriah, perpustakaan-perpustakaan umum telah menjamur demikian banyaknya. Rasanya sulit untuk sekadar menaksir atau melakukan list terhadap jumlah perpustakaan sepanjang sejarah kekuasaan Islam. Hal ini disebabakan perpustakaan pernah sekian lama dijadikan simbol kebesaran, kebanggaan, dan tren pemerintahan Islam. Kota-kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan Islam semisal Bagdad, Kairo, Damaskus, dan kordova sangatlah kaya dengan perpustakaan. Di antara perpustakaan-perpustakaan besar dalam sejarah Islam, yaitu (Daud Rasyid, 1998: 100-101)
Pertama, Darul Hikmah di Bagdad, didirikan Khalifah Harun Al-Rashid (149-193 H), yang kemudian dilanjutkan oleh putranya al-Makmun (170-218 H) dalam menyubsidi kitab dan memperkaya koleksinya.
Kedua, Khazanah Qurthuba, di kordova yang mengoleksi 400 ribu jilid buku (bahkan menurut kronik William Draber, jumlahnya sampai 600 ribu jilid).
Ketiga, Darul 'Ilm di Mesir yang berdiri pada masa Dinasti Fathimiyah (297-567 H). Perpustakaan ini sempat menjadi kebanggaan kaum muslimin karena jumlah kitab yang melimpah dan telah tersedianya beberapa sarana yang cukup memadai.
Hal terakhir yang perlu diemban, yaitu mempelajari lebih dalam profil perpustakaan-perpustakaan berkaliber dunia sekaligus menggali rahasia mengapa perpustakaan-perpustakaan tersebut merengkuh kesuksesan dan selalu dikenang sejarah. Kemudian yang terpenting adalah mengaplikasikannya pada perpustakaan yang akan dibangun ataupun yang hanya mengalami perombakan. Mulai dari manajemen, pelayanan, fasilitas, sirkulasi referensi, pemilihan tema bacaan, dan lain sebagainya.
Dengan dilaksanakannya langkah-langkah di atas, diharapkan lahir perpustakaan ideal yang mampu membangkitkan hasrat masyarakat untuk senantiasa menghiasi kehidupan dengan bergelimangnya pengetahuan, sehingga kelak timbul peradaban yang adiluhung dan gilang-gemilang.

Yogyakarta, 2012