Jumat, 12 Oktober 2018

Nalar Kebangsaan, Pancasila dan Harmonisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Jumat, 12 Oktober 2018)


Persentase publik pro Pancasila terus merosot, terutama dalam 13 tahun terakhir. Survei yang digelar oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen. Pada tahun 2010, angkanya menurun menjadi 81,7 persen. Pada tahun 2015, publik yang pro Pancasila hanya 79,4 persen. Akhirnya, pada tahun 2018, angka tersebut kembali menurun menjadi 75,3 persen.
Data yang disuguhkan LSI di atas tentu merupakan kabar buruk bagi bangsa Indonesia. Padahal, menurut pakar dan akademisi, Pancasila menjadi jawaban dan solusi atas beragam problematika akut yang menimpa bangsa ini. Terbatasnya kepercayaan terhadap makna dan fungsi ideologi bangsa rentan menurunkan motivasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Apalagi, dalam catatan historis, Pancasila tidak selamanya dimaknai secara hakiki, melainkan sekadar prosedural, bahkan artifisial. Oleh anasir Orde Baru, Pancasila dipolitisasi sedemikian rupa demi kepentingan penguasa. Atas nama negara, warga sipil diajak untuk senantiasa mendukung program-program pemerintah.
Saat reformasi bergulir, kaum akademis, pegiat NGO, aktivis, pejuang kemanusiaan, serta mahasiswa melontarkan kritik tajam terhadap pemanfaatan Pancasila semacam ini. Bagi mereka, prinsip Pancasila semestinya direalisasikan demi tercapainya cita-cita kebangsaan yang menampung beragam kepentingan. Celakanya, setelah dua puluh tahun berselang, angin reformasi yang dihembuskan oleh beberapa kalangan belum sepenuhnya dirasakan. Upaya meraih cita-cita reformasi acap terjebak dalam agenda-agenda seremonial.

Identitas Kebangsaan
Apa yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa ikhtiar meraih impian reformasi masih jauh panggang dari api. Selain menghasilkan demokratisasi yang kebablasan, semangat perubahan yang menelusup hampir ke semua bidang kehidupan pada akhirnya juga membelokkan nalar kebangsaan.
Maraknya kasus terorisme, menjamurnya ujaran kebencian lewat media sosial, bertunasnya ego sektoral, serta meroketnya angka persekusi massa, menunjukkan bahwa fondasi kebangsaan kita kian rapuh. Kerukunan, persatuan, dan kebersamaan, sebagaimana yang didengungkan oleh tokoh-tokoh bangsa, semakin merosot. Perpecahan di berbagai tempat menggambarkan bahwa etos-etos luhur yang diwariskan oleh para pendahulu mengalami pengeroposan.
Apalagi, permainan dan rivalitas politik, baik di tingkat nasional maupun tataran lokal, semakin jauh dari norma dan etika. Logika konsumerisme yang diusung oleh kaum elite mengukuhkan persepsi bahwa politik boleh menghalalkan segala cara. Di sinilah pragmatisme dan oportunisme mendapatkan tempat.
Dalam sejumlah kasus, tindakan politis ternyata kurang mencerminkan nilai-nilai kemuliaan dan kehormatan. Harga diri dan martabat manusia turut direndahkan oleh perilaku politikus busuk yang selalu mengutamakan kepentingan individual sekaligus mengesampingkan hajat publik.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, identitas kebangsaan kita sebenarnya sedang mengalami ancaman serius. Betapa sejarah dan narasi peradaban kita juga menampilkan wajah yang bopeng. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin bangsa ini bakal terjerembab dalam lubang kehancuran.

Prototipe 
Dalam konteks inilah, harmonisme desa sebagai semacam ‘prototipe’ revitalisasi nilai-nilai Pancasila menemukan relevansinya. Dengan mengadopsi konsep harmonisme desa, pemerintah menghimbau setiap warga negara untuk senantiasa memelihara aspirasi kolektif. Dalam rangka menghidupkan kembali apa yang terkandung dalam Pancasila, semua orang dituntut menjunjung tinggi toleransi dan gotong-royong. Prinsip kekeluargaan dan keberagaman juga harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, aksi kekerasan bertumpu klaim sepihak tentang makna kebenaran bisa diredam.
Konsep harmonisme desa mengajarkan betapa kearifan dan kebajikan yang diturunkan oleh nenek moyang mampu mencegah mewabahnya individualisme, egosentrisme, dan fanatisme buta. Komunalisme yang dipegang teguh oleh orang desa lintas generasi genap menjauhkan mereka dari benih-benih perpecahan. Sejak dahulu kala, inspirasi tentang tingginya penghormatan terhadap sesama ditunjukkan oleh mereka yang bermukim di wilayah pedalaman.
Masyarakat Indonesia memiliki tatanan sosial yang pada awalnya bertumpu pada kehidupan perdesaan. Hubungan paternal yang terbentuk baik antara kaum tua dan generasi muda maupun antara pemimpin dan orang yang dipimpin begitu kuat dalam struktur piramida. Jalinan sosial tersebut acap dipengaruhi oleh jiwa masyarakat yang memperoleh sentuhan tradisi dan adat-istiadat.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar