Minggu, 15 November 2015

Nostalgia, Literasi, dan Emansipasi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 15 November 2015)

Jagat perbukuan tak ubahnya bidang industri lainnya. Para pelakunya dituntut memahami betul fungsi-fungsi marketing. Penerbit Bilik Literasi justru melawan arus dengan meluncurkan buku dengan desain, ilustrasi, dan kover yang terbilang “kurang menjual”.
Namun demikian, bagus tidaknya sebuah karya tidak bisa diukur dari segi fisik semata. Nyatanya, di balik bungkus yang kurang memenuhi unsur estetika, buku ini menyajikan sejumlah tulisan yang layak dinikmati para pembaca.
Ditilik dari tampilan, buku Melulu Buku (Bilik Literasi, 2015) berupaya menghadirkan nuansa masa silam. Pembaca diajak merangkai kepingan nostalgia yang tercecer. Kover dengan foto lawas serta kertas berwarna buram mengajak pembaca untuk memungut sisa-sisa ingatan dan kenangan era 80 hingga 90-an.
Serpihan memori merupakan wujud kesenangan yang menancap pada pikiran. Oleh sebab itulah, setiap manusia membutuhkan klangenan, hiburan ringan sesaat, di tengah peliknya problematika kehidupan. Boleh dibilang, apa yang dimunculkan buku ini mengandung ikhtiar pelarian psikologis manusia dari segala realitas yang kian menindas.
Perhatian penulisnya, Setyaningsih, pada jagat literasi mengakibatkan kerapnya penggunaan kata buku, perpustakaan, menulis, dan membaca dalam esainya. Dalam batas tertentu, ia mencoba untuk mengakrabi literasi dengan logika anak kecil. Ia memposisikan diri sebagai anak yang ingin menautkan masa kecil dengan buku. Betapa ia selalu berusaha memupuk rasa penasaran (curiosity) terhadap sisi gelap buku.
Di sela-sela kesibukannya bermain dan belajar, si kecil begitu kangen memeluk dan mencium buku. Buku, baginya, merupakan sebuah kesenangan sekaligus candu dalam kehidupan. Buku diposisikan sebagai permen dan coklat yang mempermanis kisah kehidupan.
Sebagai bentuk kekhawatiran terhadap nasib perempuan yang begitu tragis, Setyaningsih membangkitkan motivasi kaum Hawa dalam berliterasi. Esainya memuat rasa geram terhadap ketidakadilan biologis, sosiologis, dan struktural yang menimpa para perempuan. Ini terutama bisa dirasakan dalam esai “Perempuan: Biografi dan Otobiografi” dan “Perempuan dan Literasi”.
Hal di atas berlatar belakang kecemasannya terhadap orang tua, terutama golongan priayi, yang merasa bahwa anak perempuan lebih patut berada di rumah. Perempuan dikondisikan agar tidak terlalu menampakkan diri atau dilarang bertingkah terlalu ekspresif.
Di balik esai-esai Setyaningsih terkandung misi persamaan gender dan emansipasi perempuan. Ia begitu teguh memperjuangkan hak-hak perempuan (terutama hak literasi) untuk dapat bersanding dengan kaum Adam. Bagaimana pun, perempuan berhak mengakrabi koran, majalah, buku, serta literatur lainnya sebagai cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Ada beban psikologis dan sosial yang melingkupi kehidupan perempuan. Kemunculan mereka di muka publik kurang memiliki efek atau kontribusi. Apalagi, mereka kerap disibukkan dengan peran, tugas, dan fungsi dalam rumah tangga sekaligus bidang keahliannya.
Dalam pandangannya, menokohkan perempuan melalui buku memang penuh risiko. Akan tetapi, ini juga menjadi bukti bahwa perempuan telah berkontribusi di dunia keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, kesehatan, pers, dan kemanusiaan. Sehingga, mereka berani memunculkan narasi diri.
Tampaknya, Setyaningsih memupuk kecurigaan yang berlebihan terhadap politisasi peran perempuan dalam ranah publik. Sayangnya, kebencian yang mendalam justru mengorbankan kelembutan tulisan. Tentu ini patut disayangkan. Esai yang “manis dan penurut” tiba-tiba berubah “penuh kebencian”. Imbasnya, sejumlah kosa kata menyebabkan esainya yang halus menjadi kasar.
Dalam menulis, esais harus mampu menjaga diri dari kemarahan membabibuta. Ia dituntut memiliki tingkat kematangan emosi yang terjaga. Tentu berbeda hasilnya, saat esais berkarya dalam kondisi bersungut-sungut dengan memoles tulisannya dalam keadaan tenang. Bagaimana pun, kuatnya perasaan esais berpengaruh besar terhadap kualitas esainya.
Ini bukan berarti karya Setyaningsih mengalami “kegagalan”. Emosionalitas dalam esai-esainya justru menguraikan kekuatan individu penulis yang merupakan karakter sebuah esai. Apa yang dikatakan Setyaningsih dalam karyanya merupakan bayangan kepribadiannya. Tentu hal ini tidak perlu digugat, mengingat yang terpenting dari sebuah esai yaitu cara pandang penulis dalam mengemukakan persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri.
Meskipun demikian, harus ada batasan seberapa besar ia memanfaatkan perasaan dalam menyemai gagasan. Ketika sedang diliputi rasa berang dan dongkol, seyogyanya ia menjaga jarak dengan tulisan. Terlebih dahulu ia harus mendinginkan kepala. Dalam bahasa agama, “Jika kau dalam kondisi marah, maka berwudulah!”.
Selama ini, buku-buku yang diterbitkan oleh sejumlah pihak ingin merengkuh pengakuan publik dengan diselipkannya beberapa atribut, sehingga membuat visualitas buku lebih prestisius, ambisius, dan arogan. Atribut-atribut ini merefleksikan testimoni mengenai kualitas buku maupun kapasitas penulis. Legalitas, pendapat pakar, dan komentar public figure seolah meneguhkan keadiluhungan tulisan. Bercorak promosional, ini semua dalam rangka mengangkat brand karya beserta harga diri penulisnya. Dengan demikian, untuk dikatakan “baik”, sebuah karya harus mendapat stempel dari institusi dan tokoh yang memiliki otoritas literal.
Terbitnya Melulu Buku menunjukkan gelagat menjauhi mainstream. Tanpa epilog serta endorsement, ia hadir menyapa pembaca. Dengan caranya sendiri, buku ini berusaha menghindar dari mitos, efek formalitas, serta konvensi. Ia merupakan antitesis terhadap “standar baku” karya cetak, terutama buku.
Karya yang bernas mampu meneguhkan eksistensi, meski nihil pengakuan (recognition), penghormatan (tribute), dan perayaan (celebration). Di sinilah letak buku ini dalam kancah literasi Indonesia. Ia tak perlu dipuji, karena sanggup menumbuhkan motivasi dan impuls bagi diri sendiri.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar