Senin, 01 Oktober 2018

Cerita Sukses Dana Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 27 September 2018)

Pada tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi mekanisme penyaluran dana desa, mengantisipasi penyalahgunaan dana desa, serta memaksimalkan penyaluran. Barangkali kebijakan ini lahir dari pertimbangan bahwa selama tiga tahun, jumlah dana desa terus meningkat. Pada awal pencairannya, yakni pada tahun 2015, jumlah dana desa mencapai Rp 20,76 triliun. Pada tahun 2016, jumlah dana desa meroket menjadi Rp 46,98 triliun. Pada tahun 2017, jumlah dana desa mencapai Rp 60 triliun. Adapun pada tahun 2018, jumlah dana desa sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 60 triliun.
Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan tahap kedua (2016) lebih diarahkan untuk membangun infrastruktur. Penggunaan dana desa tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung atau bangunan penangkap air, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta sarana olahraga desa. Sedangkan pada tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan penerapan dana desa untuk program padat karya tunai. Berpijak pada fakta-fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan yang diberikan oleh dana desa. Orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman genap menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung oleh UU No. 6/2014 benar-benar dirasakan.

Pentingnya Data
Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain, yaitu pemetaan desa. Program ini bukan sekadar merupakan pemetaan spasial, melainkan juga pemetaan sosial. Dari pemetaan itu, diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal yang dijumpai di lapangan semakin tampak. Data hasil pemetaan bakal menjadi rujukan dalam perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa sebesar Rp 25 juta. Meski bernilai kecil, tetapi manfaatnya luar biasa. Apalagi, ”peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID). Sehingga, hasil pemetaan itu akan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.
Apa yang ditunjukkan oleh Desa Pandanlandung merupakan prestasi membanggakan. Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Pemakaian data sebagai sumber rancangan beberapa program menggambarkan betapa pemerintah desa senantiasa memperhatikan realitas dan kondisi yang ada di lapangan. Harapannya, di samping mencapai target, apa yang direncanakan di masa depan juga tidak sepenuhnya meleset. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa ketimpangan antara perencanaan dengan realisasi program, baik pada level nasional maupun lokal, merupakan akibat dari minimnya data.
Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap disebabkan oleh belum tersedianya data yang memadai. Begitu pula sebaliknya. Keberhasilan program pemerintah kerap ditopang oleh tersajinya data yang valid dan akuntabel. Di sinilah perlunya data dalam menghindarkan segala bentuk kegagalan sekaligus memudahkan tercapainya keberhasilan. Dengan demikian, data yang genap terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan kepada warga. Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Nata Irawan bahwa dana desa merupakan sumber daya yang dapat digunakan sebagai penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa. (Nata Irawan, 2017: 103).
Ikhtiar memaksimalkan obyek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat wisatawan, pengelola pariwisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa sekaligus menonjolkan keasrian alamnya. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.
Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Apalagi, optimalisasi desa wisata yang dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan ternyata mampu mendongkrak wisatawan. Imbasnya, perekonomian warga ikut terangkat. (Kompas, 3-1-2018: 24).
Tata kelola dana desa berperan besar dalam mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos oleh media cetak maupun daring bisa dipromosikan secara luas. Terbatasnya informasi seputar lokasi wisata di kawasan pedalaman merupakan imbas minimnya pemberitaan media tentang beberapa tempat yang menjanjikan aneka wahana dan ragam hiburan. Apalagi, lantaran belum banyak terjamah oleh pengunjung, potensi alamiahnya masih cukup menonjol. Dalam konteks inilah, penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, tentu dana desa turut memberikan sumbangsih yang nyata dalam mempromosikan kesejukan, ketentraman dan kenyamanan desa kepada khalayak. Sehingga, keindahan desa yang selama ini hanya dinikmati oleh masyarakat setempat juga dirasakan oleh pihak luar. Betapa udara yang segar serta pemandangan yang menakjubkan merupakan eksotisme surgawi yang sayang untuk dilewatkan.

Persepsi Miring
Menyebarnya beragam cerita sukses tentang dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk senantiasa mendukung pemerintah pusat dalam mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, di samping hanya memboroskan uang negara, dikucurkannya dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil. Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke level lokal. Gagasan mulia untuk menghormati keberadaan orang desa melalui dana desa dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar”. Dibanding  kemaslahatan dana desa lebih banyak mendatangkan  kerusakan. Hal ini berangkat dari fakta bahwa banyak desa belum mampu menggali potensi dana tersebut secara maksimal.
Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan kepada desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan uang negara, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran jika sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan kepadanya juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, semakin berat pula hukuman yang diterima. (Ratno Lukito, 2012: 38).
Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka rela dipenjara. Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi”, di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi bahwa sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, melainkan kekhilafan belaka. Nasib tragis yang menimpa sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan pobia terhadap dana desa, melainkan justru menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana yang bersumber dari APBN tersebut dikelola secara serampangan. Segala hal yang berhubungan dengannya mesti berpijak pada pemikiran yang arif dan bijak.
Lebih dari itu, kisah “gagalnya” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus senantiasa dirawat oleh pejabat, akademisi, peneliti, pegiat desa, serta stakeholder. Ketimbang pesimisme semua pihak lebih diharapkan memupuk optimisme supaya dana desa dapat dicairkan sesuai target dan tujuan. Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang oleh eksistensi desa selaku penyangganya. Terutama di negeri ini, kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Sehingga, bagi pemerintah pusat, upaya memajukan desa merupakan keniscayaan.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar