Rabu, 25 November 2015

Mendesain Bela Negara (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 25 November 2015)

Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela negara. Demi mewujudkannya, kementerian ini berencana merekrut 100 juta kader dari seluruh wilayah di Indonesia. Keberadaan kader bela negara dinilai sangat penting dan mendesak, di samping untuk memperkuat wawasan kebangsaan warga negara, juga berupaya menjadikan suatu negara lebih kuat dan disegani.
Sebagaimana diketahui, pembentukan kader bela negara dilaksanakan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota. Pada tahun ini, 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam akan menjadi saksi bahwa pemerintah serius dalam mencetak kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala bahaya yang mengancam.
Program ini menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan ini, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing oleh aksi provokator yang bermaksud memecah-belah persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang kurang bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, barang tentu hal ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antar warga negara. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokatif tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan, baik politis, sosial, maupun finansial.
Adapun di sisi lain, program ini seolah dicetuskan dengan maksud untuk membungkam suara-suara kritis. Pemerintah ingin menangkis “tombak kritik” yang dilesatkan masyarakat. Tujuan diadakannya program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih pada upaya mendoktrin warga negara agar siap bertempur di medan laga.
Dalam pandangan Mufti Makarim (2015), pelatihan yang dimaksud rentan mengubah cara pandang dan pola berpikir warga negara. Orang yang melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah justru dianggap melawan negara. Padahal, program ini memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Kritik terhadap maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Pengamat militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDPS) tersebut berpendapat, bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk memompa kedisiplinan, membangkitkan etos, dan membentuk karakter.
Meskipun dicetuskannya program bela negara didasari atas motivasi menjadikan Indonesia dalam kemasan nasionalisme dan patriotisme, boleh jadi, program ini memendam semangat militeristik yang meluap-luap. Beberapa pihak berhasrat menegakkan kembali kejayaan militer masa silam. Padahal, petualangan militerisme Indonesia, terutama masa Orde Baru, dipenuhi dengan sikap egoistis dan individualistis yang menindas rakyat kecil.

Budaya Konstruktif
Digulirkannya program bela negara oleh Kementerian Pertahanan tidak seharusnya disikapi dengan antipati dan sinis. Apalagi, sejumlah materi bela negara meliputi pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan alutsista. Ditambah lagi dengan lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara.
Namun demikian, agar program ini tidak mengalami penyimpangan, perlu dibentuk budaya konstruktif yang mengutamakan etika kepedulian (ethics of care) terhadap keberlangsungan sebuah negara. Dalam program bela negara, perlu dibangun sebuah sistem yang menumbuhkan paralelisme antara kekuatan fisik sebagai bagian dari ciri militerisme dengan etika yang menjunjung tinggi harkat dan harga diri manusia. Dalam banyak kasus, antara sikap militeristik dengan kehalusan budi memang sukar disatukan. Akan tetapi, jika pemerintah serius dan konsisten mewujudkannya, dapat dipastikan keduanya bisa berjalan secara bersamaan.
Harus ada rambu-rambu agar program bela negara tidak mengintervensi ruang-ruang privat dan publik. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat militerisme pernah disalahgunakan untuk melancarkan reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki. Bermodal produk legislasi yang memberi batasan bagi kalangan militer dalam peran sosial dan politik, jangan sampai gejala oligarki dan warisan otoriterisme menyelusup dalam transformasi institusi di era demokrasi.
Sebagai catatan, jika unsur-unsur kekerasan sebagai unikum dalam militerisme semakin menguat, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang lebih condong ke paham totaliterisme. Padahal, dalam sejarah umat manusia, totaliterisme yang genap didengungkan oleh Nasional-Sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja telah memakan jutaan korban. Ditambah lagi, rezim totaliter memiliki kecenderungan mendukung berkuasanya partai monopolistik yang membekali para perwira dengan komando eksklusif, distingtif, dan menonjol.
Budaya konstruktif juga bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan. Ke depan, program bela negara harus dijauhkan dari kesan formalistik yang dangkal makna. Militerisasi dalam dunia pendidikan tidak boleh sekadar menampilkan nuansa militer yang begitu kental tetapi serba banal, seperti standardisasi potongan rambut untuk pelajar tingkat dasar dan menengah, serta penggunaan seragam tertentu untuk level pendidikan tinggi. Belum lagi legitimasi institusi pendidikan dan pembenaran-pembenaran moralis yang menghalalkan segala bentuk perploncoan tidak manusiawi.
Seharusnya pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan nilai program bela negara yang esensial ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Guna merealisasikannya, pemerintah dapat menggandeng pakar pendidikan, akademisi, peneliti, dan psikolog dalam penyusunan kurikulum. Dengan demikian, baik di sekolah maupun kampus, para pelajar dan mahasiswa tidak hanya mempunyai jiwa ksatria dan cinta Tanah Air, melainkan juga peka terhadap problematika bangsa.

Bojonegoro, 2015

Senin, 16 November 2015

Merebaknya Gejala Narsisme (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Senin, 16 November 2015)

Dalam dasawarsa terakhir, gejala-gejala narsisme mudah ditemukan dalam kehidupan artis, politikus, dan dai selebritis. Dengan cara dan pola masing-masing, mereka ingin menampilkan segi positif-materialistis dari diri manusia. Mereka berhasrat menunjukkan sisi-sisi kesempurnaan di balik sosok makhluk yang tidak pernah sempurna (nobody perfect).
Ciri khas narsisme yang seringkali tampak yaitu terlalu percaya diri. Atas dasar inilah, bagi sebagian orang, narsisme berdampak positif. Namun demikian, tidak semua yang diasumsikan publik tentang narsisme bisa dibenarkan.
Tanpa pertimbangan logis, para artis gemar menyajikan keglamoran. Bagi mereka, ada semacam konsensus tak tertulis, “uang bisa membeli segalanya”. Dengan konsensus ini, mereka sibuk menampilkan capaian duniawi yang profan, meskipun banyak orang yang saban hari makan nasi aking.
Aksi mereka mendapat sambutan dari para pemodal bermental kapitalis, yang dengan senang hati, menyulap televisi menjadi panggung artis. Akibat godaan konsumerisme materialistis dan rasionalisme sekularistis, para artis rela menukar harga diri mereka dengan uang. Sistem kapitalistik telah membuka ruang yang demikian lebar, sehingga manusia dianggap aset dan komoditas empuk. Barang tentu persepsi seperti ini berpotensi mereduksi hak manusia. Segala macam bentuk diskriminasi dihalalkan, asal mendatangkan keuntungan politis, sosial, serta finansial.
Dari iklan, sinetron, infotainment, bahkan hot news tampak kemewahan yang sengaja dihidangkan. Mulai wajah yang dipermak, mobil mewah, hingga busana berlabel ratusan juta rupiah. Padahal, ragam acara yang menyajikan life style para penjunjung tinggi hedonisme tersebut dapat membunuh karakter anak bangsa secara perlahan.
Narsisme juga mendapat ‘restu’ dari aktor-aktor politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Mereka menyemarakkan narsisme dengan politik selfie. Dalam pandangan Fuadi, Peneliti Monash Institute Semarang, selama ini cara kandidat “mempromosikan diri” hanya berkutat pada kampanye narsisme dan janji-janji politik yang dianggap sebagai alat legitimasi untuk merebut kekuasaan.
Dalam menggaet pendukung, para kandidat memanfaatkan dakwah visual dengan menonjolkan catatan kesuksesan yang pernah mereka raih, baik gelar kebangsawanan, akademis, keagamaan, maupun hubungan baik dengan tokoh yang dianggap berpengaruh.
Mengutip Musyafak (2014), “penampakan iklan-iklan politik atau alat peraga kampanye, baik dalam bentuk visual maupun audio-visual, menjadi penanda berlangsungnya politik selfie. Kondisi ruang-ruang publik kita hari ini yang tidak kalis dari serangan iklan politik adalah representasi dari politik selfie yang mementingkan diri sendiri.”
Narsisme semakin meriah dengan hadirnya dai-dai selebritis. Sambil menabur ayat Tuhan, para pegiat dakwah tersebut menebar senyum dan menggelorakan citra. Tak segan-segan, harta mereka umbar demi sederet pujian. Padahal, sesungguhnya, mereka tidak pernah mendapat kemuliaan, sebab harga diri mereka pertaruhkan demi kepentingan segelintir orang dan ‘makelar’ iklan. Mereka hanya bersedia menyampaikan ajaran agama, jika tarif sesuai dengan permintaan.
Dari apa yang dilakukan oleh figur-figur ‘representatif-ideal’ di atas, perilaku narsisme mulai menular. Publik menangkap bahwa duplikasi atas aksi mereka merupakan sebuah kebanggaan. Tak ayal, kini, anak kecil, remaja dan orang tua saling berlomba mematut-matut tubuhnya di depan ponsel dan kamera untuk kemudian memajang foto mereka di media sosial (medsos). Bagaimana pun juga, narsisme adalah sebuah keniscayaan, kebutuhan sekaligus peneguhan diri. Konsekuensinya, selfie menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar.
Selfie juga menjadi sarana pengganti hiburan tradisional yang selama ini diperankan oleh keluarga dan lingkungan. Dengan demikian, produser-produser selfie yang pornograf cultural memiliki keuntungan kompetitif terhadap mereka yang tidak memilikinya. Munculnya pornograf culutural ini memantik kegelisahan nurani, seperti Rosihan Anwar (2004) yang mengeluhkan bahwa imbas dari pornograf cultural yaitu kecenderungan televisi pada hal-hal sensual, seksual, dan sensasional.
Penyalahgunaan selfie oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab melahirkan suatu budaya massal dari pengeruk keuntungan yang mengeksploitasi vulgaritas dan pornografi. Imbasnya serius. Video-video porno, dengan artis, anggota DPR, dan tokoh agama sebagai aktornya, diproduksi besar-besaran. Barang tentu hal ini memancing adrenalin ‘petualang cinta’. Dengan merekam dan menyebarkan kemesraan bersama pasangannya, ia meneguhkan eksistensi. Ia ingin menunjukkan bahwa adegan ranjang yang dilakukan lebih ‘gila’ dan layak dibanggakan.
Betapa narsisme juga berhasil menjangkiti anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka seolah tidak terlepas dari aktivitas selfie. Dengan kemampuan berpikir yang masih terbatas, mereka seringkali terjebak pada perilaku “unjuk diri” yang banal dan dangkal makna. Keluguan anak-anak dimanfaatkan oleh sejumlah oknum dengan memproduksi video esek-esek dengan anak di bawah umur selaku aktornya.
Pengeksploitasian anak-anak merupakan upaya merenggut hak mereka demi segelintir kepentingan. Sayangnya, pendidikan kurang mampu menjadi benteng pertahanan dan keamanan bagi anak kecil. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai institusi yang dapat menangkis ekses-ekses modernisasi dan globalisasi dengan sajian kekerasan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anak-anak, baik kekerasan emosional, verbal, fisik, maupun seksual.
Segala bentuk kekerasan terhadap anak-anak seolah dilegalkan oleh carut-marutnya sistem pendidikan. Kondisi seperti ini rentan menyebabkan anak-anak mengalami kekerasan simbolik. Dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (la violence symbolique) merupakan kekerasan tidak kasat mata yang tidak akan tampak tanpa adanya pemahaman kritis. Pada dasarnya, para korban menganggap apa yang menimpa mereka bersifat alamiah dan wajar. Tak heran jika kekerasan semacam ini dipelihara sampai dewasa dan berkeluarga.


Bojonegoro, 2015

Minggu, 15 November 2015

Nostalgia, Literasi, dan Emansipasi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 15 November 2015)

Jagat perbukuan tak ubahnya bidang industri lainnya. Para pelakunya dituntut memahami betul fungsi-fungsi marketing. Penerbit Bilik Literasi justru melawan arus dengan meluncurkan buku dengan desain, ilustrasi, dan kover yang terbilang “kurang menjual”.
Namun demikian, bagus tidaknya sebuah karya tidak bisa diukur dari segi fisik semata. Nyatanya, di balik bungkus yang kurang memenuhi unsur estetika, buku ini menyajikan sejumlah tulisan yang layak dinikmati para pembaca.
Ditilik dari tampilan, buku Melulu Buku (Bilik Literasi, 2015) berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Kover dengan foto lawas serta kertas berwarna buram mengajak pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan dan kenangan era 80 hingga 90-an.
Serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Boleh dibilang, apa yang dimunculkan buku ini mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas.
Perhatian penulisnya, Setyaningsih, pada jagat literasi mengakibatkan kerapnya penggunaan kata buku, perpustakaan, menulis, dan membaca dalam esainya. Dalam batas tertentu, ia mencoba untuk mengakrabi literasi dengan logika anak kecil. Ia memposisikan diri sebagai anak yang ingin menautkan masa kecil dengan buku. Betapa ia selalu berusaha memupuk rasa penasaran (curiosity) terhadap sisi gelap buku.
Di sela-sela kesibukannya bermain dan belajar, si kecil begitu kangen memeluk dan mencium buku. Buku, baginya, merupakan sebuah kesenangan sekaligus candu dalam kehidupan. Buku diposisikan sebagai permen dan coklat yang mempermanis kisah kehidupan.
Sebagai bentuk kekhawatiran terhadap nasib perempuan yang begitu tragis, Setyaningsih membangkitkan motivasi kaum Hawa dalam berliterasi. Esainya memuat rasa geram terhadap ketidakadilan biologis, sosiologis, dan struktural yang menimpa para perempuan. Ini terutama bisa dirasakan dalam esai “Perempuan: Biografi dan Otobiografi” dan “Perempuan dan Literasi”.
Hal di atas berlatar belakang kecemasannya terhadap orang tua, terutama golongan priayi, yang merasa bahwa anak perempuan lebih patut berada di rumah. Perempuan dikondisikan agar tidak terlalu menampakkan diri atau dilarang bertingkah terlalu ekspresif.
Di balik esai-esai Setyaningsih terkandung misi persamaan gender dan emansipasi perempuan. Ia begitu teguh memperjuangkan hak-hak perempuan (terutama hak literasi) untuk dapat bersanding dengan kaum Adam. Bagaimana pun, perempuan berhak mengakrabi koran, majalah, buku, serta literatur lainnya sebagai cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Ada beban psikologis dan sosial yang melingkupi kehidupan perempuan. Kemunculan mereka di muka publik kurang memiliki efek atau kontribusi. Apalagi, mereka kerap disibukkan dengan peran, tugas, dan fungsi dalam rumah tangga sekaligus bidang keahliannya.
Dalam pandangannya, menokohkan perempuan melalui buku memang penuh risiko. Akan tetapi, ini juga menjadi bukti bahwa perempuan telah berkontribusi di dunia keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, kesehatan, pers, dan kemanusiaan. Sehingga, mereka berani memunculkan narasi diri.
Tampaknya, Setyaningsih memupuk kecurigaan yang berlebihan terhadap politisasi peran perempuan dalam ranah publik. Sayangnya, kebencian yang mendalam justru mengorbankan kelembutan tulisan. Tentu ini patut disayangkan. Esai yang “manis dan penurut” tiba-tiba berubah “penuh kebencian”. Imbasnya, sejumlah kosa kata menyebabkan esainya yang halus menjadi kasar.
Dalam menulis, esais harus mampu menjaga diri dari kemarahan membabibuta. Ia dituntut memiliki tingkat kematangan emosi yang terjaga. Tentu berbeda hasilnya, saat esais berkarya dalam kondisi bersungut-sungut dengan memoles tulisannya dalam keadaan tenang. Bagaimana pun, kuatnya perasaan esais berpengaruh besar terhadap kualitas esainya.
Ini bukan berarti karya Setyaningsih mengalami “kegagalan”. Emosionalitas dalam esai-esainya justru menguraikan kekuatan individu penulis yang merupakan karakter sebuah esai. Apa yang dikatakan Setyaningsih dalam karyanya merupakan bayangan kepribadiannya. Tentu hal ini tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu cara pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri.
Meskipun demikian, harus ada batasan seberapa besar ia memanfaatkan perasaan dalam menyemai gagasan. Ketika sedang diliputi rasa berang dan dongkol, seyogyanya ia menjaga jarak dengan tulisan. Terlebih dahulu ia harus mendinginkan kepala. Dalam bahasa agama, “Jika kau dalam kondisi marah, maka berwudulah!”.
Selama ini, buku-buku yang diterbitkan oleh sejumlah pihak ingin merengkuh pengakuan publik dengan diselipkannya beberapa atribut, sehingga membuat visualitas buku lebih prestisius, ambisius, dan arogan. Atribut-atribut ini merefleksikan testimoni mengenai kualitas buku maupun kapasitas penulis. Legalitas, pendapat pakar, dan komentar public figure seolah meneguhkan keadiluhungan tulisan. Bercorak promosional, ini semua dalam rangka mengangkat brand karya beserta harga diri penulisnya. Dengan demikian, untuk dikatakan “baik”, sebuah karya harus mendapat stempel dari institusi dan tokoh yang memiliki otoritas literal.
Terbitnya Melulu Buku menunjukkan gelagat menjauhi mainstream. Tanpa epilog serta endorsement, ia hadir menyapa pembaca. Dengan caranya sendiri, buku ini berusaha menghindar dari mitos, efek formalitas, serta konvensi. Ia merupakan antitesis terhadap “standar baku” karya cetak, terutama buku.
Karya yang bernas mampu meneguhkan eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition), penghormatan (tribute), dan perayaan (celebration). Di sinilah letak buku ini dalam kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena sanggup menumbuhkan motivasi dan impuls bagi diri sendiri.

Bojonegoro, 2015

Jumat, 13 November 2015

Beras (Teroka_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kompas" edisi Jumat, 13 November 2015)

Belum lama ini, program kampanye “One Day No Rice” (sehari tanpa nasi) diluncurkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Dalam penjelasannya, kampanye ini untuk mengubah kultur pangan masyarakat di tengah produksi beras yang memprihatinkan. Ia menganjurkan masyarakat membiasakan diri mengonsumsi jagung, ubi, atau singkong sebagai pengganti beras. Ini ikhtiar mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Di negeri ini, beras memiliki posisi vital dalam kehidupan kuliner, bahkan sebagian menganggap tak tergantikan. Dalam sejarahnya, beras pun ternyata turut menentukan perkembangan sosio-kultur masyarakat. Beras membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir kita dari dahulu hingga sekarang. Bahkan juga bagi bangsa lain.
Oleh masyarakat Tionghoa, misalnya, beras dianggap sebagai bibit kebaikan. Pernikahan terasa belum lengkap jika beras tidak disajikan. Betapa imaji kesuburan dan kedamaian hidup tersimpan dalam beras. Beras dipercaya membuat pasangan suami-istri lebih harmonis.
Adat pernikahan masyarakat Tionghoa menyebutkan, pesta bujang digelar setelah lamaran dan seserahan. Acara di rumah kedua mempelai pengantin ini begitu unik, ditandai dengan duduknya mempelai wanita di atas tampah atau karpet bundar. Di hadapannya terletak sebuah gentong berisi beras. Sebagai bahan makanan yang dipersiapkan istri dalam keluarga, beras merepresentasikan kesejahteraan dan kemakmuran.
Begitu pun beras berperan penting dalam memelihara ekosistem perekonomian masyarakat Jawa. Beras membangun fondasi perekonomian desa yang berporos pada perdagangan tradisional. Hasil bumi berupa beras digelar di pasar untuk ditawarkan kepada mereka yang membutuhkan. Oleh para pejuang ekonomi kerakyatan ini, beras dibawa dengan cara digendong, dipikul, dengan obor sebagai penerang jalan (Anshoriy Ch, 2008: 8).
Beras mengukuhkan sistem pedagang bakulan yang merupakan saka guru perekonomian Jawa. Hari pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, serta Pahing menjadi waktu bagi penjual dan pembeli melakukan transaksi.

Superioritas Beras
Dalam pandangan masyarakat, beras memiliki citra superior ketimbang sumber karbohidrat lainnya. Beras menjadi “primadona” lantaran kontinuitas ketersediaan terjaga, mudah dimasak, serta nyaman di lidah. Dibandingkan pangan lokal lain, gizi dan nutrisi beras bisa diunggulkan. Ditambah lagi, tersebar mitos bahwa meski kenyang menyantap hidangan, seseorang belum merasa makan jika perutnya tidak berisi nasi. Beras telah membentuk cara pandang dan pola pikir sebuah bangsa.
Sayangnya, superioritas beras semakin pudar akibat ulah mafia beras yang menyalahgunakan peran pertanian industrial kapitalistik yang membuat sentra produksi petani lokal kurang produktif. Petani lokal dan pasar tradisional terdesak akibat produk lokal kurang diminati konsumen. Apalagi, pemerintah kerap membuka keran impor saat harga beras melambung. Imbasnya, kesejahteraan petani terancam. Menjamurnya produk-produk pertanian dari negeri tetangga membuat mereka merugi. Peluang pasar dan daya saing petani lokal kerap dikebiri kebijakan pemerintah yang kurang memihak produk lokal.
Padahal, Kerajaan Majapahit merupakan pemasok beras di sejumlah wilayah Asia Tenggara. Beras salah satu komoditas utama Nusantara sejak kerajaan ini berjaya pada abad ke-14. Kudus, Jember, dan Pati merupakan di antara sentra utama beras masa itu. Raja memonitor dan menjaga lancarnya perdagangan beras dikarenakan usaha ini menghasilkan untung berlipat. Nilai ekonomis pada beras membuat penguasa memberikan perhatian serius terhadap pengembangan produksi beras.

Muatan Politis
Beras tidak sekadar bernilai ekonomis, tapi juga bermuatan politis. Oleh para penguasa negeri ini, beras difungsikan sebagai komoditas politik. Mengutip Djafar (2015), politisasi beras berlangsung sejak bercokolnya kaum kolonial yang berkepentingan memperoleh tenaga buruh murah. Guna menyerap tenaga masyarakat dalam sentra perkebunan, harga beras senantiasa ditekan. Bahkan, saat terjadi krisis beras pada 1863, sebagai upaya menjaga ketersediaan tenaga buruh murah, pemerintah kolonial meniadakan bea masuk impor beras. Ketika tongkat estafet kolonialisme berada di tangan Jepang, intensifikasi pertanian beras dilakukan dengan memperkenalkan varietas padi baru guna memenuhi kebutuhan perang militer Jepang.
Saat pekik kemerdekaan berkumandang, politisasi beras tetap memiliki keterkaitan dengan kebijakan penguasa. Kekuasaan sanggup menentukan “nasib” beras. Orde Lama menjadikan beras sebagai pendukung visi-misinya. Sebagai solusi pemenuhan pangan masyarakat, Soekarno sengaja memilih beras sebagai komponen gaji angkatan bersenjata dan pegawai negeri.  
Adapun Orde Baru memanfaatkan beras dalam “bungkus” Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan, terutama swasembada beras. Celakanya, Revolusi Hijau tidak mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara berswasembada pangan secara tetap (hanya lima tahun, 1984-1989). Selain itu, Revolusi Hijau juga menciptakan jurang pemisah orang-orang pedesaan. Kesenjangan ekonomi dan sosial membuat kehidupan masyarakat semakin timpang. Yang diuntungkan gerakan ini hanyalah petani kaya dan aparatur negara.
Gejala-gejala politisasi beras juga dapat ditemukan pada era reformasi. Betapa mudahnya seorang kandidat presiden memilih beras sebagai bagian dari kampanye. Revitalisasi pertanian dijadikan agenda utama pemerintahan. Namun, saat ia menapaki kursi kepresidenan, kinerja dan produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah. Petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan kerap diabaikan. Jika ini yang terjadi, swasembada beras hanya sebatas janji, bahkan ilusi.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 03 November 2015

Peran Pendamping Dana Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 3 November 2015)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sedang menyeleksi pendamping dana desa (PDD) yang akan membantu penyusunan laporan keuangan dana desa (DD) serta penggunaannya. Mereka wajib mengawal kepala desa beserta aparatur desa lainnya dalam menggunakan anggaran (Koran Jakarta, 02/11).
PDD dipercaya memfasilitasi aparatur desa agar DD dibelanjakan sesuai keperluan. Jangan sampai DD justru menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Proses rekruitmennya harus akuntabel dan transparan. Publik harus dapat secara leluasa memantau proses seleksi PDD. Keterbukaannya penting  karena termasuk  informasi publik. Masyarakat sepatutnya memperoleh kemudahan  mengikuti proses dan hasilnya.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar menyebutkan bahwa PDD untuk meneguhkan komitmen pelaksanaan UU Desa, pendampingan aparatur desa, serta pengawasan penggunaan DD. PDD  membantu kepala desa dan  aparaturnya, terutama dalam laporan keuangan DD. Program ini relevan karena akhir-akhir ini timbul kekhawatiran terjadi penyimpangan DD. Kepala daerah  takut terjebak dalam tindak pidana korupsi dan dipenjara.
Mekanisme dan persyaratan  selayaknya dapat diakses secara luas. Peraturan Menteri No 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Dana Desa tidak semestinya berhenti pada tataran legal-formal, tapi juga dijalankan secara konsisten. Harapannya, setiap orang memiliki peluang sama menjadi PDD. 

Transparansi
Masyarakat berhak berpartisipasi bagi perkembangan dan kemajuan desa. Penentu kelolosan seseorang menjadi PDD jangan lagi primordial atau  relasi dengan aktor politik dan pejabat publik, tapi kompetensi dan kualitas. Semua berhak menjadi PDD, termasuk anggoa lembaga sosial masyarakat. Mereka berkesempatan mengajak masyarakat desa lebih mandiri dan tidak bergantung pada arus kekuasaan  di atasnya.
Di samping itu, terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka terhadap kebijakan pemerintah. Mereka bisa melontarkan kritik dan evaluasi, apakah dalam pemilihan PDD ada  kongkalikong,  diskriminatif, dan manipulatif. Hal ini penting, mengingat wacana dan praktik PDD  sangat rentan dipolitisasi. PDD yang bercorak independen, kritis, dan transformatif tidak boleh dimanfaatkan  oknum tidak  bertanggung jawab.
Dalam tataran teoritis, prinsip transparansi dan keterbukaan dalam rekruitmen PDD  dilakukan sejak tes administrasi, tertulis, sampai wawancara. Setiap tahapan  dirancang untuk melahirkan para penyokong kebangkitan pemerintahan desa. Pemerintah tengah mengutamakan pembangunan daerah pinggiran yang selama ini diasumsikan tertinggal dan terbelakang. Dengan DD, diharapkan potensi sumber daya desa, baik SDM maupun SDA bisa dioptimalkan. Disparitas pembangunan antarwilayah bisa diminimalisir dan angka kemiskinan ditekan.
DD berperan penting dalam mengefektifkan program perdesaan secara merata,  berkeadilan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam DD terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi  kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, DD  harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip demi kepentingan umum.
Akan tetapi, boleh jadi, dalam tataran praktis, “proses pencomotan” PDD dikotori mereka  yang menyimpan beragam kepentingan. Akibatnya, agenda membangun desa malah dijadikan ajang transaksional.
Berdasarkan laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), muncul dugaan politisasi posisi PDD sejumlah daerah. Gaji PDD untuk kepentingan salah satu partai politik. Dokumen mirip kontrak antara PDD dan partai menunjukkan adanya perjanjian yang mewajibkan PDD menjadi kader. Konsekuensinya, potongan gaji disetorkan untuk partai. PDD juga bisa dimanfaatkan untuk  corong kepentingan partai.

BPMD
Program pendampingan desa on the right track atau diselewengkan bisa dicek melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Peran BPMD dalam mendampingi masyarakat desa untuk mengokohkan prinsip good governance. Yang   dirugikan bisa memanfaatkan BPMD mencari solusi.
 BPMD  untuk  memberdayakan masyarakat desa. Dengan pendekatan komprehensif dan holistik, badan ini berusaha memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Ini berbeda jauh dengan dinas, badan, atau lembaga lainnya, yang mengagendakan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan sektoral.
BPMD merupakan  penggerak pembangunan kawasan perdesaan yang dapat mendorong dan memotivasi aparatur desa dalam mendongkrak profesionalisme, konsistensi kinerja, serta pelayanan. Kedekatan BPMD dengan para stakeholder desa membuatnya mempunyai langkah inovatif, dinamis, sistematis, terencana, dan berkelanjutan dalam memberdayakan masyarakat desa. BPMD mengupayakan  masyarakat desa mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Secara konseptual, pendampingan menempatkan pendamping dan masyarakat sebagai dwi subjek. Sementara DD sebagai objeknya. Atas dasar inilah, secara teknis, PDD  lebih bersifat politis dan strategis. Dalam pendampingan terkandung upaya mengatasi kesulitan  masyarakat desa dan  tersimpan ikhtiar memenuhi kebutuhan warga (Firmansyah, 2015).
Lebih lanjut, Firmansyah berpandangan, “Pendampingan merupakan sebuah proses pengorganisasian orang (masyarakat), ide dan gagasan untuk menjawab berbagai permasalahan manusia secara multidimensional. Pendampingan dalam konteks pemberdayaan masyarakat tidak hanya tampil sebagai model dan sistem atau alat, tapi juga sebagai kaidah untuk mengkaji berbagai dimensi kehidupan manusia dari berbagai aspek.”
Proses pendampingan mengupayakan pembangunan kawasan perdesaan dapat berjalan maksimal, sehingga membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Adanya PDD harus berdampak serius terhadap masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Yang tidak kalah penting, PDD dituntut sanggup menciptakan desa mandiri yang mengokohkan prinsip, nilai, dan harmoni sosial. Jika desa mandiri berhasil terbentuk, hubungan masyarakat berdasarkan prinsip kesukarelaan, kebersamaan, dan gotong-royong akan terbangun dengan sendirinya. Sehingga, solidaritas sosial menjadi ciri utama dalam pola hubungan antar individu, keluarga dan masyarakat di dalamnya.
Pendampingan mengandung upaya pengorganisasian terus menerus agar masyarakat desa mampu memenuhi kebutuhanya, mengatasi permasalahannya, mengartikulasikan pandangannya, serta meningkatkan kemandirian (self reliance). Dengan kedewasaan berpikir, masyarakat desa senantiasa didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan, mengolah kreativitas sosial, memanfaatkan sumber daya, dan mengatasi keberagaman identitas. Boleh dibilang, diberdayakannya energi, pikiran, dan potensi PDD sebenarnya lebih bersifat idealis daripada pragmatis.

Bojonegoro, 2015

Skeptisisme-Kritisisme Cak Nun (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Sampit" edisi Minggu, 1 November 2015)


Judul: Sedang Tuhan pun Cemburu
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Terbit: Februari 2015
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Tebal: xii + 444 halaman
ISBN: 978-602-291-079-4
Harga: Rp. 74.000,-

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah “cermin” bagi penjunjung tinggi harmoni. Ia menjadi garda terdepan penjaga kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedekatannya dengan beragam komunitas terbukti mampu mengatasi rivalitas, friksi, dan konflik antar kelompok. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pelbagai forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri, bermaksud mengarahkan manusia menuju ‘rute cinta’ dan ‘jalur kebersamaan’.
Dalam konteks Indonesia, apa yang dilakukan oleh Cak Nun turut mengokohkan bangunan peradaban bangsa dalam rajutan Bhinneka Tunggal Ika. Timothy Daniels, dalam penelitian bertajuk Islamic Spectrum in Java (Anthropology and Cultural History in Asia and the Indo-Pacific), berpendapat bahwa melalui lagu-lagu tradisional yang dibawakan bersama Kiai Kanjeng, Cak Nun berupaya mencegah terjadinya perpecahan. Bagi Cak Nun, ragam budaya lokal yang mengakar dalam kehidupan ras dan suku bukan sebagai pemecah, melainkan pemersatu orang-orang yang bermukim di sebuah ‘desa’ bernama Indonesia.
Cak Nun juga “telaga” bagi siapa saja yang ingin mereguk inspirasi dalam jagat literasi. Produktivitas dan kontinuitas berkarya Cak Nun memang patut ditiru. Di usia yang tidak lagi muda, Cak Nun senantiasa menempuh jalan sunyi: menulis. Di tengah kesibukannya menanamkan mahabbah (rasa cinta) kepada Khaliq (Sang Pencipta) di beberapa komunitas asuhannya, seperti Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padang Bulan di Jombang, serta Bangbang Wetan di Surabaya, ia masih rajin menulis di sejumlah harian nasional. Penerbit-penerbit besar pun mengantri untuk bisa menerbitkan esai-esai budayawan sekaligus intelektual muslim tersebut.

Tiga Corak
Sebagaimana karya-karya Cak Nun lainnya, bila ditarik garis simpul, apa yang ditulis dalam buku ini memiliki tiga corak, yaitu introspeksi, ekstropeksi, juga yang berada di antara keduanya.
Corak pertama antara lain bisa dibaca dalam esai “Sepatu Pergaulan Nasional, Sandal Pergaulan Nasional”. Dalam esai tersebut, Cak Nun mengamati sandal sebagai barang yang oleh beberapa pihak dianggap kurang berarti dan terkesan kurang resmi. Padahal, ia mempunyai pelajaran berarti dari sandal. Gara-gara sandal, ia diusir dari Pondok Pesantren Modern Gontor. Ketika menjadi wartawan, ia juga pernah diusir dari Stadion Kridosono, sebab hanya memakai sandal dan kaos. Padahal, sesuai pengalaman Cak Nun, di pelbagai event internasional, peserta tidak pernah bertanya apakah pemateri memakai sandal atau sepatu, tetapi pada gagasan yang dikemukakan. Pemakaian sepatu dalam forum-forum resmi, bagi Cak Nun, sekadar konvensi etika yang sewaktu-waktu dapat berubah.
Namun demikian, pengalaman di atas rupanya menjadi pemicu ledakan revolusi kecil bagi diri Cak Nun, sebab di kemudian hari “peristiwa-peristiwa menyakitkan hati” tersebut menjadi landasan dari segala yang dicapai. Sandal menjadi materi introspeksi Cak Nun di masa lampau dalam rangka memperbaiki diri di masa mendatang.
Corak kedua terwakili dalam esai “Qiroah dan Ro’iyyah Anak-anak Muda Islam”. Di sini, keteledoran anak-anak muda dalam meneguhkan eksistensi mendapat sorotan. Menurut Cak Nun, generasi muda zaman kini telah banyak melampaui perkiraan, baik dalam pemahaman terhadap masalah-masalaah kemasyarakatan maupun kedewasaan hidup. Sayangnya, mereka kurang cukup siap menampung, menginternalisasi, memilih secara objektif segala ilmu, fenomena, atau apa saja yang masuk ke otak dan hati. Akibatnya, cara putra-putri bangsa menyerap ide-ide yang berserakan tampak semrawut (halaman 255). Hal inilah yang perlu dipikirkan, sehingga ke depannya para pemuda tetap mampu memenuhi curiosity (rasa ingin tahu), tanpa merasa gagap dalam mengorganisir diri sendiri.
Adapun corak ketiga terutama bisa diraba dalam esai bertajuk “Melankolia”. Pada mulanya, Cak Nun mengira bahwa melankolia hanya menyangkut problematika popular yang muncul ke permukaan sejarah. Sebagai misal yaitu seniman berbicara mengenai pembebasan, intelektual berkoar perihal agency of change, mahasiswa berikrar sebagai leader of tomorrow, sejarawan mengumumkan rampungnya integrasi nasional, negarawan bersabda tentang kejayaan nenek moyang, politisi berpidato soal pendidikan politik, serta kiai berfatwa tentang kekompakan ulama dan umara. Padahal contoh-contoh tersebut merupakan model melankolia ‘anak kampung’ yang keliru. Corak ketiga ibarat setip yang berfungsi menghapus coretan-coretan pensil. Dengan demikian, corak seperti ini lebih bertujuan agar pandangan Cak Nun sendiri atau pandangan orang lain yang kurang tepat segera diluruskan.  
Beragam tema tulisan dalam buku ini menunjukkan bahwa Cak Nun selalu skeptis namun juga kritis terhadap segala permasalahan. Kalimatnya yang ceplas-ceplos memperlihatkan perjalanan hidupnya kerap dilalui bersama orang-orang pinggiran yang bergulat dengan kerasnya kehidupan. Langgam berpikirnya yang dalam lebih bersifat idealis-filosofis. Balutan kata-katanya yang indah meneguhkan bahwa Cak Nun merupakan salah satu sastrawan tersohor di negeri ini.


Bojonegoro, 2015

Minggu, 01 November 2015

Anak dan Cyberspace (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 1 November 2015)

Dari hari ke hari, kasus kekerasan berbasis internet semakin mencemaskan. Atas dasar inilah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise meminta semua pihak ikut berperan aktif dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan berbasis internet.
Internet menjadi primadona bagi anak-anak. Betapa mereka selalu menggantungkan diri pada internet. Tugas sekolah kerap dihubungkan dengan internet. Apa yang nampaknya sulit ditemukan di buku, mereka langsung mencarinya di internet. Bagi pelajar masa kini, selama ada internet, semua tugas sekolah lebih mudah diselesaikan. Internet menjadi guru baru yang sanggup menyelesaikan sejumlah problematika pelajar. Boleh jadi, mereka lebih percaya kepada internet daripada guru di sekolah.
Di sinilah internet berupaya memanjakan penggunanya. Bagi sebagian pelajar, internet bahkan telah menjadi candu. Seakan tiada hari tanpa internet. Sayangnya, bukannya lebih banyak memberikan imbas positif, internet justru rentan mengundang imbas negatif. Dalam berburu informasi, anak-anak kerap tergiur dengan fasilitas yang diselipkan media-media sosial. Di sela-sela merampungkan tugas sekolah, mereka menghibur diri dengan melakukan chatting dengan teman-teman virtual.

Intensitas Teman Virtual
Anak-anak cenderung lebih intens dengan dunia maya dibanding dengan realitas sehari-hari. Barangkali emosionalitas mereka dengan internet terbangun baik, meskipun dengan teman-teman sekelas sering kali bermusuhan. Hubungan yang akrab dan harmonis dengan cyberspace (ruang maya) menjadikan mereka tidak bisa melepaskan diri darinya. Teman-teman virtual yang dikenal di media sosial telah berhasil menempati ruang hati mereka. Celakanya, profil yang ditampilkan di media sosial kerap tidak sesuai dengan identitas sebenarnya. Dari sinilah muncul gejala penyalahgunaan media sosial sebagai sarana mengelabui anak.
Akibatnya, oleh sejumlah oknum, anak-anak dianggap sebagai komoditas empuk. Berbagai hak anak-anak rentan tereduksi, sebab teman-teman virtual kerap memanfaatkan keluguan mereka. Asal mendatangkan keuntungan sosial dan finansial, segala macam bentuk diskriminasi dilakukan. Gencarnya bullying, maraknya situs berkonten pornografi, dan beragam kekerasan berbasis internet lainnya seakan memperlihatkan potret hitam masa depan generasi penerus bangsa.
Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga April 2015, ditemukan 6.006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa sejumlah kasus kekerasan yang menimpa anak mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2014 terdapat 5.066 kasus. Padahal, pada tahun 2010 hanya ada 171 kasus, kemudian berubah menjadi 2.179 kasus pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012, angka ini kembali naik menjadi 3.512 dan pada tahun 2013 jumlahnya kembali meningkat menjadi 4.311 kasus.
Data di atas menunjukkan gagalnya pemerintah, masyarakat, serta orang tua memberikan perlindungan dan keamanan bagi anak-anak Indonesia. Padahal, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, dalam mewujudkan proses pembelajaran berbasis hak anak (child rights-based approach of education), sudah selayaknya konvensi tersebut menjadi pijakan awal.

Harmonisasi Tradisi
Menjamurnya media sosial menunjukkan, nuansa penjajahan di negeri ini mengalami perubahan pola, corak, dan bentuk. Penindasan dan pemasungan baru lahir dengan ditelannya tradisi dan permainan tradisional oleh serbuan hiburan media dan barang pabrikan yang kerap menghadirkan berbagai kekerasan. Menanggapi hal ini, perlu dijalin komunikasi yang baik dan positif antara orang tua dengan anak dan antara guru dengan pelajar. Tujuannya, anak dapat secara terbuka berkonsultasi dengan orang tua dan guru.
Setelah komunikasi terbangun dengan baik, orang tua dan guru dapat memberikan pengetahuan kepada anak bahwa di balik nikmatnya berselancar di alam maya, terdapat bahaya yang mengancam. Mereka dibekali informasi dan pencerahan mengenai dampak penggunaan internet yang berlebihan. Mereka juga diberikan pemahaman tentang konten negatif serta kiat menghindarinya.
Yang tidak kalah penting yaitu disisipkannya pengertian kepada anak-anak bahwa produk-produk modernitas, terutama internet, tidak sepenuhnya mengandung manfaat. Bahkan, jika digunakan secara serampangan, mereka hanya akan menanggung risiko dan kerugian. Bagaimana pun, anak-anak zaman sekarang seolah berada dalam garis demarkasi antara masa lalu dan masa depan. Tarik-menarik inilah yang terjadi dalam diri anak-anak. Sehingga, seringkali mereka terjebak dalam lubang kegamangan.
Oleh karena itu, anak-anak diajak untuk mencari pijakan yang tepat guna menyesuaikan masa lalu, masa kini dan masa depan. Sedini mungkin mereka diarahkan untuk semaksimal mungkin memanfaatkan masa lalu seraya bersikap realistik bahwa masa kini merupakan titik awal untuk melangkah ke masa depan.
Lahir di era modern, barang tentu mereka tidak dapat mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas. Meskipun demikian, beragam efek modernitas yang timbul dewasa ini tidak lantas menuntut anak-anak untuk meninggalkan dan mengubur dalam-dalam kultur nenek moyang. Mereka tidak boleh terninabobokkan oleh segala kemewahan, kemudahan, kenyamanan, dan gegap gempita yang ditawarkan modernitas. Sebaliknya, anak-anak diajak untuk memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu.
Demi merealisasikan hal ini, perlu dibentuk sebuah kultur yang mampu menjembatani agar anak-anak tidak gagap memaknai diri. Pada umumnya, anak-anak lebih suka menyesuaikan diri dengan kultur yang ada. Mereka merasa nyaman berada di bawah payung kultur tersebut daripada mencoba hal baru. Keadaan ini membutuhkan proses adaptasi panjang, supaya mengubah mindset anak-anak yang terlanjur akrab dengan jagat maya.
Mengubah kultur membutuhkan tingkat persuasi yang tinggi. Dalam banyak situasi, usaha ini mengalami penolakan dari anak-anak. Pemerintah dan masyarakat bisa bekerjasama dalam menciptakan lingkungan sosial yang mendukung optimalisasi permainan tradisional, sehingga nalar, karakter, dan gaya hidup anak bisa dibentuk. Membangun pola hidup yang baik perlu digencarkan dengan sistematis, intensif, dan masif.

Bojonegoro, 2015

Mempercepat Diversifikasi Pangan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bali Post" edisi Sabtu, 31 Oktober 2015)

Beberapa pemerintah daerah, seperti Bandung, Sukabumi, Depok, Purbalingga, dan Lampung Selatan, baru-baru ini meluncurkan program kampanye “one day no rice” (sehari tanpa nasi). Kampanye ini merupakan upaya merubah kultur pangan masyarakat di tengah kondisi produksi beras yang memprihatinkan. Masyarakat dianjurkan untuk membiasakan diri mengonsumsi jagung, ubi, singkong, dan lain sebagainya, sebagai pengganti beras.
Sebagaimana diketahui, selama ini, masyarakat terus bergantung kepada beras. Padahal, jika pola konsumsi beras masyarakat tidak segera dikurangi, negeri ini akan mengalami defisit beras. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, angka konsumsi beras per kapita 124 Kilogram per tahun atau 28 juta ton per tahun untuk skala nasional. Selama ini, selain dalam lingkup keluarga, konsumsi beras di luar rumah tangga, seperti industri, hotel, restoran, jasa angkutan air, dan jasa kesehatan, juga sangat besar.
Dalam optik legal, sebenarnya pemerintah telah mengatur usaha percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Perpres No 22 Tahun 2009 menetapkan, pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5% per tahun. Sayangnya, model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) yang didesain pemerintah untuk menyubstitusi beras belum maksimal. Tanaman umbi-umbian yang relatif lebih tahan terhadap perubahan iklim daripada tanaman padi belum dikembangkan secara serius (Sibuea, 2015). Padahal, Indonesia memiliki berbagai varian bahan pangan sumber karbohidrat. Terdapat 77 jenis lebih tanaman pangan berupa biji-bijian (serealia) dan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, jagung, hingga hermada.

Superioritas Beras
Dalam pandangan masyarakat, beras memiliki citra superior ketimbang sumber karbohidrat lainnya. Beras menjadi “primadona” lantaran kontinuitas ketersediaan terjaga, mudah dimasak, serta nyaman di lidah. Dibanding pangan lokal lain, gizi dan nutrisi beras bisa diunggulkan. Ditambah lagi, tersebar mitos bahwa meski kenyang menyantap hidangan, seseorang belum merasa makan jika perutnya tidak berisi nasi. Hal ini menunjukkan, betapa secara hegemonik beras telah membentuk cara pandang dan pola pikir sebuah bangsa. 
Superioritas beras turut dikukuhkan oleh penyalahgunaan mafia beras terhadap peran pertanian industrial kapitalistik yang membuat sentra produksi petani lokal kurang produktif. Gulung tikarnya petani lokal dan tergerusnya eksistensi pasar tradisional akibat produk lokal kurang diminati konsumen.
Beras semakin “di atas angin” saat harganya melambung. Kondisi seperti ini memicu pemerintah kerap membuka keran impor yang berdampak serius terhadap kesejahteraan petani lokal. Menjamurnya produk-produk pertanian dari negeri tetangga membuat mereka merugi. Peluang pasar dan daya saing petani lokal kerap dikebiri oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada produk hortikultura lokal.
Untungnya, sebagian masyarakat pedesaan melawan hegemoni, supremasi, dan superioritas beras dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal berperan meminimalisir pangan impor yang membanjiri pasar. Kearifan lokal menjadi fondasi kedaulatan pangan (food sovereignty) yang senantiasa dijunjung tinggi. Sebagai contoh, orang-orang yang bermukim di Gunung Kidul, Yogyakarta dan Cireundeu, Jawa Barat.
Oleh masyarakat Gunung Kidul, tiwul digunakan sebagai pengganti nasi. Akan tetapi, mereka mengonsumsi makanan berbahan dasar singkong atau ketela pohon tersebut bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Beban hidup yang berat telah melatih mereka untuk melahap tiwul dan mengurangi konsumsi beras. Apa yang mereka lakukan turut mengembalikan derajat singkong sebagai pangan lokal potensial dan menjadi spirit baru para petani lokal.
Adapun masyarakat Cireundeu telah menerapkan pola pangan nonberas sejak 1924. Menurut Khomsan (2013), hal ini bermula dari semangat anti kolonialisme dan sulitnya akses beras di masa penjajahan. Tanpa memerhatikan imbauan tentang diversifikasi pangan, para pemuka masyarakat Cireundeu mendeklarasikan diri sebagai pemakan rasi (beras singkong). Masyarakat Cireundeu hanya makan dua kali sehari, sebab rasi membuat perut tahan lapar. Dalam perkembangannya, ternyata rasi juga bermanfaat menghindarkan penyakit-penyakit modern, seperti diabetes dan penyakit jantung.
Masyarakat harus senantiasa diingatkan bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu kesehatan holistik, pandangan nasi sebagai makanan utama tidaklah sepenuhnya benar. Terlalu banyak makan nasi dapat menyebabkan gula darah berubah drastis, sel-sel otot sukar membakar lemak, dan risiko terkena diabetes meningkat. Maka, dengan mengubah pola makan, keseimbangan tingkat metabolisme tubuh lebih terjaga.
Mengubah kultur membutuhkan persuasi dan persetujuan. Dalam banyak situasi, usaha pemerintah rentan mengalami penolakan dari berbagai tatanan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan lingkungan sosial yang mendukung optimalisasi pemanfaatan pangan lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Masyarakat desa tidak perlu mengubah kultur lokal yang mendukung dan menghidupi mereka lintas generasi. Justru masyarakat perkotaan yang selayaknya mengikuti kultur pedesaan. Sayangnya, wacana ini belum menyentuh wilayah nalar, karakter, dan gaya hidup urban.
Membangun kultur mengonsumsi bahan pangan selain beras perlu dilakukan dengan sistematis, intensif, dan masif. Di antaranya dengan mengolah komoditas-komoditas pangan nonberas menjadi tepung (flour based food). Supaya program “one day no rice” bisa terus berlanjut, langkah ini mesti digenapi dengan keteladanan para pemimpin di semua tingkatan, mengingat masyarakat Indonesia cenderung paternalistik (Subandriyo, 2012).

Bojonegoro, 2015