Rabu, 18 Oktober 2017

Memupuk Minat Bertani (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Rabu, 18 Oktober 2017)

Dalam rangka mencegah kaum muda bekerja ke luar negeri, warga Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), menginisiasi kelompok tani. Inisiatif ini juga muncul lantaran tingginya angka kematian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal TTS yang mengais rezeki di Malaysia.
Data Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang menunjukkan, selama Januari-Oktober 2017 terdapat 45 TKI asal NTT meninggal di Negeri Jiran tersebut. Mereka berasal dari 14 kabupaten di NTT, di mana Kabupaten TTS “menyumbang” korban paling besar, 10 orang. Kondisi inilah yang membuat mereka membentuk kelompok tani dengan fokus menanam berbagai jenis sayuran.
Desa sejak lama identik dengan pertanian. Maka, ketika belum muncul berbagai alternatif pekerjaan, mayoritas orang desa memilih bertani. Berbekal keyakinan dan keteguhan, mereka memantapkan diri terjun dalam bidang agraris, termasuk orang-orang yang tidak memiliki sawah yang menawarkan diri sebagai petani penggarap. Akhirnya, terjadilah hubungan saling menguntungkan antara pemilik sawah dan penggarap.
Kini, pertanian semakin kurang menarik bagi kaum muda. Mereka lebih tergiur bekerja kantoran. Minat bertani juga dikalahkan hasrat ke kota untuk mengundi nasib di perantauan. Mereka menjadi buruh pabrik dengan upah di bawah standar atau bekerja serabutan tanpa jaminan perlindungan kerja.
Selain kurang menguntungkan atau bahkan berimbas kerugian, mata pencaharian petani juga kerap dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Bacaan, tontonan, serta semangat zaman mengarahkan para remaja lebih mengutamakan style, gengsi, image, serta pola hidup. Mereka tak tertarik dengan filosofi bertani yang penuh kebijaksanaan dan kearifan nenek moyang. Globalisasi dan modernisasi genap melahirkan generasi instan yang selalu ingin mencapai hasil maksimal, tanpa melewati proses melelahkan. Akibatnya, orangtua gagal melakukan regenerasi petani.
Pertanian sebagai basis ekonomi perdesaan selalu berhubungan dengan pembangunan. Selama ini pembangunan desa lebih diorientasikan pada upaya mendorong produktivitas kerja penduduk desa. Kaum tani senantiasa dimotivasi dan dirangsang berproduksi. Sayang, masih banyak kendala serius. Di sana-sini ditemukan ketimpangan antara biaya produksi dan hasil penjualan hasil panen.

Kehilangan
Berbagai upaya tata niaga justru mengakibatkan para petani kehilangan peluang menyisir beragam informasi pasar. Sementara itu, masuknya modal ke desa kerap diikuti budaya urban bercorak konsumtif, sehingga memarginalkan kaum tani dan mengasingkan mereka dari tanah kelahiran (A Nunuk P Murniati, 2004: 200).
Kapitalisme sebagai ideologi dunia yang begitu mencengkeram negara-negara berkembang ternyata rentan mematikan pola pertanian tradisional dan komunal. Nilai-nilai modernitas yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan memaksa aktor-aktor bidang agraris menyesuaikan diri. Di tengah pusaran perdagangan bebas, cukup tampak bahwa industri pertanian berbasis kapitalistik semakin kokoh. Hal ini meningkatkan risiko kerusakan genetik, lingkungan, budaya, serta kesehatan.
Liberalisasi pertanian juga kian menghancurkan usaha pertanian lokal milik ratusan juta penduduk desa. Di samping menjadikan petani seringkali terancam bahaya kelaparan, hal ini juga mendorong mereka hijrah ke kota atau luar negeri guna berburu rupiah. Akhirnya, yang tersisa di pedalaman hanyalah kemiskinan dan busung lapar (Benget M Silitonga [ed], 2012: 105).
Padahal, menurut Bustanul Arifin (2005: 5), wujud keberhasilan revitalisasi pertanian antara lain ditandai kemampuan pembangunan dalam mengentaskan masyarakat petani dan warga perdesaan lainnya dari jeratan serta belenggu kemiskinan. Selama ini, pemahaman ekonomi pembangunan modern, bahkan mazhab neoliberal sekalipun, genap meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sektor pertanian semata tidak akan mampu memberantas kemiskinan.
Atas dasar inilah, para perumus kebijakan mesti menunjukkan keberpihakan penuh dan memberikan perhatian serius terhadap nasib petani dan kelompok miskin lainnya. Langkah paling mendasar yaitu meluncurkan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang menyentuh kelompok miskin secara langsung. Caranya, investasi besar-besaran pada hak-hak dasar masyarakat dalam sektor kesehatan, kecukupan gizi, serta pendidikan dasar dan menengah.
Keberadaan kelompok tani sebagai salah satu bentuk revitalisasi bidang agraris selayaknya didukung. Pembentukan kelompok tani tidak hanya mendorong kaum muda untuk menggeluti bidang agraris, tetapi juga memupuk ikatan persaudaraan dan kekerabatan antarwarga sesuai dengan nilai sila ketiga Pancasila. Dalam setiap kesempatan, mereka bisa saling berinteraksi dan memotivasi. Kebersamaan dan kekompakan menjadi bekal berharga menghasilkan panen terbaik. Dengan demikian, aktivitas ekonomi tidak hanya berdasarkan hasrat individu, tapi juga kehendak kelompok.
Berbagai target tidak sekadar ditujukan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi pemenuhan kepentingan bersama. Dengan memakai prinsip kolektivitas sebagai tolok ukur bekerja, keuntungan tidak hanya bersifat sementara. Berbagai program dalam jaringan kelompok tani diupayakan berjangka panjang agar menjanjikan surplus lebih besar. Hasilnya mengacu pada semua anggota kelompok tani agar kesejahteraan yang tercipta senantiasa berbasis komunitas.
Dalam konteks inilah, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menemukan urgensinya. Apa yang dihasilkan oleh kelompok tani berupa bahan pangan dapat dipasarkan melalui BUMDes. Lembaga ini memuat kehendak kelompok dengan mengutamakan prinsip, nilai, dan dasar kehidupan bersama dalam mencapai cita-cita komunal. Nuansa gotong-royong melandasi setiap anggota BUMDes dalam aktivitas perekonomian dan peningkatan kesejahteraan.
Mengantongi legitimasi melalui Peraturan Mendagri Nomor 39 Tahun 2010, BUMDes dinilai cukup fleksibel dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. BUMDes merupakan aset desa yang bermaksud memajukan usaha-usaha ekonomi di tingkat akar rumput, sekaligus mewujudkan keinginan masyarakat perdesaan dalam memperbaiki taraf hidup. BUMDes juga berfungsi sebagai lembaga pembiyaan warga yang ingin meningkatkan usaha setempat. Lebih dari itu, BUMDes mampu mengelola potensi, keragaman, kearifan lokal serta memberdayakan warga yang berada di garis kemiskinan.

Yogyakarta, 2017

Senin, 09 Oktober 2017

Nasionalisme Batik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Duta Masyarakat" edisi Senin, 9 Oktober 2017)


Patung lilin Presiden Jokowi di Madame Tussauds Hongkong kini mengenakan busana batik setelah lebih dari tiga bulan memakai baju putih. Selain penonjolan kain batik, aroma khas batik berbahan pewarna alami semisal kulit kayu dan bahan lainnya yang menyebar ke seluruh ruangan juga membuat nuansa museum tampak berbeda.
Seorang marketing executive Madame Tussauds Hongkong menilai bahwa tampilan di atas merupakan sebagian cara Presiden Jokowi mempromosikan pariwisata Indonesia sekaligus mengenalkan batik sebagai budaya asli Indonesia. Selain itu, dengan menyajikan pakaian tradisional, diharapkan para pengunjung yang berasal dari Indonesia merasa sedang berada di “rumah” sendiri.
Batik adalah ekspresi kebudayaan yang diwariskan turun-temurun. Sebagai warisan budaya (heritage), batik di antara isu penting yang patut mendapat perhatian. Batik telah mengantongi pengakuan dunia sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, batik diakui UNESCO sebagai karya bangsa yang termasuk daftar representasi warisan budaya manusia tak berwujud (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Dalam catatan sejarah, batik telah ada sejak abad 17 pada zaman Kerajaan Majapahit. Saat itu, motif batik didominasi lukisan flora dan fauna. Budaya Islam yang begitu kuat rupanya turut menyebarkan motif abstrak, berupa awan, relief candi, dan wayang beber. Selanjutnya, perkembangan batik mendapat sentuhan para pengrajin pada zaman Kerajaan Mataram, Solo, dan Yogyakarta.
Warna, pola, serta motif yang lebih beragam pada batik berangkat dari asimilasi budaya. Aneka corak menunjukkan terjadinya peleburan budaya Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang. Sebagai misal, motif Jlamprang mengambil inspirasi dari budaya India dan Arab. Encim dan Klengenan diilhami oleh budaya Cina dan Belanda. Pagi Sore merupakan sumbangan budaya Melayu. Adapun Hokokai merupakan hasil intervensi budaya Jepang. Perjumpaan unsur-unsur budaya ini sejak tahun 1800-an di antaranya mengukuhkan Pekalongan sebagai Kota Batik. 

Ciri Kebangsaan
Mengenai “batik Indonesia”, Bung Karno pernah melontarkan gagasan bahwa ciri kebangsaan dan nasionalisme bisa digali melalui batik-batik tradisional dengan ciri etnis (Purnawan Andra, 2014).
Barangkali karena gagasan itulah, berseragam batik, para menteri kabinet dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Upacara pelantikan gubernur, bupati, dan jajarannya juga kerap menggunakan batik. Batik menjadi bagian dari politik kultural yang dilancarkan oleh pemerintah. Pemaknaan nasionalisme ataupun sekadar pencitraan bisa diekspresikan melalui batik.
Busana yang awalnya digunakan untuk pernikahan adat Jawa tersebut kini sering dijumpai dalam upacara kenegaraan. Fakta ini memuat pergeseran dari hal-hal yang bersifat spiritual atau ritual ke seremonial.
Perlahan namun pasti, batik melancarkan serangan terhadap hegemoni jas dan dasi sebagai produk kolonial yang berhasil menancap di bumi pertiwi. Gaya berpakaian elit priayi yang meniru model Barat diimbangi dengan kehadiran batik yang mampu mendobrak formalitas dengan menawarkan kode busana yang berbeda.
Batik mewakili simbol perjuangan melawan budaya Barat. Batik menjadi sarana mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur kolonial yang dominan. Dengan mengenakannya, sisa-sisa pemikiran imperialisme dan kolonialisme diharapkan hengkang dari bumi pertiwi. Di dalam batik terdapat implementasi sekaligus ekspresi perubahan budaya.

Simbol Harmonisasi
Batik telah dilegitimasi menjadi identitas bangsa, aset berharga, hingga simbol harmonisasi. Dulu kala, penggunaan batik dikhususkan bagi kalangan bangsawan dan “darah biru”. Ketika diaplikasikan pada media kain, masyarakat awam tidak diperkenankan mengenakannya. Batik mulai diperkenalkan kepada rakyat jelata, saat para pengikut raja mulai tinggal di luar tembok keraton.
Saat ini, pemakaian batik tidak terbatas pada komunitas tertentu. Berbagai macam suku terbukti menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, batik sanggup melewati batas teritorial, sosial dan etnik.
Produksi batik juga meluas. Awalnya, batik hanya diproduksi kalangan terbatas. Para pengrajin batik adalah kaum wanita yang mengisi waktu senggang. Sekarang, dinamika ekonomi nasional tidak terlepas dari isu beberapa dekade terakhir yaitu impor tekstil dan produk tekstil bermotif batik. Ini dikarenakan, batik mulai dilirik sebagai industri menjanjikan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Industri batik menyimpan kearifan lokal yang turut mengukuhkan identitas bangsa. Di dalamnya terjalin hubungan yang intens, baik ekonomi maupun budaya, antara berbagai lapisan masyarakat. Di samping dapat memancing wisatawan, kearifan lokal pada batik menjadi aset berharga bagi pengusaha dalam pasar domestik dan ekspor. Dengan demikian, selain aset ekonomi, batik juga merupakan aset budaya bangsa.
Hal ini menjadikan reputasi batik terangkat. Ia bukan lagi representasi “kasta tinggi”, sebab milik semua kalangan. Batik memicu harmonisasi berbagai lapisan masyarakat dengan identitas sosial dan kultural yang berbeda. Ia menegasikan nilai dan prinsip feodalisme yang cenderung usang.
            Eksistensi batik semakin diakui saat para pemimpin dunia terbiasa mengenakannya, baik untuk pertemuan resmi maupun busana keseharian. Sebut saja Nelson Mandela (1918-2013). Revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan ini bisa digolongkan sebagai promotor batik global yang mempromosikan hasil karya anak bangsa.
Namun demikian, tampaknya terdapat upaya sistematis meredupkan citra batik. Akhir-akhir ini, batik bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko cendera mata di negeri tetangga. Karya perajin tradisional Indonesia tersebut berlabel produk asing. Ekspresi budaya tradisional telah dirusak oleh klaim kepemilikan negara lain yang mencuri serta mematenkannya.
Hal di atas diperparah dengan kasus-kasus pembakaran pasar batik oleh oknum tak bertanggung jawab. Kebakaran yang melanda Pasar Klewer dengan kerugian mencapai Rp 5 triliun belum lama ini dibumbui isu bahwa pasar tersebut sengaja dibakar oleh pihak-pihak dengan kepentingan terselubung. Padahal, mengutip Aris Setiawan (2014), “Pasar Klewer bukan hanya berkisah tentang aktivitas jual-beli sandang, tapi juga sosio-kultural masyarakat Solo.”

Yogyakarta, 2017

Minggu, 08 Oktober 2017

Optimalisasi Potensi Desa Wisata (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Sabtu, 23 September 2017)


Sejak dahulu kala, desa memiliki potensi yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Salah satunya adalah lokasi tamasya yang kerap menyajikan eksotisme surgawi yang menyedot banyak atensi. Ada kecenderungan bahwa ketimbang menghabiskan waktu mengunjungi pusat keramaian di kantong urban, para wisatawan lebih berminat menjadikan kawasan pedesaan sebagai destinasi wisata. Betapa wilayah pedalaman menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin merasakan ketenteraman, kesejukan, dan kesegaran, sekaligus menjauhkan diri dari segala ingar-bingar.
Uniknya, selain keindahan dan kenyamanan, di kawasan terakhir ini juga terdapat kearifan lokal (local wisdom) yang diturunkan lintas generasi. Semangat kebersamaan, kerukunan, dan gotong-royong senantiasa menjiwai lokalitas. Inilah yang membedakan tempat pelesiran lokal dengan lokasi wisata nasional yang cenderung berpihak pada kepentingan pemodal.
Setiap desa wisata menjanjikan keunggulan masing-masing berdasarkan letak geografis, konstruksi tanah, tipologi sosial, serta karakteristik masyarakatnya. Boleh dibilang, perbedaan “label” antar desa wisata merupakan keniscayaan.
Misalnya, jika sebagian menawarkan sarana permainan tradisional, maka sebagian lainnya menghadirkan panorama alam dan aktivitas berkebun. Hal ini dikarenakan, “nilai jual” lokasi tersebut terletak pada ciri khasnya. Keberhasilan desa wisata meraup keuntungan antara lain ditunjang oleh kemampuan para pengelola  dalam melakukan spesialisasi.
Berkembangnya desa wisata belakangan ini turut membantu pemerintah pusat dalam menekan angka pengangguran. Keberadaan beberapa titik wilayah yang mampu menarik pengunjung tentu membuka lahan pekerjaan yang luas, sehingga kompetensi generasi muda dapat diberdayakan secara maksimal. Akhirnya, mereka bisa bekerja, tanpa perlu meninggalkan tanah kelahirannya.
Kepergian kawula muda ke daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri antara lain disebabkan minimnya kesempatan kerja di desa. Padahal, para pemuda menjadi harapan terbesar bagi meningkatnya kesejahteraan desa. Ketika desa ditinggalkan oleh generasi muda selaku pemegang estafet kehidupan, kondisi ekonomi di level akar rumput (grass root) tampak kurang menggairahkan.

Dukungan dari Aparat Desa
Hal di atas diperparah dengan keengganan para sarjana untuk kembali ke tanah asal. Catatan historis menunjukkan bahwa melalui pendidikan modernisasi genap memasuki kehidupan perdesaan. Dalam konteks ini, banyak anak desa yang merantau ke kota untuk mendaftarkan diri di berbagai lembaga pendidikan modern.
Sayangnya, kehidupan ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan lantaran anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana jarang pulang ke desa. Mereka lebih tertarik bekerja di lembaga-lembaga modern di kawasan atau pinggiran kota. Oleh karena itu, modernisasi pedesaan berjalan cukup lambat (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 94-95).
Potensi desa wisata juga menjadi pemantik bangkitnya orang desa melawan jebakan kesengsaraan. Prosentase kemiskinan desa dapat diturunkan dengan menggenjot produktivitas warga melalui pendayagunaan lokasi-lokasi strategis.
Kini, sesuai fakta di lapangan, para petani di desa merasa kesulitan untuk bertahan hidup dengan mengandalkan sawah. Keuangan kaum tani kembang kempis jika hanya bersumber dari apa yang telah ditanam. Bagaimanapun, hasil panen yang kurang menentu membuat mereka mesti mencari usaha sampingan di luar aktivitas bertani. Di wilayah perdesaan sekalipun, profesi yang berhubungan dengan bidang agraris tidak lagi menjadi pilihan, kecuali dalam keterpaksaan.
Maraknya wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengunjungi wilayah pedalaman, mesti disikapi secara serius oleh pemerintah desa dengan mengoptimalkan keistimewaan kawasan lokal. Aset desa berupa tanah ulayat, pasar, hutan, mata air, pemandian umum, dan lain sebagainya harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengukuhkan desa selaku destinasi wisata favorit.
Selain digunakan untuk biaya operasional, pemasukan yang diperoleh dari usaha bertaraf lokal ini juga dapat menambah kas desa. Dengan demikian, pembangunan desa wisata bisa dilakukan secara mandiri, karena tidak hanya bergantung pada transfer keuangan dari APBN dan APBD yang disebut dana desa dan alokasi dana desa. Berkurangnya ketergantungan terhadap kekuasaan supra desa menjadikan desa semakin kreatif dan inovatif.
Dengan difasilitasi oleh aparatur desa, setiap warga yang berpenghasilan rendah atau bahkan tanpa penghasilan bisa turut ambil bagian dalam mengembangkan desa swasta. Dalam konteks inilah, kebijakan kepala desa beserta netralitas pamong lainnya menjadi kunci utama tersebarnya lapangan pekerjaan. Uraian tugas (job description) sekaligus pembagian keuntungan (profit sharing) yang ditetapkan selayaknya mengutamakan kepentingan bersama.
Komersialisasi sejumlah lokasi jangan sampai terjebak pada individualisme. Akibatnya, pengelolaan desa wisata hanya melibatkan orang-orang yang selama ini berada dalam “lingkaran kekuasaan”, semisal sanak kerabat dan kolega pamong desa . Mereka inilah yang memiliki hubungan khusus dengan para elite lokal.
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, serta kepastian nilai ekonomi. Adapun Pasal 77 ayat (2) undang-undang yang sama menggariskan ketentuan bahwa pengelolaan kekayaan milik desa diselenggarakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta meningkatkan pendapatan desa.

Yogyakarta, 2017

Memutus Mata Rantai Kekerasan TKW (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Jumat, 22 September 2017)


Maraknya tindak kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) belakangan ini membuktikan kuatnya dominasi budaya patriarki. Wanita dianggap warga kelas dua yang boleh direndahkan, dihina, bahkan dilecehkan. Kelemahan (fisik) wanita dimanfaatkan selaku sarana penambah pundi-pundi finansial. Sejumlah oknum nekat menjadikan wanita sebagai “tumbal” dalam arus bisnis global, meski dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menerbitkan kebijakan moratorium pekerja migran.
Ketika keuntungan material menjadi prioritas utama, maka jaminan keselamatan pekerja rentan dikesampingkan. Itulah mengapa, majikan kerap memperlakukan pekerja secara keji dan brutal. Perbedaan gaji dengan jumlah uang yang dijanjikan, jam kerja yang terlalu memberatkan, serta perlakuan tidak senonoh merupakan di antara permasalahan TKW yang selalu menguap ketika dibawa ke jalur hukum.
Wanita juga menjadi korban tata kelola dan rekrutmen pekerja yang amburadul. Dalam taraf tertentu, mereka terbelit dalam hubungan patron-client yang telah merasuk dalam dunia ketenagakerjaan. Ketergantungan pekerja migran terhadap uluran tangan para calo mengakibatkan mereka mengalami tekanan mental. Dalam sejumlah kasus, penyalur kerja yang telah mencarikan lowongan serta menyediakan tiket pesawat sebenarnya tidak berniat menolong orang-orang yang sedang bergulat menyumpal kebutuhan perut, melainkan justru menjerumuskan mereka dalam “lubang kehancuran”. Selain dikompensasi sebagai utang puluhan juta rupiah, bantuan juga mesti dikembalikan lebih besar bahkan berlipat ganda. Utang dan bunga ini biasanya baru dapat terlunasi selama bertahun-tahun setelah mereka menyisihkan gaji.

Restrukturisasi Agraris
Salah satu alasan mengapa wanita bekerja di luar negeri adalah keterbatasan ruang kerja. Ketika kota-kota besar (dalam negeri) enggan menampung mereka, maka beberapa negara semisal Arab Saudi, Thailand, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan menawarkan alternatif. Selama ini, tersebar asumsi bahwa negara-negara pengimpor tenaga kerja tersebut menyediakan banyak peluang kerja bagi kaum Hawa.
Di desa, persoalannya lebih kompleks. Saluran tenaga kerja di wilayah perdesaan yang awalnya menyempit, kini semakin tertutup. Restrukturisasi pertanian tradisional tengah beradaptasi dengan proses komersialisasi, industrialisasi, serta proletarisasi. Diperparah dengan minimnya solidaritas sosial akibat merangseknya nilai-nilai urban ke wilayah pedalaman, kondisi ini menyisihkan para wanita, terutama dengan skill rendah, dari ajang persaingan.
Catatan historis menunjukkan, tersingkirnya wanita dari dunia kerja antara lain dikarenakan berubahnya teknik panen yang sempat menggoncang psikologi masyarakat desa tradisional. Dahulu kala, petani-petani desa tidak pernah membawa sabit saat pergi ke sawah. Dengan melibatkan hampir semua wanita desa, mereka memanen padi dengan pisau kecil (ani-ani). Sebagai imbalannya, para wanita tersebut berhak atas sebagian hasil panen (bawon). Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris), Denys Lombard (1996: 57) melihat bahwa sejak dua dasawarsa silam pemilik tanah dan teknokrat revolusi hijau menilai kolotnya teknik ani-ani. Atas dasar inilah, sabit diperkenalkan kepada kaum tani dan regu buruh upahan dikerahkan untuk memanen padi.
Sistem panen tradisional secara perlahan genap tergantikan oleh sistem tebasan yang dianggap lebih modern, namun juga mengancam kohesi sosial masyarakat perdesaan. Guna menghasilkan pendapatan lebih besar, sebelum masa panen tiba, petani melepas hasil panen kepada perantara yang disebut penebas. Lantaran tidak dibebani dengan kewajiban tradisional kepada komunitas masyarakat desa sekitar, perantara ini leluasa mengajak sejumlah kecil pekerja dan menolak pemungutan panen oleh mayoritas penduduk desa. Pekerja dituntut menggunakan sabit untuk memanen padi dan dibayar dengan uang kontan (Budi Winarno, 2003: 156). Sistem ini cukup ekonomis dan efektif, sebab mampu memangkas jumlah tenaga kerja yang berasal dari desa setempat, sementara penebas tetap menguasai bagian terbesar hasil panen.

Peran Aparatur Desa
Mata rantai kekerasan terhadap para wanita yang menjadi pekerja migran harus segera diputus dengan melibatkan aparatur desa. Sayangnya, pemerintah kerap menihilkan fungsi pamong desa. Padahal, para pemegang jabatan pemerintahan desa inilah yang menjadi aktor pertama dalam upaya mencegah menjamurnya kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKW.
Proses rekrutmen wanita yang dipekerjakan di luar negeri seringkali dilakukan oleh para calo di desa asal para calon TKW. Pada umumnya, keadaan ini membuat rekrutmen berlangsung di luar jangkauan birokrasi meskipun semestinya kepala desa beserta jajarannya melakukan “filter” terlebih dahulu mengenai syarat minimal berupa batas usia calon TKW.
Dalam praktiknya, kerap terjadi pelanggaran terhadap batas usia yang menjadi syarat pertama para wanita yang akan diberangkatkan selaku pekerja migran. Mayoritas calon TKW berumur di bawah batas terendah persyaratan TKW. Usia yang tercantum dalam surat pengantar kepala desa bahwa calon TKW genap memenuhi persyaratan merupakan pemalsuan keterangan oleh calon TKW yang seringkali “diijon” oleh para calo atau agen TKW (Riwanto Tirtosudarmo, 2007: 284-285).

Yogyakarta, 2017