Minggu, 10 Mei 2015

Tambora (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 10 Mei 2015)


Genap 200 tahun meletusnya Gunung Tambora jatuh pada Sabtu, 11 April 2015. Tepatnya, pada 11 April 1815, 10 ribu orang lebih tewas akibat ledakan dahsyat dan aliran piroklastik dari Tambora. Demikianlah di antaran secuplik gambaran dahsyatnya gunung berapi. Tak heran jika laporan berjudul Global Vulcanic Hazard and Risk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa sejak tahun 1600, kematian akibat gunung berapi mencapai 278 ribu orang. Dari data tersebut, kematian langsung akibat letusan mencapai 58 persen, termasuk letusan Gunung Tambora (Koran Tempo, 12/04).
Peringatan dua abad meletusnya Gunung Tambora di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima belum lama ini menunjukkan bahwa gunung tersebut memiliki urgensi dan arti tersendiri bagi sejarah peradaban umat manusia. Tambora dianggap telah meletakkan dasar-dasar perubahan kehidupan, sehingga manusia bisa lebih mudah menggapai kodratnya sebagai makhluk modern sekaligus beradab.  
Meskipun mewariskan isak tangis dan duka mendalam, namun ternyata di balik dahsyatnya letusan stratovolcano aktif di pulau Sumbawa tersebut tersimpan berkah dan manfaat tak terkira bagi sejumlah kawasan. Dalam hal ini, Bali dan Eropa merupakan contoh representatif.

Ekonomi dan Teknologi Transportasi
Ekspor budak merupakan salah satu penopang ekonomi Bali pada permulaan abad ke-19. Tiap tahun, sekitar 2.000 orang dijual oleh para bangsawan. Ironisnya, kebutuhan akan koin-koin tembaga, senjata, dan khususnya candu, yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Bali, dipenuhi dengan cara impor.  
Meletusnya Gunung Tambora, didukung oleh perkembangan politik dan ekologi, ternyata melahirkan suatu transformasi ekonomi. Berdasarkan kronik MC. Ricklefs (2008), timbunan abu Gunung Tambora segera mengakibatkan kesuburan tanah meningkat, sementara Singapura, daerah jajahan Inggris, menjadi pasar ekspor Bali yang Baru.
Dalam dua dasawarsa, Bali bersulih rupa dari sebuah negara pengekspor budak menjadi pengekspor hasil bumi (khususnya beras, kopi, nila). Bukannya menjual rakyatnya, para raja Bali justru membutukan mereka untuk menggarap lahan-lahan pertanian. Dengan demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) di Bali telah dimaksimalkan. Potensi orang-orang Bali berhasil digali dan dimanfaatkan. Di samping sebagai katalisator ekonomi, manusia berhasil diposisikan sebagai makhluk berkebudayaan yang mampu menghasilkan cipta, rasa, dan karsa. Juga tidak kalah penting, ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) berangsur-angsur dihapuskan.
Di Eropa, letusan Gunung Tambora yang menyemburkan berjuta-juta kubik materialnya ke langit memicu hujan salju dan gagal panen. Orang-orang Barat menyebut tahun itu dengan “the year without summer” (tahun tanpa musim panas). Cuaca yang buruk membuat transportasi yang biasanya mengandalkan kuda menjadi kurang nyaman. Banyak kuda disembelih, bukan hanya karena manusia tak memiliki cadangan makanan, melainkan juga karena langkanya makanan kuda.
Sistem transportasi perlahan menjadi kacau. Orang-orang kebingungan untuk melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Rupanya keadaan ini melahirkan inspirasi bagi Karl Drais. Ia mencoba menciptakan alat transportasi yang mendayagunakan tenaga manusia. Bermodal eksperimen-eksperimen yang ditempuh, akhirnya ia berhasil membuat alat sederhana beroda dua bernama draisine yang berbahan kayu. Sebab tidak berpedal, seseorang bisa mengendarainya dengan menjejakkan kaki ke tanah.
Sepeda sederhana ini juga disebut hobby horse yang berarti “kuda-kudaan”. Sebab, tujuan pembuatan alat ini yaitu untuk menggantikan kuda sebagai sarana transportasi. Penemuan ini merupakan titik awal prinsip keseimbangan sepeda modern, di mana hak patennya didaftarkan pada tahun 1818. Dengan demikian, ilham dari ganasnya Tambora menjadikan karya Drais lebih revolusioner. Pasalnya, tahun 1791 Comte de Sivrac hanya berhasil menemukan celeraifere, mesin tanpa penarik hewan yang belum bersetir dan berpedal sehingga tidak bisa berbelok.

Munculnya Kesadaran Literasi
Di samping transformasi ekonomi dan perkembangan teknologi transportasi, kesadaran literasi juga menjadi dampak positif dari meletusnya Gunung Tambora. Gunung, betapa pun menimbulkan kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan luar biasa bagi manusia, ternyata masih memberikan keberuntungan. Sudah tak terhitung lagi berapa karya sastra/fiksi yang lahir lantaran terinspirasi dari gunung. Imajinasi yang ditimbulkan dari gunung menyebabkan sejumlah penulis dan sastrawan berupaya mengabadikannya. Sebut saja dua novel mengagumkan, yaitu Gunung Sukma karya Gao Xingjian (1990) dan Gunung Kelima karangan Paulo Coelho (1998).
Karya sastra dalam negeri berjibaku mengisahkan gunung. Peristiwa meletusnya Gunung Tambora diceritakan dengan apik dalam Syair Kerajaan Bima yang menurut perkiraan filolog Cambert Loir dikarang sebelum 1833 M, sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatannya. Syair karangan Khatib Lukman tahun 1830 M yang tertulis dalam huruf Jawi dengan bahasa Melayu tersebut menyibak kabut sejarah yang meliputi kerajaan Bima.
Dalam syair itu disebutkan peristiwa-peristiwa di Bima pertengahan abad ke-19, yaitu letusan Gunung Tambora, pemakaman Sultan Abdul Hamid, serangan bajak laut, penobatan Sultan Ismail, pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makasar, kontrak Bima, pelantikan Raja Bicara Abdul Nabi, serta kunjungan H. Zollinger ke Sumbawa (Marwati DP dan Nugroho N, 2008: 74).
Bahkan, belum lama ini, Paox Iben Mudhaffar menulis novel setebal 301 halaman berjudul Tambora 1815 yang diluncurkan di Keraton Bima. Bagi pengarang kelahiran 08 Februari 1976 tersebut, pengarang ibarat penjahit yang menjahit serpihan sejarah dengan bahan mentah berupa sejarah, budaya, dan arkeologi.
Sejumlah penulis luar menanggapi imbas meletusnya Gunung Tambora dengan menulis karya fiksi dan non-fiksi. Lord Byron, penyair Inggris, menulis sebuah puisi berjudul “Darkness”. Dalam menggambarkan kegelapan di bumi dan kelaparan pasca letusan gunung dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index tersebut, ia menulis: “I had a dream, which was not all a dream. The bright sun was extinguished, and the stars. Did wander darkling in the eternal space, Rayless, and pathless, and the icy earth. Swung blind and blackening in the moonless air; Morn came and went—and came, and brought no day”.
Adapun buku-buku non-fiksi yang mencoba ‘mendaur ulang’ kisah gunung yang mampu menyebabkan perubahan iklim dunia tersebut antara lain: Tambora: A Killer Volcano from Indonesia (Kathy Furgang, 2005), Encyclopedia of Disasters: Environmental Catastrophes and Human Tragedies (Angus Macleod Gunn, 2007) dan Travels to Sumbawa and the Mountain That Changed the World (Derek Pugh, 2014).

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar