Sabtu, 03 Maret 2018

Kiai dan Kepala Desa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Sabtu, 3 Maret 2018)

Berita dan informasi mengenai penganiayaan ulama atau kiai merebak di beragam media. Fenomena ini tentu mencemaskan khalayak. Muncul dugaan bahwa kasus penganiayaan terhadap tokoh agama merupakan bagian dari strategi politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2018 dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019. Apabila asumsi ini benar, maka gencarnya aksi yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab tersebut layak disayangkan. Mengingat, ulama atau kiai berperan mengokohkan tegaknya fondasi peradaban bangsa dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pandangan masyarakat Jawa, ulama merupakan sosok terhormat dan dimuliakan. Di tengah kaum santri yang religius dan priayi dalam masyarakat abangan, ulama menempati posisi elite. Ulama lebih populer dengan sebutan “kiai”. Clifford Geertz dalam Javanese Kijaji menyebutkan, kiai adalah hasil produk pergulatan nilai-nilai keagamaan dan praktik kebudayaan lokal. Kiai merupakan sosok yang lahir karena identitas institusional. (Zuhairi Misrawi, 2010: 34)
Kiai memiliki sejumlah pengertian. Pada umumnya, kiai sebagai julukan bagi orang yang mengerti dalam bidang agama. Menurut Zamakhsari Dhofier, kiai merupakan “gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.” Kiai dianggap alim, saleh, bertakwa, dan gemar memberikan nasihat tanpa mengharap imbalan. Pikiran kiai senantiasa diarahkan pada kebaikan agama dan masyarakat. Di sejumlah daerah terdapat beberapa sebutan kiai. Misalnya, Ajengan (Sunda), Nun atau Bendara (Madura), Tengku (Aceh), dan Buya (Minangkabau). (Darul Aqsha, 2005: 118).
Orang Islam meyakini kiai memiliki otoritas yang kharismatik dan pengaruh yang besar dalam masyarakat, baik pada level lokal maupun nasional. Kiai memiliki peran memaknai nasionalisme dalam konteks disintegrasi bangsa, fanatisme kelompok keagamaan, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Elit Keagamaan
Kemuliaan dan kewibawaan kiai terutama diperoleh dari masyarakat perdesaan. Dalam buku Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007: 13) disebutkan bahwa Mansur Noor menganggap, para kiai merepresentasikan elit keagamaan yang berperan besar dalam membentuk masyarakat yang religius.
Beberapa studi sosial mengenai pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia menyimpulkan, kiai adalah tokoh dengan posisi strategis dan sentral dalam masyarakat. Buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004: 1) menambahkan, lantaran memegang kepemimpinan informal, kiai diyakini penduduk desa memiliki otoritas yang sangat besar sekaligus kharismatik.
Kehormatan, kemuliaan, dan kewibawaan kiai berasal dari diri sendiri. Penghormatan masyarakat terhadap kiai lantaran sikap, karakter, perilaku, tata krama, cara hidup, dan kebijaksanaan yang ditunjukkan sehari-hari, sehingga melahirkan “penghormatan personal”.
Berbeda dengan penghargaan terhadap kepala desa yang bersumber pada posisinya selaku pemerintah desa. Itulah mengapa, sebelum seseorang menduduki kursi kekuasaan desa, ia tidak memperoleh penghargaan tersebut. Masyarakat tidak mungkin memuliakannya sedemikian rupa. Keluhuran dan martabatnya yang tinggi berasal dari luar, yaitu jabatan yang berada di pundaknya.
Informalitas senantiasa melekat pada diri kiai. Pemimpin lokal ini selalu terkesan informal, mulai dari cara berpakaian, tindak-tanduk, serta berbicara. Di satu sisi, citra ini menguntungkan lantaran memudahkannya dalam berbagai situasi. Kiai dapat mengondisikan diri dengan lingkungan sekitar tanpa mengorbankan identitas dan jatidiri. Dengan predikat yang tersemat pada dirinya, kiai leluasa merangkul seluruh kepentingan dan golongan dalam masyarakat. Namun, pada sisi lain, sebagian masyarakat menilai bahwa kesan informal dalam dirinya identik dengan anti-keteraturan.
Tidak demikian dengan kepala desa yang terkesan formal. Peraturan negara membuatnya berjarak dengan masyarakat. Rapat yang digelar, materi pidato yang disampaikan, serta seragam yang dikenakan menambah kesan tersebut. Bahkan, kepala desa dianggap birokratis jika memfungsikan balai desa hanya sebagai kantor pelayanan publik. Dalam beberapa situasi, kepemimpinannya bercorak saklek dan prosedural. Sejak masa kerajaan, era kolonial, hingga Orde Baru, kepala desa merupakan kaki tangan penguasa yang bertugas mensukseskan program-program pemerintah.
Sejak dahulu kala, peraturan perundang-undangan tentang desa menetapkan peran strategis bagi kepala desa. Dalam menjalankan kewajibannya, kepala desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Ia seakan menempatkan diri selaku “petugas resmi pemerintah”. Dalam upaya memajukan wilayah perdesaan dan menyejahterakan masyarakat desa, negara memberikan dasar yang jelas. Kepala desa mempunyai pijakan normatif dalam implementasi tugasnya. Sepak terjangnya dalam kehidupan masyarakat disesuaikan dengan peran yang telah digariskan oleh produk hukum.

Manusia Terpilih
Sebab dipilih oleh masyarakat, legitimasi terhadap kekuasaan kiai bersifat bottom-up. Pengakuan atas kepemimpinan kiai berdasarkan tradisi musyawarah-mufakat. Kemunculannya berasal dari bawah, sehingga jauh dari kesan kosmpolit. Tidak ada intervensi dan campur tangan pemerintah dalam pengangkatan seseorang menjadi kiai. Masyarakat memberikan “misi suci” kepada seseorang yang menjadi “manusia terpilih”. Boleh dibilang, negara enggan memberikan penegasan terhadap keberadaan kiai, terutama dalam produk legal.
Adapun proses pemilihan kepala desa berjalan secara demokratis. Pemilihan langsung yang melibatkan semua lapisan masyarakat menandai proses tersebut. Eksistensinya dilindungi oleh pemerintah. Legalitas mendasari setiap kebijakan yang dikeluarkan, selama tidak menyalahi “kode etik”. Sebab mendapat pengakuan dari negara, kekuasaannya terkesan bersifat top-down. Sejumlah peraturan perundang-undangan dibuat demi memberikan aturan dan ketentuan terhadap posisi kepala desa.
Peran yang dijalankan kiai bersifat tradisional. Fungsinya dalam masyarakat merupakan warisan pemikiran lama yang masih senantiasa dilestarikan. Konsensus menentukan tugas kiai bersifat kondisional, ditentukan oleh perubahan zaman. Realitas sosial menjadi pijakan atas misi yang diemban. Apa yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh mereka.
Kiai dapat berperan dalam bidang agama, sosial, politik, bahkan medis. Dalam bidang agama, kiai memerankan diri sebagai imam shalat maktubah, muballigh, imam tahlil, khatib shalat Jum’at atau shalat Ied, penasihat pasif, guru diniyah, pembaca kitab salaf dalam sistem sorogan atau bandongan.
Dalam bidang sosial, kiai dipercaya memberikan arahan tentang calon pasangan hidup, memberi nama bagi anak yang baru lahir, memimpin ritual slametan dan penyampai maksud dalam hajatan. Dalam bidang politik, kiai memiliki pengaruh besar dalam menentukan calon bupati, calon presiden dan calon legislatif. Konsultasi mengenai partai terbaik juga diserahkan kepada kiai. Dalam bidang medis, sebagian kiai dinilai sanggup mengobati pasien dengan pengobatan alternatif.

Bojonegoro, 2018