Minggu, 29 Juli 2012

Rangka Sastra dan Sejarah dalam Selubung Rivalitas Anak-Ayah (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 29 Juli 2012)

Dalam disipilin sastra dan sejarah, perselisihan antara anak dengan sang ayah selalu menarik dan menggelitik untuk dijelmakan sebagai bahan kajian. Anak—dalam budaya Jawa—dituntut untuk berperilaku nurut dan manut serta menyesuaikan dengan hal-hal yang berada di lingkungan sekitar. Adapun ayah adalah seseorang yang bertugas melindungi buah hati dari hal-hal yang dapat mengganggu kondisi fisik sekaligus jiwanya. Namun, dalam beberapa kisah, tersebutlah pertentangan antara anak dengan ayah, baik dalam urusan remeh-temeh sekalipun, hingga yang berskala ‘besar’, semisal ideologi dan kepercayaan. Tak ayal, hal tersebut mengantar para pembaca untuk mengernyitkan dahi sambil menelurkan beragam pertanyaan di kepala.
Berdasarkan catatan Tia Meutiawati (2007), nyanyian-nyanyian Hildebrand (Hildebrandslied) merupakan satu-satunya warisan sastra rakyat Jerman dari abad ke-8. Ia mengisahkan sebagian dari Saga DietrichHildebrand berasal dari nama Hildebrand, kepala persenjataan Dietrich von Bern (Raja Rakyat dari Verona).
Menurut saga ini, kepala persenjataan tersebut melarikan diri dari Odoaker ke Raja Bangsa Hunnen (Etzel). Beberapa tahun kemudian, Hildebrand yang meninggalkan seorang anak, datang kembali ke Italia.
Di perbatasan, ia dihampiri oleh seorang pahlawan yang melarangnya masuk ke negara itu. Sebelum timbul perkelahian, Hildebrand menanyakan nama lawannya. Katup mulut lawannya melempar jawaban, bahwa ia adalah Hadubrand, anak Hildebrand. Ketika Hildebrand mengaku ayahnya, Hadubrand enggan percaya; ia telah mengantongi kabar tentang kematian sang ayah. Lantas ia menuduh Hildebrand penipu dan pengecut.
Dalam benak Hildebrand timbullah pertentangan yang menggoyahkan perasaan. Di satu sisi, ia gembira karena bersua kembali dengan buah hati, namun di sisi lain harga dirinya merasa terancam akibat pernyataan anaknya tersebut. Dengan pedih hati ia pun bertarung melawan anaknya sendiri, hingga akhirnya dapat mengalahkan dan memaksanya untuk membenarkan, bahwa Hildebrand merupakan ayah kandungnya.
Pada usia kedua puluh sembilan, Siddharta meninggalkan istana ayahnya, Suddhodana. Padahal, sebentar lagi ia akan menggantikan kedudukan sang ayah sebagai penguasa. Kepergian Siddharta dari istana merupakan suatu hal yang aneh. Ia meninggalkan kekuasaan, justru tatkala kekuasaan itu sudah siap diraih.
Memang mula-mula, Siddharta meniti hidup sebagaimana layaknya putra raja; memperoleh kesenangan yang ia idamkan. Ayahnya senantiasa berusaha agar Siddharta tersingkir dari pemandangan kondisi masyarakat yang bergumul erat dengan penderitaan. Akan tetapi, tatkala tiga hari berturut-turut keluar dari istana, Siddharta menemukan tiga hal: seorang renta, orang sakit, dan jenazah yang ditangisi. Dan, pada hari keempat ia melihat seorang samana (pengembara) dengan jubah jingga dan kepala licin. Wajah samana tersebut menampilkan ketenangan yang mendalam. Semua penampakan ini meneguhkan keprihatinannya dan menghibahkan keteguhan untuk meninggalkan cara hidupnya yang serba mewah.
Kegelisahan Siddharta berlawanan dengan kegelisahan Suddodhana. Kegelisahan Siddharta merupakan kegelisahan karena gugatan sanubari yang tak puas memeriksa penderitaan dalam kehidupan serta berhasrat memburu jawaban. Kegelisahan Suddhodana merupakan kegelisahan guna melestarikan kekuasaan. Kegelisahan Siddharta adalah kegelisahan untuk bebas mencari kenyataan sejati, sedangkan kegelisahan Suddhodana adalah kegelisahan untuk mempertahankan mimpi, kalau perlu dengan menudungi penderitaan dengan merekayasa penghiburan. (A. Sudiarja, 2003: 9).
Penguasa negeri Pajajaran, Prabu Cilihawan, dirundung gelisah. Ia begitu khawatir terhadap pengaruh Ki Anjarwilis, yang kian hari kian membuntang. Atas dasar itulah, ia melempar titah kepada Patih Mangku Praja untuk mengajak Dewi Sumekar bertembung dengan Ki Anjarwilis. Berbekal bokor kencana—yang diletakkan di perutnya—Sang Dewi diminta berpura-pura hamil.
Celaka! Setiba di loka pertapaan, Dewi Sumekar menelan sabda Ki Anjar Wilis; ia benar-benar mengandung. Kemurkaan merayap di sekujur tubuh Prabu Cilihawan. Ia muntab, merasa terhina dengan ulah pendeta digdaya tersebut. Kembali ia memerintahkan Patih Mangku Praja. Ini kali, patih tersebut menerima tugas untuk mengakhiri hayat Ki Anjarwilis.
Kala Ki Ajar Wilis meregang nyawa, jasadnya raib, diiringi suara kutukan menggelegar, “kelak Dewi Sumekar melahirkan bayi laki-laki. Lewat tangannyalah akan terbalas kematiannya.”
Jangkap sembilan bulan, Dewi Sumekar menetaskan janin dari rahimnya. Malangnya, bayi tak berdosa itu dibuang ke sungai Kerawang. Saat berburu ikan, sepasang suami istri menemukannya. Karena keduanya bertemu dengan burung Ciung (semacam menco) dan Wanara (kera), maka bayi itu diberi nama ‘Ciung Wanara’.
Ciung Wanara ditumbuhbesarkan oleh seorang pandai besi. Inilah yang kemudian mengantarnya mahir membuat senjata tajam. Bahkan, ia sanggup membuatnya hanya dengan tangan.
Pada suatu hari, ia pergi ke kerajaan Pajajaran. Dengan kesaktiannya, ia memasukkan Prabu Cilihawan ke dalam tirai besi, menguncinya dari luar, lalu membakar ayah kandungnya tersebut. Dalam serejang, Ciung Wanara berhasil merebut tahta di Pajajaran dengan julukan Harya Banyak Wide. (Suwardi Endraswara, 2009: 193).
Saat bermain di tepi Sungai Nil, perempuan cantik bernetra cahaya menemukan sebuah peti tengah terapung-apung. Alangkah terkejutnya ia, kala mendapati peti tersebut berisi bayi yang masih merah dan lucu. Seketika, hati perempuan itu—yang merupakan permaisuri—terenyuh dan ingin sekali merawatnya. Apalagi, ia sudah sangat lama mendambakan seorang anak. Tanpa bertafakur panjang, jabang bayi digendong dan dibawa pulang. Setiba di istana, suaminya, sang raja, enggan menampung bayi itu dalam istana. Namun sebab desakan istrinya, dengan berat hati ia bersedia.
Sejak balita, si kecil sudah memperlihatkan perlawanan. Sering kali ia menarik jenggot tebal yang tumbuh riang di janggut sang raja. Merasa direndahkan, sang raja hendak melenyapkan nafas si kecil. Mengetahui hal itu, istrinya melarang seliat tenaga dan membujuknya.
Si kecil selamat dan hidup hingga dewasa. Ia paham bahwa apa yang dilakukan raja sudah kelewatan. Guna menundukkan kepongahan raja, ia menadah tantangan raja untuk beradu kekuatan. Di loka yang ditentukan, raja mengerahkan beberapa ahli sihir terkemuka. Para ahli sihir tersebut melempar potongan tali yang lantas beralih wujud menjadi ular-ular kecil. Raja pun terkesima. Namun, hanya sementara. Pandangannya tercekat ketika beberapa ular itu dilahap habis oleh seekor ular raksasa. Ular yang tak lain pun tak bukan merupakan persulihan rupa dari tongkat anaknya. 
Bayi yang kemudian menjadi pemuda gagah perkasa itu adalah Musa, sedangkan raja—si lalim, congkak, bahkan mengaku sebagai Tuhan—adalah Fir’aun, yang khatamnya mati di tengah samudra kala mengejar Musa.

Yogyakarta, 2012

Negeri Tanpa Perempuan (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Padang Ekspres" edisi Minggu, 29 Juli 2012)

Ini adalah persyaratan sangat berat bagi Raja Crob. Jika urung mendapatkan cairan ajaib itu, maka patut ia lenyapkan nyawa seluruh gadis yang berdiam di negerinya, guna menciduk darah terpendam dalam tubuh mereka dan menggelontorkannya pada sang istri—yang terbaring selama 9 atau 10 tahun.
Duduk tercenung di beranda istana, kepala Raja Crob merekam percakapannya tadi siang dengan Nermus:
“Jika Baginda ingin melihat permaisuri terbebas dari penyakitnya, maka Baginda layak menemui lima makhluk buruk rupa yang bercokol di gunung Yihho. Sebuah gunung yang belum suah dijamah manusia. Sekelilingnya dipenuhi ular dan kalajengking raksasa; siap melumat daging dan tulang manusia yang nekat mendekati gunung itu. Di sana sepi udara. Jadi, sesiapa yang bertandang dengan perbekalan udara kurang, maka ia akan dengan mudah berkalang tanah. Di tempat asing dan mengerikan itulah, hidup lima wanita dengan satu biji telinga. Guna sekadar menangkap suara, telinga itu mereka gunakan silih berganti.”
“Telinga itukah yang aku cari?”
“Bukan. Bukan, Baginda. Salah satu dari mereka mempunyai cairan luar biasa yang sanggup mengobati sakit permaisuri.”
“Jika gagal mendapatkannya?”
“Permaisuri tak bisa sembuh.”
“Selamanya?”
“Selamanya, Baginda. Atau….”
“Atau apa? Cepat katakan!”
“Baginda hendak melakukan apa saja demi kesembuhan Permaisuri?”
“Ya.”
“Jika tak berhasil melakukannya, maka satu-satunya cara yaitu dengan membunuh semua perawan yang ada di negeri ini. Cuma darah merekalah yang mampu mengganti keampuhan cairan itu.”
“Selain itu sungguh tak ada?”
“Sungguh, Baginda. Bila hamba berdusta, penggallah leher hamba. Tapi….”
“Apa lagi?”
“Setelah perawan di negeri ini habis, para istri dan janda tak akan menitiskan bayi perempuan. Demikianlah yang hamba gali dari kitab Meerhusia.
***
Demi menggayuh tujuan, genap Raja Crob mengirim 100 ksatria tangguh. Walakin, celakanya, nyawa mereka tumpah sia-sia sebelum mencapai kaki gunung Yihho. Ada yang kehabisan udara di hutan Lekku. Ada yang dada dan isi perutnya tercabik-cabik. Ada yang anggota tubuh satu dengan lainnya terpisah. Ada yang paha dan kepalanya luluh lantak dikeremus ular. Ada pula yang sekujur badannya gosong tersengat kalajengking.
Pungkasnya, terpaksa Raja Crob menitahkan Lehama. Jejaka yang tiada lain pun tiada bukan adalah putra kandungnya. Sebenarnya, kurang tepat jika dikatakan bahwa Raja Crob melempar tugas kepada bujangnya. Sebab, pangeran tampan berdagu lancip itulah yang memohon agar dianugerahi restu untuk memetik obat bagi sang ibu.
“Izinkan putramu ini mengabdi kepada bunda, Ayah.!” Kalam tersebut berulang-ulang meluncur dari katup mulut Lehama.
Raja Crob menelan gamang tatkala melayani permintaan putra semata wayangnya. Padahal, sesuai aturan kerajaan, ialah yang paling berhak mewarisi tahta, jika suatu saat Raja Crob tiada. “Bagaimana jika kau gugur, Anakku. Siapa yang bakal melanjutkan pemerintahan ayah. Sedang pamanmu, Nerl, pemuda dungu yang tak tahu-menahu urusan kerajaan. Saban hari kerjanya mabuk-mabukan, berburu kijang, dan bermain perempuan.” Batinnya memberontak.
Dengan berat hati, Raja Crob meloloskan desakan Lehama, setelah terlebih dahulu putranya itu mengancam hendak bunuh diri dengan membakar tubuh hidup-hidup.
Pada selembar pagi berselimut embun, Lehama bersiap menuntaskan hasrat. Dengan perbekalan udara melimpah, baju sakti buatan Verho, serta panah emas beracun yang dipesan dari daerah utara, Lehama akan menumpas kebengisan ular dan kalajengking raksasa di gunung Yihho serta membawa pulang barang istimewa yang selama ini dikejar-kejar para pendahulunya.
Melepas kepergian sang putra, netra raja berkaca-kaca. Betapa ia sedih bercampur bangga melihat keberanian Lehama. Keberanian yang dikantongi anak berusia 18 tahun. Keberanian yang raja sendiri barangkali tak punya.
***
Seluruh gadis sirna. Tiada lagi kelembutan. Tiada lagi orang bernyanyi tentang keindahan alam hingga mengantar burung hemi beterbangan riang di cakrawala. Betul-betul biadab. Atas perintah raja, prajurit-prajurit bertopeng hitam dan membagul pedang jangkap menghabisi mereka satu persatu. Tubuh mereka dibakar. Sedang darah mereka dikumpulkan lalu dicemplungkan dalam guci besar.
Rehum, tabib ulung dari Acalu, menggenggam tanggung jawab menjaga permaisuri dan mengembalikan kondisinya. Lanang sepuh berjenggot putih itu bertugas mendidihkan darah perawan dalam kuali dengan campuran ramuan yang diperlukan. Ia juga yang dengan tekun mengalirkannya ke lidah permaisuri.
Kurang lebih 13 bulan, permaisuri menenggak minuman asin dan sedikit asam itu. Secolek demi secolek, racun ganas yang disisipkan dalam makanannya beberapa tahun lalu meraib. Begitulah kekuasaan. Selalu saja terbit mereka yang bernafsu mengganyang kenyamanan di dalamnya. Neha, dayang istana, merupakan salah satunya. Nekat ia meracuni permaisuri dengan daun kulamayanu. Daun beripuh yang lekas mengakibatkan manusia menderita selebar umurnya. Tunai ia membuat permaisuri lumpuh, meski khatamnya harus menjemput ajal di tiang gantungan.
Memirsa istrinya mulai pulih, hati Raja Crob mengayuh gembira. Kegembiraan yang terkadang berbaur kesedihan jika teringat dengan meninggalnya Lehama.
Di sehelai malam yang ditentukan, raja mengundang segenap keluarga istana, ksatria, dan prajurit; guna merayakan kesehatan permaisuri. Domba panggang, kuda betina bakar, dan sup yemu menjadi menu utama dalam pesta mewah itu. Alangkah nikmatnya. Semua menghirup udara kebahagiaan yang berseliweran memenuhi ruang istana.
***
Bagi penduduk Fenn, perempuan ialah makhluk langka tiada duanya. Beberapa dari mereka gandrung bepergian ke negeri lain untuk mencerap sosoknya. Bagaimana tidak. Di negeri sendiri cuma ada satu tipe manusia: lelaki.
Demi membayar gejolak jiwa, rela mereka berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun merantau dengan bekal seadanya: roti kering, buah toung, serta air sekempit. Sebalik dari perantauan, lekas mereka ceritakan perjalanan yang begitu menyenangkan. Terlebih lagi—ini yang paling dinanti-nanti—keelokan serta kesempurnaan yang dikantongi perempuan. Betapa mereka tercekat sekaligus terbius dengan aroma yang berhembus dari pori-pori perempuan, rambut yang menjuntai anggun sepundak atau sepinggang, juga semburat cahaya yang muncrat dari dua bola matanya. Cahaya yang muskil mereka temukan dari turunan Adam.
Warita yang dilontarkan para pelancong merupakan hiburan tersendiri bagi sesiapa yang merindukan sosok perempuan. Lebih-lebih bagi pejantan yang belum berani meninggalkan kampung kelahiran maupun anak-anak di bawah umur 15 tahun. Mitos yang menjalar dari lisan ke lisan, bahwa lelaki kecil ringan terserang kegilaan bila nekat keluar dari negerinya. Tak ayal, salah satu angan mereka saat besar nanti yaitu bertembung dengan makhluk berjuluk perempuan.
Guna menyalurkan cinta dan kasih sayang, mayoritas penduduk Fenn memilih berbagi hati antara sesama jenis. Sudah barang tentu, dalam istiadat mereka, ini bukanlah hal yang najis. Dalam rumah-rumah biasa ditemui sepasang suami-istri berkelamin lelaki. Cara memperoleh keturunan? Mereka menyiasati dengan memanfaatkan rahim hewan ternak untuk menampung cairan sperma. Dalam jangka sekian bulan, kambing atau sapi atau kerbau tersebut akan melahirkan orok manusia berpadu binatang.
Beruntunglah bagi orang tua yang mendapati si jabang bayi berkepala manusia dengan anggota badan berwujud binatang. Dengan bentuk semisal ini, masih dimungkinkan mampu berbicara layaknya manusia. Buntungnya, jika orok keluar dengan kepala binatang, berperut manusia, dan sisanya berwujud binatang. Ataupun serata badan berwujud manusia sedang kepala berupa binatang. Maka orok tersebut mustahil sanggup berbahasa (manusia). Paling-paling, guna berkomunikasi dengan ayah-ibunya, ia mengandalkan lenguhan dan lenguhan.
Bagi yang disergap bosan, menyalurkan nafsu kepada hewan ternak merupakan alternatif terbaik. Tak heran, bila sapi-sapi yang merumput di bukit Bohire kerap bunting meski tak dialiri sperma oleh empunya.
***
Siang itu, menggelesot santai dekat bebatuan, Nerbu mengajarkan pelajaran berharga bagi sang cucu.
“Berkunjung ke padang Poriz dengan melempar kutukan: ‘laknat bagi sang raja’, adalah kebiasaan yang diwariskan nenek moyang. Kau tahu siapa yang dimaksud raja?”
“Siapa, Eyang?”
“Ialah raja ke-6 kita. Raja Crob namanya.”
“Kenapa orang-orang mengutuknya? Apa kesalahan yang diperbuat?”
“Ketahuilah, Cucuku! Di tangannyalah dulu semua perawan dibumihanguskan. Itulah mengapa kita selalu berbondong-bondong kemari tengah malam saat purnama memeluk bulan. Karena pada waktu tersebutlah, mereka dibunuh secara keji dan brutal.”
Sejak memafhumi peristiwa berdarah tersebut, nama keturunan penduduk Fenn disingkirkan dari huruf c, r, o, atau, b. Kenapa? Supaya kekejaman yang melekat pada diri Raja Crob enggan menular.
Punahnya perawan dua abad silam, nyatanya membuahkan ketidaknormalan dan kesengsaraan yang amat mendalam. Begitulah keadaan penduduk Fenn hingga sekarang. Sesungguhnya, kata-kata fenn sendiri berpunca dari bahasa kuno yang berarti perempuan. Aneh memang, negeri berstatus ‘perempuan’, namun tiada satu perempuan pun tinggal di dalamnya. Igauan anak-anak—berkepala manusia—ketika tidur dengan mengucap fenn inilah yang lantas menjadikan negeri mereka tersohor dengan sebutan itu.

Yogyakarta, 2012

Membangun Peradaban Melalui Perpustakaan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Sabili" edisi Juli 2012)

Perpustakaan merupakan sumber yang didayagunakan untuk menggayung percikan pengetahuan. Di dalamnya tersimpan berbagai ragam khazanah keilmuan yang leluasa mengentas umat manusia dari lembah kebodohan dan ngarai ketidaktahuan. Koran, buku, majalah, manuskrip, serta lembaran-lembaran lainnya mendermakan secercah cahaya yang dapat menolong anak Adam dari jurang kegelapan dan kehancuran.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan merupakan jendela dunia yang mengantarkan para pembaca ke cakrawala pengetahuan tak berhingga, sehingga mereka mengetam apa yang sebelumnya tidak diketahui juga terlewatkan dalam kehidupan sehari-hari. Wawasan yang dimiliki seseorang akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya buku yang dipelajari. Ide-ide cemerlang dan brilian akan lahir, karena apa yang ditawarkan dari buku-buku yang dibaca mempengaruhi cara berpikir serta mengambil keputusan. Tak heran, jika muncul negara-negara besar sebab didorong oleh budaya membaca yang mengakar.
Sebagai contoh Jepang. Negara yang berjuluk Negeri Sakura tersebut mampu menyaingi Amerika Serikat atau Eropa berkat adanya minat membaca yang kuat. Kecanduan Jepang dalam membaca patut menjadi teladan bagi negara-negara lain. Tak jarang, di tempat-tempat umum orang-orang Jepang membawa buku, komik, koran atau majalah. Ketika bepergian, bekal utama yang diselipkan dalam koper atau tas ransel adalah bahan bacaan. Tujuannya tiada lain adalah untuk menambah wawasan atau sekadar menghindarkan diri dari kepenatan.
Merujuk pada Koran Tempo (6 Mei 2001), membaca digunakan Jepang sebagai cara paling tepat dan efektif dalam rangka memulihkan keadaan negerinya yang gagal dalam Perang Dunia II. Pada waktu itu, tanah Hiroshima dan Nagasaki porak-poranda akibat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat. Dengan bermacam pertimbangan, akhirnya Jepang membangun kembali negerinya dengan memasukkan ratusan bahkan ribuan buku dari luar, menerjemahkannya, lalu menganjurkan masyarakatnya untuk terus membaca. Hasilnya sungguh luar biasa. Hanya dalam rentang waktu kurang dari 30 tahun, Jepang mampu bangkit menjelma negara yang powerful dalam bidang ekonomi dan teknologi serta disegani di seantero semesta.
Dari sini, timbul hipotesa bahwa tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa di antaranya bisa dicermati dari sedikit banyaknya para penggandrung buku dan perpustakaan di dalamnya.
Sudah begitu banyak bukti mengurai bahwa perpustakaan sebagai salah satu sarana dalam rangka mengangkat harkat manusia sebagai makhluk berpikir (hayawan nathiq) yang turut serta mengembangkan nilai-nilai kebudayaan yang universal. Peradaban sebuah bangsa akan tumbuh berkembang dengan didirikannya banyak perpustakaan.
Perpustakaan kampus yang menyajikan beraneka bahan bacaan akan menggenjot minat belajar dan laju keingintahuan (curiosity) mahasiswa. Efek positifnya, angka ketidaktahuan mahasiswa bisa ditekan. Sedangkan tingkat kepandaian mahasiswa akan menunjukkan grafik yang signifikan. Oleh sebab itulah, memberdayakan perpustakaan kampus sama saja mengajak mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri dalam proses berpikir yang terus menerus dan berkelanjutan.

Mendirikan Perpustakaan Ideal di Kampus
Untuk menyemarakkan perpustakaan kampus sebagai pusat bergumulnya pecinta ilmu pengetahuan, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah. Harus ada langkah-langkah riil yang diambil secara terencana, teratur, dan berbasis tujuan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan akan terealisir dengan mudah. Bagaimanapun juga, proses atau tahapan yang dilalui dengan asal-asalan akan membuahkan penyesalan dan menuai hasil yang kurang memuaskan.
Hal pertama yang dilakukan yaitu menumbuhkan kesadaran mahasiswa atas pentingnya membaca dan mengunjungi perpustakaan kampus sejak dini. Ini digencarkan dengan adanya sosialisasi aktif melalui seminar, lokakarya, juga forum-forum lain yang melibatkan mahasiswa. Pun dengan penyebaran pamflet dan spanduk. Langkah ini ditujukan untuk menginformasikan kepada mahasiswa bahwa membaca memiliki banyak manfaat, antara lain: memahami penggunaan bahasa yang baik dan benar (sesuai situasi atau konteks pembicaraaan), mengajak untuk berinstrospeksi diri dan mengevaluasi nilai, perasaan, dan hubungan dengan orang lain, selain itu juga menjauhkan diri dari penyakit lupa dan menunda kepikunan. Dengan mengunjungi perpustakaan kampus, akan memudahkan mahasiswa memetik manfaat-manfaat tersebut.
Hal kedua yaitu memperhatikan perpustakaan kampus yang sudah ada. Perpustakaan yang sepi pengunjung dan kurang mendapat tempat di hati mahasiswa seharusnya diperbaiki dan dibenahi secara bertahap. Jangan sampai perpustakaan yang ada dibiarkan amburadul, tak terawat, kotor, dan tampak seram, sehingga menyebabkan mahasiswa enggan berkunjung. Perpustakaan kampus yang comfortable serta memiliki mode dan desain bangunan yang menarik pasti memancing mahasiswa untuk mendekatinya. Dengan begitu ada harapan besar perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan, bahkan mengalahkan tempat-tempat lainnya yang hanya menawarkan kesenangan sementara.
Hal ketiga yaitu pembangunan perpustakaan yang digalakkan pihak rektorat secara besar-besaran disertai dengan melimpahnya bahan bacaan di dalamnya. Tentu, bagi kampus yang belum mempunyai perpustakaan. Ini dinilai lebih bermanfaat daripada menghambur-hamburkan rupiah untuk memperluas taman di depan kampus ataupun membuat pagar kampus tinggi menjulang. Bukan tidak penting membuat kampus terlihat megah dengan beberapa unsur pendukungnya. Akan tetapi, gedung perpustakaan yang digunakan untuk memperkaya wawasan mahasiswa lebih mendesak untuk dibangun, karena menyangkut kebutuhan mahasiswa untuk selalu mengasah pikiran dan melakukan dialektika terhadap wacana yang bertebaran. Dan itu bisa dilaksanakan di antaranya dengan menyelami berbagai referensi yang ada di perpustakaan kampus.
Perpustakaan mewah yang menampung ribuan bahkan jutaan referensi akan terhindar dari kesan pemborosan dan berlebihan. Hal tersebut justru menandakan bahwa pihak rektorat mempunyai respon yang cukup tinggi terhadap kemajuan mahasiswanya. Dengan pembangunan perpustakaan tersebut, terdapat indikasi kuat yang menyebutkan bahwa pihak rektorat memperhatikan masa depan mahasiswa.
Hal terakhir yang perlu diemban yaitu mempelajari lebih dalam profil perpustakaan-perpustakaan berkaliber dunia sekaligus menggali rahasia mengapa perpustakaan-perpustakaan tersebut merengkuh kesuksesan dan selalu dikenang sejarah. Kemudian yang terpenting adalah mengaplikasikannya pada perpustakaan kampus yang akan dibangun ataupun yang hanya mengalami perombakan. Mulai dari manajemen, pelayanan, fasilitas, sirkulasi referensi, pemilihan tema bacaan, dan lain sebagainya.
Dengan dilaksanakannya langkah-langkah di atas, diharapkan lahir perpustakaan ideal yang mampu membangkitkan hasrat mahasiswa untuk senantiasa menghiasi kehidupan dengan bergelimangnya pengetahuan, sehingga kelak timbul peradaban yang adiluhung dan gilang-gemilang. 

Yogyakarta, 2012

Selasa, 24 Juli 2012

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Radar Bojonegoro" edisi Minggu, 22 Juli 2012)


Hanya Seribu

nak, ibu tak punya lagi
buat beli baju
hanya dua ribu:
seribu
untuk lauk kakek
seribu
buat bekalmu
ayahmu tak lagi kerja
tak kuat,
tak bertenaga
adikmu masih SD sudah putus
ku tak mau kau juga putus

nak, ingat hanya seribu
tak ada lagi
jangan belikan jamu
atau racun tikus
biarkan tikus-tikus keliaran
mereka juga ingin hidup

nak, bila kau ingin kentut
kentutlah!
karena kentut tak hanya
milik mereka
jika kau ingin muntah
muntahlah!
karena muntah punya siapa saja

nak, hanya seribu
beli impianmu!
borong citamu!
kau punya segalanya
bukan hanya mereka

Malang, 2008

Selasa, 10 Juli 2012

Gemuruh Buku ‘Proses Kreatif’ (Esai_ Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Riau Pos" edisi Minggu, 8 Juli 2012)

“Creativity means believing you have greatnessKreativitas merupakan indikasi bahwa kau (manusia) memang memiliki keunggulan yang luar biasa.” (Dr. Wayne W. Dyer)
***
Dalam satu dasawarsa terakhir, industri buku di Indonesia diramaikan dengan hadirnya buku-buku ‘proses kreatif’—yang merupakan sebiji terobosan unik sekaligus menggelitik dalam menggayuh minat pembaca. Bagaimana tidak? Dengan menganggit buku bertajuk ‘proses kreatif’, pengarang berusaha menyuguhkan kiat terbaik dalam rangka menggapai hasil yang diidamkan. Tak ayal, berbondong-bondonglah orang-orang—terutama kaum penggandrung keserbainstanan—menyambar dan mengunyah lahap-lahap nutrisi yang dijanjikan.  
Lahirnya buku-buku ‘proses kreatif’, dalam perjalanannya, ternyata sanggup merekacipta semacam simbiosis mutualisme. Benar. Pengarang yang berhasrat karyanya dinikmati mendapat tempat, sedangkan para pembaca seolah menadah durian runtuh. Pasalnya, mereka dibantu oleh ikhtiar pengarang dalam rangka memenuhi aspirasi.

Kreativitas
Dalam memuluskan niatnya, pengarang dituntut kreatif. Kreatif dalam arti mampu mewujudkan terobosan aktual dalam wilayah yang digarap. Sebagai misal, pengarang buku proses kreatif penyair besar harus sanggup mendermakan cara mudah dan jitu untuk menulis puisi dengan baik serta bermutu.
Jika ditelusuri lebih dalam, banyak juga buku ‘proses kreatif’ dengan memuat kiat-kiat yang berhasil dikumpulkan oleh seorang editor. Dalam hal ini, tentunya editor tidak bertugas menyajikan idenya sendiri, melainkan hanya menukil pendapat dari para tokoh dan ahli dalam bidangnya.
Demikianlah, baik para pengarang maupun editor buku ‘proses kreatif’, layak mendayagunakan kreativitasnya. Kreativitas yang—menurut Tim Pustaka Familia (2006) adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru—patut dijunjung tinggi guna memetik hasil yang sempurna.

Proses Kreatif
Buku-buku ‘proses kreatif’ mencakup berbagai ragam bidang. Mulai dari kesusasteraan, kewirausahaan, pendidikan, hingga organisasi. Berikut disebutkan sebagian di antaranya.
Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Buku dengan editornya Pamusuk Eneste ini terdiri dari 3 jilid. Jilid pertama memuat kepengarangan Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Gerson Poyk, Umar Kayam, Nasjah Djamin, Sapardi Djoko Damono, Sori Siregar, Danarto, Hamsad Rangkuti, Satyagraha Hoerip, Abdul Hadi W.M., dan M. Poppy D.H. Jilid kedua memuat S. Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Trisnoyuwono, Wildan Yatim, Nh. Dini. Budi Darma, Ajip Rosidi, Putu Wijaya, Jullius R.S., dan Arswendo Atmowiloto. Adapun jilid ketiga memuat Linus Suryadi AG, Darmanto Jatman, Titis Basino P.I, Rendra, Saini K.M., B.Soelarto, Toety Heraty, Y.B. Mangunwijaya, Muhammad Ali, Ramadhan K.H., Utuy T. Sontani, dan Achdiat K. Miharja.
Mencuplik pendapat Putu Wijaya (2001), bahwa selaku penerobosan terhadap berbagai kendala, proses kreatif merupakan kiat untuk berkelit, melompat, dan menerobos berbagai hambatan. Terobosan itu kelak melahirkan bentuk pengucapan yang lain, lebih segar, mungkin sekali baru, sehingga memungkinkan kebenaran yang hendak diutarakan tidak tercecer atau terjegal di tengah jalan. Caranya, misalnya dengan memainkan sudut pandang alternatif, bahasa, penarikan dimensi (zoom out), teknik bertutur, dan sebagainya. 
Cara Gila Jadi Pengusaha, Virus Entrepreneur jadi Pengusaha Sukses! Buku yang ditulis oleh Purdi E. Chandra dan diterbitkan tahun 2007 ini menyebutkan bahwa untuk menjadi pengusaha haruslah kreatif. Tiada hari tanpa kreativitas. Ini mengingat macamnya usaha di Indonesia belum sebanyak di negara-negara lain. Di Amerika Serikat misalnya, ada bisnis langka dan belum memasyarakat di Indonesia, yakni menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi. Jadi sebenarnya banyak macam usaha yang bisa dikerjakan, asal mau kreatif. Dalam menjalankan usaha juga harus kreatif. Maka, tak ada salahnya kalau suasana di perusahaan diciptakan iklim yang kondusif untuk kreatif. Dengan begitu, ide-ide kreatif akan senantiasa bermunculan. Hanya saja, kreatif itu memerlukan proses. Jadi pada awalnya, untuk menjadi kreatif perlu persiapan, meski secara tidak formal.
Belajar Matematikaku, Pembelajaran Matematika secara Visual dan Kinestetik. Dalam buku susunan Iwan Zahar dan terbit pada tahun 2009 tersebut, dituturkan bahwa terdapat upaya menimbulkan proses kreatif pada anak dengan matematika. Sebuah proses kreatif yang diteliti oleh Helmholtz dan Henry Poincare, kemudian disempurnakan oleh Jacob Getzels. Proses tersebut berlangsung dalam diri manusia, bermula dari “First Insight” (mencari problem yang belum pernah dibuat sebelumnya), “Saturation” (memberi nama pada problem dan mengumpulkan data), “Incubation” (memvisualisasikan data yang diterima), “Aha!” (timbulnya ide), dan “Verification” (ide dijabarkan, dibuktikan, dianalisis, kemudian disusun urutan pengerjaannya). “First Insigt”, “Incubation”, dan “Aha!” menggunakan belahan otak kanan, sedangkan “Saturation” dan “Verification” memanfaatkan belahan otak kiri.
Semua Orang Bisa Hebat. Buku besutan Hillon I. Goa dan diluncurkan oleh Grasindo ini menjelaskan bahwa dalam membangun tim yang hebat, unsur pertama ditentukan oleh adanya sinergi. Sinergi sangat tergantung pada kreativitas para anggota tim dalam memadukan segala sumberdaya menjadi inovasi yang memberi nilai tambah signifikan. Pengalaman akan sampai pada pemahaman bahwa suatu inovasi akan terjadi melalui proses kreatif tertentu. Kreativitas tak ubahnya seperti penciptaan sesuatu yang baru, yang menuntut penguasaan informasi sebanyak mungkin atas hal-hal yang sudah ada. Oleh karena itu, ada tiga langkah mengembangkan kreativitas, yaitu melupakan semua yang diketahui, mengingat semua yang diketahui, lalu mengatur ulang semua yang diketahui. Adapun hambatannya di antaranya adalah asumsi, penghakiman, dan takut kegagalan.

Yogyakarta, 2012

Daging Mujair dari Raisa (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Berdi" edisi 4 Juli – 3 Agustus 2012)


Minggu itu, Bu Hami pulang dari pasar. Ia membawa sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya. Ia juga tak lupa membelikan dua ikan mujair kesukaan Raisa.
Sehabis cuci tangan, Bu Hami langsung menuju dapur. Ia segera menyiapkan hidangan istimewa. Apa yang diborong dari pasar bakal dijadikan menu santap siang. Paginya, ia sekeluarga memilih bubur ayam sebagai menu sarapan. Kemarin, Bu Hami bilang kepada Raisa kalau ia akan pergi sendiri ke pasar. Biar Mbok Darmi bisa menengok kampung halaman. Kasihan, sudah hampir setahun pembantunya itu tak pulang.
Raisa senang sekali. Senyumnya kian mengembang kala melihat sang bunda memegangi ikan mujair. “asyik, sayur santan ikan mujair” pekiknya kegirangan.
Raisa sangat bangga dengan sang bunda yang suka menepati janji. “Jika Raisa mampu menamatkan dongeng ini, ibu akan buatkan sayur santan ikan mujair”. Begitulah suatu hari Bu Hami bertutur kepada Raisa.
Aroma masakan mengundang Raisa menuju ruang makan. Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya Raisa akan menikmati menu kesukaannya. Di atas meja tersedia sayur brokoli dan udang kecap. Ialah menu pilihan ibu dan ayahnya. Sedangkan di bagian tengah agak ke samping, terdapat semangkuk sayur santan ikan mujair.
Ayah dan ibunya menyantap hidangan begitu lahap. Adapun Raisa, ia hanya menghabiskan beberapa suap nasi. Ikan mujairnya juga masih sisa banyak.
“Kenapa Raisa? Kok makannya sedikit. Kamu sakit, ya?”
“Tidak kok, Bu.”
Sekejap kemudian Raisa keluar dengan membawa sisa ikan mujairnya. Di depan pintu belakang, ia mengundang kucingnya. Ia mengulurkan ikan mujairnya untuk dilahap hewan piarannya itu.
***
Bu Hami tergolong perempuan pintar memasak. Oleh sebab itulah, Raisa lebih suka membawa bekal makanan dari rumah. Ia sangat jarang jajan di kantin. Bagi Raisa, masakan ibu merupakan masakan terlezat di dunia.
Pagi itu, Bu Hami membawakan bekal nasi dan sayur santan ikan mujair. Raisa sangat senang. Ia begitu bersemangat berangkat ke sekolah.
Siangnya, saat membuka kotak Raisa, Bu Hami kaget. Ternyata bekal anaknya masih tersisa. Meski nasi dan kuahnya ludes, separuh ikan mujair masih tergolek. Dengan membelai rambut anaknya, Bu Hami bertanya lembut, “kenapa ikannya gak dihabiskan, Raisa?”
Dengan polos Raisa menjawab, “itu buat Si Manis, Bu. Masa dari dulu cuma kebagian duri dan kepala. Pasti ia senang, kalau diberi daging.”
Mata Bu Hami tersenyum bangga dengan buah hatinya. Ia berjanji akan sering membuatkan sayur santan ikan mujair untuk Raisa.

Yogyakarta, 2012