Jumat, 30 Oktober 2015

Penulis dan Pseudonim (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Minggu Pagi" edisi 30 Oktober – 5 November 2015)

Demi menyelamatkan diri, Arthur Rimbaud pernah memanfaatkan nama palsu. Sebuah biografi karangan Graham Robb (2000) mengisahkan bagaimana Sastrawan Prancis yang pernah datang ke pulau Jawa pada 1876 tersebut berhasil melarikan diri dari disiplin militer Belanda. Kala menumpang kapal Inggris The Wandering Chief di bawah Captain Brown, sengaja ia menyematkan nama samaran Edwin Holmes.
Di samping tidak menumpang kapal Prancis, penulis yang lahir dari keluarga kelas menengah di Charleville tersebut juga tidak memilih nama bercorak Prancis. Hal ini dilakukan dengan maksud meloloskan diri dari penyergapan militer Belanda. Untungnya, pada 6 Desember 1876, usai berlayar hampir seratus hari dari Semarang, kapalnya tiba di Queenstown di pantai selatan Irlandia.
Dalam catatan sejarah, tidak selamanya penggunaan nama samaran memiliki alasan serupa: menghindari ancaman dan bahaya. Oleh para penulis, penyebutan nama samaran memang sengaja dimaksudkan untuk ditampilkan dalam karya mereka. Dalam jagat literasi, ini lumrah disebut dengan pseudonim.
Dimunculkannya pseudonim dalam sebuah karya dengan ataupun tanpa tendensi. Boleh jadi, ada beberapa faktor, motif, dan latar belakang mengapa para penulis terpaksa menyembunyikan identitas mereka, atau bahkan tanpa sebuah pretensi sekalipun. Betapa demi “menyelamatkan” anak ruhani (karya)—meminjam istilah Pramoediya Ananta Toer—penulis rela melabelinya dengan nama orang lain.
Saat menganggit karyanya yang revolusioner dan visioner Max Havelaar, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) memilih nama samaran. Penulis Belanda yang dikenal luas lantaran novel satirisnya tersebut menggunakan nama Multatuli (bahasa latin) yang berarti “banyak yang sudah aku derita” sebagai bentuk kritik atas perlakuan kasar para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hinda-Belanda. Mengalami penderitaan berlarat-larat, betapa kaum pribumi menjadi budak di negeri sendiri.
Dengan nama ini, ia mengabadikan rekaman situasi sosial pada zamannya. Dari sinilah potret sosial dan semangat zaman dapat ditangkap oleh pembaca. Dengan caranya sendiri, ia menampakkan kegelisahan menghadapi problem kemanusiaan yang universal: kolonialisme dan imperialisme yang mencabik-cabik harga diri manusia.
Pemanfaatan pseudonim bagi sejumlah penulis kerap mendulang kesuksesan dan menghadirkan popularitas. Nyatanya, hal ini dialami oleh William Sydney Porter (1862-1910). Suatu hari, sambil merenungi kenapa sampai terseret ke hotel prodeo, ia menyadari bahwa satu-satunya hal yang dimiliki adalah melimpahnya waktu luang. Melihat bahwa masih beberapa tahun ia menjalani hukuman, tampaknya tak banyak yang bisa ia lakukan.
Di saat seperti inilah, Porter berpikir bagaimana ia dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ia lantas mulai menulis cerita pendek dalam jumlah banyak. Dengan berbagai pertimbangan, buah penanya itu dijual ke majalah dengan nama samaran O’ Henry. Saat tiba hari kebebasan, tanpa diduga, ia telah menjadi penulis cerpen paling masyhur di Amerika. Ternyata ia keluar dari penderitaan menuju kesuksesan. (Napoleon Hill, terj. Leinovar Bahfein, 2008: 269)
Lahir di Trieste pada 19 Desember 1861, EttoShmitz menggunakan nama samaran Italo Svevo saat mengarang novel, cerpen, drama dan berbagai tulisan lainnya. Ia memulai karirnya pada Februari 1880 dengan menulis naskah drama komedi berjudul Ariosto Governatore (Ariosto Sang Gubernur). Sementara itu, nama samarannya digunakan pertama kali dalam novel perdananya, Una Vita (Sebuah Kehidupan) terbitan tahun 1893.
Ketika mengarang cerita bersambung dalam harian L’Independente pada 1888, penulis Italia pertama yang tertarik pada teori psikoanalitik Freud tersebut pernah menggunakan nama samaran lain, E. Samigli. Kapasitasnya sebagai penulis yang diperhitungkan serta kualitas karya-karyanya yang tak diragukan, seperti Senilita (Ketuaan) dan L’acoscienza di Zeno (Kesadaran Zen) menandai awal kesadaran Italia modern. (Zainal Muttaqin, 2004: 28)
Di saat tertentu, pseudonim menghibahkan keberuntungan bagi penulis. Akan tetapi, di saat yang berbeda, pengaburan identitas justru menimbulkan polemik berkepanjangan. Hal ini antara lain bisa dilihat dari fakta bahwa sejumlah puisi Hamzah Fansuri menimbulkan kontroversi lantaran beberapa penyair paska-Hamzah menduplikasi syairnya. Bahkan, lebih dari itu, beberapa penyalin sengaja menambah, mengurangi, dan memperbarui syair-syairnya. Akibatnya, antara karya Hamzah dengan karya penyair lain sangat sukar dibedakan.
Keadaan di atas melahirkan dua aliran yang berlawanan. Di satu pihak, Doorenbos dan al-Attas memandang bahwa karya Hamzah berupa syair-syair anonim atau yang ditandatangani nama lain (nama samaran). Di lain pihak, Drewes dan sejumlah pakar lain membenarkan nama-nama penyair lain itu dan menganggap bahwa karya Hamzah Fansuri hanya terdiri atas syair-syair yang ditandatangani dalam bentuk sebuah bait akhir. Berdasarkan kesimpulan mereka, sejumlah syair yang bertanda tangan Abd al-Jamal adalah buah pena Hamzah Fansuri. Karena, setelah diadakan penelitian, nama ini diyakini sebagai nama samaran Hamzah Fansuri.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 18 Oktober 2015

Narasi dan Reputasi Sarung (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Minggu, 18 Oktober 2015)

Berasal dari Yaman dengan sebutan futah, sarung menyebar hingga Semenanjung ArabAsia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, Amerika, dan Eropa. Dibawa para saudagar Arab dan Gujaratsarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14Dalam perkembangannya, sarung identik dengan kebudayaan Islam. Itulah mengapa, sarung di antara ciri khas masyarakat Muslim Indonesia.
Meskipun demikian, sesungguhnya pemakaian sarung tidak terbatas pada komunitas tertentu. Suku-suku di berbagai belahan dunia terbukti menggunakan sarung dalam kehidupan sehari-hari. Kain yang berbahan katun, poliester, atau sutera tersebut bisa dimanfaatkan saat santai maupun resmi. Ini berarti, sarung sanggup melewati batas teritorial, sosial dan etnik. Di Indonesia, warna, pola, serta motif yang lebih beragam pada sarung berangkat dari asimilasi budaya sepanjang daerah pesisir. Aneka corak menunjukkan terjadinya peleburan antara desain Islam, Jawa, China dan Indo-Eropa. Maka, orang tak perlu menyangkal konsep Islam Nusantara, jika mengetahui sejarah sarung. 
Sarung menyajikan sejumlah narasi. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Narasi-narasi tersebut berkembang seiring dengan laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang. Berjalannya waktu membuktikan penggunaan sarung kian meluas. Sarung tidak sekadar pelindung tubuh. Lebih dari itu, ia telah dilegitimasi menjadi identitas agama hingga pemberontakan budaya.

Reputasi
Saat kolonialisme merongrong Indonesia, sarung mewakili simbol perjuangan melawan budaya Barat. Para santri menggunakan sarung sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya yang dibawa penjajah Belanda. Tak ayal, sejarah menyematkan sebutan “kaum bersarung” bagi mereka. 
Sarung menjadi sarana kaum santri mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur kolonial yang dominan. Dengan mengenakannya, mereka berharap agar imperialisme dan kolonialisme bisa hengkang dari bumi pertiwi.
Sejumlah data juga menunjukkan kaum nasionalis dan aktivis kemerdekaan memakai sarung dalam mengemban tugas kenegaraan. Bagi mereka, sarung tidak hanya berfungsi untuk aktivitas ritual, melainkan juga seremonial. Suatu ketika, Presiden Soekarno mengundang Abdul Wahab ke istana Negara. Protokol kepresidenan memintanya berpakaian resmi dengan setelan jas, dasi, dan celana panjang. Anehnya, saat menghadiri upacara kenegaraan, tokoh sentral NU tersebut justru mengenakan jas dengan bawahan sarung.
Di berbagai kesempatan, Abdul Wahab menunjukkan urgensi sarung sebagai warisan budaya dan identitas nasionalisme. Abdul Wahab mempertahankan konsitensinya menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Perjuangannya membawa hasil. Sarung menjadi lambang kehormatan dan kesopanan dalam upacara-upacara sakral di tanah air.
            Derajat sarung pernah merosot saat muncul pandangan negatif terhadap Muslim tradisional. Tuduhan anti-kemajuan berimbas pada sarung. Ia mewakili mereka yang dianggap puritan, ortodoks, konservatif, dan terbelakang. Sarung melambangkan peradaban umat manusia yang kian mundur.
Saat Gus Dur menapaki kursi kepresidenan, sarung menjadi ikon santri yang ikut melambung. Reputasi sarung terangkat. Ia bukan lagi representasi kemunduran, melainkan kedekatan presiden dengan rakyat. Sarung memicu harmonisasi penguasa-yang dikuasai. Ia menegasikan otoritarianisme dan militerisme yang sejak dulu ditampilkan para pemimpin. Sarung membuat hubungan pemberi kuasa-pengemban amanat menjadi hangat. Citra sarung meningkat. 

Inspirasi
Fakta berkoar bahwa dalam sarung terkandung kekuatan besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itulah mengapa, bagi para sastrawan, sering kali sarung menjadi pemantik atas lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas. Sebutlah Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin “menjemur” sarung dalam puisi-puisinya. Begitu cintanya pada sarung, sampai-sampai himpunan puisinya bertajuk Di Bawah Kibaran Sarung (Indonesiatera, 2001).
Di antara potongan puisinya menyebutkan: Di bawah kibaran sarung/ kutuliskan puisimu/ di rumah kecil yang dingin terpencil/ Seperti perempuan perkasa/ yang betah berjaga/ menemani kantuk, menemani sakit/ di remang cahaya:/ menghitung iga, memainkan piano/ di dada lelaki tua/ yang gagap mengucap doa/ Ya, kutuliskan puisimu/ kulepaskan ke seberang/ seperti kanak-kanak berangkat tidur/ ke haribaan malam/ Ayo temui aku di bawah kibaran sarung/ di tempat yang jauh terlindung//
Berbekal sarung, Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan menyegarkan. Bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah dipahami, puisi Jokpin bersikeras menyelipkan pesan yang kuat dan melanting kritik sosial yang pedas dan menukik. Dalam gurauannya tersemat filosofi mendalam tentang kehidupan. Hal ini menjadikan puisi-puisinya memungut label nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling yang dangkal dan asal-asalan. Tak heran, jika oleh para kritikus sastra, usahanya yang gigih dinilai sanggup mengadakan pembaruan pada puisi Indonesia.
Terilhami dari sarung, Mahbub Jamaluddin menulis novel Pangeran Bersarung (Matapena, 2005). Melalui buku ini, iberseloroh bahwa ketimbang sekadar simbol, ikatan sarung lebih merepresentasikan tradisi santri, aplikasi syar’i, dan penerapan hukum illahi. Ikatan sarung menggambarkan keteguhan prinsip membendung derasnya arus modernisasi. Karakternya yang kuat dapat merespons peradaban yang semakin menggila. Dengan sifatnya yang luwes, ia bisa dijamah oleh semua lapisan masyarakat. Terlepas dari itu semua, sarung juga dipercaya sebagai penutup aurat paling sempurna.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

Buku dan Nasionalisme Kiai (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 11 Oktober 2015)


Nasionalisme merupakan konsep modern yang lahir pada abad ke-17 bersamaan dengan konsep negara-bangsa. Bukannya menolak paham yang berakar di Barat (Eropa) tersebut, para kiai justru menerima dengan besar hati. Dalam historiografi, para kiai terbukti berpedoman pada nasionalisme dalam membesarkan “rahim bangsa”.
Betapa nasionalisme para kiai sangat kuat dan inheren dengan sejarah republik ini. Bagi mereka, jembatan harmonis yang menghubungkan nilai-nilai agama di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain menjadi fondasi tegaknya NKRI. Inilah wajah Islam Nusantara yang ditampilkan para kiai sejak dahulu kala. Namun demikian, mengenai nasionalisme, masing-masing kiai memiliki corak pandang tersendiri—yang tersaji dengan apik dalam sejumlah buku.
Tokoh Sarekat Islam (SI), Agus Salim, pernah melontarkan gagasan bahwa menempatkan cita-cita rohaniah di atas tujuan material merupakan implementasi nasionalisme. Seseorang yang mencintai bangsanya berdasarkan maksud duniawi hanya akan terjerumus dalam “agama berhala” yang memperbudak manusia untuk tanah air.
Dalam Chiefdom Madinah, Salah Paham Negara Islam (Pustaka Alvabet, 2011: 117), Abdul Aziz mengutip pernyataan Agus Salim: “Cinta bangsa, yang mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang terlebih melarat ... yang menghendaki persamaan dalam sebangsa antara segala golongan … yang mengutamakan orang sebangsa daripada kebangsaan … Cinta bangsa yang hendak menjunjung tinggi umat sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi berhala tempat menyembah dan memuja.”
Pernyataan tokoh yang dikenal luas sebab tulisannya yang tajam dan kritis itu direspons dingin oleh Soekarno. Presiden Indonesia pertama tersebut mengaku bahwa nasionalisme yang diperjuangkan bukanlah bersifat agresif dan berhasrat menguasai. Nasionalisme Soekarno bercorak ketimuran, bukan berbasis kesombongan sebagai bangsa yang mewarisi ide Barat. Dengan lantang, Soekarno menolak konsep nasionalisme seperti ini sebagai agama berhala.  
Buya Hamka, tokoh yang berhasil merubah “postur kumal” seorang kiai menjadi lebih terhormat, memiliki semangat nasionalisme “membebaskan diri dan masyarakat dari kungkungan adat”. A Suryana Sudrajat dalam buku Ulama Pejuang dan Ulama Petualang, Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin (Erlangga, 2006: 15) menyebutkan bahwa Hamka mengecam keras adat Minangkabau, sampai-sampai ia tidak merasa “berumah” di tanah kelahirannya itu.
Hamka melontarkan kritik terhadap perilaku "ninik mamak" dan "datuk-datuk" Minang yang gemar mengenakan pakaian kebesaran, dengan membanggakan status dan jabatan, di depan Sultan Deli. Bagi Hamka, adat semacam ini akan ditinggalkan dan tergerus oleh zaman. Pemikiran Hamka yang dianggap “menyimpang” itu menyulut kemarahan tokoh-tokoh adat setempat dan menjadi latar belakang diselenggarakannya Musyawarah Adat Minangkabau pertama di Bukittinggi.
Nasionalisme, dalam perspektif Hamka, juga tidak fanatik atau chauvinistik. Kecenderungan ini bisa digali dari karya-karyanya, semisal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Dalam novel tersebut, di samping memperlihatkan semua orang adalah sederajat, Hamka juga meyakinkan bahwa problem-problem kesukuan dapat diselesaikan secara damai. Kehadiran tokoh Zainuddin dalam alur cerita merupakan representasi Bhinneka Tunggal Ika yang menghargai segala perbedaan.
Gus Dur, kiai penuh kontroversi dengan sejuta prestasi, menganggap bahwa nasionalisme mesti diposisikan secara seimbang dengan konstruksi sejarah dengan data-data valid, obyektif serta mengungkapkan fakta yang lengkap. Buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002: 82) menyinggung pendapat Gus Dur bahwa rasa nasionalisme tidak semestinya menghapus objektifitas sejarah. Supaya benar-benar ilmiah, pendekatan seperti ini harus dipakai oleh beberapa ahli. Penggalian mengenai bahan-bahan sejarah harus senantiasa mereka lakukan, baik melalui tulisan maupun rekaman elektronik.
Sebagai contoh, Jenderal Besar Sudirman pernah memerintah bawahannya, S.M Kartosuwiryo untuk membentuk Darul Islam (DI) di kawasan Jawa Barat. Langkah ini diambil, guna mengisi kekosongan akibat hasil Perjanjian Renville bahwa Republik Indonesia hanya meliputi kawasan Jawa Tengah. Namun demikian, bahwa dalam perkembangannya, aksi seseorang yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Fadjar Asia tersebut berubah menjadi sebuah pemberontakan adalah masalah lain.
Bagi Syaifudin, nasionalisme adalah “cinta negara” (hubb al-wathan/al-wathaniyah). Ali Maschan Moesa dalam Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama (LKiS, 2007: 180) mencatat pandangan kiai yang pernah menjadi anggota fraksi PKB DPRD Jawa Timur itu mengenai nasionalisme. Sudah selayaknya setiap orang mencintai negara sebagai tempat tinggalnya. Rasa cinta seseorang yang lahir dan hidup di sebuah negara diwujudkan dengan aksi nyata. Inilah konsep nasionalisme yang dimaksud.
Secara historis, Syaifudin mendasarkan makna nasionalisme pada hadits: “cinta negara adalah bagian dari iman” (hubb al-wathan min al-iman). Nabi Muhammad SAW pernah diperintah Allah untuk berhijrah dari kota Makkah ke Madinah. Karena saking cintanya kepada tanah yang telah membesarkannya, wajar jika beliau merasa berat hati.
Saat seseorang diliputi “rasa memiliki” atas tanah kelahirannya, nasionalisme tidak pernah terlepas dari masalah kepemimpinan. Bagi mereka yang mengaku nasionalis, mengangkat seorang pemimpin (nashbu al-imamah) dalam sebuah kawasan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Beragam pandangan para kiai tentang nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa nasionalisme senantiasa bersifat dinamis, sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam konteks inilah, buku memposisikan diri sebagai saksi sejarah atas dinamika nasionalisme, baik pada masa silam, masa kini, maupun masa yang akan datang.

Bojonegoro, 2015

Minggu, 04 Oktober 2015

Potruce Kembali ke Negeri Itu (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Padang Ekspres” edisi Minggu, 4 Oktober 2015)

Udara begitu dingin. Di bawah rindang pohon trembesi, kepala Potruce merekam kenangan pahitnya. Kenangan yang jika diputar ulang seakan menarik usus dan jantungnya dari dalam. Ya, kenangan yang mengantarnya mengunyah biji sesal. Sunggguh, ia masih teringat dengan negeri itu. Negeri yang rimbun kebencian itu. Negeri di mana Potruce bosan memergoki genangan darah di serata loka. Di negeri mengerikan itu, rasanya mustahil ia bisa selamat. Penguasa baru telah menanam bibit permusuhan sejak lama pada semua orang berdarah Hozu—suku pedalaman di belantara Bokke. 
Dua belas tahun silam, lelaki jangkung itu kabur dari rumah. Saat pelarian, ia meninggalkan anak—kira-kira berusia 8 tahun—yang ketika itu terlelap di atas ranjang. Ia tahu, bahwa dengan membawanya, tentu akan menyulitkan perjalanan. Padahal, untuk meloloskan diri saja, ia harus pontang-panting. Terpaksa, dengan berat hati, bocah berpipi ranum dengan gigi mentimun itu dibiarkan tergolek sendirian. Tanpa teman. Tanpa sejumput kasih sayang. Adapun istri beserta segenap keluarga lainnya terlebih dulu memeluk ajal, dihabisi oleh pasukan suruhan raja.
Tak henti-hentinya Potruce memikirkan anaknya. Betapa ia bersalah dengan apa yang terlanjur diperbuat. Tega ia melupakan tanggungjawab selaku orang tua. Padahal, Voyun, istrinya, giat berpesan agar senantiasa menjaga titisan. Moncong Potruce gemar meraung-raung di tengah malam, demi sekadar meluapkan kepedihan serta kerinduan yang mendalam. Rindu kepada perempuan perawat cinta, juga lelaki kecil pemusnah keluh-kesahnya. Kesempatan bertembung dengan sang istri terbang, sedang peluang berjumpa dengan anak masih terbayang-bayang. Dalam benaknya, kerap berhembus pertanyaan memilukan: adakah anaknya selamat dari terkaman raja? Atau jika masih hidup, ingatkah ia dengan sang ayah? Siapakah yang kini mengasuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu menyelinap dan mengendap di dada Potruce. Dalam kesedihan yang berlarat-larat, untungnya Potruce rajin menghibur diri. Ia menganggap bahwa buah hatinya telah tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa. “Alangkah kuatnya ia.” Gumamnya lirih. “Semenjak balita, ia sering kulatih bertarung dengan pedang. Kutularkan cara menggunakan panah dan tombak dengan baik. Kuwariskan bagaimana memanah rusa tepat ke lehernya. Juga meluncurkan tombak ke arah ikan yang tengah asyik bergerombol di tepi sungai.”
***
“Siapa kau, tua bangka?”
“Aku ayahmu. Aku masih ingat dengan tompel di keningmu itu!”
“Aku tak punya ayah. Ia telah mati dimakan harimau ketika melarikan diri ke hutan.”
“Percayalah kepadaku, Anakku! Memang kau benar. Dulu ia lari ke hutan Marrit dan tinggal di sana bertahun-tahun. Tapi, lihatlah! Ia masih hidup. Ia sekarang berada tepat di depanmu. Akulah Potruce, ayah dari anak bernama Lomusa.”  
“Meski bila apa yang kauucapkan itu benar, tua bangka. Aku tetap akan melenyapkan nyawamu. Sungguh, aku menyesal bertemu denganmu”
“Kenapa, Anakku? Bukankah kau juga rindu kepada ayahmu?”
“Diamlah!”
Lomusa menghunus pedang. Sebentar lagi, akan ia libas orang yang dari tadi melemparkan berbongkah kata. Kata-kata yang membuatnya naik pitam. Sama sekali, ia tidak pernah mengharap kedatangan sang ayah—yang rela membiarkannya terlantar. Bahkan, lidahnya genap berjanji hendak membunuhnya, jikalau ia temui orang yang miskin perasaan itu. Dan sekaranglah, di padang gersang itulah, ia akan melunasi janji tersebut.
Bagai badai, Lomusa melesat dengan cepat. Pedangnya yang tajam dan siap mencabik-cabik, ia arahkan ke dada yang membungkus jantung Potruce. Adapun Potruce, yang sigap dengan segala serangan, menyingkir dari tempat semula. Jlebb…. Tiba-tiba ia mengelak. Badan Potruce begitu ringan bagai kapas tertiup angin. Dengan geraham mengencang, kembali Lomusa ayunkan pedangnya. Lagi, lagi, dan lagi. Namun, Potruce mudah saja menghindar, seolah sanggup membaca gerakan-gerakan Lomusa.
Nafas Lomusa terengah-engah. Berbutir-butir peluh merembes dari lubang-lubang mungil di kulitnya. Ia merasa kekuatannya belumlah sebanding dengan renta buruk rupa yang berdiri di depannya. Renta yang mengajarkan cara memasang kuda-kuda dengan kokoh. Juga renta yang menghibahkan kesunyian sekaligus penderitaan. Sepemakan sirih kemudian, jemari Potruce mengepal dan meninju perut Lomusa. Lomusa terpental beberapa langkah dan menggelepar di tanah. Mengerang.
Hati Potruce amat gundah. Mengapa? Nyata apa yang dibayangkan selama ini sepenuhnya meleset. Anaknya bukanlah pemuda yang cekatan bertempur. Jangankan merobohkan lawan, mempertahankan diri saja ia gagal.  
“Kau masih sangat lemah, Anakku! Jika berniat membunuhku, teruslah berlatih. Dulu, Eyang Hamu mewariskan kitab ini. Aku sendiri belum sempat mempelajarinya. Jika tertarik, ambillah!”
Usai melantingkan sebiji kitab lusuh, Potruce menghilang. Angin membeku dan menatap rumputan dengan nanar.
***
Surya menghamburkan sinar terik ke segala penjuru. Debu berkali-kali membuntingi udara. Langkah Potruce terhenti di sebuah pasar. Bersamaan dengan lalu-lalang orang berjalan, suara riuh berseliweran dalam perut Potruce. Mungkin empat atau lima hari ini lambungnya belum kerasukan apapun. Kota ramai itu tak seperti tempat huniannya, hutan Marrit. Guna menyumpal lapar, di sana ia leluasa memanfaatkan apa saja yang disediakan oleh alam. Mengetam dedaunan untuk sayuran. Memetik buah manis yang siap mengelus tenggorokan. Atau berburu binatang buat menadah protein tinggi.
Di kantong baju Potruce tergeletak dua keping uang; gambar raja di satu permukaan, pedang dan rantai emas di permukaan lain. Ini kali, ia benar-benar tak kuat lagi menunda rasa laparnya. Bila memaksa berjalan, barangkali tulang yang terbungkus dagingnya memilih roboh lantas ia dirubung banyak orang. Sambil menyeret sesetel kaki yang layu, ia menghampiri penjual roti di pinggir jalan.
Menghidangkan senyum tipis, Potruce mengulurkan uang kepada nenek tua. Setangkas kilat, si nenek menyambar apa yang ada di tangan Potruce. Namun, raut muka perempuan berkepala uban itu langsung berubah. Gelombang di keningnya kian menumpuk.
“Apa kau kira aku rabun?”
“Maaf, ada apa, nenek penjual?”
“Uang ini tak laku.”
“Memang kenapa?”
Mendengar pertanyaan bodoh tersebut, si nenek enggan menjawab. Batinnya, ia tengah berhadapan dengan penipu. Maklumlah, di pasar tersebut berkeliaran para penipu yang suka menyiasati korban. Bahkan, baru beberapa hari ini, seorang pengemis berjaya mengecoh saudagar kaya. Seliat tenaga, katup mulut si nenek menjerit minta pertolongan. Dan, seketika, beberapa prajurit raja yang berjaga-jaga muncul lalu membawa Potruce ke istana.
Tak memerlukan waktu lama untuk tiba di istana. Apalagi, para prajurit begitu bersemangat menyerahkan Potruce. Wajah mereka berseri-sari. Gigi mereka menyeringai. Bagaimana tidak. Sesuai janji, raja bakal mendermakan hadiah kepada siapa saja yang berhasil meringkus penipu. Akhirnya, dengan sepasang tangan diikat, Potruce menghadap raja.
“Namamu siapa, orang asing?”
“Hamba Potruce, Baginda.”
“Dari mana asalmu? Ada keperluan apa kau datang kemari?”
“Hamba dari negeri sebelah, Baginda. Dulu hamba lahir di negeri ini. Hamba hendak menjenguk kampung kelahiran.”
“Aku mendapat laporan, bahwa kau menggunakan mata uang lama untuk membeli makanan.”
“Ampun, Baginda. Hamba tak mengerti. Hamba kira mata uang itu masih berlaku. Hamba juga baru mafhum bahwa kekuasaan negeri ini sudah beralih ke tangan Baginda. Maafkan hamba, Baginda. Maafkan.”
***
Potruce menengadah ke cakrawala. Awan tampak lebih keruh dari biasanya. Wajahnya amat pucat. Dengan perasaan tak menentu, ia sempat bernala-nala, mengapa nasib urung diajak bersahabat. Pergantian penguasa tidak lantas menumpahkan rasa aman. Demi menengok tanah kelahiran saja, ia harus membayarnya dengan kematian. Kini, di sebelahnya, berdiri seorang prajurit berdada bidang. Dari lidahnya, meluncur berbulir kata memekakkan telinga.
“Hadirin sekalian. Lihatlah, kakek ini! Ia melakukan kesalahan besar. Berani-beraninya ia menggunakan mata uang raja Harmaj. Sebagai balasan, lehernya akan segera dipancung. Setelah itu, mayatnya dibiarkan membusuk selama tiga hari tiga malam dan dimakan burung jurra. Kecuali…. kecuali ada yang mau menyerahkan diri sebagai ganti.”
Sekonyong-konyong, di antara kerumunan, seseorang memekik lantang. “Saya akan menggantikannya.”
Pandangan semua orang tertuju kepada arah di mana suara tersebut berpunca. Seorang berjubah putih melenggangkan kaki. Langkahnya tenang. Sorot netranya tajam. Tanpa gemetar sedikit pun, ia mendekat ke tiang gantungan. Potruce tercekat; hampir tak percaya, bahwa pemuda itu…. pemuda berkumis lancip dan berambut sebahu itu adalah Lomusa.

Yogyakarta, 2012