Patung lilin Presiden
Jokowi di Madame Tussauds Hongkong kini mengenakan busana batik setelah lebih
dari tiga bulan memakai baju putih. Selain penonjolan kain batik, aroma khas batik
berbahan pewarna alami semisal kulit kayu dan bahan lainnya yang menyebar ke
seluruh ruangan juga membuat nuansa museum tampak berbeda.
Seorang marketing
executive Madame Tussauds Hongkong menilai bahwa tampilan di atas merupakan
sebagian cara Presiden Jokowi mempromosikan pariwisata Indonesia sekaligus mengenalkan
batik sebagai budaya asli Indonesia. Selain itu, dengan menyajikan pakaian
tradisional, diharapkan para pengunjung yang berasal dari Indonesia merasa sedang
berada di “rumah” sendiri.
Batik adalah ekspresi
kebudayaan yang diwariskan turun-temurun. Sebagai warisan budaya (heritage), batik di antara isu penting
yang patut mendapat perhatian. Batik telah mengantongi pengakuan dunia sebagai
salah satu warisan budaya Indonesia. Pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab,
batik diakui UNESCO sebagai karya bangsa yang termasuk daftar representasi
warisan budaya manusia tak berwujud (Representative
List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Dalam catatan sejarah,
batik telah ada sejak abad 17 pada zaman Kerajaan Majapahit. Saat itu, motif
batik didominasi lukisan flora dan fauna. Budaya Islam yang begitu kuat rupanya
turut menyebarkan motif abstrak, berupa awan, relief candi, dan wayang beber. Selanjutnya,
perkembangan batik mendapat sentuhan para pengrajin pada zaman Kerajaan
Mataram, Solo, dan Yogyakarta.
Warna, pola, serta motif yang lebih beragam pada batik berangkat dari
asimilasi budaya. Aneka corak
menunjukkan terjadinya peleburan budaya Cina, Belanda,
Arab, India, Melayu, dan Jepang. Sebagai misal, motif Jlamprang mengambil
inspirasi dari budaya India dan Arab. Encim dan Klengenan diilhami oleh budaya
Cina dan Belanda. Pagi Sore merupakan sumbangan budaya Melayu. Adapun Hokokai
merupakan hasil intervensi budaya Jepang. Perjumpaan unsur-unsur
budaya ini sejak tahun 1800-an di antaranya mengukuhkan Pekalongan sebagai Kota
Batik.
Ciri Kebangsaan
Mengenai “batik
Indonesia”, Bung Karno pernah melontarkan gagasan bahwa ciri kebangsaan dan
nasionalisme bisa digali melalui batik-batik tradisional dengan ciri etnis
(Purnawan Andra, 2014).
Barangkali karena
gagasan itulah, berseragam batik, para menteri kabinet dilantik oleh Presiden
Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Upacara pelantikan gubernur, bupati, dan
jajarannya juga kerap menggunakan batik. Batik menjadi bagian dari politik
kultural yang dilancarkan oleh pemerintah. Pemaknaan nasionalisme ataupun
sekadar pencitraan bisa diekspresikan melalui batik.
Busana yang awalnya
digunakan untuk pernikahan adat Jawa tersebut kini sering dijumpai dalam
upacara kenegaraan. Fakta ini memuat pergeseran dari hal-hal yang bersifat
spiritual atau ritual ke seremonial.
Perlahan namun pasti,
batik melancarkan serangan terhadap hegemoni jas dan dasi sebagai produk
kolonial yang berhasil menancap di bumi pertiwi. Gaya berpakaian elit priayi
yang meniru model Barat diimbangi dengan kehadiran batik yang mampu mendobrak
formalitas dengan menawarkan kode busana yang berbeda.
Batik mewakili simbol perjuangan
melawan budaya Barat. Batik menjadi sarana mengekspresikan gejolak batin dan
perlawanan terhadap kultur kolonial yang dominan. Dengan mengenakannya, sisa-sisa
pemikiran imperialisme dan
kolonialisme diharapkan hengkang dari bumi
pertiwi. Di dalam batik terdapat
implementasi sekaligus ekspresi perubahan budaya.
Simbol
Harmonisasi
Batik telah
dilegitimasi menjadi identitas
bangsa, aset berharga, hingga simbol
harmonisasi.
Dulu
kala, penggunaan batik dikhususkan bagi kalangan bangsawan dan “darah biru”.
Ketika diaplikasikan pada media kain, masyarakat awam tidak diperkenankan
mengenakannya. Batik mulai diperkenalkan kepada rakyat jelata, saat para
pengikut raja mulai tinggal di luar tembok keraton.
Saat ini, pemakaian batik
tidak terbatas pada komunitas tertentu. Berbagai macam suku terbukti
menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, batik sanggup melewati batas teritorial, sosial
dan etnik.
Produksi batik juga
meluas. Awalnya, batik hanya diproduksi kalangan terbatas. Para pengrajin batik
adalah kaum wanita yang mengisi waktu senggang. Sekarang, dinamika ekonomi
nasional tidak terlepas dari isu beberapa dekade terakhir yaitu impor tekstil
dan produk tekstil bermotif batik. Ini dikarenakan, batik mulai dilirik sebagai
industri menjanjikan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Industri batik
menyimpan kearifan lokal yang turut mengukuhkan identitas bangsa. Di dalamnya
terjalin hubungan yang intens, baik ekonomi maupun budaya, antara berbagai
lapisan masyarakat. Di samping dapat memancing wisatawan, kearifan lokal pada
batik menjadi aset berharga bagi pengusaha dalam pasar domestik dan ekspor. Dengan
demikian, selain aset ekonomi, batik juga merupakan aset budaya bangsa.
Hal ini menjadikan reputasi batik terangkat. Ia bukan lagi representasi “kasta tinggi”, sebab milik semua
kalangan. Batik memicu harmonisasi berbagai
lapisan masyarakat dengan identitas sosial dan kultural yang berbeda. Ia menegasikan nilai dan prinsip feodalisme yang cenderung
usang.
Eksistensi
batik semakin diakui saat para pemimpin dunia terbiasa mengenakannya, baik
untuk pertemuan resmi maupun busana keseharian. Sebut saja Nelson Mandela
(1918-2013). Revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan ini bisa
digolongkan sebagai promotor batik global yang mempromosikan hasil karya anak
bangsa.
Namun demikian,
tampaknya terdapat upaya sistematis meredupkan citra batik. Akhir-akhir ini,
batik bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko cendera mata di negeri tetangga.
Karya perajin tradisional Indonesia tersebut berlabel produk asing. Ekspresi
budaya tradisional telah dirusak oleh klaim kepemilikan negara lain yang
mencuri serta mematenkannya.
Hal di atas diperparah
dengan kasus-kasus pembakaran pasar batik oleh oknum tak bertanggung jawab.
Kebakaran yang melanda Pasar Klewer dengan kerugian mencapai Rp 5 triliun belum
lama ini dibumbui isu bahwa pasar tersebut sengaja dibakar oleh pihak-pihak dengan
kepentingan terselubung. Padahal, mengutip Aris Setiawan (2014), “Pasar Klewer
bukan hanya berkisah tentang aktivitas jual-beli sandang, tapi juga sosio-kultural
masyarakat Solo.”
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar