Rabu, 24 Mei 2017

Historiografi Ojek (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Rabu, 24 Mei 2017)


Dalam beberapa dasawarsa terakhir, fenomena menjamurnya tukang ojek menjadi penanda bahwa sektor usaha lokal sering kali terbengkalai. Jaringan pemasaran dan modal raksasa yang mendominasi pola produksi dari hulu ke hilir terbukti telah menutup akses orang-orang kecil. Melebarnya ketimpangan dalam hampir semua lini kehidupan menjadi muara dari fenomena ini.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya seolah hadir kembali sejak ekonomi nasional diintegrasikan dalam sistem ekonomi global. Ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan World Trade Organization (WTO) menyebabkan hegemoni modal menyetir konfigurasi praktik bisnis dan keuangan.
Dampaknya serius. Rakyat kehilangan pembela, sebab negara tidak pernah (pura-pura) hadir dalam penderitaan mereka. Rendahnya kualitas pendidikan, carut-marutnya transformasi struktur ekonomi, dan membludaknya jumlah petani gurem dan tak berlahan menyebabkan ledakan tenaga kerja informal (Suwidi Tono, 2014).

Paradoks
Sukarnya memperoleh penghasilan juga menyebabkan para petani banting setir menjadi pengojek. Realitas ini membuktikan bahwa sebagai negara agraris, Indonesia tidak sanggup menyejahterakan petani. Jangankan membeli sembako. Untuk memenuhi pupuk saja, mereka harus meminjam ke rentenir.
Berdasarkan sejumlah survei, latar belakang banyaknya petani meninggalkan sawah yaitu hasil pertanian yang tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka, beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan merupakan pilihan paling realistis.
Oleh karena jasa ojek lebih menguntungkan, alternatif ini dipilih oleh sejumlah petani. Tanpa perlu memusingkan surat izin mengemudi dan izin usaha, mereka mangkal di pusat keramaian seperti pusat perbelanjaan, terminal, stasiun, pertigaan, atau perempatan. Mengenai tarif, mereka bisa mengadakan kesepakatan dengan calon penumpang. Profesi tukang ojek merupakan jawaban dan harapan atas berbagai kesulitan yang selama ini mereka hadapi.
Namun demikian, ulah tukang ojek menjadikan jalanan sebagai sarana menambal sulam kebutuhan hidup ternyata mengundang beragam respon negatif. Tukang ojek kerap mengunyah penghinaan dan makian. Masyarakat melontarkan sinisme, lantaran mereka gemar melanggar aturan, mengesampingkan keselamatan penumpang, menyalahgunakan ruang publik, menegasikan kepentingan orang lain, mengambil alih jalur pedestrian, serta mengokupasi ‘tanah tak bertuan’ sebagai pangkalan ojek.
Pengojek semakin tersudut saat terbit larangan pemanfaatan sepeda motor sebagai ‘mesin penghasil rupiah’. Ditambah lagi, razia ojek pada 1979 oleh pihak kepolisian yang menilai bahwa perkembangan ojek yang semakin tak terkendali dan tanpa izin harus ditertibkan. Ojek dianggap ancaman yang mesti diredam dengan kekuatan represif.
Tidak hanya itu. Stereotip negatif juga melekat pada sepeda motor. Sejarah berceloteh, Ali Sadikin (1927–2008) menilai penggunaan sepeda motor sebagai sarana transportasi bertentangan dengan peraturan lalu lintas. Seseorang yang sangat berjasa dalam menyulap Jakarta menjadi kota metropolitan yang modern tersebut menganggap rendah sepeda motor. Baginya, angkutan massal Jakarta hanya berupa bus, kereta api, taksi, dan minicar (bajaj, bemo, dan helicak).

Ibu Kota
Jakarta, dengan beragam hiruk-pikuknya, ternyata tidak terlepas dari fenomena ojek. Mengutip Panji Masyarakat 15 Februari 1980 (dalam Hendaru Tri H, 2015), “ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata ‘objek’ yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi ‘ngobjek’.” Berkembangnya ojek sepeda sejak 1969 di pedesaan berlatar belakang rusaknya kondisi jalan desa. Keadaan ini memantik inisiatif sejumlah orang menawarkan sepeda kepada mereka yang membutuhkan.
Pada 1970, ojek sepeda muncul di Pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian menyebar ke Ancol, Kota, dan Harmoni. Waktu itu, hampir 500 orang menjadi pengojek sepeda. Bagi sebagian orang, dibanding transportasi lain, ojek sepeda menawarkan kelebihan tersendiri. Di samping relatif lebih murah, hanya perlu waktu singkat untuk menempuh jarak dekat.
Ketika ojek sepeda mulai dikenal warga kota Jakarta, penduduk desa berinovasi. Demi memanjakan penumpang, mereka beralih menggunakan sepeda motor buatan Jepang bermesin 90 cc. Lambat laun, ojek sepeda motor juga menjangkiti ibu kota dan segera mendapat tempat di hati masyarakat. Berkembangnya sarana transportasi yang semakin modern tidak lantas menghapus ojek. Ada saja yang menaruh minat terhadap jasa pengojek.
Dalam buku Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban (Mizan, 2015), Seno Gumira Ajidarma (SGA) menyajikan imaji mengenai eksistensi ojek di sebuah kota metropolitan. Manusia Jakarta (Homo Jakartensis) yang nyata lewat aksi, gaya, tindak, watak, dan kebiasaan yang membentuk kehidupan kota adalah manusia yang menghabiskan waktu di mobil.
Untuk urusan kantor dan lainnya, SGA mengandaikan rata-rata manusia Jakarta menghabiskan sekitar empat jam dalam mobil. Hal ini merupakan konsekuensi masyarakat urban dari kemacetan yang tak bisa ditawar. Itulah mengapa, setelah rumah dan tempat kerja, mobil diposisikan sebagai dunia ketiga. Bahkan, fungsinya lebih prestisius ketimbang rumah sebagai tempat tinggal.
Uniknya, di tengah-tengah kemacetan tersebut, terselip pemandangan mencengangkan. Tukang ojek berderet di tengah-tengah gedung pencakar langit dan kawasan elite Sudirman. Mereka siap mengantar penumpang lebih cepat dibanding mobil yang merayap di jalanan macet. Pun, hanya di Jakarta, bisa ditemukan eksekutif muda berdasi naik ojek yang mengejar meeting.
Maraknya ojek di ibu kota merupakan fenomena campuran: simbol orang-orang kalah yang menjunjung tinggi kesederhanaan serta representasi kaum The Have, dengan pola pikir materialistis-hedonistis, yang mengumbar segala bentuk kemewahan.

Bojonegoro, 2015

1 komentar: