Kamis, 13 Desember 2018

Sekolah Desa dalam Logika “Balas Budi” (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Kamis, 13 Desember 2018)


Sejumlah murid SDN 4 Randurejo, Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah, terpaksa belajar di dalam kelas tanpa plafon. Empat ruangan sekolah yang dibangun sejak tahun 1976 tersebut terlihat rusak parah dengan dinding rapuh dan genting bocor. Semangat anak-anak menuntut ilmu sedikit terganggu lantaran gedung sekolah kerap dilanda banjir saat turun hujan. Apa yang dialami oleh siswa dan siswi SDN 4 Randurejo menunjukkan minimnya kepedulian pemerintah daerah setempat terhadap eksistensi lembaga pendidikan, terutama di lingkungan akar rumput (grass root).
Fenomena di atas mengingatkan publik terhadap “sekolah desa” pada masa kolonialisme Belanda yang bercorak ambivalen dan kontradiktif. Lahirnya sekolah desa sebenarnya turut meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sekaligus menurunkan tingkat kebodohan mereka. Akan tetapi, kehadirannya juga seolah menunjukkan bahwa kaum kolonial memiliki pamrih dan sekadar ingin menampilkan citra positif di hadapan rakyat jajahan.

Pendidikan Rakyat
Dahulu kala, usaha mewujudkan pendidikan bagi rakyat jelata kerap mengalami hambatan. Tak heran jika akses pengetahuan dan keilmuan bagi orang-orang kecil sangat sulit. Logika kolonialisme menggariskan bahwa pihak yang kalah dalam perang mesti mengalami penjajahan, termasuk dalam bidang pendidikan. Itulah mengapa, selain mengalami penindasan fisik, orang-orang berstrata sosial rendah juga mengalami penindasan moril dan psikologis. Dalam rangka mempertahankan status quo, penguasa kolonial gencar melakukan pembodohan sistemik.
Bermacam siasat ditempuh supaya fasilitas pendidikan tidak dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hanya mereka yang dekat dengan penguasa serta orang-orang kaya yang bisa menikmati sarana pendidikan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan Belanda yang mengagendakan “pembodohan massal” tampaknya mendapat tantangan dari berbagai pihak. Itulah mengapa, wacana pendirian “sekolah kelas dua” bagi golongan bawah sempat bergulir.
Pada tahun 1907, van Heutsz berhasil memperoleh solusi atas permasalahan terdahulu. Sekolah-sekolah desa (desascholen atau volksscholen) bakal dibuka. Meski menerima suntikan berupa bantuan pemerintah seperlunya, sebagian besar biaya lembaga pendidikan ini ditanggung oleh penduduk desa. Sebagaimana berbagai perbaikan Etis lainnya, pemerintah menggariskan apa yang baik bagi rakyat Indonesia sekaligus memutuskan jumlah yang harus mereka bayar. Di samping masa studi tiga tahun, mata pelajarannya juga ditetapkan.
Sekolah-sekolah tersebut membekali siswa dengan keterampilan dasar membaca, berhitung, serta keterampilan praktis yang disampaikan melalui bahasa daerah. Ditentukan pula pungutan uang sekolah. Wacana tentang sekolah desa ternyata kurang direspons oleh desa-desa. Hal ini membuat pemerintah kolonial mulai menempuh perintah halus, semacam “desakan lembut” dari atas sebagai ciri pendekatan pihak Belanda dalam upaya mencapai kesejahteraan desa.
Buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008: 344) menyebutkan bahwa pada tahun 1912, ada 2.500 lebih sekolah desa yang telah berdiri. Pada tahun 1930-an, terdapat kira-kira 9.600 sekolah dan lebih dari 40% anak-anak Indonesia berumur 6 hingga 9 tahun belajar di dalamnya selama beberapa waktu. Mayoritas tergabung dalam sekolah-sekolah desa milik pemerintah, meski dengan kondisi terpaksa.
Dalam rangka meningkatkan jenjang pendidikan para murid, pada tahun 1915 didirikan Inlandsche Vervolgscholen, “sekolah lanjutan pribumi”. Pada tahun 1908, Sekolah Kelas Dua bermetamorfosa menjadi Standaardscholen, “sekolah standar” yang kemudian dikhususkan bagi mereka yang menggeluti perdagangan atau meninggalkan kehidupan desa. Adapun sekolah desa diperuntukkan bagi orang-orang yang bertahan dalam lingkungan desa.

Problematika Sosial
Realitas historis di atas menggambarkan bahwa diselenggarakannya sekolah desa bukan tanpa biaya. Pada masa kekuasaan Belanda, tampaknya kebijakan pendidikan gratis cukup sulit direalisasikan. Artinya, implementasi pendidikan bagi rakyat kecil senantiasa mengandalkan uluran penduduk desa. Logika “balas budi” bagi pihak yang terjajah ternyata masih menyisakan anomali.
Di satu sisi, lantaran ingin membuka akses pendidikan bagi bangsa Indonesia secara merata, apa yang diupayakan oleh pemerintah Belanda bernilai positif. Bagaimanapun, pendidikan bukan hanya milik orang berstrata sosial tinggi, melainkan juga orang-orang kecil dengan penderitaan luar biasa. Namun, di sisi lain, dampak negatif lebih menonjol. Dalam praktiknya, kebaikan tersebut rupanya meniscayakan paksaan dan intimidasi. 
Lahirnya sekolah-sekolah yang mengambil orang-orang kecil sebagai anak didiknya ternyata tidak lantas mengatasi masalah-masalah sosial. Muncul ketimpangan antara orang miskin yang berpendidikan ala kadarnya dengan orang kaya yang mampu mengakses sekolah berkualitas lebih baik. Kesenjangan semakin terasa ketika ada pemilahan antara sekolah golongan bawah, sekolah golongan menengah, dan sekolah golongan elite.
Kebijakan pemerintah kolonial tentang pendirian sekolah desa genap mengokohkan pondasi ditetapkannya lapisan sosial yang kerap menimbulkan kecurigaan dan kebencian. Salah satunya, kaum Tionghoa memiliki akses lebih mudah dalam bidang pendidikan. Orang-orang Cina bisa tergabung dalam sekolah standar, yang secara teoritis dianggap sebagai sekolah ‘golongan menengah’, yaitu lembaga pendidikan yang terletak antara sekolah desa golongan bawah dan sekolah Kelas Satu golongan elite.
Namun demikian, ditinjau dari sistem pendidikannya, sekolah-sekolah tersebut terbukti melenceng. Saat muncul berbagai dampak depresi setelah tahun 1930, sekolah-sekolah tersebut akhirnya bertransformasi menjadi sekolah-sekolah desa bersama dengan Vervolgscolen. (M.C. Ricklefs, 2008: 344-345).

Bojonegoro, 2018

Selasa, 04 Desember 2018

Anak dalam Jeratan Kriminalitas (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alinea" edisi Selasa, 4 Desember 2018)


Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mengaku prihatin atas keberadaan seorang anak sekolah dasar (SD) yang menjadi bandar narkoba. Keprihatinan ini muncul setelah tertangkapnya anak berusia 14 tahun yang mengedarkan narkoba di Jalan Panampu, Lorong II, kampung Gotong, Kecamatan Tallo.
Ia diamankan oleh aparat kepolisian dengan barang bukti 1 sachet sabu siap pakai. Saat diintrogasi, pelaku mengaku memperoleh barang haram tersebut dari rekannya yang masih duduk di bangku SD. Atas kejadian ini, Pemkot Makassar meminta pihak sekolah mengawasi anak didiknya secara lebih intens.
Adanya tuntutan terhadap sekolah untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam menekan angka kriminalitas memang beralasan. Selain menggali potensi, membuka cakrawala pemikiran, meningkatkan kreativitas, serta menambah wawasan pengetahuan, sekolah selama ini juga dipercaya menjadi sarana pembentuk kepribadian dan karakter siswa. Sekolah dianggap sebagai tempat berkecambahnya nilai-nilai yang baik dan mulia.
Usai menerima pelajaran dari bapak dan ibu guru, siswa diharapkan menunjukkan sopan santun, berperilaku lembut, berakhlak terpuji, serta senantiasa menjunjung tinggi norma dan etika. Persepsi ini pula yang dibentuk oleh publik terhadap sekolah-sekolah di wilayah pedalaman. Bagaimanapun, tidak ada yang boleh menghalangi setiap generasi bangsa, termasuk anak desa, untuk belajar, berprestasi, serta menggapai kemajuan.

Semangat Anak Desa
Tingginya kepercayaan terhadap anak desa pernah didengungkan oleh Yusuf Ismail puluhan tahun silam. Melalui artikelnya bertajuk “Desa Menunggukan Tenaga dan Pimpinan”, ia berpandangan bahwa meskipun pada waktu itu anak desa dihadapkan dengan minimnya tenaga pengajar dan terbatasnya fasilitas sekolah, tetapi kemauan mereka untuk menuntut ilmu sangatlah kuat.
Dalam tulisan yang terbit pada majalah Pesat edisi 06-02-1952, ia mengatakan, “apakah tidak mungkin, bahwa kelak di belakang hari, dari anak2 desa jang kini sedang beladjar atau sedang mendjadi gembala kerbau atau kambing, dan anak2 desa jang sesudah lepas dari beladjar lalu pergi kesawah ladang membantu orang tuanja bekerdja, akan mendjadi orang2 dan anggota masjarakat jang berguna bagi masjarakat dan negara ? ? ?”.
Besarnya harapan bangsa juga digantungkan pada pundak anak desa. Ia berkeyakinan bahwa mereka dapat mewujudkan semua mimpinya. Dengan penuh keyakinan, Yusuf Ismail melontarkan pertanyaan menohok, “apakah tidak mungkin dari kalangan anak2 desa jang sekian banjaknja itu akan dapat djuga mendjadi menteri, mendjadi panglima besar, laksamana, diplomat jang ulung, ahli fikir dsb ? ? ?”

Lubang Kesengsaraan
Sayangnya, optimisme terhadap anak desa seakan meluap ketika orang-orang di sekitar mereka kurang memiliki perhatian dan kepedulian. Bahkan, dalam taraf tertentu, orang tua justru turut membenamkan buah hati dalam lubang kesengsaraan. Dalam banyak kasus, ulah orang tua menyebabkan anaknya menderita dan mengalami depresi akut.
Di negeri ini, rentetan cerita muram tentang kekejaman orang tua terhadap anak seolah tiada habisnya. Kisah pahit anak akibat ulah orang tua terbentang sejak dahulu kala. Sebagai misal, apa yang telah diwartakan oleh Pesat. Edisi 14-03-1952 majalah ini mencatat bahwa kasus penjualan anak pernah ditemukan di sejumlah daerah di Jawa Barat. Bayi baru beberapa bulan lahir dan gadis kecil berumur 12-13 tahun genap diperjualbelikan oleh ayah atau ibunya. Ironisnya, hasil penjualan tersebut sekadar untuk memenuhi kebutuhan dapur. Bahkan, di kawasan Karawang dan Bandung, sebagian anak ditukar dengan beras dua gantang (16 liter).
Sumber yang sama menyebutkan, banyak gadis desa yang diselundupkan ke Singapura untuk dilepas kepada tengkulak. Mayoritas dari mereka menjadi korban human trafficking lantaran seringkali dihantui dengan kelaparan, sehingga terpaksa mengorbankan kehormatan dan keperawanannya untuk dilacurkan.
Dalam kondisi demikian, penjatuhan sanksi pidana kerap merupakan siasat pemadam kebakaran yang kurang menyentuh akar persoalan. Imbasnya, efektivitas pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama dalam kehidupan masyarakat, sangat rendah. Denda, jeruji besi, serta diversi (bagi pelaku kriminal di bawah umur) boleh jadi hanya menjadi solusi dan jawaban sementara atas menjamurnya kasus jual beli narkoba, human trafficking, atau bermacam tindak pidana lainnya dengan anak sebagai pelaku atau korbannya.

Pendidikan Keluarga
Penilaian dan pemahaman terhadap berbagai pelanggaran hukum tidak hanya ditinjau dengan “kaca mata kuda”, melainkan juga mempertimbangkan realitas. Penghakiman atas setiap tindak pidana bukan sekadar ditempuh dengan membaca teks peraturan perundang-undangan atau tata aturan legal (legal authority) lainnya, akan tetapi juga melihat konteks yang ada. Di sinilah pendekatan sosiologi hukum menemukan urgensi dan relevansinya.
Menurut sosiologi hukum, aksi kriminal yang menjadikan anak selaku subjek atau objeknya berkorelasi erat dengan pendidikan keluarga. Orang tua harus selalu membimbing dan mengarahkan anak dalam keseharian mereka. Orang tua dituntut meluangkan waktunya untuk mendampingi buah hati, baik dalam merespons tuntutan zaman maupun menghindarkannya dari jeratan kriminalitas.
Dalam konteks perdesaan, ikhtiar mewujudkan cita-cita anak desa mesti diimbangi dengan dorongan orang tua. Sehingga, hasrat dan semangat para guru untuk mendidik siswa didukung penuh dengan peran keluarga. Kesibukan seseorang dalam bekerja atau memenuhi kebutuhan hidup tidak lantas melupakan tanggung jawabnya selaku orang tua. Keikutsertaan, keterlibatan, serta keaktifan pihak keluarga dalam mendidik merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan anak pada masa mendatang.

Bojonegoro, 2018

Jumat, 23 November 2018

Radikalisme dalam Bingkai Harmonisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Kamis, 22 November 2018)

Tidak hanya menjadi fokus perhatian pemerintah, radikalisme yang mencuat akhir-akhir ini juga menjadi sorotan dunia internasional. Bagaimanapun, radikalisme mengancam eksistensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahaya radikalisme dapat meluluhlantakkan cita-cita luhur dan mulia yang genap dipahat oleh para Bapak Bangsa (founding fathers). Bahkan, jika dibiarkan, menguatnya gejala radikalisme dapat menyuburkan beragam teror bercorak kekerasan yang senantiasa menyebarkan aroma kecemasan, ketakutan, serta rasa trauma bagi masyarakat sipil.

Terorisme
Munculnya kasus-kasus terorisme di Tanah Air tidak terlepas dari keberadaan golongan-golongan Islam berpaham radikal. Pandangan sempit mengenai agama dipraktikkan oleh golongan ini dengan melabeli orang lain “kafir” atau “sesat”. Bahkan, dalam tingkat yang lebih ekstrim, mereka menghalalkan harta dan darah siapa saja yang mempunyai kepercayaan berbeda. Akhirnya, berdalih menghabisi kaum musyrik, tercetuslah ide bom bunuh diri di lokasi-lokasi berkumpulnya umat Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, serta Konghucu.
Jika ditelisik secara seksama, terdapat pengaruh negatif bertunasnya radikalisme terhadap rapuhnya fondasi kebangsaan. Rendahnya toleransi beragama turut disulut oleh paham radikal yang disebarkan oleh beberapa kalangan. Mereka mempraktikkan cara beragama yang homogen sekaligus mengingkari realitas masyarakat multikultural. Hal ini diperparah dengan ideologi mereka yang menihilkan prinsip kesetaraan dan kesederajatan semua manusia di hadapan Sang Pencipta. Imbasnya, muncul beragam perilaku diskriminatif serta tindak kekerasan atas nama agama.
Apa yang terjadi belakangan ini menggambarkan bahwa nilai, prinsip, serta etos kebangsaan tengah dikikis radikalisme yang berkembang menjadi terorisme. Miskinnya pengetahuan tentang konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta) menjadikan generasi muda tergoda untuk bergabung dalam kelompok radikal. Di samping melahirkan disharmoni sosial, fenomena ini juga rentan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, radikalisme dan terorisme tak mungkin mendapat tempat ketika nilai kebinekaan dipegang teguh oleh semua pihak.

Prototipe 
Terorisme sebenarnya merupakan isu bersama yang layak memperoleh perhatian utama. Oleh karena itu, upaya deradikalisasi semestinya bukan sekedar dilakukan dengan mendukung Undang-Undang Antiterorisme, melainkan juga dengan mewujudkan keberagamaan inklusif. Betapa eksklusivitas dan fanatisme yang berlebihan rentan melahirkan kecurigaan terhadap pemeluk agama lain.
Dalam konteks inilah, harmonisme desa sebagai semacam ‘prototipe’ kerukunan antarumat beragama menemukan relevansinya. Betapa kearifan dan kebajikan yang genap diwariskan oleh para pendahulu atau nenek moyang mampu mencegah mewabahnya radikalisme. Apalagi, sejak dahulu kala, inspirasi mengenai tingginya penghormatan terhadap sesama ditunjukkan oleh orang desa.
Di Jawa, terhidang banyak contoh mengenai harapan akan keharmonisan di level desa. Terjalinnya hubungan yang harmonis di antara pemeluk-pemeluk keyakinan yang berbeda dijumpai pada desa Sempu, Bantul, di mana masyarakatnya masih memegang teguh mitos Sabda Palon. Di desa yang terletak di selatan Yogyakarta inilah, publik dapat secara leluasa menyaksikan suatu kompleks pemakaman Cina yang terawat cukup baik, sebuah vihara Buddhis, sebuah masjid, sebuah gereja Katolik, serta sebatang pohon yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Di tengah pluralitas iman tersebut, semangat toleransi serta keharmonisan antarwarga tetap terpelihara. (M.C. Ricklefs, 2013: 719).
Masyarakat Kelurahan Jamika, Bandung, Jawa Barat, juga senantiasa menjaga kerukunan lintas kepercayaan. Walaupun terdiri atas beraneka etnik dan agama, tetapi penduduknya sanggup hidup berdampingan. Di wilayah yang mengantongi predikat Kampung Toleran itu terdapat enam gereja, empat vihara, serta dua masjid. Lantaran enggan mempermasalahkan warna kulit dan agama, warga acap menggelar kegiatan yang melibatkan semua elemen masyarakat. Salah satunya kegiatan ronda yang wajib diikuti oleh setiap orang. Suasana guyub dan damai cukup menonjol saat hari besar salah satu agama dirayakan. Selain memberi kebebasan bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan rumah ibadah, warga yang berbeda agama juga terlibat dalam membantu kelancarannya.
Dalam tataran teoritis, pemerintah harus gencar menyelipkan pemahaman tentang multikulturalisme. Dengan mengadopsi konsep harmonisme desa, setiap warga negara dihimbau untuk senantiasa memelihara kebersamaan. Semua orang dituntut memiliki rasa kepedulian terhadap sesama. Bagaimanapun, perbedaan kepercayaan tidak lantas menghalangi setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Mengingat bahwa dalam suatu masyarakat pluralis, terbentuknya kehidupan humanis yang senantiasa dilandasi dengan kentalnya ikatan persaudaraan merupakan keniscayaan.
Dalam tataran praktis, pemerintah dapat mendirikan Kampung Damai, terutama di daerah-daerah yang rawan dengan aksi teroris. Semua elemen masyarakat diajak untuk selalu menghadang dan menangkal kekerasan isu agama. Kapasitas orang-orang yang bermukim di Kampung Damai juga dipersiapkan menjadi aktor perdamaian. Sehingga, mereka mampu menggerakkan multistakeholder supaya menyadari ancaman terorisme.

Bojonegoro, 2018

Selasa, 30 Oktober 2018

Sosiologi Pemerintahan Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Selasa, 30 Oktober 2018)


Sebagaimana pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, jalannya pemerintahan desa tidak terlepas dari sosiologi masyarakat. Sisi-sisi kehidupan manusia berpengaruh besar terhadap implementasi pemerintahan desa. Atas dasar pemikiran inilah, meneropong implementasi pemerintahan desa tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis merupakan keteledoran.
Ketika menjalankan fungsi, perangkat desa selalu menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan sehari-hari. Di luar kewajibannya selaku organ pemerintahan desa, mereka juga berperan sebagai kepala atau anggota keluarga. Mereka dibebani “kewajiban rumah tangga” layaknya warga desa pada umumnya. Hal ini menyebabkan sejumlah program desa terbengkalai. Implementasi kebijakan pemerintah desa juga kurang maksimal. Baik kepala desa maupun perangkat lainnya cenderung mengesampingkan kewajibannya.

Pelayanan Publik
Dalam banyak kasus, ramainya balai desa tergantung pada kesibukan masing-masing pamong. Adanya jadwal “jaga kantor” menunjukkan sekadar formalitas yang bercorak seremonial. Kehadiran mereka di balai desa berdasarkan situasi atau keadaan. Ketika memiliki sedikit pekerjaan rumah, waktu yang mereka habiskan di balai desa lebih banyak. Begitu pula sebaliknya. Inkonsistensi ini mengakibatkan warga kesulitan memperoleh pelayanan memadai. Mereka harus mengorbankan waktu sekadar untuk menunggu pamong yang kurang disiplin.
Bahkan, kerap mereka terpaksa mendatangi rumah pamong lantaran yang ditunggu tidak lekas muncul di balai desa. Masyarakat diposisikan sebagai pihak yang memerlukan bantuan. Adapun pamong memerankan diri selaku pihak yang dibutuhkan, sehingga mereka bertindak sesuka hati. Dalam konteks inilah, ciri, watak, dan karakter birokrasi di level lokal dilanggengkan.
Kondisi di atas diperparah dengan fakta bahwa tugas pemerintah desa dalam praktiknya terkesan lebih banyak berhubungan dengan urusan administratif, semisal pembuatan akta kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), serta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Saat beberapa urusan ini berhasil diatasi, terdapat persepsi sebagian kalangan bahwa tugas pemerintah desa telah diselesaikan.
Dengan demikian, pelayanan publik identik dengan kegiatan surat-menyurat yang bersifat teknis dan prosedural. Salah satu ukuran keberhasilan pemerintah desa yaitu penerbitan beberapa surat dalam tempo yang dijanjikan. Masyarakat seolah didoktrin bahwa tugas pemerintahan desa hanya seputar “pena di atas kertas”.

Problematika Ekonomi
Tak bisa dimungkiri, sebagian pamong mampu membagi waktu secara proporsional. Ada pembagian waktu yang jelas antara urusan keluarga dengan urusan publik. Dalam menjalankan aktivitasnya, mereka memiliki skala prioritas. Saat menunaikan tugas, mereka berpedoman pada program kerja dan job description yang telah ditetapkan. Mereka menganggap bahwa jabatan pamong merupakan sarana pengabdian diri, sehingga waktu mereka lebih banyak dicurahkan pada masyarakat. Mereka tidak ingin mengorbankan kepercayaan dan melukai perasaan masyarakat. Integritas dan profesionalitas senantiasa mendasari perilaku dan sikap mereka.
Namun, sebagian lainnya cenderung berorientasi pada urusan pribadi. Tampaknya egoisme dan individualisme cukup dominan dalam diri mereka. Meskipun demikian, kesan ini merupakan imbas dari realitas sosial. Di samping mengurus pemerintahan desa, mereka juga bekerja sebagai petani, peternak, pedagang, guru, polisi, mandor, tukang batu, dan lain sebagainya. Tentu ada konsekuensi logis jika mereka kurang serius dalam menjalankan profesi tersebut. Lantaran genap disibukkan dengan mata pencaharian, perhatian mereka terhadap urusan publik sangat rendah.
Mereka direpotkan dengan urusan-urusan lain yang memforsir waktu, tenaga, serta pikiran. Minimnya intensitas dan produktivitas kinerja disebabkan antara lain oleh terbatasnya pendapatan. Daripada memfokuskan diri pada upaya menyejahterakan masyarakat desa, mereka akhirnya lebih banyak memikirkan urusan perut. Kebutuhan sehari-hari begitu menyita energi mereka.
Problematika ekonomi membuat mereka lalai terhadap tugas yang dibebankan undang-undang. Jika ini terjadi, maka fungsi dan peran perangkat desa dalam produk legislasi kurang berjalan sebagaimana semestinya. Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa di desa menyiratkan perbedaan praktik hukum dengan teorinya. Terdapat jurang pemisah atau kesenjangan antara das sein dan das sollen. Hukum dalam kehidupan masyarakat lebih merefleksikan tataran realitas ketimbang idealitas. Apa yang berlangsung di wilayah pedalaman menunjukkan kentalnya law in practice, bukan law in book.

Egosentrisme
Sayangnya, mentalitas di atas terbawa ketika Dana Desa (DD) hadir dalam rangka mengatasi problematika kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang seyogyanya berdasarkan prinsip komunal justru mengedepankan nilai-nilai egosentrisme. Dialirkannya dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat elite lokal tergiur untuk menikmatinya.
Muncul penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah pihak dengan menjadikannya proyek bancakan. Mereka seolah melakukan balas dendam terhadap nasib yang tak kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan dan perbaikan fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi. Hal ini diperparah dengan persepsi bahwa merupakan suatu kerugian apabila mereka enggan mengambil peluang di depan mata.
Upaya menambah penghasilan juga ditempuh dengan melibatkan diri dalam bermacam proyek. Orang-orang seperti ini merasa diuntungkan ketika kementerian, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten berencana mengadakan atau memperbaiki fasilitas desa. Mereka menempuh berbagai cara demi ikut ambil bagian dalam pengerjaan proyek. Bagi mereka, melewatkan momentum berharga hanya akan melahirkan penyesalan di kemudian hari.

Bojonegoro, 2018

Selasa, 23 Oktober 2018

Di Balik Kantor Desa yang Mewah (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" edisi Senin, 22 Oktober 2018)


Para netizen dikejutkan dengan tersebarnya foto-foto infrastruktur lokal yang kemudian menjadi “viral”. Mereka seolah terhenyak saat menyaksikan gedung kantor Desa Kemuningsari Kidul, Jember, Jawa Timur, yang cukup unik lantaran didesain mirip istana negara. Sejarah pendirian kantor desa tersebut bermula dari inisiatif warga setempat pada 2013 yang menginginkan kantor desa representatif. Sebagai tindak lanjut atas aspirasi masyarakat, Kepala Desa bersama BPD, tokoh masyarakat, serta kaum pemuda, akhirnya berembuk dan sepakat untuk merealisasikannya.
Keunikan gedung kantor desa yang menelan biaya pembangunan sekitar Rp 1,8 miliar tersebut memancing perhatian publik. Banyak warga yang berasal dari luar desa berdatangan ke sana sekadar untuk berswafoto di depannya. Upaya merespons beragam atensi dilakukan oleh pemerintah desa dengan menggagas rencana pengembangan bangunan. Kepala desa beserta jajarannnya bakal menghadirkan taman bermain dan warung makan di sekitar kantor desa sebagai ikhtiar memanjakan siapa saja yang “berwisata” ke tempat tersebut.

Local Genius
Bila ditelusuri, penampilan kantor desa yang megah tidak hanya ditemukan belakangan. Pada masa silam, sebagian kantor desa genap menunjukkan kemewahan. Berdasarkan pemberitaan surat kabar Kuang Po edisi 31 Oktober 1955, Kepala Desa Giripurwo, Wonogiri, Jawa Tengah, bersama tokoh masyarakat, sedang sibuk membangun balai desa raksasa dengan anggaran yang cukup besar. Uniknya, kegiatan renovasi gedung yang terletak di Selapadi di atas tanah seluas 700 meter persegi tersebut disokong dengan iuran masyarakat. Fakta ini menggambarkan bahwa di balik kemewahan balai desa tersimpan kekompakan, kebersamaan, serta gotong royong.
Urgensi dan fungsi kantor desa bagi jalannya pemerintahan desa memang tak bisa dinihilkan. Pelayanan administrasi dan kepentingan masyarakat setiap hari berlangsung di sana. Boleh jadi alasan inilah yang membuat masyarakat di negeri ini berlomba menghadirkan kantor desa yang megah. Usaha mewujudkan kantor desa yang representatif dan enak dipandang juga mempunyai pertimbangan bahwa balai desa terbukti berperan memelihara adat-istiadat dan kearifan lokal (local genius) yang diwariskan lintas generasi.
Di Desa Sukamarto, Temanggung, Jawa Tengah, balai desa menjadi sarana berlangsungnya kirab budaya. Mengenakan busana adat Jawa dan membawa nampan berisi ingkung bebek dan tumpeng, warga setempat berkumpul di halaman balai desa. Saat tiba waktunya, ratusan orang berjalan kaki diiringi tetabuhan tradisional oleh kelompok kesenian lokal menuju makam sesepuh desa. Lokasi peristirahatan terakhir leluhur yang biasa disapa Simbah Habib tersebut berjarak 600 meter dari balai desa. Kegiatan mendatangi makam leluhur serta berdoa bersama di sana menyimpan harapan agar warga setempat senantiasa mengingat jasa leluhur yang telah tiada.

Dilema
Kesan megah yang terlanjur melekat pada kantor Desa Kemuningsari Kidul tentu berdampak positif. Boleh jadi motivasi dan semangat kerja pamong berlipat ganda setelah beberapa fasilitasnya memperoleh perbaikan. Seiring dengan semakin meningkatnya kondisi fisik kantor desa, mereka dapat menjalankan amanah dengan sungguh-sungguh. Terciptanya good governance di level lokal salah satunya tergantung pada kedisiplinan dan kerja keras pamong.
Adapun harapan atas terwujudnya kejujuran, keterbukaan, dan akuntabilitas semakin besar. Bagaimanapun, mereka adalah aktor lokal yang dipercaya mampu menciptakan nilai-nilai demokratis di level akar rumput. Dalam konteks ini, bangunan kantor desa mempengaruhi cara berpikir pamong. Aspek material dalam taraf tertentu turut membentuk sekaligus mewarnai aspek psikis manusia.
Terdongkraknya citra dan image kantor desa juga mengakibatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa meningkat. Baik individu, swasta, maupun lembaga pemerintahan dapat menjadikan pemerintah Desa Kemuningsari Kidul sebagai mitra kerja. Selain menyediakan lapangan kerja, memunculkan bermacam alternatif sumber ekonomi, serta mendirikan sentra produksi bertaraf lokal, keuntungan finansial yang diperoleh dari berbagai bentuk hubungan dan kerja sama bisa digunakan untuk mengatrol sumber daya manusia (SDM) warga setempat. Ikhtiar membekali berbagai lapisan masyarakat dengan soft skill merupakan modal berharga sekaligus merepresentasikan kepentingan jangka panjang.   
Namun demikian, ada dampak negatif yang sukar dihindarkan. Pembangunan gedung kantor desa yang semestinya mendekatkan pamong dengan masyarakat, justru rentan menjauhkannya. Sehingga, pembangunan tidak menghasilkan harmonisasi, melainkan ketimpangan dan jarak sosial. Selama ini, kesan formal pada kantor desa seringkali membuat pemenuhan urusan masyarakat kurang optimal. Minimnya kepuasan publik terhadap peran dan tugas pamong antara lain dikarenakan sebagian lapisan masyarakat, terutama orang-orang berstatus sosial rendah, merasa segan untuk pergi ke sana.
Padahal, renovasi gedung kantor desa seyogyanya menjadikan kinerja pemerintah desa lebih efektif dan maksimal. Mereka yang duduk di jajaran pemerintahan di aras lokal mampu memanfaatkan keamanan dan kenyamanan kantor desa demi terwujudnya kepentingan publik. Dilema inilah yang seharusnya disikapi dengan bijak oleh pemerintah desa. Tata kelola balai desa atau kantor desa yang baik tentu mengundang ekses positif. Begitu pula sebaliknya.

Bojonegoro, 2018

Jumat, 12 Oktober 2018

Nalar Kebangsaan, Pancasila dan Harmonisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Jumat, 12 Oktober 2018)


Persentase publik pro Pancasila terus merosot, terutama dalam 13 tahun terakhir. Survei yang digelar oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen. Pada tahun 2010, angkanya menurun menjadi 81,7 persen. Pada tahun 2015, publik yang pro Pancasila hanya 79,4 persen. Akhirnya, pada tahun 2018, angka tersebut kembali menurun menjadi 75,3 persen.
Data yang disuguhkan LSI di atas tentu merupakan kabar buruk bagi bangsa Indonesia. Padahal, menurut pakar dan akademisi, Pancasila menjadi jawaban dan solusi atas beragam problematika akut yang menimpa bangsa ini. Terbatasnya kepercayaan terhadap makna dan fungsi ideologi bangsa rentan menurunkan motivasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Apalagi, dalam catatan historis, Pancasila tidak selamanya dimaknai secara hakiki, melainkan sekadar prosedural, bahkan artifisial. Oleh anasir Orde Baru, Pancasila dipolitisasi sedemikian rupa demi kepentingan penguasa. Atas nama negara, warga sipil diajak untuk senantiasa mendukung program-program pemerintah.
Saat reformasi bergulir, kaum akademis, pegiat NGO, aktivis, pejuang kemanusiaan, serta mahasiswa melontarkan kritik tajam terhadap pemanfaatan Pancasila semacam ini. Bagi mereka, prinsip Pancasila semestinya direalisasikan demi tercapainya cita-cita kebangsaan yang menampung beragam kepentingan. Celakanya, setelah dua puluh tahun berselang, angin reformasi yang dihembuskan oleh beberapa kalangan belum sepenuhnya dirasakan. Upaya meraih cita-cita reformasi acap terjebak dalam agenda-agenda seremonial.

Identitas Kebangsaan
Apa yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa ikhtiar meraih impian reformasi masih jauh panggang dari api. Selain menghasilkan demokratisasi yang kebablasan, semangat perubahan yang menelusup hampir ke semua bidang kehidupan pada akhirnya juga membelokkan nalar kebangsaan.
Maraknya kasus terorisme, menjamurnya ujaran kebencian lewat media sosial, bertunasnya ego sektoral, serta meroketnya angka persekusi massa, menunjukkan bahwa fondasi kebangsaan kita kian rapuh. Kerukunan, persatuan, dan kebersamaan, sebagaimana yang didengungkan oleh tokoh-tokoh bangsa, semakin merosot. Perpecahan di berbagai tempat menggambarkan bahwa etos-etos luhur yang diwariskan oleh para pendahulu mengalami pengeroposan.
Apalagi, permainan dan rivalitas politik, baik di tingkat nasional maupun tataran lokal, semakin jauh dari norma dan etika. Logika konsumerisme yang diusung oleh kaum elite mengukuhkan persepsi bahwa politik boleh menghalalkan segala cara. Di sinilah pragmatisme dan oportunisme mendapatkan tempat.
Dalam sejumlah kasus, tindakan politis ternyata kurang mencerminkan nilai-nilai kemuliaan dan kehormatan. Harga diri dan martabat manusia turut direndahkan oleh perilaku politikus busuk yang selalu mengutamakan kepentingan individual sekaligus mengesampingkan hajat publik.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, identitas kebangsaan kita sebenarnya sedang mengalami ancaman serius. Betapa sejarah dan narasi peradaban kita juga menampilkan wajah yang bopeng. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin bangsa ini bakal terjerembab dalam lubang kehancuran.

Prototipe 
Dalam konteks inilah, harmonisme desa sebagai semacam ‘prototipe’ revitalisasi nilai-nilai Pancasila menemukan relevansinya. Dengan mengadopsi konsep harmonisme desa, pemerintah menghimbau setiap warga negara untuk senantiasa memelihara aspirasi kolektif. Dalam rangka menghidupkan kembali apa yang terkandung dalam Pancasila, semua orang dituntut menjunjung tinggi toleransi dan gotong-royong. Prinsip kekeluargaan dan keberagaman juga harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, aksi kekerasan bertumpu klaim sepihak tentang makna kebenaran bisa diredam.
Konsep harmonisme desa mengajarkan betapa kearifan dan kebajikan yang diturunkan oleh nenek moyang mampu mencegah mewabahnya individualisme, egosentrisme, dan fanatisme buta. Komunalisme yang dipegang teguh oleh orang desa lintas generasi genap menjauhkan mereka dari benih-benih perpecahan. Sejak dahulu kala, inspirasi tentang tingginya penghormatan terhadap sesama ditunjukkan oleh mereka yang bermukim di wilayah pedalaman.
Masyarakat Indonesia memiliki tatanan sosial yang pada awalnya bertumpu pada kehidupan perdesaan. Hubungan paternal yang terbentuk baik antara kaum tua dan generasi muda maupun antara pemimpin dan orang yang dipimpin begitu kuat dalam struktur piramida. Jalinan sosial tersebut acap dipengaruhi oleh jiwa masyarakat yang memperoleh sentuhan tradisi dan adat-istiadat.

Bojonegoro, 2018

Selasa, 02 Oktober 2018

Merajut Asa melalui Dana Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Selasa, 2 Oktober 2018)


Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyampaikan bahwa saat ini penyerapan dana desa sebesar Rp 12 triliun di 434 kabupaten sudah mencapai 72%. Ini berarti, dana desa tahap awal yang dialokasikan pada tahun 2018 telah terserap Rp 8,68 triliun dan tersebar di 314 kabupaten.
Membangun negara dari desa merupakan sebagian program prioritas yang diusung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Hal ini termaktub dalam NawaCita ketiga yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Ikhtiar memajukan, memberdayakan, serta mengukuhkan eksistensi desa antara lain ditempuh oleh pemerintah pusat dengan mengucurkan dana desa. Berpayung hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014), dana desa menjadi medium terciptanya good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimanapun, di dalamnya terkandung cita-cita bangsa sekaligus nilai dan prinsip Pancasila.

Wajah Desa
Selama tiga tahun berturut-turut, jumlah dana desa terus meningkat. Pada awal pencairannya, yakni tahun 2015, jumlah dana desa mencapai Rp 20,76 triliun dengan rata-rata penerimaan Rp 280,3 juta per desa. Tahun 2016, jumlah dana desa meroket menjadi Rp 46,98 triliun dengan rata-rata penerimaan Rp 643,6 juta per desa. Setahun setelahnya, yaitu tahun 2017, jumlah dana desa mencapai Rp 60 triliun dengan penerimaan rata-rata per desa Rp 750 juta hingga Rp 800 juta. Adapun pada tahun 2018, jumlah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sama dengan tahun sebelumnya. Pemerintah pusat mengalokasikannya sebesar Rp 60 triliun.
Pencairan dana desa sejak tahun 2015 telah mengubah wajah desa sekaligus nasib mereka yang tinggal di wilayah pedalaman. Penggunaannya terbukti menghasilkan berbagai sarana dan prasana di level lokal, semisal jalan, jembatan, irigasi, drainase, serta sambungan air bersih. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengklaim bahwa penggunaan dana desa tahun 2015 sebesar Rp 20,8 triliun dan 2016 sejumlah Rp 46,9 triliun genap menghasilkan lebih dari 89.000 kilometer jalan desa, 746.300 meter jembatan, 22.126 unit sambungan air bersih rumah tangga, 1.700 unit tambatan perahu, 19.485 unit sumur, 3.000 pasar desa, serta 107.776 drainase dan irigasi.
Adapun pada penghujung 2017, Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo dalam Rembug Desa Nasional di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan bahwa dana desa berhasil mewujudkan puluhan ribu lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), poliklinik desa (polindes), drainase, serta ratusan bangunan penahan tanah longsor.
Data di atas menunjukkan bahwa manfaat dana desa sangat besar dalam meningkatkan kualitas ekonomi, pendidikan, pertanian, kesehatan, serta fasilitas publik, terutama di level lokal. Dana desa dipercaya membangkitkan kepercayaan orang-orang desa terhadap tanah kelahirannya sekaligus membendung keinginan mereka untuk bermigrasi ke luar daerah, kota besar, sentra produksi, atau bahkan luar negeri. Selama ini, menggebunya hasrat urbanisasi dalam diri orang-orang kecil tak terlepas dari buruknya akses di tempat asal.
Digencarkannya dana desa berarti mengandung usaha memberikan kemudahan bagi masyarakat desa untuk mengatrol taraf hidup. Dengan demikian, desa bukanlah tempat bagi warga negara untuk mencemaskan kehidupannya, mengkhawatirkan masa depannya, serta mengeluhkan penderitaannya, melainkan sarana mencari kemakmuran, mengejar kenyamanan hidup, serta memperbaiki kualitas diri. 

Cerita Sukses
Ada banyak cerita sukses dan menggembirakan tentang dana desa. Sejumlah daerah mampu meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat dengan memaksimalkannya. Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, misalnya, merupakan daerah yang berhasil mengelola dana desa melalui BUMDes. Di sana terdapat 47 desa yang masing-masing memiliki BUMDes. Adapun di Desa Lubuk Sebotan, Jambi, kucuran Rp 780 juta pada 2017 digunakan oleh pemerintah desa untuk membangkitkan kesejahteraan warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani karet. Dengan perencanaan yang matang, terukur, dan terarah, dana desa dimaksimalkan untuk membangun usaha penghiliran industri karet, sehingga warga terbebas dari lilitan kemiskinan yang sebelumnya dialami selama bertahun-tahun.
Berkat adanya dana desa, warga Kampung Nendali di Provinsi Papua berhasil membudidayakan ikan nila dengan sistem keramba berjaring. Manfaatnya cukup dirasakan oleh masyarakat setempat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, usaha tersebut mampu membebaskan puluhan keluarga dari jerat kemiskinan. Pemerintah Kampung membagikan paket bantuan budidaya ikan nila kepada 51 keluarga yang terdiri dari dua konstruksi keramba ikan beserta jaring, 2,4 ton pakan ikan, serta 2.000 ekor benih ikan nila. Setelah genap tiga bulan, hasil ikan dijual di Jayapura dan Kabupaten Mamberamo Raya dengan harga Rp 75.000 per kilogram.
Di sinilah urgensi dana desa dalam membentuk kemandirian warga, terutama dalam mencari penghidupan. Dana desa digunakan oleh masyarakat setempat untuk menumbuhkan semangat entrepreneurship. Seiring dengan semakin gencarnya globalisasi dan modernisasi ke berbagai penjuru negeri, masyarakat desa harus membekali diri dengan etos kerja yang tinggi. Dalam beberapa kesempatan, jiwa kewirausahaan mesti dikembangkan, jika tak ingin tergilas oleh perkembangan zaman.
Melonjaknya angka kemiskinan di beberapa tempat tak lantas dihadapi dengan putus asa, melainkan dengan motivasi untuk senantiasa melambungkan taraf hidup. Bagaimanapun, kemiskinan seringkali mendatangkan kebodohan, kemalasan, gangguan kesehatan, bahkan kriminalitas. Beberapa kasus menunjukkan bahwa naiknya prosentase tindak pidana atau kejahatan di negeri ini merupakan pengaruh dari kemiskinan akut.

Bojonegoro, 2018

Senin, 01 Oktober 2018

Cerita Sukses Dana Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 27 September 2018)

Pada tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi mekanisme penyaluran dana desa, mengantisipasi penyalahgunaan dana desa, serta memaksimalkan penyaluran. Barangkali kebijakan ini lahir dari pertimbangan bahwa selama tiga tahun, jumlah dana desa terus meningkat. Pada awal pencairannya, yakni pada tahun 2015, jumlah dana desa mencapai Rp 20,76 triliun. Pada tahun 2016, jumlah dana desa meroket menjadi Rp 46,98 triliun. Pada tahun 2017, jumlah dana desa mencapai Rp 60 triliun. Adapun pada tahun 2018, jumlah dana desa sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 60 triliun.
Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan tahap kedua (2016) lebih diarahkan untuk membangun infrastruktur. Penggunaan dana desa tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung atau bangunan penangkap air, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta sarana olahraga desa. Sedangkan pada tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan penerapan dana desa untuk program padat karya tunai. Berpijak pada fakta-fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan yang diberikan oleh dana desa. Orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman genap menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung oleh UU No. 6/2014 benar-benar dirasakan.

Pentingnya Data
Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain, yaitu pemetaan desa. Program ini bukan sekadar merupakan pemetaan spasial, melainkan juga pemetaan sosial. Dari pemetaan itu, diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal yang dijumpai di lapangan semakin tampak. Data hasil pemetaan bakal menjadi rujukan dalam perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa sebesar Rp 25 juta. Meski bernilai kecil, tetapi manfaatnya luar biasa. Apalagi, ”peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID). Sehingga, hasil pemetaan itu akan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.
Apa yang ditunjukkan oleh Desa Pandanlandung merupakan prestasi membanggakan. Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Pemakaian data sebagai sumber rancangan beberapa program menggambarkan betapa pemerintah desa senantiasa memperhatikan realitas dan kondisi yang ada di lapangan. Harapannya, di samping mencapai target, apa yang direncanakan di masa depan juga tidak sepenuhnya meleset. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa ketimpangan antara perencanaan dengan realisasi program, baik pada level nasional maupun lokal, merupakan akibat dari minimnya data.
Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap disebabkan oleh belum tersedianya data yang memadai. Begitu pula sebaliknya. Keberhasilan program pemerintah kerap ditopang oleh tersajinya data yang valid dan akuntabel. Di sinilah perlunya data dalam menghindarkan segala bentuk kegagalan sekaligus memudahkan tercapainya keberhasilan. Dengan demikian, data yang genap terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan kepada warga. Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Nata Irawan bahwa dana desa merupakan sumber daya yang dapat digunakan sebagai penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa. (Nata Irawan, 2017: 103).
Ikhtiar memaksimalkan obyek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat wisatawan, pengelola pariwisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa sekaligus menonjolkan keasrian alamnya. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.
Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Apalagi, optimalisasi desa wisata yang dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan ternyata mampu mendongkrak wisatawan. Imbasnya, perekonomian warga ikut terangkat. (Kompas, 3-1-2018: 24).
Tata kelola dana desa berperan besar dalam mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos oleh media cetak maupun daring bisa dipromosikan secara luas. Terbatasnya informasi seputar lokasi wisata di kawasan pedalaman merupakan imbas minimnya pemberitaan media tentang beberapa tempat yang menjanjikan aneka wahana dan ragam hiburan. Apalagi, lantaran belum banyak terjamah oleh pengunjung, potensi alamiahnya masih cukup menonjol. Dalam konteks inilah, penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, tentu dana desa turut memberikan sumbangsih yang nyata dalam mempromosikan kesejukan, ketentraman dan kenyamanan desa kepada khalayak. Sehingga, keindahan desa yang selama ini hanya dinikmati oleh masyarakat setempat juga dirasakan oleh pihak luar. Betapa udara yang segar serta pemandangan yang menakjubkan merupakan eksotisme surgawi yang sayang untuk dilewatkan.

Persepsi Miring
Menyebarnya beragam cerita sukses tentang dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk senantiasa mendukung pemerintah pusat dalam mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, di samping hanya memboroskan uang negara, dikucurkannya dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil. Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke level lokal. Gagasan mulia untuk menghormati keberadaan orang desa melalui dana desa dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar”. Dibanding  kemaslahatan dana desa lebih banyak mendatangkan  kerusakan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa banyak desa belum mampu menggali potensi dana tersebut secara maksimal.
Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan kepada desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan uang negara, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran jika sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan kepadanya juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, semakin berat pula hukuman yang diterima. (Ratno Lukito, 2012: 38).
Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka rela dipenjara. Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi”, di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi bahwa sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, melainkan kekhilafan belaka. Nasib tragis yang menimpa sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan pobia terhadap dana desa, melainkan justru menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana yang bersumber dari APBN tersebut dikelola secara serampangan. Segala hal yang berhubungan dengannya mesti berpijak pada pemikiran yang arif dan bijak.
Lebih dari itu, kisah “gagalnya” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus senantiasa dirawat oleh pejabat, akademisi, peneliti, pegiat desa, serta stakeholder. Ketimbang pesimisme semua pihak lebih diharapkan memupuk optimisme supaya dana desa dapat dicairkan sesuai target dan tujuan. Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang oleh eksistensi desa selaku penyangganya. Terutama di negeri ini, kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Sehingga, bagi pemerintah pusat, upaya memajukan desa merupakan keniscayaan.

Bojonegoro, 2018