Minggu, 04 Oktober 2015

Potruce Kembali ke Negeri Itu (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Padang Ekspres” edisi Minggu, 4 Oktober 2015)

Udara begitu dingin. Di bawah rindang pohon trembesi, kepala Potruce merekam kenangan pahitnya. Kenangan yang jika diputar ulang seakan menarik usus dan jantungnya dari dalam. Ya, kenangan yang mengantarnya mengunyah biji sesal. Sunggguh, ia masih teringat dengan negeri itu. Negeri yang rimbun kebencian itu. Negeri di mana Potruce bosan memergoki genangan darah di serata loka. Di negeri mengerikan itu, rasanya mustahil ia bisa selamat. Penguasa baru telah menanam bibit permusuhan sejak lama pada semua orang berdarah Hozu—suku pedalaman di belantara Bokke. 
Dua belas tahun silam, lelaki jangkung itu kabur dari rumah. Saat pelarian, ia meninggalkan anak—kira-kira berusia 8 tahun—yang ketika itu terlelap di atas ranjang. Ia tahu, bahwa dengan membawanya, tentu akan menyulitkan perjalanan. Padahal, untuk meloloskan diri saja, ia harus pontang-panting. Terpaksa, dengan berat hati, bocah berpipi ranum dengan gigi mentimun itu dibiarkan tergolek sendirian. Tanpa teman. Tanpa sejumput kasih sayang. Adapun istri beserta segenap keluarga lainnya terlebih dulu memeluk ajal, dihabisi oleh pasukan suruhan raja.
Tak henti-hentinya Potruce memikirkan anaknya. Betapa ia bersalah dengan apa yang terlanjur diperbuat. Tega ia melupakan tanggungjawab selaku orang tua. Padahal, Voyun, istrinya, giat berpesan agar senantiasa menjaga titisan. Moncong Potruce gemar meraung-raung di tengah malam, demi sekadar meluapkan kepedihan serta kerinduan yang mendalam. Rindu kepada perempuan perawat cinta, juga lelaki kecil pemusnah keluh-kesahnya. Kesempatan bertembung dengan sang istri terbang, sedang peluang berjumpa dengan anak masih terbayang-bayang. Dalam benaknya, kerap berhembus pertanyaan memilukan: adakah anaknya selamat dari terkaman raja? Atau jika masih hidup, ingatkah ia dengan sang ayah? Siapakah yang kini mengasuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu menyelinap dan mengendap di dada Potruce. Dalam kesedihan yang berlarat-larat, untungnya Potruce rajin menghibur diri. Ia menganggap bahwa buah hatinya telah tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa. “Alangkah kuatnya ia.” Gumamnya lirih. “Semenjak balita, ia sering kulatih bertarung dengan pedang. Kutularkan cara menggunakan panah dan tombak dengan baik. Kuwariskan bagaimana memanah rusa tepat ke lehernya. Juga meluncurkan tombak ke arah ikan yang tengah asyik bergerombol di tepi sungai.”
***
“Siapa kau, tua bangka?”
“Aku ayahmu. Aku masih ingat dengan tompel di keningmu itu!”
“Aku tak punya ayah. Ia telah mati dimakan harimau ketika melarikan diri ke hutan.”
“Percayalah kepadaku, Anakku! Memang kau benar. Dulu ia lari ke hutan Marrit dan tinggal di sana bertahun-tahun. Tapi, lihatlah! Ia masih hidup. Ia sekarang berada tepat di depanmu. Akulah Potruce, ayah dari anak bernama Lomusa.”  
“Meski bila apa yang kauucapkan itu benar, tua bangka. Aku tetap akan melenyapkan nyawamu. Sungguh, aku menyesal bertemu denganmu”
“Kenapa, Anakku? Bukankah kau juga rindu kepada ayahmu?”
“Diamlah!”
Lomusa menghunus pedang. Sebentar lagi, akan ia libas orang yang dari tadi melemparkan berbongkah kata. Kata-kata yang membuatnya naik pitam. Sama sekali, ia tidak pernah mengharap kedatangan sang ayah—yang rela membiarkannya terlantar. Bahkan, lidahnya genap berjanji hendak membunuhnya, jikalau ia temui orang yang miskin perasaan itu. Dan sekaranglah, di padang gersang itulah, ia akan melunasi janji tersebut.
Bagai badai, Lomusa melesat dengan cepat. Pedangnya yang tajam dan siap mencabik-cabik, ia arahkan ke dada yang membungkus jantung Potruce. Adapun Potruce, yang sigap dengan segala serangan, menyingkir dari tempat semula. Jlebb…. Tiba-tiba ia mengelak. Badan Potruce begitu ringan bagai kapas tertiup angin. Dengan geraham mengencang, kembali Lomusa ayunkan pedangnya. Lagi, lagi, dan lagi. Namun, Potruce mudah saja menghindar, seolah sanggup membaca gerakan-gerakan Lomusa.
Nafas Lomusa terengah-engah. Berbutir-butir peluh merembes dari lubang-lubang mungil di kulitnya. Ia merasa kekuatannya belumlah sebanding dengan renta buruk rupa yang berdiri di depannya. Renta yang mengajarkan cara memasang kuda-kuda dengan kokoh. Juga renta yang menghibahkan kesunyian sekaligus penderitaan. Sepemakan sirih kemudian, jemari Potruce mengepal dan meninju perut Lomusa. Lomusa terpental beberapa langkah dan menggelepar di tanah. Mengerang.
Hati Potruce amat gundah. Mengapa? Nyata apa yang dibayangkan selama ini sepenuhnya meleset. Anaknya bukanlah pemuda yang cekatan bertempur. Jangankan merobohkan lawan, mempertahankan diri saja ia gagal.  
“Kau masih sangat lemah, Anakku! Jika berniat membunuhku, teruslah berlatih. Dulu, Eyang Hamu mewariskan kitab ini. Aku sendiri belum sempat mempelajarinya. Jika tertarik, ambillah!”
Usai melantingkan sebiji kitab lusuh, Potruce menghilang. Angin membeku dan menatap rumputan dengan nanar.
***
Surya menghamburkan sinar terik ke segala penjuru. Debu berkali-kali membuntingi udara. Langkah Potruce terhenti di sebuah pasar. Bersamaan dengan lalu-lalang orang berjalan, suara riuh berseliweran dalam perut Potruce. Mungkin empat atau lima hari ini lambungnya belum kerasukan apapun. Kota ramai itu tak seperti tempat huniannya, hutan Marrit. Guna menyumpal lapar, di sana ia leluasa memanfaatkan apa saja yang disediakan oleh alam. Mengetam dedaunan untuk sayuran. Memetik buah manis yang siap mengelus tenggorokan. Atau berburu binatang buat menadah protein tinggi.
Di kantong baju Potruce tergeletak dua keping uang; gambar raja di satu permukaan, pedang dan rantai emas di permukaan lain. Ini kali, ia benar-benar tak kuat lagi menunda rasa laparnya. Bila memaksa berjalan, barangkali tulang yang terbungkus dagingnya memilih roboh lantas ia dirubung banyak orang. Sambil menyeret sesetel kaki yang layu, ia menghampiri penjual roti di pinggir jalan.
Menghidangkan senyum tipis, Potruce mengulurkan uang kepada nenek tua. Setangkas kilat, si nenek menyambar apa yang ada di tangan Potruce. Namun, raut muka perempuan berkepala uban itu langsung berubah. Gelombang di keningnya kian menumpuk.
“Apa kau kira aku rabun?”
“Maaf, ada apa, nenek penjual?”
“Uang ini tak laku.”
“Memang kenapa?”
Mendengar pertanyaan bodoh tersebut, si nenek enggan menjawab. Batinnya, ia tengah berhadapan dengan penipu. Maklumlah, di pasar tersebut berkeliaran para penipu yang suka menyiasati korban. Bahkan, baru beberapa hari ini, seorang pengemis berjaya mengecoh saudagar kaya. Seliat tenaga, katup mulut si nenek menjerit minta pertolongan. Dan, seketika, beberapa prajurit raja yang berjaga-jaga muncul lalu membawa Potruce ke istana.
Tak memerlukan waktu lama untuk tiba di istana. Apalagi, para prajurit begitu bersemangat menyerahkan Potruce. Wajah mereka berseri-sari. Gigi mereka menyeringai. Bagaimana tidak. Sesuai janji, raja bakal mendermakan hadiah kepada siapa saja yang berhasil meringkus penipu. Akhirnya, dengan sepasang tangan diikat, Potruce menghadap raja.
“Namamu siapa, orang asing?”
“Hamba Potruce, Baginda.”
“Dari mana asalmu? Ada keperluan apa kau datang kemari?”
“Hamba dari negeri sebelah, Baginda. Dulu hamba lahir di negeri ini. Hamba hendak menjenguk kampung kelahiran.”
“Aku mendapat laporan, bahwa kau menggunakan mata uang lama untuk membeli makanan.”
“Ampun, Baginda. Hamba tak mengerti. Hamba kira mata uang itu masih berlaku. Hamba juga baru mafhum bahwa kekuasaan negeri ini sudah beralih ke tangan Baginda. Maafkan hamba, Baginda. Maafkan.”
***
Potruce menengadah ke cakrawala. Awan tampak lebih keruh dari biasanya. Wajahnya amat pucat. Dengan perasaan tak menentu, ia sempat bernala-nala, mengapa nasib urung diajak bersahabat. Pergantian penguasa tidak lantas menumpahkan rasa aman. Demi menengok tanah kelahiran saja, ia harus membayarnya dengan kematian. Kini, di sebelahnya, berdiri seorang prajurit berdada bidang. Dari lidahnya, meluncur berbulir kata memekakkan telinga.
“Hadirin sekalian. Lihatlah, kakek ini! Ia melakukan kesalahan besar. Berani-beraninya ia menggunakan mata uang raja Harmaj. Sebagai balasan, lehernya akan segera dipancung. Setelah itu, mayatnya dibiarkan membusuk selama tiga hari tiga malam dan dimakan burung jurra. Kecuali…. kecuali ada yang mau menyerahkan diri sebagai ganti.”
Sekonyong-konyong, di antara kerumunan, seseorang memekik lantang. “Saya akan menggantikannya.”
Pandangan semua orang tertuju kepada arah di mana suara tersebut berpunca. Seorang berjubah putih melenggangkan kaki. Langkahnya tenang. Sorot netranya tajam. Tanpa gemetar sedikit pun, ia mendekat ke tiang gantungan. Potruce tercekat; hampir tak percaya, bahwa pemuda itu…. pemuda berkumis lancip dan berambut sebahu itu adalah Lomusa.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar