Minggu, 11 Januari 2015

Anomali Terompet (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 11 Januari 2015)

Sejarah Nusantara tidak bisa terlepas dari terompet. Terompet menjadi bagian penting perjalanan negeri ini. Terompet turut memberi “lampu hijau” atas berkembangnya peradaban yang gilang gemilang. Namun demikian, dari masa ke masa, terompet selalu melakukan redefinisi. Eksistensi terompet tergantung pada realitas sosio-kultural masyarakat.

Dalam Kilasan Sejarah
Dahulu kala, saat masyarakat masih menjunjung tinggi solidaritas, terompet mendapat posisi mulia. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, mengenai salah satu kota kerajaan, yaitu Surakarta, Denys Lombard (2005) mencatat bahwa ketika dibangun oleh Sunan Paku Buwana II pada tahun 1745, raja dan ratu tampil di panggung singgasana (sitinggil) diiringi oleh sejumlah penari perempuan. Diikuti beberapa gajah, satu barisan penunggang kuda serta lima brigade prajurit (gangsal bregada) Kompeni, mereka disambut oleh meriam, bunyi gamelan, serta tiupan terompet. 
Hal ini menandakan bahwa terompet menjadi saksi historis atas didirikannya Surakarta, sebagai pengganti Kartasura—yang telah dinodai oleh pasukan Cina-Jawa di bawah Sunan Kuning dan pasukan Madura yang dinahkodai Cakraningrat IV. Terompet turut “merestui” Surakarta menjadi kota perniagaan yang besar.
Terompet pernah menjadi pemantik semangat perjuangan. Berdasarkan Pramoedya Ananta Toer (2001), kronik revolusi Indonesia mencatat bahwa saat menghadapi suasana genting, Komandan Divisi X Tgk. Chik di Tiro menerbitkan perintah umum kepada segenap anggota Lasykar Mujahidin untuk bersiaga menghadapi Belanda. Perintah umum yang dikeluarkan sehari setelah Agresi Militer Belanda I pada 1947 tersebut diakhiri dengan seruan:
“Barisan Mujahidin, maju terus ke medan perang. Terompet sudah memanggilmu. Nyanyian bidadari menggema alam fana di dalam kabut asap mesiu untuk menghibur jiwa yang gugur di medan pertempuran.”
Kata “terompet” menjadi stimulus bagi para pejuang untuk melaksanakan mandat patriotisme dan nasionalisme. Terompet mengandung ajakan untuk mempertahankan martabat bangsa agar tidak diinjak-injak.
Sejarah pergerakan perempuan mendapat kawalan ketat dari “Terompet”. SK Trimurti, seorang wartawati, penulis, dan pengajar, telah merintis majalah “Terompet” yang merupakan kelanjutan dari majalah berbahasa Jawa, “Bedug”. Majalah ini bertujuan menggugah kesadaran rakyat luas untuk mengusir penjajah. Dengan tulisan-tulisannya yang kritis, S.K Trimurti menentang kesewenangan orang Belanda memperlakukan pribumi. Menunjukkan sikap anti kapitalisme dan imperialisme, istri Sayuti Melik tersebut berani menelanjangi ketidakadilan kaum kolonial.
Terompet juga memuluskan tersebarnya ide harmonisasi perbedaan. Terompet mengulurkan dukungan terhadap kerukunan antar umat beragama. Pada 30 Desember 1970, Paus Paulus VI memimpin misa di Stadion Utama dalam rangka kunjungannya ke Indonesia (Julius Pour, 2004). Alunan terompet menyambut pemimpin Kristen yang mengulurkan kepedulian terhadap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Hal ini menandakan keterlibatan terompet dalam melancarkan terbukanya keran pluralisme internasional.

Terompet dan Tahun Baru
Bersamaan dengan arus modernisasi dan globalisasi yang melegalkan individualisme, saat ini, masyarakat cenderung menempatkan terompet pada posisi kurang terhormat. Terompet sekadar menjadi cheerleader hingar-bingar malam tahun baru. Sehingga, terbentuk opini publik bahwa tahun baru identik dengan terompet.
Tahun baru menampilkan terompet sebagai komoditas paling dicari. Tanpa terompet, tahun baru terasa hambar. Terompet mendadak menjadi kebutuhan primer bagi siapa saja yang ingin merayakan awal tahun dengan gegap gempita. Terompet dianggap sebagai most urgent need guna menyaksikan wajah negeri yang bakal berganti. Celakanya, terompet menjadi lebih penting daripada tahun baru itu sendiri.
Di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan terompet menjadi penanda bahwa sebentar lagi kalender berganti. Terompet juga melapangkan jalan tahun baru yang selalu menyajikan ironi: meniupkan kabar gembira sekaligus berita duka. Jika pemeluk status sosial tinggi merayakan keberlimpahan, maka pemegang status sosial rendah sibuk merayakan penderitaan.
Bagi orang kaya, tiupan terompet dapat menimbulkan semangat baru. Pergantian tahun mempercepat naiknya pangkat, gengsi, dan gaji. Itulah sebabnya, kesejahteraan yang berada di depan mata perlu disambut dengan pesta dan hura-hura. Terompet menyimpan euforia.
Adapun bagi orang miskin, terompet layaknya sangkakala. Menyimak nada terompet ibarat mendengarkan bunyi sangkakala yang ditiup Isrofil. Pergantian tahun merupakan kiamat bagi mereka. Grafik nasib mereka menurun, lebih buruk dari tahun ke tahun. Kecilnya pendapatan tidak cukup memenuhi kebutuhan seabrek. Pergantian tahun selalu dinanti, meskipun pada akhirnya mereka sakit hati.
Di sinilah terompet mengandung anomali. Sebagian masyarakat menganggapnya pengingat kabar gembira, akan tetapi sebagian lain menudingnya sebagai alarm bahaya. Dengan posisi saling bertolak belakang, terompet kehilangan identitas. Apalagi, martabat terompet cenderung berevolusi, dari penyokong kejadian-kejadian penting (important events) ke sekadar penyangga sikap hedonis-pragmatis.
Realitas ini menyebabkan eksklusifitas terompet terancam. Masa depan terompet rentan mengalami kehancuran. Kita hanya bisa menunggu. Apakah di masa mendatang, terompet hanyalah saksi mata meningkatnya kesenjangan sosial, ataukah saksi historis atas beragam peristiwa besar.

Bojonegoro, 2015