Minggu, 24 Mei 2015

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Radar Surabaya" edisi Minggu, 24 Mei 2015)


Kanibal

berapa hari kita lalui
berapa bulan
kita lewatkan

hanya menanti
seorang puisi
yang tega menghabisi
anaknya sendiri

Malang, 2010


Ibu Kos

hari ini adalah terakhir kali
aku melihat tampangmu di sini

tolong, besok
kau bawa pergi
semua perlengkapanmu

aku tak mau
alat-alat pembuat sajak itu
mengotori kamar dan lantaiku

Malang, 2010


Kamus

aku sudah bosan
bolak-balik ke kandangmu
cuma buat nagih utang
satu tahun belakangan

“gini saja,
kamu punya apa?
biar nanti kugadaikan”

“di lemari
 cuma ada ini, pak”

penagih itu begitu tertekan
sebab si penganggur
tak mengurangi pikiran
malah ia sodorkan
kamus utang
dari petugas pegadaian

Malang, 2010


Salep Rindu

nak, biar kebal cuaca
pakai ini saja ya

dulu sebelum dipenjara
ayah sering membawanya

masuk-keluar jalan hutan
butuh perjuangan
banyak nyamuk, setan,
polisi gentayangan

kudoakan
setahun kemudian
kau mendaftarkan diri
jadi penghuni baru

agar kita di sini
bisa saling mengurai rindu

Malang, 2010


Sangkuriang

Ibu       : “kalau aku ini ibumu
   lantas kenapa masih saja
   kau cerap berjuta cahaya
   yang meleleh dari mataku?”

Anak   : “tidak, bu
   aku hanya menuruti
   kata-kata senja
   sebelum lenyap
   meninggalkanmu”

Malang, 2010


Oedipus Complex

usianya sama sekali
belum menunjukkan kedewasaan

tapi kenapa airmata ingusan itu
selalu saja berusaha
menyelinap, mengendap-endap

ingin mengoyak hati janda
yang tinggal di depan rumah

Malang, 2010


Laptop

Ayah,
baru dua hari
kau membelinya

tapi
sudah dua bulan
aku merusaknya

Malang, 2010

Ikhtiar Melukis Kupu-kupu (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 24 Mei 2015)

Buku yang dipenuhi kupu-kupu”. Barangkali, itulah kesan pembaca kali pertama saat melahap buku kumpulan puisi Irma Agryanti bertajuk Requiem Ingatan (Komunitas Akar Pohon, Juni, 2013). Bermodal kupu-kupu, Irma mengajak pembaca untuk sekadar bernostalgia, merengkuh ingatan, atau bahkan menyembunyikan diri dari bengisnya kehidupan.
Entah disadari atau tidak, yang pasti Irma kerap memanfaatkan kupu-kupu dalam karyanya. Meskipun adopsi kata merupakan hak preogratif sang penyair, akan tetapi sesungguhnya pembacalah yang lebih berhak menentukan: adakah terhadap kata-kata, penyair mampu menyampaikan pertanggungjawabannya?
Dalam konteks ini, puisi Tamu dan Ke Arah Matahari merupakan contoh representatif, sehingga pembaca dapat menilai apakah Irma hanya mengukuhkan makna usang atau berhasil melakukan redefinisi (pemaknaan ulang).
Pada halaman 28, dalam puisi Tamu tertulis:
dari seberang sungai seekor kupu-kupu terbang
sebuah perjamuan
jam malam dan seikat bunga di atas meja
bersiap-siap menghadap kedatangan
Dari potongan puisi di atas, bisa diketahui bahwa Irma menggarap tema dengan cara mengolah mitos yang genap beredar luas. Atas dasar itulah, Irma berada dalam posisi menguntungkan sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pilihan Irma sebagai sang kreator mengindikasikan timbulnya dua sisi saling bertolak belakang.
Di satu sisi, Irma tidak perlu bersusah payah menyodorkan simbol-simbol tertentu, sehingga tanpa berkerut kening, pembaca sanggup menangkap makna kupu-kupu. Seolah diperingatkan ‘alarm siaga’, Irma selalu waspada bahwa merekomendasikan hal baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Alih-alih memberikan kesan positif sebab berhasil menawarkan lambang baru, kecerobohan dalam hal ini kerap melahirkan puisi gagal sebab kerangkanya tersusun atas metafora yang dangkal.
Di sisi lain, pembaca tidak menerima provokasi atau bahkan sekadar impuls untuk melempar interpretasi baru terhadap kupu-kupu. Boleh dibilang, antara penyair dan pembaca genap bersepakat bahwa selamanya kupu-kupu mengandung imaji tamu. Akibatnya, selain cenderung klise, ruang pemaknaan terhadap kupu-kupu menjadi terbatas. Padahal, semakin melimpah pemaknaan, semakin besar peluang puisi untuk merentang keberhasilan.
Untungnya, puisi Tamu terselamatkan dari stempel ‘puisi buruk’, sebab Irma berhasil memberi kejutan pada frasa yang hadir belakangan:
seseorang dari masa lalu, mungkin yang kelak,
atau terlupa
Bagi pembaca yang kritis, dua baris ini bukannya terbelit dalam makna seragam, melainkan justru menghadirkan makna bercabang. Pertama, seseorang di sini yaitu tamu yang sebelumnya telah dikabarkan oleh kupu-kupu. Jadi, kupu-kupu berfungsi sebagai pertanda bahwa akan ada tamu yang datang. Dengan demikian, antara kupu-kupu dan seseorang adalah dua makhluk berlainan.
Kedua, seseorang yang dimaksud adalah kupu-kupu itu sendiri. Interpretasi terakhir inilah yang menaikkan ‘daya bargaining’ puisi, karena kupu-kupu hadir bukan melulu simbol akan tetapi sekaligus sebagai bentuk dari simbol itu sendiri. Jadi, kupu-kupu dan seseorang adalah satu makhluk dalam lain perwujudan.
Selanjutnya, dalam puisi Ke Arah Matahari (halaman 55) Irma menulis:
pandangannya layuh ke daun mapel, ke lengang kamar, pintu dan jendela yang terbuka. betapa leluasa hangat terpaan, menumbuhkan berkat januari. tapi arah hanyalah penanda. setelah dadanya menjelma kupu-kupu, dan segalanya dilepaskan ke langit.
Dalam frasa setelah dadanya menjelma kupu-kupu, Irma mencubit perhatian pembaca dengan metafora yang begitu lembut. Dada yang bagi kebanyakan orang menjadi sarana penampung setiap kesedihan, kegelisahan, kecemasan, juga keluh kesah justru dijelmakan dengan sesuatu yang indah: kupu-kupu. Dengan demikian, ada semacam upaya yang sungguh-sungguh dalam mengalihkan gejala kekhawatiran pembaca, dari yang semula turut merasakan kegetiran yang berlarat, menjadi penghiburan yang berlipat. Meskipun terkesan menimbulkan prasangka tentang adanya sikap ‘lari dari keadaan’, akan tetapi Irma sanggup mengecoh dengan halus, sehingga meyakinkan pembaca agar percaya bahwa tidak semua kecohan bersifat merugikan, melainkan dalam situasi tertentu, justru mengulurkan kenikmatan.  
Apa yang dilakukan Irma merupakan upaya solutif guna merubah efek negatif menjadi energi positif. Beban derita tidak mesti ditularkan agar pembaca tersengal sambil menenteng sapu tangan.
Tidak sampai situ. Dengan cara Irma menghadirkan kupu-kupu, niscaya apa yang menumpuk dalam dada bisa segera diterbangkan. Tak ayal, puisi di atas dipungkasi dengan frasa dan segalanya dilepaskan ke langit. Hal ini menguatkan kecurigaan atas sikap ‘lari dari keadaan’ yang dimaksud sebelumnya. Bahkan, Irma sengaja menyelipkan frasa afirmatif tersebut tiada lain agar pembaca turut menjadi saksi atas kemauan menggebu dari ia (lirik) untuk menumpahkan segala permasalahan dengan cara membuangnya ke langit.
Sebenarnya puisi Ke Arah Matahari sangat memungkinkan ditulis dengan pola ‘open-ending’. Jadi, bisa saja umpamanya Irma mengakhiri puisinya pada frasa dadanya menjelma kupu-kupu (tanpa disertai kata setelah), dengan tujuan agar pembaca sendiri yang memberikan interpretasi mengapa penyair menyematkan kata ‘kupu-kupu’. Berbekal penanda yang tersedia, bukan merupakan hal sulit bagi pembaca untuk menyimpulkan bahwa kupu-kupu merupakan simbol penyelamat keadaan. Kupu-kupu dihadirkan guna mencampakkan kesengsaraan ke loka mana pun yang ia kehendaki. Tetapi, nyatanya, Irma lebih suka melengkapi dengan frasa lain, tanpa menyimpan niatan ‘mencampuri urusan’ pembaca lebih jauh.
Namun demikian, karya anggitan Irma tidak tanpa cela. Puisi Anjing Api Artupudnis (halaman 44), misalnya. Dalam puisi tersebut, kupu-kupu sekadar menjadi tempelan. Lebih jelasnya, bisa disimak potongan puisi yang dimaksud.
seberapa keras ia menggonggong
lapar menyusu, haus berburu
seberapa jauh ia berjalan
menyisir kupu-kupu
Kesan atas puisi ini yaitu penyair sama sekali tidak memiliki ikhtiar untuk mengeksplorasi kupu-kupu lebih dalam. Alih-alih melakukan pemberdayaan, kupu-kupu hadir sebagai bentuk kesewenangan penyair. Atas dasar hasrat belaka, penyair sesuka hati memperlakukan kata-kata. Barang tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, dalam taraf tertentu, seorang penyair rentan terjebak dalam peristiwa ‘orgasme-puisi’, ketika hanya mengutamakan klimaks bercinta (dengan kata-kata), tanpa mendermakan kepuasan bagi pembaca.
Meskipun demikian, pembaca tidak lantas merasa pesimis dengan puisi Anjing Api Artupudnis. Sebab, masih tersisa dua puisi lain yang tergolong cukup menjanjikan, semisal: Aku Mengingatmu Sepanjang Jalan Tanjung Karang (halaman 27) dan Aku Membayangkan Sajakmu (halaman 42).

Yogyakarta, 2014

Perempuan yang Menghindari Perpisahan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di tabloid "Cempaka" edisi 23-30 Mei 2015)

Membuka jendela, Prita meloncat keluar. Ia ingin menghindari perkawinannya dengan Aldo yang direncanakan besok malam. Bagaimana pun juga, mengabadikan ikatan cinta dengan lelaki penyejuk hatinya selama empat tahun tersebut merupakan impian yang sebentar lagi menjelma kenyataan. Juga bencana paling besar yang akan menimpanya.
Bencana paling besar?
Benar. Di satu sisi, menikah dengan lelaki yang sangat dicintai pastilah menghadirkan kegembiraan luar biasa. Akan tetapi, di sisi lain, juga menghibahkan penderitaan berlarat-larat. Prita menyadari bahwa rasa cintanya kepada Aldo ibarat surya, tak pernah lelah mengirim butir-butir cahaya ke hamparan semesta. Begitu pula sebaliknya. Aldo mencintai Prita begitu tulus, bak biru samudra yang selalu memesona, meski ribuan tahun ditampar gelombang.
Besarnya cinta Prita dan tulusnya hati Aldo merupakan dua kekuatan dahsyat, yang apabila digabungkan nantinya melahirkan kesetiaan. Kesetiaan yang tiada lagi diragukan kualitas dan kuantitasnya. Kesetiaan yang dapat membimbing rumah tangga menuju keluarga yang makmur dan sejahtera. Namun, dengan kekuatan tersebut, Prita justru mengkhawatirkan munculnya ketidaksiapan menghadapi perpisahan. Jikalau diberi tawaran, ia lebih memilih digergaji lehernya daripada harus berpisah dengan orang yang telah memberi kehangatan dalam hidupnya.
Prita meyakini bahwa derita perpisahan melebihi rasa sakit yang dibawa tumor paling ganas sekalipun. Oleh sebab itulah, sekuat tenaga ia berusaha untuk menyingkirkan tubuhnya dari aroma perpisahan. Sedini mungkin.
***
“Bagaimana, anak kita, Ma.?”
“Entahlah, Pa.” Mata Bu Ineke menerawang ke luar. Lantas dengan bibir bergetar, ia melanjutkan, “dari tadi, orang-orang yang kita tugaskan mencarinya selalu bilang kalau Prita belum ditemukan.”
“Sabar ya, Ma.”
“Iya… Tapi bagaimana dengan reaksi besan dan para undangan nanti malam, Pa?”
“Itulah masalahnya. Dari tadi Papa juga cemas, Ma.”
“Aku tak habis pikir….” Ini kali suara Bu Ineke tampak berat. Sangat berat. Sepertinya pita suaranya terikat dari dalam. Beberapa detik mengumpulkan kekuatan, ia menyambung kalimat yang sempat terputus, “mengapa Prita bisa senekat itu. Padahal, ia kan cinta mati pada Aldo.”
Ah, itu perkiraan mama saja. Bisa jadi….”
“Bisa jadi apa, Pa?” Suara Bu Ineke melengking tinggi. Darahnya mulai memanjat ubun-ubun.
“Bisa jadi Prita gak suka Aldo.”
“Papa ini memang gak pernah mau mengerti perasaan anaknya. Setiap hari cuma sibuk dengan urusan kantor. Prita benar-benar mencintai Aldo, Pa!”
Menutup katup mulutnya, Bu Ineke meninggalkan ruang tamu. Sepasang pipinya banjir oleh air mata.
Pak Kelvin merasa bersalah. Sungguh. Seharusnya ia menghalau lidahnya untuk berkata demikian. Seharusnya ia memeluk sang istri, mengusap rambutnya, sambil mengingatkan untuk terus membaca istighfar.
***
“Bagaimana tidurnya semalam, Prit. Nyenyak?”
“Wah, aku gak bisa Tidur, Ren.”
“Kamu pasti memikirkan acara perkawinanmu nanti malam.”
Hooh, Ren.”
Bagi Prita, Reni adalah sahabat terbaik yang ia punya. Seperti memiliki indra keenam, perempuan yang duduk sebangku di SMA dengannya tersebut tidak pernah keliru saat menebak isi hatinya.
“Sudahlah, Prit. Tiada guna kau bersembunyi seperti ini. Menjauhkan diri dari realitas bukanlah solusi terbaik. Lagi pula, perpisahan memang diciptakan mengiringi pertemuan. Sebagaimana kematian yang hadir setelah kehidupan. Bukankah dulu Ustadz Furqan mengatakan demikian?”
“Terus, aku harus bagaimana?”
“Pulanglah, Prit. Papa dan mamamu sudah menunggu. Kasihan mereka.”
Gak mau. Aku di sini saja!”
“Ayolah. Itu sama saja dengan menyakiti perasaan banyak orang. Ingat, Prit. Kalau perkawinanmu batal, yang sakit hati bukan cuma Aldo dan calon mertuamu. Tapi, juga semua tamu yang hadir.”
Diam, Prita memandangi Reni. Ia membenarkan perkataan sahabatnya. Tapi, pikirannya belum bisa bersepakat dengan satu kata, perpisahan.
“Kau harus menunjukkan bahwa Prita adalah perempuan yang gigih. Bukan cengeng dan ringkih.”
Prita masih saja diam.
“Apa perlu aku mengantarmu sekarang?”
Segesit kilat, Prita menjawab, “aku mau pulang. Tapi, ada syaratnya.”
***
“Hei, itu Prita datang, Pa!”
Tergopoh-gopoh, Bu Ineke berlari ke teras. Ia bermaksud meminta maaf, jika penyebab kabur Prita, putri satu-satunya itu, adalah dirinya. Adapun Pak Kelvin, hanya mengenakan kaos dalam, membuntuti dari belakang.
Di luar dugaan, rupanya perkiraan keduanya meleset. Ternyata perempuan yang berdiri di depan rumah adalah Reni. Bajunya mirip sekali dengan baju yang dipakai Prita sewaktu melarikan diri dari rumah. Bulir-bulir kekecewaan menghinggapi raut muka Bu Ineke dan suaminya.
Menguatkan diri agar tidak jatuh lunglai, atau bahkan pingsan, Bu Ineke segera menghampiri Reni. Kemudian tanpa basa-basi, perempuan paruh baya tersebut langsung bersoal mengenai keberadaan Prita.
“Nak Reni. Tahu di mana Prita sekarang? Semalam ia kabur dari rumah. Padahal, Nak Reni tahu sendiri, kalau hari ini adalah hari perkawinannya.”
Belum ada isyarat bahwa Reni akan menjawab, Bu Ineke melanjutkan, “apa Prita belum siap ya?”
“Sudah siap kok. Ibu gak perlu khawatir. Itu, anaknya ada di mobil.”
Prita keluar dengan menyunggingkan senyum.
Bu Ineke terheran-heran, melihat Prita muncul dengan baju merah tua bermotif bunga mawar. Rasanya, Prita belum pernah memakai baju itu sebelumnya. Sama sekali belum pernah.
Berpikir beberapa jenak, Bu Ineke baru ingat, bahwa sebulan lalu, Reni pernah menghadiri pesta ulang tahun Prita dengan baju indah itu. Ya, baju yang kini menempel di tubuh anak kesayangannya itu.

Yogyakarta, 2012

Minggu, 10 Mei 2015

Tambora (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 10 Mei 2015)


Genap 200 tahun meletusnya Gunung Tambora jatuh pada Sabtu, 11 April 2015. Tepatnya, pada 11 April 1815, 10 ribu orang lebih tewas akibat ledakan dahsyat dan aliran piroklastik dari Tambora. Demikianlah di antaran secuplik gambaran dahsyatnya gunung berapi. Tak heran jika laporan berjudul Global Vulcanic Hazard and Risk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa sejak tahun 1600, kematian akibat gunung berapi mencapai 278 ribu orang. Dari data tersebut, kematian langsung akibat letusan mencapai 58 persen, termasuk letusan Gunung Tambora (Koran Tempo, 12/04).
Peringatan dua abad meletusnya Gunung Tambora di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima belum lama ini menunjukkan bahwa gunung tersebut memiliki urgensi dan arti tersendiri bagi sejarah peradaban umat manusia. Tambora dianggap telah meletakkan dasar-dasar perubahan kehidupan, sehingga manusia bisa lebih mudah menggapai kodratnya sebagai makhluk modern sekaligus beradab.  
Meskipun mewariskan isak tangis dan duka mendalam, namun ternyata di balik dahsyatnya letusan stratovolcano aktif di pulau Sumbawa tersebut tersimpan berkah dan manfaat tak terkira bagi sejumlah kawasan. Dalam hal ini, Bali dan Eropa merupakan contoh representatif.

Ekonomi dan Teknologi Transportasi
Ekspor budak merupakan salah satu penopang ekonomi Bali pada permulaan abad ke-19. Tiap tahun, sekitar 2.000 orang dijual oleh para bangsawan. Ironisnya, kebutuhan akan koin-koin tembaga, senjata, dan khususnya candu, yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Bali, dipenuhi dengan cara impor.  
Meletusnya Gunung Tambora, didukung oleh perkembangan politik dan ekologi, ternyata melahirkan suatu transformasi ekonomi. Berdasarkan kronik MC. Ricklefs (2008), timbunan abu Gunung Tambora segera mengakibatkan kesuburan tanah meningkat, sementara Singapura, daerah jajahan Inggris, menjadi pasar ekspor Bali yang Baru.
Dalam dua dasawarsa, Bali bersulih rupa dari sebuah negara pengekspor budak menjadi pengekspor hasil bumi (khususnya beras, kopi, nila). Bukannya menjual rakyatnya, para raja Bali justru membutukan mereka untuk menggarap lahan-lahan pertanian. Dengan demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) di Bali telah dimaksimalkan. Potensi orang-orang Bali berhasil digali dan dimanfaatkan. Di samping sebagai katalisator ekonomi, manusia berhasil diposisikan sebagai makhluk berkebudayaan yang mampu menghasilkan cipta, rasa, dan karsa. Juga tidak kalah penting, ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) berangsur-angsur dihapuskan.
Di Eropa, letusan Gunung Tambora yang menyemburkan berjuta-juta kubik materialnya ke langit memicu hujan salju dan gagal panen. Orang-orang Barat menyebut tahun itu dengan “the year without summer” (tahun tanpa musim panas). Cuaca yang buruk membuat transportasi yang biasanya mengandalkan kuda menjadi kurang nyaman. Banyak kuda disembelih, bukan hanya karena manusia tak memiliki cadangan makanan, melainkan juga karena langkanya makanan kuda.
Sistem transportasi perlahan menjadi kacau. Orang-orang kebingungan untuk melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Rupanya keadaan ini melahirkan inspirasi bagi Karl Drais. Ia mencoba menciptakan alat transportasi yang mendayagunakan tenaga manusia. Bermodal eksperimen-eksperimen yang ditempuh, akhirnya ia berhasil membuat alat sederhana beroda dua bernama draisine yang berbahan kayu. Sebab tidak berpedal, seseorang bisa mengendarainya dengan menjejakkan kaki ke tanah.
Sepeda sederhana ini juga disebut hobby horse yang berarti “kuda-kudaan”. Sebab, tujuan pembuatan alat ini yaitu untuk menggantikan kuda sebagai sarana transportasi. Penemuan ini merupakan titik awal prinsip keseimbangan sepeda modern, di mana hak patennya didaftarkan pada tahun 1818. Dengan demikian, ilham dari ganasnya Tambora menjadikan karya Drais lebih revolusioner. Pasalnya, tahun 1791 Comte de Sivrac hanya berhasil menemukan celeraifere, mesin tanpa penarik hewan yang belum bersetir dan berpedal sehingga tidak bisa berbelok.

Munculnya Kesadaran Literasi
Di samping transformasi ekonomi dan perkembangan teknologi transportasi, kesadaran literasi juga menjadi dampak positif dari meletusnya Gunung Tambora. Gunung, betapa pun menimbulkan kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan luar biasa bagi manusia, ternyata masih memberikan keberuntungan. Sudah tak terhitung lagi berapa karya sastra/fiksi yang lahir lantaran terinspirasi dari gunung. Imajinasi yang ditimbulkan dari gunung menyebabkan sejumlah penulis dan sastrawan berupaya mengabadikannya. Sebut saja dua novel mengagumkan, yaitu Gunung Sukma karya Gao Xingjian (1990) dan Gunung Kelima karangan Paulo Coelho (1998).
Karya sastra dalam negeri berjibaku mengisahkan gunung. Peristiwa meletusnya Gunung Tambora diceritakan dengan apik dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut perkiraan filolog Cambert Loir dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya. Syair karangan Khatib Lukman tahun 1830 M yang tertulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu tersebut menyibak kabut sejarah yang meliputi kerajaan Bima.
Dalam syair itu disebutkan peristiwa-peristiwa di Bima pertengahan abad ke-19, yaitu letusan Gunung Tambora, pemakaman Sultan Abdul Hamid, serangan bajak laut, penobatan Sultan Ismail, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makasar, kontrak Bima, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kunjungan H. Zollinger ke Sumbawa (Marwati DP dan Nugroho N, 2008: 74).
Bahkan, belum lama ini, Paox Iben Mudhaffar menulis novel setebal 301 halaman berjudul Tambora 1815 yang diluncurkan di Keraton Bima. Bagi pengarang kelahiran 08 Februari 1976 tersebut, pengarang ibarat penjahit yang menjahit serpihan sejarah dengan bahan mentah berupa sejarah, budaya, dan arkeologi.
Sejumlah penulis luar menanggapi imbas meletusnya Gunung Tambora dengan menulis karya fiksi dan non-fiksi. Lord Byron, penyair Inggris, menulis sebuah puisi berjudul “Darkness”. Dalam menggambarkan kegelapan di bumi dan kelaparan pasca letusan gunung dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index tersebut, ia menulis: “I had a dream, which was not all a dream. The bright sun was extinguished, and the stars. Did wander darkling in the eternal space, Rayless, and pathless, and the icy earth. Swung blind and blackening in the moonless air; Morn came and went—and came, and brought no day”.
Adapun buku-buku non-fiksi yang mencoba ‘mendaur ulang’ kisah gunung yang mampu menyebabkan perubahan iklim dunia tersebut antara lain: Tambora: A Killer Volcano from Indonesia (Kathy Furgang, 2005), Encyclopedia of Disasters: Environmental Catastrophes and Human Tragedies (Angus Macleod Gunn, 2007) dan Travels to Sumbawa and the Mountain That Changed the World (Derek Pugh, 2014).

Bojonegoro, 2015

Senin, 04 Mei 2015

Bingkisan Cinta dari Holla (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Padang Ekspres" edisi Minggu, 3 Mei 2015)

Scule kembali ke Rebh seraya menundukkan kepala. Ia menganggap dirinya serupa makhluk hina-dina. Menghabisi nyawa lelaki yang menafkahinya sejak kecil merupakan perbuatan keji tiada duanya. Rasanya pantas, jika serata warga semesta menghunjamkan cacian serta mengalirkan makian untuknya.
Setiba di perkebunan Jooba, Scule urung memijakkan langkah ke rumah. Sungguh, beban berat tengah bergelantungan di dadanya. Dalam keadaan semisal itu, tidaklah mengherankan bila hasratnya mengajak mampir di gubuk Timmer.  
“Wahai orang tua. Aku telah berulah nista. Apa yang sebaiknya kulakukan?.” Lidah Scule menerbitkan madah.
“Ada apa, anak muda?” Sahut Timmer tangkas.
“Tangan… Tangan ini tega membunuh orang paling kucintai setelah ibu dan kekasihku.”
Timmer memergoki jemari Scule berlumuran darah. Darah segar yang dipetik dari tubuh renta dan kusut. Darah merah—yang saking merahnya—ulung menenung saban bola netra yang memandangnya.
Suara Timmer melemah. Kini, ia bagai seekor rusa mencicipi panah pemburu liar. Untungnya, ia masih mengantongi kekuatan untuk menyembunyikan jatidiri. Andai tahu, tentu Scule malas mewartakan hal itu pada lelaki berumur hampir seabad tersebut. Lantaran buah kalam yang diluncurkan Scule, bayangan Timmer melompat ke masa 27 tahun silam. Masa dimana ia merawat janji buat Bonai. Timmer merasa gagal mewujudkan pesan sahibnya itu. Pesan yang diucapkan kala bertempur melawan pasukan Morame.
Selaku tetua kampung, Timmer terbiasa dimintai saran para penduduk dalam segala permasalahan. Ini kali, ia menyerah. Rasa malu yang sekonyong-konyong menyergapnya miskin sirna.
“Maaf, anak muda. Ini bukan bagianku. Anak yang tega menikam ayahnya laik menadah balasan. Pergilah menghadap Nycenae. Ia yang bertugas mengatasinya.”
Dengan pasti, Timmer berkelit.
***
Di sebuah malam yang mengigil, Timmer mematung di kolong pohon Toru. Perangkat memorinya dipadati dengan wajah Bonai. Timmer bernala-nala, kenapa tiada mampu ia menjauhkan urita rahasia dari telinga Scule. Meski bukan yang membocorkan, tetap saja ia merasa khilaf. Dan seperti yang Timmer cerna, ternyata jejaka berdagu pedang itu mafhum bahwa lelaki yang menaruh hati pada Holla, kekasihnya, adalah ayahnya sendiri.
Timmer mengerti, sesungguhnya ini adalah cinta segitiga antara Scule, Bonai, dan Holla. Pun menyadari bahwa Scule melambangkan pejantan yang hendak melakukan apa saja demi meluncurkan asmara. Guna menuang iktikad, Scule bernazar di gurun Jiuso: “barang siapa berani mengganggu kemesraanku dengan Holla, maka ia harus mati.” Nazar tersebutlah yang kelak hari dikenal orang-orang Rebh dengan nazar bagi Holla.
Apa yang diperbuat Scule adalah sebiji keniscayaan. Dalam adat Rebh, nazar tetaplah nazar. Seburuk apapun isinya, nazar mendapat tempat begitu mulia. Siapa saja mengingkari, ia bakal dikutuk habis-habisan oleh Gadelun, tokoh pendiri kebudayaan Rebh. Timmer memirsa, Scule hanyalah bujang yang bermaksud melangsungkan kewajiban. Tak lebih dari itu. Timmer juga tak punya daya untuk menyalahkan Bonai. Bagaimanapun, cinta itu anugerah. Perasaan yang membelit Bonai memang lumrah. Namun, yang patut disayangkan yakni mengapa perasaan itu jatuh pada perawan yang 13 bulan lagi menjelma menantunya. Pula dengan Holla. Puan dengan alis mengerucut dan mata berbinar-binar itu sekadar menelurkan keinginan sang bunda. Bunda yang kerap disakiti oleh Bonai semasa muda. Dengan menaklukkan Bonai, rasa sakit ibunya berkenan sedikit mencair. Rasa sakit yang dibayar dengan tumpahan darah Bonai.  
***
Nycenae menangkap isyarat. Sesuai kesepakatannya dengan Timmer, orang yang ditangani berhak menjalani hukuman. Tepatnya, hukuman yang mustahil ditunaikan. Nycenae menyebutnya dengan tiga hukuman untuk Scule. Penerapan hukuman tersebut bertahap. Artinya, apabila si terhukum mampu melewati hukuman pertama, boleh ia mengenyam hukuman kedua. Jika hukuman kedua sanggup terlaksana, maka ia beralih ke hukuman ketiga, hukuman terakhirnya.
Hukuman pertama yang ditelan Scule yaitu membebaskan pohon Forghe dari debu musim panas. Sebagaimana dimaklumi, pohon Forghe sama sekali belum suah tampak, sejak Garnendos kecewa karena buah yang dipetik dari Forghe sangat asam. Padahal, ia menduga buah itu manis, sehingga dengan memakannya, mulutnya bisa lebih segar. Berdiam diri sepanjang 4 hari—demi menguji kekebalan otot—membuat bibirnya terasa pahit. Akhirnya, dililit amarah yang meluap-luap, ia menitahkan debu musim panas untuk menudungi rindangnya pohon Forghe.
Dalam memacu lagak, Scule—si banyak akal itu—membelokkan dua aliran sungai dan mengarahkan keduanya ke pohon Forghe. Dengan demikian, butiran debu yang menempel di cabang, ranting, serta daun pohon Forghe segera lenyap. Mo dan Neg; dua sungai yang rajin mengirim air bah dan menggenangi ladang-ladang petani itu melenyapkan debu dari pohon Forghe. Bagi keduanya, pekerjaan tersebut terlalu enteng.
Mencerap keperkasaan Scule, Nycenae tercekat. Baru kali itu ia mengamati sendiri aksi memukau pemuda penggandrung kase—minuman memabukkan tersusun dari sari gandum—itu. Mau tidak mau, ia terdesak mengakui kehebatan Scule. Ya. Tiadalah Scule anjing yang bila disuguhi pentungan langsung diam. Scule sosok keras kepala sekaligus lihai mengolah pikiran.
Hukuman kedua yang dilimpahkan pada Scule yaitu bermukim 9 hari bersama Minea, singa paling ditakuti orang Rebh. Sudah tak terhitung lagi makhluk yang lolos dari cengkeraman si kaki 8 dengan cakar mematikan itu. Manusia yang dicemplungkan ke kandang Minea, pastilah keluar tinggal nama. Nycenae yakin bahwa Scule bukanlah pengecualian. Sesakti dan setangguh apapun Scule, cocok ia menjadi menu santapan lezat bagi Minea. Dengan menanamnya di loka mengerikan tersebut, daging dan tulang Scule akan koyak-moyak diterkam Minea.
Pada malam bulan purnama, Scule dibuang ke kandang Minea lalu ditutup rapat. Jikalau orang tersebut bukan Scule, tentu ia meregang nyawa saat itu juga. Namun tidak dengan Scule. Itu malam, Minea meraung sedemikian rupa, sebagaimana layaknya waktu-waktu sebelumnya saat menemui sesosok manusia hinggap di pandangannya. Ganjilnya, Minea meraung bukan sebab kegirangan akan melahap Scule. Minea meraung tanpa meneteskan liur. Hewan berkulit belang itu meraung karena menikmati kehangatan yang ditawarkan Scule. Scule membelai bulunya dengan lembut lantas menciumnya. Sudah lama Minea kehilangan kehangatan itu. Dan kini, ia kembali menjumpainya setelah 8 tahun silam ibunya mati dihantam tombak Fohun, prajurit terkuat dari Yomush. Sebab itulah, Minea menabung dendam pada semua manusia, hingga mashur sebagai satwa terkejam yang gemar mencabik-cabik mangsa.
Malam ke 9, syak wasangka yang teronggok di otak Nycenae terpaksa berubah menjadi keheranan luar biasa. Dugaan bahwa Scule menjemput ajal dengan mengenaskan buru-buru luput. Selamat dari ancaman Minea mengindikasikan kehebatan manusia yang menghadapinya. Dan, hal itu berhasil dibuktikan Scule. Lebih menakjubkan lagi, Minea bersalin binatang penurut di bawah asuhan Scule.
Nycenae berang. Lolosnya Scule dari maut dinilai sekadar keberuntungan. Genap ia menyiapkan hukuman selanjutnya. “Kali ini, kau akan menyerah, Scule”. Gumamnya lirih.
Hukuman pungkasan bagi Scule yaitu mengusir kawanan tikus perusak kebun Liiyohh. Pholimeinem bukanlah sembarang tikus biasa; berbulu lebat, bergigi taring, bermata kucing. Jikalau menggigit, maka si korban lekas menarik napas penghabisan dalam tempo semalam. Mayatnya juga menerbitkan aroma busuk layaknya bau tikus itu sendiri. Ratusan pawang dikerahkan, namun semua kelabakan. Bahkan sebagian besar dari mereka rela mengetam akibatnya: berkalang tanah dengan bermandikan rimbun darah.  
Scule mencoba bersikap tenang. Ia berencana memporakporandakan sarang tikus-tikus menjijikkan itu dengan bantuan Angin Barat kala matahari sedang terik-teriknya. Scule paham betul kelemahan musuhnya; sinar matahari. Benar. Dengan menyemprotkan sinar matahari pada tubuh mereka, niscaya kulit, daging, serta tulang mereka akan melepuh. Itulah mengapa kebun Liiyohh memperoleh serangan tikus-tikus itu saat malam bertandang.
Urusan ini tidaklah ringan. Mengapa? Sebab, bukan cuma nyawa Scule yang jadi taruhan. Jika tikus-tikus tersebut kurang berjaya dikeluarkan dari sarang di siang bolong, maka sisa-sisa tikus yang masih hidup bakal mengamuk dan melampiaskan murka ke seluruh penduduk.
Oleh dasar itulah, Scule melempar saran pada Angin Barat agar berhati-hati dalam melaksanakan amanat. Ia memperingatkan, waktu paling baik untuk beraksi adalah kala matahari tepat di atas kepala; usai terpekik auman macan dari arah utara. Angin Barat menurut. Sehabis menunggu waktu yang tepat, akhirnya ia lepas tiupan dahsyat ke sarang Pholimeinem sehingga semuanya menyembul. Dan, dalam sekejap, tikus-tikus itu terbakar tanpa sisa oleh tandukan sang surya.
***
Usai menuntaskan ketiga hukuman yang nian berat, Scule berkehendak meminang tambatan hatinya. Dalam benaknya, mestilah Holla semakin terpana mengendus keperkasaannya menundukkan ganjaran dari Nycenae. Dengan mencawiskan gaun indah berhias permata—cindera mata dari Volka selepas menyingkirkan gadis itu dari sengatan kalajengking raksasa, 3 karung emas pilihan dari kota Zioho, juga beberapa kuda perkasa peninggalan ayahnya, Scule bersambang ke rumah Holla. Walakin, alangkah terkejutnya, tatkala ia menyaksikan kediaman Holla kosong, sepi penghuni. Nyatanya, Holla beserta ibunya terlebih dahulu meninggalkan tanah Samerr dan menetap di gunung Xuure. Scule pun sadar, kalau cinta Holla pada dirinya bersifat sementara. Bukan cinta kekal-abadi sesuai yang ia idam-idamkan selama ini. Benar. Persembahan cinta Holla laksana pewarna kain dari daerah Toman: mudah sekali luntur—saat dendam ibunya tunai terlampiaskan.  

Yogyakarta, 2011

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 3 Mei 2015)


Jealous

meski
tak lagi bersama,

tak kan
kubiarkan
kaurengkuh kesempurnaan
di dinding kalbu-Nya

Bojonegoro, 2008


Jangan Percaya Padanya

apa kabar puisi
kenapa kau termangu di situ
sepi, sendiri
apakah sedang berpikir
tentang kata
yang menyusun kerangkamu

kata tak seperti yang kau duga
ia bisa menyelinap
dan membunuhmu
kapan saja
hati-hati dengannya
ia musuh bermuka seram
ia racun dalam tubuhmu

bagaimana puisi
percayakah kini kau dengan kata

kalau masih ragu
taruh pisau tajam
di saku celana
usik dia
ancam, jika berlaku kurang sopan

ingat, kau adalah
sang majikan
bukan pembantunya

Bojonegoro, 2008