Senin, 10 Juni 2019

Urbanisasi dan Jebakan Eksploitasi (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Senin, 10 Juni 2019)



Setelah Lebaran, sebagian orang desa berbondong-bondong pergi ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya demi mengadu nasib. Sejumlah pemudik yang pulang ke kampung halaman mengajak teman, kerabat, serta anggota keluarga untuk bekerja di tanah rantau. Dalam taraf tertentu, derasnya arus urbanisasi kerap didukung oleh fakta bahwa orang desa disilaukan dengan daya tarik kawasan urban.
Sayangnya, minimnya keahlian orang desa yang berhijrah ke kota antara lain mengakibatkan angka pengangguran di kantong-kantong urban semakin meroket. Pergeseran penduduk dari desa ke kota kurang berimbang dengan tersedianya lahan pekerjaan. Tak ayal apabila kesejahteraan, kenyamanan, serta keberlimpahan yang dijanjikan kota hanya menjadi utopia. Impian mengatrol status sosial sekaligus membangkitkan gairah hidup sirna lantaran kota ternyata tak mampu memberikan harapan.

Perangkat Yuridis
Tingginya angka urbanisasi berkaitan erat dengan hak atau kepemilikan atas tanah di desa. Kebijakan yang pro-pemodal rentan menjadikan masyarakat kehilangan tanah. Investasi asing berjangka panjang terbukti mengakibatkan sebagian penduduk desa terusir dari negeri sendiri. Beberapa surat izin dari sejumlah instansi menjadi modal para cukong yang lebih berpihak pada masyarakat golongan atas sekaligus menihilkan masyarakat golongan bawah.
Meskipun bercorak legal-formal, surat izin tersebut nyatanya justru menutup ruang ekonomi, merampas modal sosial, menyulut disintegrasi sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. Surat izin pemanfaatan lahan terbit atas inisiatif politikus dan birokrat nakal yang secara tidak langsung membuat tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan kian timpang.
Parahnya, sebagian Undang-Undang (UU), Peraturan Daerah (Perda), serta Peraturan Desa (Perdes) seolah dikondisikan oleh para pemodal dan kaum pebisnis demi menyelundupkan kepentingannya. Dengan demikian, harga diri para legislator yang berperan mengawal amanat rakyat telah ditukar dengan layanan, akses, serta beraneka kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh kaum kapitalis. Berbagai keuntungan material telah menjadikan mereka “gelap mata”, sehingga nasib rakyat dengan mudahnya dikorbankan.
Perangkat yuridis yang semestinya mampu mewujudkan keadilan sosial justru dipakai untuk menggasak ribuan hektare tanah orang-orang desa. Tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan guna menyambung hidup dirampas oleh kaum elite. Imbasnya, hilanglah apa yang dinamakan dengan “hak ulayat”. Dalam konteks inilah, peraturan perundang-undangan seakan beralih fungsi menjadi sarana eksploitasi.
Fenomena di atas mengingatkan kita pada novel karangan Multatuli, Max Havelaar, yang menggambarkan betapa bengisnya kaum kolonial. Peraturan perundang-undangan menjadi corong bagi kepentingan kaum penjajah yang memanfaatkan kultur tradisional dan feodal. Mengacu pada peraturan-peraturan penguasa, para kepala desa mengantongi tugas menarik pajak, panen, dan hasil ladang. Darah dan keringat pribumi diperas demi menambah pundi-pundi keuangan pejabat kolonial. Bahkan, demi menumpang hidup, orang-orang desa harus menyewa tanahnya sendiri dengan harga selangit.
Kondisi demikian memaksa penduduk desa melepaskan tanah dengan harga serendah-rendahnya. Sayangnya, uang yang mereka terima hanya cukup untuk menyumpal perut. Padahal, sejak dahulu kala, tanah bukan hanya berfungsi sebagai sumber ekonomi. Lebih dari itu, tanah merupakan ruang menimba ilmu dan kebajikan yang genap diwariskan oleh nenek moyang.

Kambing Hitam
Di sejumlah daerah, di mana tanah berperan vital bagi kehidupan masyarakat, beralihnya kepemilikan tanah ke tangan investor menimbulkan masalah serius. Karena tidak ada lagi tanah yang bisa digarap, mereka akhirnya berbondong-bondong pergi ke kota demi mengadu nasib. Sisa penjualan tanah digunakan sebagai bekal hijrah dan hidup di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, serta Makassar.
Celakanya, persyaratan formal, semisal ijazah, usia, dan pengalaman kerja terkadang menutup peluang bagi mereka. Formalitas telah menyuburkan ketimpangan antara “orang-orang berpendidikan” dengan mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah. Sebab tiada pilihan lain, mereka mencoba bertahan dalam arus kehidupan urban. Untuk sementara, identitas sebagai penjunjung tinggi kolektivisme dan kebersamaan ditanggalkan demi menyesuaikan diri dengan lingkungan serba egoistis dan individualis berlandaskan kepentingan.
Beruntung jika ada perusahaan yang bersedia menerima mereka sebagai pekerja kasar. Meski berupah rendah, tetapi mereka masih sanggup bertahan hidup di bawah standar hidup yang layak dan sesekali mengirim uang kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang malah menambah angka pengangguran di kota. Bagaimanapun, rasio peluang kerja belum sebanding dengan jumlah pencari kerja.
Apalagi, tersebar anggapan bahwa menumpuknya problematika perkotaan antara lain merupakan imbas dari membludaknya penduduk desa yang melakukan urbanisasi. Orang-orang yang bermaksud meningkatkan taraf hidup justru menjadi kambing hitam tercemarnya kebersihan dan keindahan kota. Mereka kerap dituduh selaku biang keladi mengapa kota-kota besar sulit terbebas dari polusi.

Bojonegoro, 2016

Perusakan Situs Budaya Adat Dayak (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Senin, 10 Juni 2019)



Seorang satpam sebuah perusahaan dikabarkan merusak patung Sapundu yang selama ini dikenal sebagai situs budaya adat Dayak. Terkait hal ini, Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah genap membentuk tim khusus guna mengetahui secara langsung kerusakan situs yang berada di Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kotawaringin Timur, tersebut. Berdasarkan hasil pantauan tim, Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Agustiar Sabran menginformasikan bahwa destruksi situs budaya adat benar-benar terjadi.
Apa yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab di atas tentu mengingkari Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menggariskan bahwa adat istiadat desa merupakan sebagian kewenangan desa. Di dalamnya termaktub ketentuan bahwa desa mengantongi sejumlah kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, serta adat istiadat desa.

Pidana Adat
Selain rentan digolongkan kriminalitas, kegiatan merusak situs budaya adat juga dapat dikategorikan sebagai pidana adat yang memuat adanya sanksi adat. Berbagai komunitas adat, tak terkecuali suku Dayak di Kalimantan, kerap menuntut pelaku kejahatan untuk membayar denda sebagai kompensasi atas pelanggaran yang genap diperbuat. Tuntutan semakin berat manakala pelanggaran berhubungan dengan ranah publik yang lebih luas. Dalam situasi tertentu, keluarga pelaku kejahatan juga dibebani tanggung jawab terhadap kesalahan individu.
Dengan demikian, berlakunya sanksi sosial tidak hanya mengenai pelaku kriminal, melainkan juga orang-orang terdekat yang mempunyai hubungan darah dengannya. Bagaimanapun, aib anggota keluarga mesti ditanggung bersama. Betapa sejak lama nilai dan etos kebersamaan menelusup hingga ruang privasi. Inilah sebagian pembeda antara hukum pidana adat dengan hukum pidana konvensional yang banyak dipengaruhi oleh paradigma berpikir Barat dan cenderung individualistis. Budaya Timur menganggap komunalisme sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Itulah mengapa, ruang-ruang sosial kerap lebih dominan ketimbang ruang-ruang personal.
Terhadap kejahatan yang berimbas pada keluarga atau individu tanpa mendatangkan disharmoni desa secara keseluruhan, pada umumnya pengurus adat akan mengenakan sanksi setelah digelarnya rekonsiliasi. Bermula dari pendekatan komunal inilah, kejahatan orang-orang berkedudukan tinggi memperoleh konsekuensi lebih besar, sehingga hukuman yang dijatuhkan kepadanya juga lebih besar. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin berat pula hukuman yang diterima. Hal ini disebabkan tanggung jawab hukum tergantung pada posisi individu dalam masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut adalah aturan hukum pidana adat bahwa risiko kejahatan yang merusak kepemilikan suatu benda tanpa berkaitan dengan para leluhur dinilai lebih kecil ketimbang kejahatan yang merusak benda sakral yang berhubungan dengan nenek moyang. (Ratno Lukito, 2012: 38-39).

Ekspresi Imajinasi
Aksi destruktif terhadap situs budaya adat Dayak sangat disayangkan. Dalam taraf tertentu, ia mengandung filosofi mendalam serta syarat keindahan. Suku Dayak mampu mengekspreksikan imajinasinya dalam karya seni yang terabadikan sepanjang masa. Ikhtiar merefleksikan serta menafsirkan perjalanan makhluk hidup di dunia ditunjukkan dengan menciptakan berbagai hasil kreativitas yang artistik, eksotis, serta filosofis. Dalam tubuh mereka mengalir “darah seni” yang diwariskan lintas generasi. Tak heran apabila seni seringkali melandasi kegiatan-kegiatan individu maupun publik yang diselenggarakan oleh mereka.
Bagi suku Dayak Kalimantan, seni mempunyai banyak peran. Sebagai tolok ukur stratifikasi kedudukan individu dalam masyarakat tradisional, seni menjadi sarana pemelihara tatanan sosial yang berlaku umum. La Ode dalam Politik Tiga Wajah (2013: 53) menyebutkan, suku Dayak Kalimantan juga memfungsikan seni selaku sarana religius. Seni berperan penting dalam bermacam acara, semisal upacara rumah tangga serta pesta desa dengan menampilkan hasil-hasil karya. Oleh sebab itulah, seni mampu menjadi media pemuliaan personalitas serta penjamin eratnya harmoni beragam kelompok masyarakat Dayak Kalimantan.
Situs budaya adat juga menjadi penanda dan jatidiri suku Dayak. Ia menghadirkan ciri khas, karakter, serta keberagaman suku bangsa di Indonesia. Boleh dibilang, ketika mengunjunginya, seseorang berarti menapaki ingatan tentang leluhurnya. Keberadaan situs budaya adat turut merekam catatan peradaban para pendahulu sekaligus mengekalkan sejarah kehidupan nenek moyang. Atas dasar inilah, semua pihak sepatutnya menghargai dan menghormati keberadaan adat-istiadat Dayak, termasuk menjunjung tinggi terpeliharanya semua situs adat yang ada. Bagaimanapun, di samping mengandung ikhtiar mengokohkan fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini juga dikarenakan ekspresi kebudayaan dan keberagaman masyarakat adat genap memperoleh perlindungan dalam konstitusi.

Bojonegoro, 2018