Minggu, 24 Mei 2015

Ikhtiar Melukis Kupu-kupu (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 24 Mei 2015)

Buku yang dipenuhi kupu-kupu”. Barangkali, itulah kesan pembaca kali pertama saat melahap buku kumpulan puisi Irma Agryanti bertajuk Requiem Ingatan (Komunitas Akar Pohon, Juni, 2013). Bermodal kupu-kupu, Irma mengajak pembaca untuk sekadar bernostalgia, merengkuh ingatan, atau bahkan menyembunyikan diri dari bengisnya kehidupan.
Entah disadari atau tidak, yang pasti Irma kerap memanfaatkan kupu-kupu dalam karyanya. Meskipun adopsi kata merupakan hak preogratif sang penyair, akan tetapi sesungguhnya pembacalah yang lebih berhak menentukan: adakah terhadap kata-kata, penyair mampu menyampaikan pertanggungjawabannya?
Dalam konteks ini, puisi Tamu dan Ke Arah Matahari merupakan contoh representatif, sehingga pembaca dapat menilai apakah Irma hanya mengukuhkan makna usang atau berhasil melakukan redefinisi (pemaknaan ulang).
Pada halaman 28, dalam puisi Tamu tertulis:
dari seberang sungai seekor kupu-kupu terbang
sebuah perjamuan
jam malam dan seikat bunga di atas meja
bersiap-siap menghadap kedatangan
Dari potongan puisi di atas, bisa diketahui bahwa Irma menggarap tema dengan cara mengolah mitos yang genap beredar luas. Atas dasar itulah, Irma berada dalam posisi menguntungkan sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, pilihan Irma sebagai sang kreator mengindikasikan timbulnya dua sisi saling bertolak belakang.
Di satu sisi, Irma tidak perlu bersusah payah menyodorkan simbol-simbol tertentu, sehingga tanpa berkerut kening, pembaca sanggup menangkap makna kupu-kupu. Seolah diperingatkan ‘alarm siaga’, Irma selalu waspada bahwa merekomendasikan hal baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Alih-alih memberikan kesan positif sebab berhasil menawarkan lambang baru, kecerobohan dalam hal ini kerap melahirkan puisi gagal sebab kerangkanya tersusun atas metafora yang dangkal.
Di sisi lain, pembaca tidak menerima provokasi atau bahkan sekadar impuls untuk melempar interpretasi baru terhadap kupu-kupu. Boleh dibilang, antara penyair dan pembaca genap bersepakat bahwa selamanya kupu-kupu mengandung imaji tamu. Akibatnya, selain cenderung klise, ruang pemaknaan terhadap kupu-kupu menjadi terbatas. Padahal, semakin melimpah pemaknaan, semakin besar peluang puisi untuk merentang keberhasilan.
Untungnya, puisi Tamu terselamatkan dari stempel ‘puisi buruk’, sebab Irma berhasil memberi kejutan pada frasa yang hadir belakangan:
seseorang dari masa lalu, mungkin yang kelak,
atau terlupa
Bagi pembaca yang kritis, dua baris ini bukannya terbelit dalam makna seragam, melainkan justru menghadirkan makna bercabang. Pertama, seseorang di sini yaitu tamu yang sebelumnya telah dikabarkan oleh kupu-kupu. Jadi, kupu-kupu berfungsi sebagai pertanda bahwa akan ada tamu yang datang. Dengan demikian, antara kupu-kupu dan seseorang adalah dua makhluk berlainan.
Kedua, seseorang yang dimaksud adalah kupu-kupu itu sendiri. Interpretasi terakhir inilah yang menaikkan ‘daya bargaining’ puisi, karena kupu-kupu hadir bukan melulu simbol akan tetapi sekaligus sebagai bentuk dari simbol itu sendiri. Jadi, kupu-kupu dan seseorang adalah satu makhluk dalam lain perwujudan.
Selanjutnya, dalam puisi Ke Arah Matahari (halaman 55) Irma menulis:
pandangannya layuh ke daun mapel, ke lengang kamar, pintu dan jendela yang terbuka. betapa leluasa hangat terpaan, menumbuhkan berkat januari. tapi arah hanyalah penanda. setelah dadanya menjelma kupu-kupu, dan segalanya dilepaskan ke langit.
Dalam frasa setelah dadanya menjelma kupu-kupu, Irma mencubit perhatian pembaca dengan metafora yang begitu lembut. Dada yang bagi kebanyakan orang menjadi sarana penampung setiap kesedihan, kegelisahan, kecemasan, juga keluh kesah justru dijelmakan dengan sesuatu yang indah: kupu-kupu. Dengan demikian, ada semacam upaya yang sungguh-sungguh dalam mengalihkan gejala kekhawatiran pembaca, dari yang semula turut merasakan kegetiran yang berlarat, menjadi penghiburan yang berlipat. Meskipun terkesan menimbulkan prasangka tentang adanya sikap ‘lari dari keadaan’, akan tetapi Irma sanggup mengecoh dengan halus, sehingga meyakinkan pembaca agar percaya bahwa tidak semua kecohan bersifat merugikan, melainkan dalam situasi tertentu, justru mengulurkan kenikmatan.  
Apa yang dilakukan Irma merupakan upaya solutif guna merubah efek negatif menjadi energi positif. Beban derita tidak mesti ditularkan agar pembaca tersengal sambil menenteng sapu tangan.
Tidak sampai situ. Dengan cara Irma menghadirkan kupu-kupu, niscaya apa yang menumpuk dalam dada bisa segera diterbangkan. Tak ayal, puisi di atas dipungkasi dengan frasa dan segalanya dilepaskan ke langit. Hal ini menguatkan kecurigaan atas sikap ‘lari dari keadaan’ yang dimaksud sebelumnya. Bahkan, Irma sengaja menyelipkan frasa afirmatif tersebut tiada lain agar pembaca turut menjadi saksi atas kemauan menggebu dari ia (lirik) untuk menumpahkan segala permasalahan dengan cara membuangnya ke langit.
Sebenarnya puisi Ke Arah Matahari sangat memungkinkan ditulis dengan pola ‘open-ending’. Jadi, bisa saja umpamanya Irma mengakhiri puisinya pada frasa dadanya menjelma kupu-kupu (tanpa disertai kata setelah), dengan tujuan agar pembaca sendiri yang memberikan interpretasi mengapa penyair menyematkan kata ‘kupu-kupu’. Berbekal penanda yang tersedia, bukan merupakan hal sulit bagi pembaca untuk menyimpulkan bahwa kupu-kupu merupakan simbol penyelamat keadaan. Kupu-kupu dihadirkan guna mencampakkan kesengsaraan ke loka mana pun yang ia kehendaki. Tetapi, nyatanya, Irma lebih suka melengkapi dengan frasa lain, tanpa menyimpan niatan ‘mencampuri urusan’ pembaca lebih jauh.
Namun demikian, karya anggitan Irma tidak tanpa cela. Puisi Anjing Api Artupudnis (halaman 44), misalnya. Dalam puisi tersebut, kupu-kupu sekadar menjadi tempelan. Lebih jelasnya, bisa disimak potongan puisi yang dimaksud.
seberapa keras ia menggonggong
lapar menyusu, haus berburu
seberapa jauh ia berjalan
menyisir kupu-kupu
Kesan atas puisi ini yaitu penyair sama sekali tidak memiliki ikhtiar untuk mengeksplorasi kupu-kupu lebih dalam. Alih-alih melakukan pemberdayaan, kupu-kupu hadir sebagai bentuk kesewenangan penyair. Atas dasar hasrat belaka, penyair sesuka hati memperlakukan kata-kata. Barang tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, dalam taraf tertentu, seorang penyair rentan terjebak dalam peristiwa ‘orgasme-puisi’, ketika hanya mengutamakan klimaks bercinta (dengan kata-kata), tanpa mendermakan kepuasan bagi pembaca.
Meskipun demikian, pembaca tidak lantas merasa pesimis dengan puisi Anjing Api Artupudnis. Sebab, masih tersisa dua puisi lain yang tergolong cukup menjanjikan, semisal: Aku Mengingatmu Sepanjang Jalan Tanjung Karang (halaman 27) dan Aku Membayangkan Sajakmu (halaman 42).

Yogyakarta, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar