Senin, 09 Oktober 2017

Nasionalisme Batik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Duta Masyarakat" edisi Senin, 9 Oktober 2017)


Patung lilin Presiden Jokowi di Madame Tussauds Hongkong kini mengenakan busana batik setelah lebih dari tiga bulan memakai baju putih. Selain penonjolan kain batik, aroma khas batik berbahan pewarna alami semisal kulit kayu dan bahan lainnya yang menyebar ke seluruh ruangan juga membuat nuansa museum tampak berbeda.
Seorang marketing executive Madame Tussauds Hongkong menilai bahwa tampilan di atas merupakan sebagian cara Presiden Jokowi mempromosikan pariwisata Indonesia sekaligus mengenalkan batik sebagai budaya asli Indonesia. Selain itu, dengan menyajikan pakaian tradisional, diharapkan para pengunjung yang berasal dari Indonesia merasa sedang berada di “rumah” sendiri.
Batik adalah ekspresi kebudayaan yang diwariskan turun-temurun. Sebagai warisan budaya (heritage), batik di antara isu penting yang patut mendapat perhatian. Batik telah mengantongi pengakuan dunia sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, batik diakui UNESCO sebagai karya bangsa yang termasuk daftar representasi warisan budaya manusia tak berwujud (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Dalam catatan sejarah, batik telah ada sejak abad 17 pada zaman Kerajaan Majapahit. Saat itu, motif batik didominasi lukisan flora dan fauna. Budaya Islam yang begitu kuat rupanya turut menyebarkan motif abstrak, berupa awan, relief candi, dan wayang beber. Selanjutnya, perkembangan batik mendapat sentuhan para pengrajin pada zaman Kerajaan Mataram, Solo, dan Yogyakarta.
Warna, pola, serta motif yang lebih beragam pada batik berangkat dari asimilasi budaya. Aneka corak menunjukkan terjadinya peleburan budaya Cina, Belanda, Arab, India, Melayu, dan Jepang. Sebagai misal, motif Jlamprang mengambil inspirasi dari budaya India dan Arab. Encim dan Klengenan diilhami oleh budaya Cina dan Belanda. Pagi Sore merupakan sumbangan budaya Melayu. Adapun Hokokai merupakan hasil intervensi budaya Jepang. Perjumpaan unsur-unsur budaya ini sejak tahun 1800-an di antaranya mengukuhkan Pekalongan sebagai Kota Batik. 

Ciri Kebangsaan
Mengenai “batik Indonesia”, Bung Karno pernah melontarkan gagasan bahwa ciri kebangsaan dan nasionalisme bisa digali melalui batik-batik tradisional dengan ciri etnis (Purnawan Andra, 2014).
Barangkali karena gagasan itulah, berseragam batik, para menteri kabinet dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2014. Upacara pelantikan gubernur, bupati, dan jajarannya juga kerap menggunakan batik. Batik menjadi bagian dari politik kultural yang dilancarkan oleh pemerintah. Pemaknaan nasionalisme ataupun sekadar pencitraan bisa diekspresikan melalui batik.
Busana yang awalnya digunakan untuk pernikahan adat Jawa tersebut kini sering dijumpai dalam upacara kenegaraan. Fakta ini memuat pergeseran dari hal-hal yang bersifat spiritual atau ritual ke seremonial.
Perlahan namun pasti, batik melancarkan serangan terhadap hegemoni jas dan dasi sebagai produk kolonial yang berhasil menancap di bumi pertiwi. Gaya berpakaian elit priayi yang meniru model Barat diimbangi dengan kehadiran batik yang mampu mendobrak formalitas dengan menawarkan kode busana yang berbeda.
Batik mewakili simbol perjuangan melawan budaya Barat. Batik menjadi sarana mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur kolonial yang dominan. Dengan mengenakannya, sisa-sisa pemikiran imperialisme dan kolonialisme diharapkan hengkang dari bumi pertiwi. Di dalam batik terdapat implementasi sekaligus ekspresi perubahan budaya.

Simbol Harmonisasi
Batik telah dilegitimasi menjadi identitas bangsa, aset berharga, hingga simbol harmonisasi. Dulu kala, penggunaan batik dikhususkan bagi kalangan bangsawan dan “darah biru”. Ketika diaplikasikan pada media kain, masyarakat awam tidak diperkenankan mengenakannya. Batik mulai diperkenalkan kepada rakyat jelata, saat para pengikut raja mulai tinggal di luar tembok keraton.
Saat ini, pemakaian batik tidak terbatas pada komunitas tertentu. Berbagai macam suku terbukti menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, batik sanggup melewati batas teritorial, sosial dan etnik.
Produksi batik juga meluas. Awalnya, batik hanya diproduksi kalangan terbatas. Para pengrajin batik adalah kaum wanita yang mengisi waktu senggang. Sekarang, dinamika ekonomi nasional tidak terlepas dari isu beberapa dekade terakhir yaitu impor tekstil dan produk tekstil bermotif batik. Ini dikarenakan, batik mulai dilirik sebagai industri menjanjikan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Industri batik menyimpan kearifan lokal yang turut mengukuhkan identitas bangsa. Di dalamnya terjalin hubungan yang intens, baik ekonomi maupun budaya, antara berbagai lapisan masyarakat. Di samping dapat memancing wisatawan, kearifan lokal pada batik menjadi aset berharga bagi pengusaha dalam pasar domestik dan ekspor. Dengan demikian, selain aset ekonomi, batik juga merupakan aset budaya bangsa.
Hal ini menjadikan reputasi batik terangkat. Ia bukan lagi representasi “kasta tinggi”, sebab milik semua kalangan. Batik memicu harmonisasi berbagai lapisan masyarakat dengan identitas sosial dan kultural yang berbeda. Ia menegasikan nilai dan prinsip feodalisme yang cenderung usang.
            Eksistensi batik semakin diakui saat para pemimpin dunia terbiasa mengenakannya, baik untuk pertemuan resmi maupun busana keseharian. Sebut saja Nelson Mandela (1918-2013). Revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan ini bisa digolongkan sebagai promotor batik global yang mempromosikan hasil karya anak bangsa.
Namun demikian, tampaknya terdapat upaya sistematis meredupkan citra batik. Akhir-akhir ini, batik bisa dengan mudah ditemukan di toko-toko cendera mata di negeri tetangga. Karya perajin tradisional Indonesia tersebut berlabel produk asing. Ekspresi budaya tradisional telah dirusak oleh klaim kepemilikan negara lain yang mencuri serta mematenkannya.
Hal di atas diperparah dengan kasus-kasus pembakaran pasar batik oleh oknum tak bertanggung jawab. Kebakaran yang melanda Pasar Klewer dengan kerugian mencapai Rp 5 triliun belum lama ini dibumbui isu bahwa pasar tersebut sengaja dibakar oleh pihak-pihak dengan kepentingan terselubung. Padahal, mengutip Aris Setiawan (2014), “Pasar Klewer bukan hanya berkisah tentang aktivitas jual-beli sandang, tapi juga sosio-kultural masyarakat Solo.”

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar