Selasa, 03 November 2015

Skeptisisme-Kritisisme Cak Nun (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Radar Sampit" edisi Minggu, 1 November 2015)


Judul: Sedang Tuhan pun Cemburu
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Terbit: Februari 2015
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
Tebal: xii + 444 halaman
ISBN: 978-602-291-079-4
Harga: Rp. 74.000,-

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah “cermin” bagi penjunjung tinggi harmoni. Ia menjadi garda terdepan penjaga kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedekatannya dengan beragam komunitas terbukti mampu mengatasi rivalitas, friksi, dan konflik antar kelompok. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pelbagai forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri, bermaksud mengarahkan manusia menuju ‘rute cinta’ dan ‘jalur kebersamaan’.
Dalam konteks Indonesia, apa yang dilakukan oleh Cak Nun turut mengokohkan bangunan peradaban bangsa dalam rajutan Bhinneka Tunggal Ika. Timothy Daniels, dalam penelitian bertajuk Islamic Spectrum in Java (Anthropology and Cultural History in Asia and the Indo-Pacific), berpendapat bahwa melalui lagu-lagu tradisional yang dibawakan bersama Kiai Kanjeng, Cak Nun berupaya mencegah terjadinya perpecahan. Bagi Cak Nun, ragam budaya lokal yang mengakar dalam kehidupan ras dan suku bukan sebagai pemecah, melainkan pemersatu orang-orang yang bermukim di sebuah ‘desa’ bernama Indonesia.
Cak Nun juga “telaga” bagi siapa saja yang ingin mereguk inspirasi dalam jagat literasi. Produktivitas dan kontinuitas berkarya Cak Nun memang patut ditiru. Di usia yang tidak lagi muda, Cak Nun senantiasa menempuh jalan sunyi: menulis. Di tengah kesibukannya menanamkan mahabbah (rasa cinta) kepada Khaliq (Sang Pencipta) di beberapa komunitas asuhannya, seperti Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Padang Bulan di Jombang, serta Bangbang Wetan di Surabaya, ia masih rajin menulis di sejumlah harian nasional. Penerbit-penerbit besar pun mengantri untuk bisa menerbitkan esai-esai budayawan sekaligus intelektual muslim tersebut.

Tiga Corak
Sebagaimana karya-karya Cak Nun lainnya, bila ditarik garis simpul, apa yang ditulis dalam buku ini memiliki tiga corak, yaitu introspeksi, ekstropeksi, juga yang berada di antara keduanya.
Corak pertama antara lain bisa dibaca dalam esai “Sepatu Pergaulan Nasional, Sandal Pergaulan Nasional”. Dalam esai tersebut, Cak Nun mengamati sandal sebagai barang yang oleh beberapa pihak dianggap kurang berarti dan terkesan kurang resmi. Padahal, ia mempunyai pelajaran berarti dari sandal. Gara-gara sandal, ia diusir dari Pondok Pesantren Modern Gontor. Ketika menjadi wartawan, ia juga pernah diusir dari Stadion Kridosono, sebab hanya memakai sandal dan kaos. Padahal, sesuai pengalaman Cak Nun, di pelbagai event internasional, peserta tidak pernah bertanya apakah pemateri memakai sandal atau sepatu, tetapi pada gagasan yang dikemukakan. Pemakaian sepatu dalam forum-forum resmi, bagi Cak Nun, sekadar konvensi etika yang sewaktu-waktu dapat berubah.
Namun demikian, pengalaman di atas rupanya menjadi pemicu ledakan revolusi kecil bagi diri Cak Nun, sebab di kemudian hari “peristiwa-peristiwa menyakitkan hati” tersebut menjadi landasan dari segala yang dicapai. Sandal menjadi materi introspeksi Cak Nun di masa lampau dalam rangka memperbaiki diri di masa mendatang.
Corak kedua terwakili dalam esai “Qiroah dan Ro’iyyah Anak-anak Muda Islam”. Di sini, keteledoran anak-anak muda dalam meneguhkan eksistensi mendapat sorotan. Menurut Cak Nun, generasi muda zaman kini telah banyak melampaui perkiraan, baik dalam pemahaman terhadap masalah-masalaah kemasyarakatan maupun kedewasaan hidup. Sayangnya, mereka kurang cukup siap menampung, menginternalisasi, memilih secara objektif segala ilmu, fenomena, atau apa saja yang masuk ke otak dan hati. Akibatnya, cara putra-putri bangsa menyerap ide-ide yang berserakan tampak semrawut (halaman 255). Hal inilah yang perlu dipikirkan, sehingga ke depannya para pemuda tetap mampu memenuhi curiosity (rasa ingin tahu), tanpa merasa gagap dalam mengorganisir diri sendiri.
Adapun corak ketiga terutama bisa diraba dalam esai bertajuk “Melankolia”. Pada mulanya, Cak Nun mengira bahwa melankolia hanya menyangkut problematika popular yang muncul ke permukaan sejarah. Sebagai misal yaitu seniman berbicara mengenai pembebasan, intelektual berkoar perihal agency of change, mahasiswa berikrar sebagai leader of tomorrow, sejarawan mengumumkan rampungnya integrasi nasional, negarawan bersabda tentang kejayaan nenek moyang, politisi berpidato soal pendidikan politik, serta kiai berfatwa tentang kekompakan ulama dan umara. Padahal contoh-contoh tersebut merupakan model melankolia ‘anak kampung’ yang keliru. Corak ketiga ibarat setip yang berfungsi menghapus coretan-coretan pensil. Dengan demikian, corak seperti ini lebih bertujuan agar pandangan Cak Nun sendiri atau pandangan orang lain yang kurang tepat segera diluruskan.  
Beragam tema tulisan dalam buku ini menunjukkan bahwa Cak Nun selalu skeptis namun juga kritis terhadap segala permasalahan. Kalimatnya yang ceplas-ceplos memperlihatkan perjalanan hidupnya kerap dilalui bersama orang-orang pinggiran yang bergulat dengan kerasnya kehidupan. Langgam berpikirnya yang dalam lebih bersifat idealis-filosofis. Balutan kata-katanya yang indah meneguhkan bahwa Cak Nun merupakan salah satu sastrawan tersohor di negeri ini.


Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar