Minggu, 01 November 2015

Mempercepat Diversifikasi Pangan (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bali Post" edisi Sabtu, 31 Oktober 2015)

Beberapa pemerintah daerah, seperti Bandung, Sukabumi, Depok, Purbalingga, dan Lampung Selatan, baru-baru ini meluncurkan program kampanye “one day no rice” (sehari tanpa nasi). Kampanye ini merupakan upaya merubah kultur pangan masyarakat di tengah kondisi produksi beras yang memprihatinkan. Masyarakat dianjurkan untuk membiasakan diri mengonsumsi jagung, ubi, singkong, dan lain sebagainya, sebagai pengganti beras.
Sebagaimana diketahui, selama ini, masyarakat terus bergantung kepada beras. Padahal, jika pola konsumsi beras masyarakat tidak segera dikurangi, negeri ini akan mengalami defisit beras. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, angka konsumsi beras per kapita 124 Kilogram per tahun atau 28 juta ton per tahun untuk skala nasional. Selama ini, selain dalam lingkup keluarga, konsumsi beras di luar rumah tangga, seperti industri, hotel, restoran, jasa angkutan air, dan jasa kesehatan, juga sangat besar.
Dalam optik legal, sebenarnya pemerintah telah mengatur usaha percepatan diversifikasi konsumsi pangan. Perpres No 22 Tahun 2009 menetapkan, pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5% per tahun. Sayangnya, model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) yang didesain pemerintah untuk menyubstitusi beras belum maksimal. Tanaman umbi-umbian yang relatif lebih tahan terhadap perubahan iklim daripada tanaman padi belum dikembangkan secara serius (Sibuea, 2015). Padahal, Indonesia memiliki berbagai varian bahan pangan sumber karbohidrat. Terdapat 77 jenis lebih tanaman pangan berupa biji-bijian (serealia) dan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, jagung, hingga hermada.

Superioritas Beras
Dalam pandangan masyarakat, beras memiliki citra superior ketimbang sumber karbohidrat lainnya. Beras menjadi “primadona” lantaran kontinuitas ketersediaan terjaga, mudah dimasak, serta nyaman di lidah. Dibanding pangan lokal lain, gizi dan nutrisi beras bisa diunggulkan. Ditambah lagi, tersebar mitos bahwa meski kenyang menyantap hidangan, seseorang belum merasa makan jika perutnya tidak berisi nasi. Hal ini menunjukkan, betapa secara hegemonik beras telah membentuk cara pandang dan pola pikir sebuah bangsa. 
Superioritas beras turut dikukuhkan oleh penyalahgunaan mafia beras terhadap peran pertanian industrial kapitalistik yang membuat sentra produksi petani lokal kurang produktif. Gulung tikarnya petani lokal dan tergerusnya eksistensi pasar tradisional akibat produk lokal kurang diminati konsumen.
Beras semakin “di atas angin” saat harganya melambung. Kondisi seperti ini memicu pemerintah kerap membuka keran impor yang berdampak serius terhadap kesejahteraan petani lokal. Menjamurnya produk-produk pertanian dari negeri tetangga membuat mereka merugi. Peluang pasar dan daya saing petani lokal kerap dikebiri oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada produk hortikultura lokal.
Untungnya, sebagian masyarakat pedesaan melawan hegemoni, supremasi, dan superioritas beras dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal berperan meminimalisir pangan impor yang membanjiri pasar. Kearifan lokal menjadi fondasi kedaulatan pangan (food sovereignty) yang senantiasa dijunjung tinggi. Sebagai contoh, orang-orang yang bermukim di Gunung Kidul, Yogyakarta dan Cireundeu, Jawa Barat.
Oleh masyarakat Gunung Kidul, tiwul digunakan sebagai pengganti nasi. Akan tetapi, mereka mengonsumsi makanan berbahan dasar singkong atau ketela pohon tersebut bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Beban hidup yang berat telah melatih mereka untuk melahap tiwul dan mengurangi konsumsi beras. Apa yang mereka lakukan turut mengembalikan derajat singkong sebagai pangan lokal potensial dan menjadi spirit baru para petani lokal.
Adapun masyarakat Cireundeu telah menerapkan pola pangan nonberas sejak 1924. Menurut Khomsan (2013), hal ini bermula dari semangat anti kolonialisme dan sulitnya akses beras di masa penjajahan. Tanpa memerhatikan imbauan tentang diversifikasi pangan, para pemuka masyarakat Cireundeu mendeklarasikan diri sebagai pemakan rasi (beras singkong). Masyarakat Cireundeu hanya makan dua kali sehari, sebab rasi membuat perut tahan lapar. Dalam perkembangannya, ternyata rasi juga bermanfaat menghindarkan penyakit-penyakit modern, seperti diabetes dan penyakit jantung.
Masyarakat harus senantiasa diingatkan bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu kesehatan holistik, pandangan nasi sebagai makanan utama tidaklah sepenuhnya benar. Terlalu banyak makan nasi dapat menyebabkan gula darah berubah drastis, sel-sel otot sukar membakar lemak, dan risiko terkena diabetes meningkat. Maka, dengan mengubah pola makan, keseimbangan tingkat metabolisme tubuh lebih terjaga.
Mengubah kultur membutuhkan persuasi dan persetujuan. Dalam banyak situasi, usaha pemerintah rentan mengalami penolakan dari berbagai tatanan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menciptakan lingkungan sosial yang mendukung optimalisasi pemanfaatan pangan lokal dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Masyarakat desa tidak perlu mengubah kultur lokal yang mendukung dan menghidupi mereka lintas generasi. Justru masyarakat perkotaan yang selayaknya mengikuti kultur pedesaan. Sayangnya, wacana ini belum menyentuh wilayah nalar, karakter, dan gaya hidup urban.
Membangun kultur mengonsumsi bahan pangan selain beras perlu dilakukan dengan sistematis, intensif, dan masif. Di antaranya dengan mengolah komoditas-komoditas pangan nonberas menjadi tepung (flour based food). Supaya program “one day no rice” bisa terus berlanjut, langkah ini mesti digenapi dengan keteladanan para pemimpin di semua tingkatan, mengingat masyarakat Indonesia cenderung paternalistik (Subandriyo, 2012).

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar