Selasa, 30 Oktober 2018

Sosiologi Pemerintahan Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Republika" edisi Selasa, 30 Oktober 2018)


Sebagaimana pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, jalannya pemerintahan desa tidak terlepas dari sosiologi masyarakat. Sisi-sisi kehidupan manusia berpengaruh besar terhadap implementasi pemerintahan desa. Atas dasar pemikiran inilah, meneropong implementasi pemerintahan desa tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis merupakan keteledoran.
Ketika menjalankan fungsi, perangkat desa selalu menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan sehari-hari. Di luar kewajibannya selaku organ pemerintahan desa, mereka juga berperan sebagai kepala atau anggota keluarga. Mereka dibebani “kewajiban rumah tangga” layaknya warga desa pada umumnya. Hal ini menyebabkan sejumlah program desa terbengkalai. Implementasi kebijakan pemerintah desa juga kurang maksimal. Baik kepala desa maupun perangkat lainnya cenderung mengesampingkan kewajibannya.

Pelayanan Publik
Dalam banyak kasus, ramainya balai desa tergantung pada kesibukan masing-masing pamong. Adanya jadwal “jaga kantor” menunjukkan sekadar formalitas yang bercorak seremonial. Kehadiran mereka di balai desa berdasarkan situasi atau keadaan. Ketika memiliki sedikit pekerjaan rumah, waktu yang mereka habiskan di balai desa lebih banyak. Begitu pula sebaliknya. Inkonsistensi ini mengakibatkan warga kesulitan memperoleh pelayanan memadai. Mereka harus mengorbankan waktu sekadar untuk menunggu pamong yang kurang disiplin.
Bahkan, kerap mereka terpaksa mendatangi rumah pamong lantaran yang ditunggu tidak lekas muncul di balai desa. Masyarakat diposisikan sebagai pihak yang memerlukan bantuan. Adapun pamong memerankan diri selaku pihak yang dibutuhkan, sehingga mereka bertindak sesuka hati. Dalam konteks inilah, ciri, watak, dan karakter birokrasi di level lokal dilanggengkan.
Kondisi di atas diperparah dengan fakta bahwa tugas pemerintah desa dalam praktiknya terkesan lebih banyak berhubungan dengan urusan administratif, semisal pembuatan akta kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), serta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Saat beberapa urusan ini berhasil diatasi, terdapat persepsi sebagian kalangan bahwa tugas pemerintah desa telah diselesaikan.
Dengan demikian, pelayanan publik identik dengan kegiatan surat-menyurat yang bersifat teknis dan prosedural. Salah satu ukuran keberhasilan pemerintah desa yaitu penerbitan beberapa surat dalam tempo yang dijanjikan. Masyarakat seolah didoktrin bahwa tugas pemerintahan desa hanya seputar “pena di atas kertas”.

Problematika Ekonomi
Tak bisa dimungkiri, sebagian pamong mampu membagi waktu secara proporsional. Ada pembagian waktu yang jelas antara urusan keluarga dengan urusan publik. Dalam menjalankan aktivitasnya, mereka memiliki skala prioritas. Saat menunaikan tugas, mereka berpedoman pada program kerja dan job description yang telah ditetapkan. Mereka menganggap bahwa jabatan pamong merupakan sarana pengabdian diri, sehingga waktu mereka lebih banyak dicurahkan pada masyarakat. Mereka tidak ingin mengorbankan kepercayaan dan melukai perasaan masyarakat. Integritas dan profesionalitas senantiasa mendasari perilaku dan sikap mereka.
Namun, sebagian lainnya cenderung berorientasi pada urusan pribadi. Tampaknya egoisme dan individualisme cukup dominan dalam diri mereka. Meskipun demikian, kesan ini merupakan imbas dari realitas sosial. Di samping mengurus pemerintahan desa, mereka juga bekerja sebagai petani, peternak, pedagang, guru, polisi, mandor, tukang batu, dan lain sebagainya. Tentu ada konsekuensi logis jika mereka kurang serius dalam menjalankan profesi tersebut. Lantaran genap disibukkan dengan mata pencaharian, perhatian mereka terhadap urusan publik sangat rendah.
Mereka direpotkan dengan urusan-urusan lain yang memforsir waktu, tenaga, serta pikiran. Minimnya intensitas dan produktivitas kinerja disebabkan antara lain oleh terbatasnya pendapatan. Daripada memfokuskan diri pada upaya menyejahterakan masyarakat desa, mereka akhirnya lebih banyak memikirkan urusan perut. Kebutuhan sehari-hari begitu menyita energi mereka.
Problematika ekonomi membuat mereka lalai terhadap tugas yang dibebankan undang-undang. Jika ini terjadi, maka fungsi dan peran perangkat desa dalam produk legislasi kurang berjalan sebagaimana semestinya. Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa di desa menyiratkan perbedaan praktik hukum dengan teorinya. Terdapat jurang pemisah atau kesenjangan antara das sein dan das sollen. Hukum dalam kehidupan masyarakat lebih merefleksikan tataran realitas ketimbang idealitas. Apa yang berlangsung di wilayah pedalaman menunjukkan kentalnya law in practice, bukan law in book.

Egosentrisme
Sayangnya, mentalitas di atas terbawa ketika Dana Desa (DD) hadir dalam rangka mengatasi problematika kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang seyogyanya berdasarkan prinsip komunal justru mengedepankan nilai-nilai egosentrisme. Dialirkannya dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat elite lokal tergiur untuk menikmatinya.
Muncul penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah pihak dengan menjadikannya proyek bancakan. Mereka seolah melakukan balas dendam terhadap nasib yang tak kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan dan perbaikan fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi. Hal ini diperparah dengan persepsi bahwa merupakan suatu kerugian apabila mereka enggan mengambil peluang di depan mata.
Upaya menambah penghasilan juga ditempuh dengan melibatkan diri dalam bermacam proyek. Orang-orang seperti ini merasa diuntungkan ketika kementerian, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten berencana mengadakan atau memperbaiki fasilitas desa. Mereka menempuh berbagai cara demi ikut ambil bagian dalam pengerjaan proyek. Bagi mereka, melewatkan momentum berharga hanya akan melahirkan penyesalan di kemudian hari.

Bojonegoro, 2018

1 komentar: