Selasa, 30 Mei 2017

Demokrasi Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Senin, 29 Mei 2017)


Akhir-akhir ini, banyak desa disibukkan dengan hajatan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dilaksanakannya Pilkades serentak menyusul penerbitan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 yang mengatur tentang prosedur, mekanisme dan rambu-rambu aturan Pilkades.
Di negeri ini, hingar-bingar panggung politik lokal tak jauh berbeda dengan dinamika politik nasional. Demi meraih kesuksesan dan memenangkan rivalitas, beberapa cara ditempuh calon kepala desa. Sayangnya, beberapa di antara mereka menerapkan “strategi busuk”. Mereka berusaha mendongkrak elektabilitas dan meraup banyak suara dengan bermodal uang.

Money Politic
Money politic merupakan strategi yang dilegalkan oleh mereka yang ingin memperoleh jabatan. Uang memberi jalan bagi siapa saja yang ingin melenggang dalam jagat politik. Orang-orang yang dibekali modal finansial dapat dengan mudah menggerakkan arus politik lokal. Dinamika politik seolah disetir oleh mereka yang berdompet. Momentum pemilihan kepala desa begitu dinantikan oleh orang-orang kecil terutama saat paceklik. Geliat demokrasi lokal disambut oleh mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terjepit. Meroketnya prosentase rakyat miskin mencoblos berimbas pada suksesnya penyelenggaraan Pilkades. Boleh dibilang, terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.
Dengan getolnya persaingan calon kepala desa dalam membagikan uang, tentu mereka merasa diuntungkan. Sebab, hanya dengan berdiam di rumah, seseorang memperoleh uang tanpa perlu bekerja dan memeras keringat. Dorongan sosiologis dan ekonomis melatarbelakangi kesediaan orang-orang pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Keterlibatan mereka dalam hingar-bingar pesta demokrasi tidak didorong oleh keinginan mencari pemimpin yang ideal, melainkan kecenderungan mencari rupiah. Di sinilah terjadi pergeseran pelembagaan demokrasi ke ikhtiar pemerolehan materi. Pembelajaran politik bagi masyarakat yang menjadi tujuan penyelenggaraan Pilkades hanya pepesan kosong. Kemandirian dan kedewasaan berpikir rakyat diabaikan. Sistem pengangkatan pemimpin lokal dirusak oleh ulah para pemodal dan kaum kapital.
Namun demikian, tidak selamanya pemberi uang terbesar memperoleh kemenangan. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis. Pola pikir masyarakat bergeser dari tradisional ke modern. Cara berpikir rasional membimbing mereka dalam mengambil keputusan. Uang rupanya tidak dapat mengubah keteguhan hati dalam menjatuhkan pilihan. Meski telah menerima uang dari seorang calon, bisa jadi mereka enggan memilih calon tersebut atau bahkan sengaja abstain. Maka, di sejumlah desa, golput memperoleh pengikutnya. Sebagian masyarakat terlanjur beranggapan, nasib mereka tidak pernah berubah dengan bergantinya pemimpin. Pilkades seolah merepresentasikan rutinitas tanpa meninggalkan bekas.
Ada juga dermawan-dermawan dadakan yang turut menyokong keberhasilan calon kepala desa. Tanpa diminta mereka ikut mensukseskan kampanye. Mereka memberikan uang dan beragam keperluan rumah tangga kepada masyarakat demi terpilihnya seorang calon kepala desa. Mereka terutama berasal dari pihak yang tidak menyukai kepemimpinan kepala desa lama dan menghendaki perombakan struktur pemerintah desa. Akan tetapi, ada juga yang menggelontorkan uang dan sembako demi mengeruk keuntungan. Setelah mengeluarkan modal politik, mereka meminta seorang calon kepala desa untuk mengganti ongkos yang telah dikeluarkan.
Kepada yang terakhir, sering kali calon kepala desa merasa dirugikan. Pilkades seolah momentum untuk menjebak calon kepala desa dengan banyak utang dan problematika ekonomi. Sayangnya, menghadapi oknum semacam ini, calon kepala desa seakan tak berdaya. Ia menghadapi dilema. Mengganti semua modal politik yang dipinjamkan “dermawan gadungan” merupakan problematika baru sebab membutuhkan banyak uang. Akan tetapi, mengabaikan tuntutan mereka sama saja menodai kewibawaan diri sendiri. Ia tentu dianggap “kurang modal”, sehingga untuk mengganti ongkos politik lokal saja merasa keberatan atau bahkan tidak mampu. Sejumlah kasus menunjukkan calon kepala desa menyerah dengan mengikuti alur permainan mereka. Sedangkan kasus lain menggambarkan perlawanan calon kepala desa dengan mengatakan bahwa tanpa meminta bantuan, tanggung jawab mengganti apa yang genap dikeluarkan tidak berada di pundaknya.

Identitas Bangsa
Orang rela kehilangan uang, sawah, tanah, atau rumah sekalipun demi menduduki kursi kekuasaan desa yang memuat prestise. Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Padahal, ketika seseorang kalah bersaing, ia mengalami tekanan batin yang luar biasa. Mentalitas dan kepercayaan diri bisa merosot sedemikian rupa. Selain malu kepada tetangga dan sanak famili, ia juga mengalami kerugian material yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Parahnya, kekalahan ini kadang ditebus dengan kondisi kesehatan dan perekomian yang kian menurun. Beberapa dari mereka memilih transmigrasi, melakukan tindakan kriminal yang berujung bui, bahkan nekat bunuh diri.
Guna mencegah maraknya money politic, pemerintah, akademisi, serta NGO bekerja sama dalam membangun identitas bangsa. Masyarakat senantiasa dijauhkan dari pola pikir materialistis dan pragmatis. Rasionalitas selayaknya membimbing mereka dalam menentukan sikap dan perilaku. Sejak dini, mereka diajarkan untuk tidak bergantung pada dermawan dan politisi busuk. Keberangkatan mereka menuju TPS bukan berdasarkan pamrih namun atas panggilan nurani.
Masyarakat diberikan pemahaman bahwa panggung politik lokal harus dijauhkan dari gejala money politic. Pilkades sebagai sarana memilih pemimpin harus bersih dari uang. Arus politik seharusnya bersifat bottom-up. Masyarakat mengumpulkan donasi bagi siapa saja yang maju dalam Pilkades. Dengan demikian, dinamika politik lokal tidak digerakkan dari atas melainkan dari bawah. Masyarakat berperan sebagai aktor politik daripada objek politik.

Yogyakarta, 2016

Rabu, 24 Mei 2017

Historiografi Ojek (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Rabu, 24 Mei 2017)


Dalam beberapa dasawarsa terakhir, fenomena menjamurnya tukang ojek menjadi penanda bahwa sektor usaha lokal sering kali terbengkalai. Jaringan pemasaran dan modal raksasa yang mendominasi pola produksi dari hulu ke hilir terbukti telah menutup akses orang-orang kecil. Melebarnya ketimpangan dalam hampir semua lini kehidupan menjadi muara dari fenomena ini.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya seolah hadir kembali sejak ekonomi nasional diintegrasikan dalam sistem ekonomi global. Ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan World Trade Organization (WTO) menyebabkan hegemoni modal menyetir konfigurasi praktik bisnis dan keuangan.
Dampaknya serius. Rakyat kehilangan pembela, sebab negara tidak pernah (pura-pura) hadir dalam penderitaan mereka. Rendahnya kualitas pendidikan, carut-marutnya transformasi struktur ekonomi, dan membludaknya jumlah petani gurem dan tak berlahan menyebabkan ledakan tenaga kerja informal (Suwidi Tono, 2014).

Paradoks
Sukarnya memperoleh penghasilan juga menyebabkan para petani banting setir menjadi pengojek. Realitas ini membuktikan bahwa sebagai negara agraris, Indonesia tidak sanggup menyejahterakan petani. Jangankan membeli sembako. Untuk memenuhi pupuk saja, mereka harus meminjam ke rentenir.
Berdasarkan sejumlah survei, latar belakang banyaknya petani meninggalkan sawah yaitu hasil pertanian yang tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka, beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan merupakan pilihan paling realistis.
Oleh karena jasa ojek lebih menguntungkan, alternatif ini dipilih oleh sejumlah petani. Tanpa perlu memusingkan surat izin mengemudi dan izin usaha, mereka mangkal di pusat keramaian seperti pusat perbelanjaan, terminal, stasiun, pertigaan, atau perempatan. Mengenai tarif, mereka bisa mengadakan kesepakatan dengan calon penumpang. Profesi tukang ojek merupakan jawaban dan harapan atas berbagai kesulitan yang selama ini mereka hadapi.
Namun demikian, ulah tukang ojek menjadikan jalanan sebagai sarana menambal sulam kebutuhan hidup ternyata mengundang beragam respon negatif. Tukang ojek kerap mengunyah penghinaan dan makian. Masyarakat melontarkan sinisme, lantaran mereka gemar melanggar aturan, mengesampingkan keselamatan penumpang, menyalahgunakan ruang publik, menegasikan kepentingan orang lain, mengambil alih jalur pedestrian, serta mengokupasi ‘tanah tak bertuan’ sebagai pangkalan ojek.
Pengojek semakin tersudut saat terbit larangan pemanfaatan sepeda motor sebagai ‘mesin penghasil rupiah’. Ditambah lagi, razia ojek pada 1979 oleh pihak kepolisian yang menilai bahwa perkembangan ojek yang semakin tak terkendali dan tanpa izin harus ditertibkan. Ojek dianggap ancaman yang mesti diredam dengan kekuatan represif.
Tidak hanya itu. Stereotip negatif juga melekat pada sepeda motor. Sejarah berceloteh, Ali Sadikin (1927–2008) menilai penggunaan sepeda motor sebagai sarana transportasi bertentangan dengan peraturan lalu lintas. Seseorang yang sangat berjasa dalam menyulap Jakarta menjadi kota metropolitan yang modern tersebut menganggap rendah sepeda motor. Baginya, angkutan massal Jakarta hanya berupa bus, kereta api, taksi, dan minicar (bajaj, bemo, dan helicak).

Ibu Kota
Jakarta, dengan beragam hiruk-pikuknya, ternyata tidak terlepas dari fenomena ojek. Mengutip Panji Masyarakat 15 Februari 1980 (dalam Hendaru Tri H, 2015), “ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata ‘objek’ yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi ‘ngobjek’.” Berkembangnya ojek sepeda sejak 1969 di pedesaan berlatar belakang rusaknya kondisi jalan desa. Keadaan ini memantik inisiatif sejumlah orang menawarkan sepeda kepada mereka yang membutuhkan.
Pada 1970, ojek sepeda muncul di Pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian menyebar ke Ancol, Kota, dan Harmoni. Waktu itu, hampir 500 orang menjadi pengojek sepeda. Bagi sebagian orang, dibanding transportasi lain, ojek sepeda menawarkan kelebihan tersendiri. Di samping relatif lebih murah, hanya perlu waktu singkat untuk menempuh jarak dekat.
Ketika ojek sepeda mulai dikenal warga kota Jakarta, penduduk desa berinovasi. Demi memanjakan penumpang, mereka beralih menggunakan sepeda motor buatan Jepang bermesin 90 cc. Lambat laun, ojek sepeda motor juga menjangkiti ibu kota dan segera mendapat tempat di hati masyarakat. Berkembangnya sarana transportasi yang semakin modern tidak lantas menghapus ojek. Ada saja yang menaruh minat terhadap jasa pengojek.
Dalam buku Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban (Mizan, 2015), Seno Gumira Ajidarma (SGA) menyajikan imaji mengenai eksistensi ojek di sebuah kota metropolitan. Manusia Jakarta (Homo Jakartensis) yang nyata lewat aksi, gaya, tindak, watak, dan kebiasaan yang membentuk kehidupan kota adalah manusia yang menghabiskan waktu di mobil.
Untuk urusan kantor dan lainnya, SGA mengandaikan rata-rata manusia Jakarta menghabiskan sekitar empat jam dalam mobil. Hal ini merupakan konsekuensi masyarakat urban dari kemacetan yang tak bisa ditawar. Itulah mengapa, setelah rumah dan tempat kerja, mobil diposisikan sebagai dunia ketiga. Bahkan, fungsinya lebih prestisius ketimbang rumah sebagai tempat tinggal.
Uniknya, di tengah-tengah kemacetan tersebut, terselip pemandangan mencengangkan. Tukang ojek berderet di tengah-tengah gedung pencakar langit dan kawasan elite Sudirman. Mereka siap mengantar penumpang lebih cepat dibanding mobil yang merayap di jalanan macet. Pun, hanya di Jakarta, bisa ditemukan eksekutif muda berdasi naik ojek yang mengejar meeting.
Maraknya ojek di ibu kota merupakan fenomena campuran: simbol orang-orang kalah yang menjunjung tinggi kesederhanaan serta representasi kaum The Have, dengan pola pikir materialistis-hedonistis, yang mengumbar segala bentuk kemewahan.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 16 Mei 2017

Desa dan Komunisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Senin, 15 Mei 2017)


Akhir-akhir ini, selain isu penistaan agama, pikiran dan energi bangsa ini juga dikuras habis oleh menjamurnya isu komunisme. Sebagaimana yang terjadi di sejumlah desa di berbagai penjuru Indonesia, munculnya gambar palu-arit menandakan gencarnya provokasi oleh oknum tak bertanggung jawab.
Desa merupakan lokasi di mana isu komunisme rentan dipermainkan sedemikian rupa. Pihak yang berkepentingan sengaja memanfaatkan setiap hal yang berkaitan dengannya demi mengeruk keuntungan temporer. Fenomena ini berangkat dari fakta bahwa eksistensi komunisme di negeri ini tak terlepas dari desa. Sejak dahulu kala, desa memperoleh tempat di lubuk hati orang-orang komunis. Berkembangnya komunisme berutang budi pada desa sebagai lokasi bertunasnya ideologi tersebut. Selama beberapa dasawarsa, desa menjadi pijakan bagi kaum komunis dalam memantapkan misi dan aksi. Namun demikian, pertumbuhan komunisme di aras lokal terkait erat dengan suasana politik nasional.

Iklim Politik
Ketika Orde Lama berkuasa, komunisme dapat bernafas dengan lega. Pada masa ini, desa identik dengan kader-kader komunis. Betapa dalam lingkungan yang damai dengan udara yang sejuk tersimpan potensi besar bagi suburnya komunisme. Itulah mengapa, gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 18 September 1948 masih menyisakan harapan.
Harry A. Poeze (2014: 319) melihat bahwa Partai Murba harus berjor-joran langsung dengan sisa-sisa laskar komunis dalam upaya merebut kekuasaan lokal. Calon-calon komunis sengaja dipilih untuk menduduki posisi lurah. Langkah ini digenapi dengan janji membagikan tanah dan keperluan sehari-hari kepada rakyat. Tak lupa, beragam propaganda disebarkan guna membentuk “desa-desa percontohan”.
Meyakini desa sebagai basis berkecambahnya paham yang menekankan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi (tanah, tenaga kerja, serta modal), pada tahun 1964, D.N. Aidit menerbitkan Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa. Buku ini berisi laporan singkat hasil riset tentang keadaan kaum tani dan gerakannya di Jawa Barat. Melalui buku tersebut, orang-orang desa, terutama petani, dibekali pengetahuan mengenai ideologi berlambang palu-arit serta upaya memperjuangkannya.
Setelah meletusnya G 30 S/PKI, iklim politik berubah drastis. Rezim Orde Baru tidak mengantongi alasan untuk membiarkan PKI beserta anasirnya “berlenggang kangkung”. Pembunuhan terhadap siapa saja yang mempunyai hubungan khusus dengan PKI berlangsung dalam kerangka organisasi-organisasi komunitas tradisional, semisal banjar di Bali. Militer dengan leluasa menyerahkan daftar simpatisan PKI kepada kepala desa atau kepala dusun untuk dilenyapkan. Banyak pula tahanan pendukung PKI yang dikirim kembali ke desa-desa untuk dihabisi oleh sesama warga.
Pola umum lainnya yaitu penyerangan warga desa tetangga terhadap seluruh penghuni desa atau dusun yang menyokong PKI. Hughes (1968) dan Sutton (1967) mencatat bahwa pembunuhan dilakukan terhadap mereka yang kurang beruntung, termasuk perempuan dan anak-anak. Setelah tindakan brutal tersebut puas dilampiaskan, desa tempat mereka menetap dibakar (M.C. Ricklefs, 2013: 200).
Ann Dunham (2009) mengabadikan pengalaman seorang kepala desa saat mengenang bagaimana sersan Angkatan Darat dan para aktivis Ansor berkali-kali datang ke Desa Kajar. Ia diminta menyerahkan nama-nama warga Komunis untuk segera ditahan dan dibunuh. Akan tetapi, mereka pada akhirnya berhasil diyakinkan bahwa tidak ada anggota PKI di desa tersebut, sehingga nyawa yang hilang sia-sia relatif sedikit.

Kesadaran Historis
Boleh jadi, salah satu tujuan provokasi dengan lambang PKI yaitu memproduksi kerisauan di kalangan masyarakat. Dalam tindakan tersebut terkandung usaha memancing amarah warga perdesaan.
Dalam rangka menetralisir isu komunisme, rasionalitas mesti diutamakan melebihi emosi. Semua orang dituntut bersikap bijak dan santun demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Dalam taraf tertentu, ulah provokator memberi peluang bagi setiap orang untuk melampiaskan dendam, “main hakim” sendiri, serta mengambinghitamkan siapa saja yang dibenci.
Selain itu, pemerintah semestinya membekali generasi muda dengan sejarah “terpercaya” agar mereka mempunyai pola pikir historis (berkesadaran sejarah). Selama ini, ruang bagi warga negara untuk mengeksplorasi sejarah komunisme seolah tertutup. Akhirnya, pemahaman masyarakat tentang komunisme sangat dangkal.
Langkah ini penting ditempuh demi menjauhkan mereka dari penyakit “buta sejarah”, di mana sejarah diandaikan sekadar bagian dari masa lalu (a thing of the past) yang terpisah dengan kehidupan saat ini. Dengan “melek sejarah”, niscaya karakter kebangsaan warga negara semakin kuat. Sehingga, peluang ditegakkannya fondasi negara-bangsa (nation-state) terbuka lebar. Bangsa yang besar, mengutip Endang Suryadinata (2013), senantiasa memberikan apresiasi terhadap warisan sejarahnya. Kesadaran sejarah bangsa terbentuk dari ruang dan waktu, di mana pemahaman hakiki tentang masa lalu berkontribusi membangun masa depan.

Yogyakarta, 2017

Jumat, 12 Mei 2017

Mewaspadai Ancaman Gafatar (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Jumat, 5 Mei 2017)


Pada persidangan terakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tiga mantan pemimpin organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dinyatakan bebas dari dakwaan makar. Namun demikian, ketiganya dinilai terbukti melakukan penodaan agama, sehingga majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara. Mahful Muis Tumanurung dan Ahmad Mussadeq divonis lima tahun penjara, sementara Andri Cahya mendapat vonis tiga tahun penjara.
Meski pada 13 Agustus 2015, Gafatar telah dibubarkan melalui kongres luar biasa, masyarakat harus senantiasa waspada terhadap bangkitnya kembali organisasi tersebut. Gerakan ini merupakan transformasi dari Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang dinyatakan sesat oleh MUI Pusat melalui fatwanya pada 4 Oktober 2007.
Mengutip Azyumardi Azra (2016), meski Gafatar berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya adalah menciptakan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA). Ini berarti, Gafatar bukan sekadar organisasi dengan berbagai aksi sosial. Lebih dari itu, ia memiliki tujuan akhir penciptaan sebuah negara. Sebagaimana kelompok lain yang mempunyai misi serupa, sebelum membentuk sebuah negara baru, terlebih dahulu ia merumuskan doktrin teologis, menggalang dana, serta memberlakukan hijrah bagi setiap calon anggota.

Modal Sosial
Desa menjadi lokasi persembunyian para anggota Gafatar. Desa Tangkehan, Kalimantan Tengah, merupakan satu di antara sekian lokasi yang pernah dijadikan sebagai sarang Gafatar. Di desa tersebut pernah ditemukan 60 kepala keluarga (KK) merupakan eks anggota Gafatar.
Hiruk-pikuk perkotaan menjadikan desa sebagai pilihan logis. Sambil berburu ketenangan dan keamanan, aktor Gafatar dapat dengan leluasa mengatur strategi dan menyusun kekuatan. Siasat yang cerdas boleh jadi lahir dalam suasana yang guyub, damai, dan jauh dari segala kegaduhan. Desa merupakan arena gerilya yang memuat aksi “bawah tanah”. Disergapnya beberapa anggota Gafatar di sejumlah desa menunjukkan bahwa desa menempati posisi istimewa dalam gerakan mereka. Aktor Gafatar menaruh perhatian besar terhadap desa. Kultur saling menghormati dan menghargai di desa merupakan celah bagi mereka untuk bergerak tanpa dicurigai.
Tingginya angka pengangguran dan rendahnya kesejahteraan masyarakat perdesaan sangat rentan dipolitisir. Belum tergapainya kedamaian hidup yang dicita-citakan oleh warga, terutama dalam ekonomi, dibaca oleh para aktor Gafatar untuk menjaring mereka. “Cuci otak” ditempuh dengan cara menanamkan pengertian bahwa ketidakadilan dan ketidakhadiran negara semestinya ditanggapi dengan mendirikan negara baru.
Fakta di atas menuntut pemerintah desa untuk segera bertindak. Sudah selayaknya aparatur-aparatur desa hingga RT/RW memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang Gafatar. Sejak dini, mereka dibekali pengertian bahwa eksistensi Gafatar telah mengganggu tegaknya pondasi Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Tiang demokrasi yang telah dibangun berabad-abad silam rapuh lantaran perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bhinneka Tuggal Ika tergerus oleh gejala-gejala egosentrisme yang kian marak.
Pemerintah desa menegaskan bahwa sikap dan tindakan mereka yang mengarah pada misi Gafatar harus dilaporkan. Bagaimana pun juga, semua warga desa harus dihindarkan dari paham dan gerakan yang berusaha menciptakan tatanan negara baru. Aksi sepihak dan sikap menganggap kelompok sendiri paling benar yang ditunjukkan oleh Gafatar dapat merusak hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antar warga. Dalam perjalanannya, sikap ini rentan menghancurkan kolektivitas warga desa. Akhirnya, kolektivisme dibabat habis oleh individualisme yang menciderai nilai-nilai humanisme universal.
Yang tidak kalah penting, modal sosial seperti kebersamaan, keharmonisan, gotong-royong, dan musyawaroh selayaknya dijunjung tinggi. Dengan modal sosial inilah, apatisme terhadap negara dapat dihapuskan. Kepercayaan masyarakat terhadap negara senantiasa dipupuk. Individualisme, egoisme, dan egosentrisme dihilangkan.
Instruksi Panglima TNI kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) sangat dinanti sebagai bagian dari ikhtiar mengawal masyarakat perdesaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai langkah taktis, ribuan Babinsa di seluruh penjuru tanah air bisa dikerahkan untuk melindungi rakyat dari pengaruh Gafatar yang terbukti menyebarkan ideologi penangkis NKRI. Babinsa berperan urgen dalam upaya membentengi masyarakat dari paham-paham yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Yogyakarta, 2017

Senin, 08 Mei 2017

Literasi Perdesaan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Rakyat Sultra" edisi Rabu, 3 Mei 2017)


Maraknya gerakan literasi dalam dekade-dekade terakhir didukung oleh keteduhan, kenyamanan, dan kedamaian desa. Tak heran jika selama ini banyak pengarang melampiaskan “hasratnya” dengan bermukim di desa. Ditemani hijau pohon dan kicau burung, sejumlah buku berhasil ditulis. Bagi mereka, inspirasi bersemi di tanah perdesaan. Motivasi berkarya tumbuh bersama padi dan rumput ilalang.  
Buku sebagai produk pemikiran manusia tidak terlepas dari tempat di mana pengarang berproses. Bagaimanapun, lingkungan menyumbang andil atas lahirnya sebuah buku. Lingkungan sebagai unsur ekstrinsik karya secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau struktur tulisan. Hal ini dikarenakan, otak bawah sadar pengarang senantiasa terpaut dengan apa yang ada di sekelilingnya. Maka, dalam menganalisa sebuah karya, selain subjektivitas, keyakinan, pandangan hidup, dan psikologi pengarang, lingkungan juga tak bisa dinihilkan. Para kritikus sastra menilai, urgensi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam karya mempunyai kadar serupa.
Barang tentu suasana desa yang guyub menyumbang corak dan warna buku. Boleh dibilang, terdapat perbedaan antara buku yang ditulis dalam iklim perkotaan dan buku yang digarap di wilayah perdesaan. Buku yang dirampungkan dalam situasi bising memiliki karakter berbeda dibanding yang diselesaikan dalam kondisi tenang. Suatu kewajaran jika khalayak pembaca yang peka mampu memilah “buku urban” dan “buku rural”. Sebab mengenali “aroma” tulisan, mereka dapat menemukan baik ciri khas maupun distingsi keduanya.
Para pembaca yang kritis sanggup menerka, andai Linus Suryadi Agustinus lahir di tengah kota, boleh jadi tokoh fiktifnya dalam Pengakuan Pariyem bukan perempuan dari desa dengan deretan pegunungan tandus di sekitarnya. Jika keluarganya bukan petani Jawa, bisa dipastikan ia kesulitan mengeksplorasi dunia batin perempuan Jawa dalam novelnya. Mereka juga bisa menyimpulkan, lantaran sastrawan legendaris itu menghabiskan masa kecil di desa Jawa, maka mitologi, prinsip, dan keyakinan orang Jawa genap membekas pada proses kreatifnya.
Dalam Sastra, Psikologi, dan Masyarakat, Darmanto Yt (1985) menyebutkan bahwa ragam penciptaan tidak hanya bersumber pada personalitas para seniman, namun juga lingkungan serta dinamika proses diri manusia dengan lingkungan tersebut. Ia menegaskan, “Integritas dan identitas seorang seniman yang menjadi sumber keunikannya ditentukan oleh proses-proses sejarah yang menyangkut interaksi antara struktur dalam dengan struktur lingkungannya.”

Visualisasi Desa
Dalam kadar tertentu, buku memuat gambaran dan rekaan tentang desa. Di dalamnya terkandung ikhtiar pengarang menuturkan karakteristik perdesaan. Pengarang berusaha menciptakan suatu ikon demi merefleksikan kehidupan di desa. Hal ini penting, mengingat setiap pembaca menangkap makna melalui tanda-tanda. Dengan menyajikan kosakata tertentu, pengarang seintens mungkin berkomunikasi dengan pembaca.   
Oleh beberapa pengarang, singkong dipilih terutama dalam rangka menggambarkan keadaan fisik desa. Betapa imajinasi singkong menghiasi sejumlah karya sastra. Singkong sebagai citra perdesaan dikekalkan Ahmad Tohari dalam masterpiece-nya. Kerapnya sastrawan penerima penghargaan dari Radio Nederlands Wereldomroep itu menyebut singkong dalam Ronggeng Dukuh Paruk memang menunjukkan setting tempat cerita berada di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.
Lihatlah ketika Rasus, tokoh dalam ceritanya, sibuk berebut singkong dengan beberapa temannya setelah dijebol ramai-ramai dengan bantuan air kencing. Simak juga saat orang-orang upahan Pak Sentika mengangkut singkong dari Alaswangkal ke pangkalan di tepi jalan besar. Atau ketika lelaki gunung bercawat yang bergerombol di dekat pikulan singkong, menikmati kecantikan Srintil yang sedang memijat betisnya. Singkong yang mudah ditemukan di tanah kelahiran Tohari, Banyumas, meneguhkan unsur lokalitas karyanya.
Lebih dari itu, singkong juga merupakan representasi penderitaan sekaligus perjuangan orang desa. Kesenjangan sosial di negeri ini disimbolkan dengan singkong. Dalam “Sajak Transmigran”, F. Rahardi berteriak lantang: sepuluh tahun masih makan singkong/ duapuluh tahun makin singkong/ dan limapuluh tahun kemudian/ transmigran beruban/ sakit-sakitan/ mati/ lalu dikubur di ladang singkong//.
Walaupun identik dengan imaji perdesaan, singkong diposisikan Rahardi selaku medium penyampai pesan. Singkong sebagai manifestasi kebebasan berekspresi dituangkan penyair, cerpenis sekaligus novelis yang drop out SMA itu dalam buku bertajuk Kentrung Itelile: Kumpulan Cerpen Manusia Singkong (1993).

Bojonegoro, 2016