Jumat, 26 Desember 2014

Alkoholisme, Antara Harapan dan Balas Dendam (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian “Jawa Pos” edisi Jumat, 19 Desember 2014)

Miris. Itulah kesan kita saat mendengar berita kematian warga akibat minuman keras (miras) oplosan. Hal ini tentu saja merupakan isu seksi yang beberapa pekan menjadi trending topic di koran, televisi, maupun media sosial.
Jika kita perhatikan, para korban peristiwa tragis-melodramatis tersebut adalah orang-orang berlatar ekonomi pas-pasan. Orang-orang dengan kategori sosial menengah-lapisan bawah (lower-middle class) yang rela merogoh kocek demi mereguk kesenangan dan kepuasan sesaat.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali inilah peribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang dialami orang-orang kecil di atas. Selain berjuang melawan racun yang bersarang dalam tubuh, mereka juga harus menelan kesialan lain berupa aksi penyalahan beragam pihak atas tindakan mereka.
Padahal, mereka hanyalah korban dari oknum yang bernafsu mencari segebok keuntungan, meskipun dengan mengesampingkan kepentingan orang lain. Tanpa memikirkan imbasnya, bahan-bahan mengandung racun dicampurkan pada miras beralkohol. Hanya dengan takaran 30 mili liter, sudah cukup mengundang ajal. Sebab, saat menenggak miras oplosan itulah tubuh manusia akan mengubah metanol menjadi formaldehida atau formalin.
Dalam logika produsen dan penjual miras oplosan, hak orang lain halal dikorbankan asalkan kepentingan pribadi (private interest) bisa terwujud. Produksi miras oplosan terus berlanjut dikarenakan hanya bermodal kecil, seseorang bisa meraup untung puluhan juta hingga miliaran rupiah. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa minuman beralkohol legal lebih sulit didapat karena penjualannya dibatasi.
Korba-korban miras oplosan semakin tersudut, karena selama ini, kita lebih disibukkan dengan data statistik mengenai maraknya kriminalitas, meningkatnya degradasi moral, menurunnya tingkat kecerdasan, dangkalnya kebudayaan, serta rentannya hubungan sosial, sebagai dampak negatif konsumsi miras (alkoholisme). Padahal, rasanya kurang berimbang, jika kita terburu-terburu menuding mereka sebagai kambing hitam tanpa menggali lebih dalam motif dasar mengapa mereka mengonsumsi miras.
Bila ditelisik, ada sejumlah alasan mengapa akhir-akhir ini alkoholisme begitu marak. Pertama, ia menjadi final solution bagi orang-orang kecil saat sudah tidak ada yang dapat diharapkan. Mereka sudah mentok dengan kehidupan yang lebih berpihak pada orang-orang berdompet tebal.
Dengan mabuk, ada keyakinan bahwa mereka masih menyimpan harapan di hari esok. Harapan yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar fatamorgana. Dalam minda mereka, seolah terpatri slogan penghibur: “kesusahan boleh datang silih berganti asalkan satu kesenangan bisa diraih hari ini”. Mereka sadar bahwa sesaat setelah pengaruh miras hilang, mereka akan bergaul kembali dengan penderitaan.
Kedua, alkoholisme merepresentasikan balas dendam multidimensional; balas dendam terhadap harga kebutuhan yang meroket, pejabat publik yang sesungguhnya hanya pelayan justru berperan sebagai juragan, koruptor yang sesuka hati menggasak perhiasan Ibu Pertiwi, serta beragam kesulitan yang kian hari kian sukar dihilangkan.
Ketiga, budaya tanding (counter-culture). Dengan menenggak miras, orang-orang kecil bermaksud mendeklarasikan eksistensi mereka. Dengan miras berkelas ecek-ecek, mereka ingin menandingi kebiasaan konglomerat yang menghabiskan jutaan rupiah sekali teler. Mereka ingin berkoar bahwa meskipun bermodal murah, toh efek melayang yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, atau bir.
Keempat, upaya pergeseran status sosial. Miras, bagi orang-orang kecil, adalah salah satu sarana agar status sosial mereka berubah. Imitasi terhadap gaya hidup konglomerat yang gemar mabuk dapat menyebabkan status sosial terdongkrak. Hal ini didukung dengan fakta historis yang menunjukkan bahwa pada 1996, sebuah  tim arkeolog menemukan sisa-sisa anggur berusia 7400 tahun di pegunungan Zagros bagian Utara Iran. Di sana terdapat gua dengan sejumlah ruangan ritual yang menyimpan kendi-kendi besar berisi buah-buahan yang dikeringkan seperti anggur, prune, kenari, dan almond (Fitria, 2011).
Dalam pandangan Mitchell S. Rothman, antropolog dan ahli Chalcolithic di Widener University, saat itu arus industri dan teknologi sedang berkembang. Ada kecenderungan orang untuk melahirkan perbedaan sosial. Ritual dengan meminum sari buah yang memabukkan, di samping sebagai sarana memuja para dewa, ternyata juga menunjukkan bahwa mereka yang terlibat di dalamnya merupakan orang-orang istimewa.
Dengan mengetahui motif dasar alkoholisme, kita berharap agar para penegak hukum tidak sembarangan menyelundupkan orang ke jeruji besi. Ingat, Pak Polisi. Menangani alkoholisme tanpa menyentuh akar persoalan hanya melahirkan kriminalisasi: upaya menghakimi tanpa berniat memberi efek jera yang berarti!

Bojonegoro, 2014

Rabu, 05 November 2014

Mat Codet (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Minggu, 27 September 2014)

Baiklah, para mustamik yang terhormat. Kami perkenalkan terlebih dahulu tokoh kita. Ia bernama Mat Codet. Kerjanya saban hari menjadi preman. Ya, tepatnya, seorang preman di pasar Sumber Arum. Pasar termegah di Surabaya. Ia berasal dari luar Jawa. Kami kurang tahu persisnya di mana. Yang kami mafhum, ia menggembalakan dua anak kembar dan satu istri.
Mata Codet terbilang preman tahan banting. Ia mengenyam sendiri beringasnya kehidupan. Ia melambangkan seorang preman bertipe pekerja keras. Pernah jadi tukang kebun, kuli bangunan, OB, penyedot WC, penjual bakso, satpam, dan masih banyak pekerjaan lain yang sudah dilakoninya.
Untuk memetik puncak karir, preman berambut kribo ini benar-benar merangkak dari nol. Ia merupakan contoh preman ideal. Punya pendirian. Siapa saja yang berhasrat mencapai taraf preman sejati, harus banyak mengutil ilmu darinya. Minimal, dengan meneladani narasi hidupnya.
Mat Codet terhitung orang berkepala batu dan tidak gampang dibujuk kerja sama. Ia juga tak doyan berada di bawah. Apalagi diperintah-perintah. Ia berberat siku jika ada preman lain menyuruhnya bertekuk lutut. Selamanya, ia tak sudi menjadi kaki preman senior. Lebih baik mampus, daripada menjadi budak. Itulah motto hayatnya.
Pernah suatu pagi, ketika Mat Codet mencari angin di pusat pasar, ada beberapa preman lewat. Mereka semua berambut gondrong, bertato kalajengking, dan berkalung rantai. Ia diminta minggir. Namun, dengan sigap, ia menggeleng. Dan seketika, gerombolan jaharu itu berang dan melunyahnya habis-habisan. Ia dikeroyok, digebuk, ditendang, dijotos, disikut, hingga berbilang giginya rontok. Hidungnya menghembuskan darah. Kakinya bengkak. Tiada perlawanan. Ia hanya mematung. Bukannya dengkik, ia sekadar berazam mengendus seberapa kuat preman-preman yang lazim beroprasi di kawasan tersebut.
Esok hari, ia mencongkong lagi di loka kemarin. Di depan toko emas “Arjuna”. Tempat dimana ia diganyang preman-preman yang nyenyai mandi itu. Ya, di situ ia sedang kangen. Ah, sahihnya merindukan para preman kelas kambing dan mudah naik pitam. Benar. Selingkar jam sembilan, mereka mendarat. Apesnya, jumlah mereka kian berlimpah. Mana membagul pentungan pula. Ia dipaksa menepi. Lagi-lagi ia menolak. Akhirnya, ia kembali meraup perlakuan istimewa; Dikeroyok, digebuki, ditendang, dijotos, disikut. Dan karena mereka membawa pentungan, ia juga dipentungi hingga bonyok. Tetapi tidak sampai berkalang tanah. Hanya terjengkang dan napasnya ngos-ngosan. Entah berapa lusin nyawanya! Preman-preman itu juga keheranan. Setelah kekeringan tenaga, mereka mencukupkan pelajaran. Sedang awak Mat Codet dibuang di selokan.
Betul-betul lanang edan. Lusanya, Mat Codet membikin ulah lagi. Ia sengaja menanti kehadiran preman-preman yang nekat menyentuh tubuhnya dan melemparnya ke dalam got yang rimbun kotoran. Kali ini, ia tak akan berdiam diri. Hendak ditunjukkan siapa ia sebenarnya.
Benar. Mereka datang. Tanpa ba, bi, bu, Mat Codet langsung menggocoh mereka satu persatu. Mereka meladeni. Tetapi percuma. Musuh yang satu ini bukan musuh sembarangan. Mereka semua kelabakan. Dan karena tersisih, akhirnya mereka kabur tunggang langgang.
Preman-preman tengik itu mengadukan kejadian memalukan yang menimpa mereka. Usai menyimak laporan, Sasmito, petinggi preman yang tersohor kejam dan tahan bacok itu, berniat menjajal kesaktian Mat Codet.
***
Di tanah lapang, keduanya bertempur layaknya pejantan; satu lawan satu. Sebelum bersabung, Mat Codet mengajukan usul: bila keok, maka ia dengan ringan hati akan meninggalkan pasar Sumber Arum. Sebaliknya, jika ia unggul, Sasmito kudu rela mengiklaskan tampuk kekuasaannya berpindah ke genggaman Mat Codet. Sasmito mengamini usul tersebut. Sesungguhnya, ia tampak gamang atas keputusannya. Walakin, ia masih mempunyai harga diri. Disaksikan semua anak buahnya, ia enggan bersikap pengecut.
Celaka dua belas. Mimpi apa Sasmito semalam. Duel maut itu dimenangkan oleh Mat Codet. Orang yang bertakhta di pasar Sumber Arum selama tujuh tahun itu dibuat kalang kabut. Badannya babak belur. Kepalanya bersimbah darah. Salah satu tulang rusuknya sempal. Ia menyerah. Dan tanpa jamak tanya, beberapa gelintir preman langsung menerbangkannya ke rumah sakit terdekat.
Memirsa keperkasaannya, alhasil, semua preman yang hadir mendaulatnya sebagai nahkoda baru. Pemimpin para preman yang sekian warsa ke depan akan mengatur sirkulasi kejahatan di pasar Sumber Arum.
***
Eit, jangan lekas memungut kesimpulan. Tiadalah preman kita satu ini serupa yang kalian kira. Ia sungguh berbeda dengan sebagian besar preman yang ada. Meskipun kerap memalak pedagang di pasar, nyatanya hanya pedagang besar yang ia bebani ‘uang keamanan’. Mat Codet tak tega berbuat kasar terhadap kaum pedagang kecil, apalagi mencaplok keringat mereka. Bahkan, karena menaruh kasihan, berulang kali ia mengulurkan bantuan.
Dalam masyarakat, Mat Codet bertabiat hangat. Takmir masjid menjulukinya Ahli Sedekah. Sebab, tak sunyi-sunyinya ia mendermakan harta ke kotak amal. Jika Idul Adha tiba, ia orang perdana yang mencatatkan diri untuk berkurban. Para warga kerap pula diuntungkan. Sebab, preman beralis kepak kelelawar itu gemar menggelar khitanan massal, pengajian, peringatan 17 Agustus, arisan, pertemuan ibu PKK, sampai pembagian sembako secara cuma-cuma.   
“Kok ada ya, preman kayak dia. Mat Codet rajin sekali berjamaah di musholla. Kalau ada hajatan, ia juga datang”.
Desis pak RT kala bercakap dengan salah seorang pamong desa.
***
Memang hidup melukiskan sebulir persaingan. Homo homini lupus. Siapa kuat, dialah yang menang. Dan tiadalah yang menang itu selalu menang. Bisa jadi suatu saat, dia juga mencicipi kekalahan. Sebagaimana yang dialami Mat Codet. Saking banyaknya preman yang menaruh hasad, hampir setiap usaha dilicinkan guna menggulingkan wibawanya.
Sampai suatu hari, terbitlah momentum tersebut. Sekitar jam satu siang, Kriwul menunggu Mirna, istri Mat Codet. Ia menggelesot di gang sempit menuju pasar Sumber Arum. Melihat preman ceking nongkrong di sana, orang-orang berberat pinggul menjemput masalah. Mereka memilih jalan lain, meski jaraknya lumayan jauh. Namun, dugaan mereka meleset. Hari itu Kriwul tak hendak menggarong. Ia hanya ingin membujuk Mirna. Bukan untuk melecehkan tubuhnya. Atau melucuti kalungnya. Ia paham betul siapa yang dihadapi kali ini. Kalau berani mencolek secuil saja tubuh Mirna, pasti ia akan pulang tinggal nama. Sebagai orang kepercayaan Boncu, juga anak buah Mat Codet yang berkhianat, Kriwul harus berhati-hati menunaikan misi berbahaya tersebut.
“Kriwul, awas kalau sampai kamu salah langkah. Bisa mampus kita semua”.
Pesan itu bertukas-tukas dilisankan teman-temannya sebelum angkat kaki menuju lokasi.
Yang menjadi incaran komplotan Boncu beserta anak buahnya adalah mengetahui letak kelemahan rival besarnya itu. Dan satu-satunya ikhtiar terbaik adalah melalui Mirna, orang yang paling rapat dengan Mat Codet. Mereka sudah kehabisan akal beradu kening dengan Mat Codet. Pasalnya, preman yang satu ini benar-benar sakti. Akan tetapi, mereka menanam keyakinan, bahwa sehebat-hebat manusia pasti tetap mengantongi titik kelemahan.
Tak tanggung-tanggung. Guna menyiasati Mirna, mereka nekat mencawiskan uang 10 milyar, yang baru digondol dari menjebol beberapa ATM. Mereka berani tidak mabuk-mabukan selama seminggu. Mereka rela berpuasa cinta di tempat bordil. Mereka ikhlas menyisihkan tabungan untuk menghidupi anak-istri. Preman-preman dungu itu hanya mengekor saja pada tetua. Boncu suksess mendoktrin mereka. Dan di balik itu semua, yang terpenting adalah sekutil fakta, bahwa ia menabung dendam pada Mat Codet—yang telah mendepak ayahnya dari kursi hangat bromocorah paling disegani, 12 tahun silam.
“10 juta ini sebagai pelicin saja. Sisanya akan kauterima bila berhasil merampungkan tugas dengan baik. Ingat, waktumu cuma seminggu!”
Kriwul yang terbiasa cengengesan itu sekonyong-konyong bersikap tegas. Ia tak mau misinya gagal. Ia berdiri di atas dua pilihan: diludahi para preman atau naik jabatan.
Sebenarnya, Mirna kurang tega melakukan tindakan konyol itu. Ia tahu, Mat Codet bukanlah lelaki banal. Meski bertampang preman, namun hatinya lembut dan sarat kasih sayang. Sampai hari keenam, Mirna beritikad mengenyahkan tawaran Kriwul. Namun, setelah hari ketujuh, otaknya luluh juga. Ternyata setan lebih cerdas, sehingga Mirna menyetujui niat licik tersebut.
Maklumlah. Sebagai istri preman kondang, Mirna belum pernah kecipratan uang sebesar itu dari suami. Apalagi sosok Mat Codet diarifi sebagai preman yang berjiwa pemimpin. Ia tak mau menimbun bergunduk-gunduk uang. Apa yang dipanen dari hasil memalak, pasti ia bagi rata dengan anak buah. Dan kalau ada sisa, tentu ia hibahkan kepada fakir miskin.
***
Para mustamik sekalian, tibalah kini saat-saat yang mendebarkan. Ketika rembulan sedang berayun di cakrawala, dan malam sedang bermain petak umpet, Mat Codet dan istrinya merebahkan badan di ranjang. Mat Codet begitu terlelap. Ia kelihatan sangat lelah. Sebab, siangnya, ia berjuang melawan satpol PP seorang diri. Sedang sorenya, ia harus memegang cempurit rapat preman di kolong jembatan Sebrang Lor.
Saat mendapati suami asyik dalam buaian mimpi, Mirna melancarkan aksi. Ia memangkas 7 helai bulu ketiak Mat codet; 4 dari ketiak kanan, dan 3 dari sebelah kiri. Setelah puas memotong bulu sakti Mat Codet, ia menelepon Kriwul. Dan seperti sudah dirancang sebelumnya, tiba-tiba sekitar seratus orang menyerbu rumah Mat Codet. Sebagai pemimpin, Boncu berlaku sok pemberani. Ia urai resleting celananya dan berkemih di moncong Mat Codet.
“Hei, bangun! Mau mampus gini, malah mendengkur”.
Preman bertato naga di punggung itu menyingkap kelopak matanya. Ia bersin-bersin dan merasa ada cairan asam di lidahnya. Sejurus kemudian, ia tercengang. Bukan karena banyaknya anak buah Boncu yang berjejalan di kamarnya. Namun sebab sejumlah bulu ketiaknya tengah tergolek di tangan kanan Mirna. Sedang tangan kiri istrinya itu memegang sebuah gunting. Mat Codet menjinjing suaranya keras-keras.
“Perempuan macam apa kau, Mirna!”
Pandangan Mirna tertunduk. Ia sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal. Ia lebih memilih mengorbankan suami daripada harus kehilangan 10 milyar.
***
Para pedagang di pasar Sumber Arum sangat gelisah. Mereka kerap bersoal, kenapa tiba-tiba Boncu yang berkuasa. Mereka tahu, bahwa tiada preman yang lebih bijak dan santun kecuali Mat Codet. Pedagang kaya yang biasa menyetor upeti juga merasa kehilangan. Pasalnya, anak buah Boncu lebih bengis dan menarik uang seenak udelnya. Bahkan, sering kali bobot setoran kelewat batas. 
Hingga kini, para pedagang pasar Sumber Arum masih menunggu-nunggu kedatangan Mat Codet, yang dikira tengah menginap di bui. Atau berwisata keluar negeri. Atau berlibur di kampung halaman. Dan serba atau yang lainnya.  

Yogyakarta, 2011

Senin, 15 September 2014

Kiai Badrus (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 7 September 2014)

Pesantren al-Huda memendam keistimewaan tersendiri dibanding pesantren pada umumnya. Tiadalah segenap santri yang bermukim di sana dipungut rupiah sepeser pun. Malah, sejumlah santri yang mendarmabaktikan diri selaku santri ndalem, beroleh uang saku tiap kali pulang ke rumah. Pesantren yang ditanam pada tahun 1949 ini dirancang sebagai lembaga pendidikan umat. Dalam arti, siapa saja dapat belajar dan menetap di dalamnya.
Ialah Kiai Badrus, pendiri sekaligus pengasuh pesantren istimewa tersebut. Baginya, mereka yang berazam kuat dan niat tinggi dalam belajar namun kurang mampu dari segi finansial, tetap berhak meraup ilmu sebanyak-banyaknya. Himpitan ekonomi tidak lantas menerap orang menyerah dan merenggangkan diri dari ilmu. Sebab, dengannya, seseorang akan mengantongi kemuliaan di dunia dan akhirat.
Keramahan dan kedermawanan merupakan ciri utama yang melekat pada Kiai Badrus. Bahkan, jamak kali pengemis dan anak jalanan dipersilahkan menginap di rumahnya. Mereka terlihat sangat betah; makan gratis, mandi gratis, ngaji gratis. Dan karena berusul dari berbagai penjuru daerah, pertembungan di antara mereka merupakan langkah jitu dalam mempererat tali silaturrahim. Begitulah. Sudah menjadi tabiat manusia; nasib kembar mengantarkan mereka untuk saling menghargai satu sama lain.
Kiai Badrus menjelma bahan pembicaraan yang tiada habisnya. Seakan-akan, hampir tiada yaum tanpa berita kiai yang gandrung berpeci putih dan berbaju koko lusuh itu. Dan, desa Kasembon memerankan saksi atas kelebihan-kelebihan yang disandangnya. Tentang keistiqomahannya dalam mengaji dan mendidik santri. Tentang kekhusyukannya dalam shalat. Tentang kesungguhannya dalam berjuang di jalan Allah. Tentang kesantunannya dalam berkata-kata. Bukan sekadar itu, urita kesaktiannya juga berseliweran dan mendarat di telinga warga.
“Dengar-dengar, Kiai Badrus bisa terbang lho. Kemarin sore Mbah Kasmo melihatnya terbang di sawah.”
“Selesai shalat, di bawah sajadahnya pasti ada banyak uang. Bisa mencapai jutaan. Wah, senang ya. Kalau bisa sepertinya, tentu kubelikan lima kerbau.”
Itulah beberapa potong kata yang muncrat dari bibir Supri dan Jaelan saat berburu ikan mujair di irigasi.
Pula apa yang dituturkan oleh Mbah Sujak, renta berumur 70 tahun yang sempat menimbrung dalam mengusir Belanda dari tanah air. “Lha wong dulu kalau perang, dia gak pakai senjata. Orang-orang menenteng bambu runcing, ia malah bawa kacang hijau. Mbah kira kacang hijau itu buat bekal. Eee, ternyata kalau dilemparkan bisa meledak, kayak bom. Wong Londo ya kalang kabut.”
Pun, Kiai Badrus kesohor dengan istilah weruh sakdurunge winarah. Tak jarang, orang-orang yang berkonsultasi kepadanya dibuat takjub dan geleng-geleng kepala. Apa sebab? Tamu belum mengungkapkan permasalahan yang dihadapi, kiai satu ini lebih dulu menghibahkan solusi. Semisal halnya apa yang dialami oleh Busro, jejaka dari desa Kasembon. Setiba di beranda rumah sang kiai, pemuda yang sebentar lagi meminang pacarnya itu menggelesot santai dan menunggu beberapa orang yang masih sungkem kepada Kiai Badrus. Berniat menanti giliran, tiket konsultasi menyapanya lebih awal. “Cung, kamu mau nikah to? Ya, nikah aja gak apa. Nunggu apa lagi, keburu tua. Kalau belum punya mas kawin, ini ada uang tiga ratus ribu. Cukup, kan?”
Atau yang dikenyam Kang Diran, warga RT. 9 yang malamnya kemalingan motor. “Anu, Pak Kiai. Anu…”
“Anu apa? Di belakang ada kambing dua ekor. Jual dan bayar utangmu. Sisanya boleh kamu pakai kebutuhan sehari-hari. Honda-mu ikhlaskan. Gak usah dipikir. Bikin stres aja!”
Selain mengasuh berratus-ratus santri, Kiai Badrus juga menyampaikan pengajian saban malam Senin di aula. Loka besar yang berlantai dan berdinding kayu jati dengan atap seng itu memang didesain guna menampung jamaah. Pengajian dengan mendaulat kitab al-Hikam sebagai pokok bahasan tersebut dihadiri sekitar seribu orang; dimulai jam sembilan dan berakhir pada jam dua belas malam. Selepasnya, Kiai Badrus merebahkan badan sejenak, dan pada jam setengah tiga ia ajak para jamaah untuk qiyam al-lail serta merapal Ratib al-haddad dan wirid-wirid lain hingga menjelang shubuh. Sejurus kemudian, diiringi dengan hembusan sisa udara malam, mereka semua menunaikan shalat shubuh dengan Kiai Badrus sebagai imamnya. Paginya, sebelum beranjak, terlebih dahulu mereka disuguhi nasi berlauk ikan asin ditemani sambal terong.
“Kang, Kang. Kamu tahu to Kiai Badrus? Masa sehari cuma tidur dua setengah jam. Dulu aku kurang percaya sih. Tapi, kemarin, aku sendiri membuktikannya.” Kicau Sugik menyembur ketika ngopi di warung Mbok Minah. Bermalam dua hari dua malam di pesantren al-Huda nekat dilakoni, hanya demi mengecek celotehan keponakannya. 
***
Bulan Rajab kurang seminggu, Pak Kasdi mengkhitankan anak keduanya, Wahyudi. Semua saudara dan tetangga diundang, tak terkecuali beberapa sanak kerabat yang berpunca dari luar kota. Sebagaimana adat yang dipegang erat oleh tetua adat, mereka tinggal sekian hari di rumah Pak Kasdi. Selain beritikad membantu, biasanya mereka ingin meramaikan dan menyemarakkan acara. Sekeping mitos yang beredar, bahwa kian gaduh griya pemilik hajat, maka kian mulia pula ia di mata masyarakat.
Senin itu, jarum jam mendekap angka sepuluh. Dingin udara beserta pekat malam mengarak para tamu berpamit diri. Sepemakan sirih kemudian, sambil melendehkan kepala di kursi, Pak Kasdi membuka perbincangan.
“Di sini ada kiai yang hebatnya bukan main. Mana ada kiai seperti Kiai Badrus. Selain ilmunya luar biasa, tak mau pula ia sulap pesantrennya sebagai ladang pekerjaan. Pesantren mana yang gratis, tis, tis..! Pokoknya, besok kalau Yudi sudah sembuh, dia bakal kutitipkan di sana.”
Pakde Sampun mengimbangi. “Itu belum seberapa. Di tempatku, ada Kiai Syamsu. Bukan cuma punya pesantren gratis. Jamaah pengajiannya juga banyak banget. Kebetulan aku salah satu jamaahnya lho. Gak rugi deh. Habis ngaji, shalat wengi, eee paginya kita dapat sarapan. Hehe…”
Enggan kalah dengan dua pendahulunya, moncong Kang Parno mengalirkan kalam. “Wah, wah. Kalian kayaknya belum kenal siapa Kiai Nur. Bukan hanya seperti apa yang kalian ceritakan barusan. Ini kiai sakti mandraguna. Masa aku baru mau mangap, ia sudah ngomong duluan. Dan, karena waktu itu sawahku gagal panen, pulang-pulang aku dibawakan beras sekarung. Hebat tenan.”
Usai mewartakan tokoh idola masing-masing, mereka saling bertukar pandang. Tiada secuil kata pun menyembul. Jemari udara mengikat pita suara mereka dari dalam. Dalam benak mereka, apakah kiai yang dimaksud adalah kiai yang sama. Sebab, kiai yang diceritakan oleh mereka—menurut kabar yang beterbangan—sanggup membelah diri menjadi tiga. Ya, tiga. Kalau begitu, betapa banyak pahala yang mengendap di tubuhnya!  

Yogyakarta, 2011


Catatan:
      (1)   Santri ndalem (Jawa) = santri yang mengabdikan diri pada kiainya.
      (2)   Cung (Jawa) = panggilan untuk anak laki-laki yang lebih muda.
      (3)   Weruh sakdurunge winarah (Jawa) = mengerti sebelum diberi tahu.
      (4)   Wong Londo (Jawa) = orang Belanda.
      (5)   Qiyam al-lail = shalat wengi (Jawa) = shalat malam.
      (6)   Ratib al-haddad = dzikir-dzikir nabawiyyah yang disusun oleh Habib Abdullah al-Haddad.
(7) Tenan (Jawa) = sungguh.


Selasa, 05 Agustus 2014

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 3 Agustus 2014)

Macam Kaktus, tapi Bukan

Gerimis gundul tiba-tiba datang serupa iblis bermata garang. ia dengan bengis menginjak-injak Pohon Rindu yang baru dua tahun kutanam. di ladang perasaan. di kebun mimpi yang hijau dan rindang.

seperti juga kuda pasukan Sparta kala menyerbu kampung Laconia, Gerimis itu begitu beringasnya. sampai-sampai tiada mampu ia bedakan mana kaki-kakinya yang mengancam. mana pula tumbuhan yang hendak diluluhlantakkan. sampai-sampai pohon kecilku tumbang. akarnya berserakan, melebur dengan muka tanah yang bulat panjang. daun yang semestinya berkorban demi lambung ulat, berceceran tanpa secuilpun mengais manfaat.

padahal, seperti pesan Eyang, pohon satu ini tampak kurang tertarik dengan segala jenis cairan. ia macam kaktus, tapi bukan. ia sangat benci jika suatu hari seekor makhluk sengaja melumeri punggungnya. atau kepalanya. atau lehernya. atau anggota tubuh yang jamak disebut daun dan dahan, tapi ia lebih suka menyebut kaki dan tangan.

maka, Gerimis bedebah! ketahuilah, bahwa aku memberinya minum bukan dengan cara sembarang. berbulan-bulan sebelumnya aku mengambil segayung air dari Sungai Nil untuk kemudian kutitipkan pada tanaman-tanaman rambat di sekitarnya. merekalah yang kumintai bantuan untuk memasukkan setetes demi setetes ke mulutnya, ketika sudah benar-benar mendengkur.

pohon kesayanganku memang pemalu. makanya, jangan heran jikalau ia memilih bermukim di lahan yang subur. dengan begitu, ia bisa terus mengalirkan nafas tanpa terlihat sibuk mencari cairan. ia pura-pura menyapa tetangga, berjabat tangan, lantas mengusapkan jemarinya yang basahkarena bersentuhan dengan tanaman lainke sekujur badan. ia belum mengerti bahwa aku, pemiliknya, telah turut serta menyelundupkan larutan yang sangat diperlukan dalam hidupnya. 

ah, sudahlah. kau, Gerimis! kau boleh tertawa sesuka perutmu, sebab menerka bahwa sebentar lagi aku terlunta-lunta. menderita atas gugurnya pohon kiriman perempuan yang amat kupuja. ya, kupuja lantaran ia tak menaruh rasa sama sekali, tapi aku sungguh mencintainya.

terima kasih, Pohon Rindu. pohon yang memutuskan mati ketimbang memanggul malu. pohon yang pernah mengantar hatiku mekar, meski aroma senyumku makin tawar.

Yogyakarta, 2012


Kasihan!

setiap aku mengangon kata, setiap itu pula tetanggaku ikut bergabung. namanya Dirman. ia dipanggil Kasihan.

benar. orang-orang menyebutnya demikian, dikarenakan memang ia pantas dikasihani. bayangkan! Dirman terlahir dari rongga kemaluan babi betina yang ditemukan Pak Joko waktu berburu di hutan. mata satu. telinga satu. bokong tiga. anunya sepertiga.

oh, pasti kalian benar-benar kasihan kalau mengetahui sejak balita Dirman tak bisa mengucap apa-apa. ia cuma menitihkan air mata jika menghendaki sesuatu. air mata yang tersendat-sendat, karena diperas dari satu mata; lubang yang begitu mungil ukurannya. sayang sekali, Pak Joko sulit memantau mana Dirman yang berduka, mana Dirman yang bersuka, karena antara kesedihan dan kegembiraan terlanjur tiada sekat. berkelindan. bertukar tampang. mengembar siam. siam yang mustahil dibedakan.

sejak umur tujuh tahun aku rajin mengajak Dirman mengangon kata. dengan bersamanya, aku sering mengumpulkan air matanya yang berbau keemasan. air mata yang mengingatkanku pada kakek yang menggerung-gerung sesaat sebelum menjemput maut. pada pipi ibu yang basah kuyup, menyesali kenapa dulu mau dikawini ayah, yang penyair. penyair yang gemar mengobral tanduk puisi di halaman koran. yang bersedia dibayar recehan, namun akhirnya harus mendengkur di bui paling kejam.

meskipun sesenggukan, aku mengerti bahwa menangisnya Dirman menunjukkan kegembiraan. hal itu tampak ketika suatu hari ia mengaku bermimpi bertemu kuda telanjang. ia tidak menangis lantaran kelopak matanya terpejam. anehnya, dari kemaluannya bercucuran air mata keruh, kental, gurih, menggiurkan. dan, sejak balig itulah Dirman kerap merajukku untuk bersama-sama mengangon kata, walau ketika aku menyanggupi, ia malah menangis. tangis yang pura-pura. tangis yang sebetulnya adalah tawa.

tapi, sejak ia berusia dua puluh tahunan, aku mulai resah dan menjauh dari Dirman. pasalnya, semua puisi yang kupelihara selama ini ternyata tertular derita Dirman: bermata satu, bertelinga satu, berbokong tiga, beranu sepertiga. “ah, kasihan!”.

Yogyakarta, 2012

Keterangan: puisi ini terinspirasi dari puisi Mardi Luhung berjudul Sungai Kembar. 

Senin, 12 Mei 2014

Mitos Pencinta Burung (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" dan “Harian Jogja” edisi Minggu, 4 Mei 2014)

Burung Gomi tidaklah menarik. Sayapnya gemar memberontak, bola matanya bulat lebar, dan kicaunya mematuki cakrawala. Hanya saja, ia mengantongi kelebihan yang enggan dimiliki satwa lainnya. Burung dengan paruh pendek dan kepala botak tersebut tercipta untuk dicintai Suhoi. Ya, jejaka penebar pesona yang mengantar jantung perempuan bergetar hebat jika memandangnya. Lelaki tampan yang saking tampannya pernah menolak cinta Aruh dan menyiksanya di kaki gunung Jirem.
Aruh tidak marah. Pun tidak kaget tatkala Suhoi berberat hati menerima perasaan Aruh. Suhoi—bujang gagah dengan senyum yang selalu menempel di gigi itu—memang pantas berbuat demikian. Yang ia sesali, mengapa Suhoi begitu tega menyabetkan cambuk Korsula di sekujur badannya hingga berlumuran darah. Dan sebab kebrutalan Suhoi itu, Aruh memasang kutukan: “Kau memang memikat, Suhoi. Tapi itu kurang berarti, karena dua puluh satu bulan ke depan ketampanan yang kau punya bakal membuat dirimu celaka.”
Pada waktu itulah, petualangan Suhoi dalam berburu cinta dimulai. Bunga lose rajin menertawakannya. Bukit Gemro melempar buah gunjingan untuknya. Segerombolan udara kompak mencibirnya. “Sungguh menyakitkan! Seorang manusia bermuka cahaya menaruh hati pada seekor burung. Buruk rupa pula.”
***
Itu pagi, Suhoi bermaksud menangkap burung Gomi di sebiji lembah yang dingin. Dengan bertelanjang dada, Suhoi melewati semak-belukar dan hutan Sette. Sesuai kebiasaan, burung Gomi baru akan bangun dari dengkurnya ketika matahari naik kira-kira sepenggalah. Suhoi harus berlari cepat atau ia akan kehilangan jejak buruannya. Suhoi bosan jika berulang kali terlambat dan hanya mendapati bulu-bulu kasar burung Gomi yang jatuh di peraduannya.
Mata Suhoi membelalak sempurna saat memergoki tempat burung Gomi nyata kosong. Lebih mengherankan lagi, kenapa ia tak menemukan sama sekali bulu burung Gomi. “Apakah ia berpindah tempat?” Desisnya.
Dengan amarah memuncak, Suhoi membabibuta dan meraung sekeras-kerasnya hingga aliran sungai Toba sekonyong-konyong berhenti. Tanaman Pyres tercenung menyimak polahnya.
Lambat laun, Suhoi tergerak berpikir. Harus berapa lama lagi ia mengejar burung Gomi. Sampai kapan jiwanya terlunta-lunta. Sedang, hingga saat itu, ia menenggak sembilan tahun, demi sekadar mendulangkan cinta pada burung Gomi. Alangkah nista, manusia menguber seekor burung yang fakir rasa. Acap kali ia membuang perasaan laknat tersebut. Anehnya, bukannya raib, justru berlipat ganda.
Sampai suatu saat, ia bermaksud menemui ahli nujum bernama Hiras. Dari renta berumur seabad lebih itulah, dulu kakeknya, Zondir, mampu mengetahui penyakit Bamess. Penyakit langka yang sebelumnya tiada suah menyentuh penduduk Joure itu mampu dikenali Hiras hanya dengan menjulurkan lidah. Sepemakan sirih kemudian, di dahi adiknya itu terpampang jelas nama orang yang sengaja mengirim jarum-jarum kecil ke perut Bamess. Ialah Gosrem, tetangga yang gemar mendermakan buah rohan usai mengetamnya dari ladang.  
Suhoi bergegas. Meski berjarak ribuan mil dari rumah, Suhoi tetap nekat. Berbekal kendi mungil berisi kehur—minuman yang biasa dibawa orang-orang Joure kala melancarkan perjalanan jauh—serta kantong memuat kalung emas, ia bersiap menuju Tubere—kota dimana Hiras tinggal.
Usai berjalan tiga hari dua malam, akhirnya sampailah ia di kediaman Hiras.
“Wahai Tuan, aku datang dari Joure. Aku sangat membutuhkanmu, Tuan.” Nafas Suhoi terengah-engah seperti dengus kijang yang dikejar macan.
“Aku cuma bawa ini, Tuan.” Sambil membuka kantongnya, Suhoi menyambung kalam: “Kalau Tuan bersedia menolong, aku akan memberikannya untuk Tuan. Ini adalah hadiah dari Morgup sebelum ia berpisah denganku.”
“Apa masalahmu, anak muda?” Sahut Hiras.
“Aku sendiri sebenarnya kurang mengerti, Tuan. Ya, Tuan. Aku sedang bingung. Ada apa dengan diriku? Ribuan perempuan mengharapkan cintaku. Namun, aku malah berpaling dari mereka dan menyukai burung Gomi, Tuan. Celakanya, burung yang suka tinggal di lembah dan mengutil buah rohan itu urung menerimaku sebagai kekasihnya. Aku sudah berusaha sekuat tenaga mencampakkan bayangannya. Anehnya, ia selalu datang dalam mimpi. Benar. Dalam mimpi, Tuan.”
“Apakah kau pernah menyaikiti perempuan, anak muda?”
Suhoi terkesiap. Tiada purbasangka sedetik pun, jika Hiras akan melontarkan pertanyaan itu. Katup mulut Suhoi tertutup rapat. Seakan-akan ada yang menahannya dari dalam. Sambil membolak-balik memori, ia melempar kata-kata sekenanya.
“Perempuan, Tuan?”
Ternyata bukan jawaban yang diulurkan Suhoi, namun pertanyaan baru. Pertanyaan yang digunakan sekadar menudungi kebimbangan.
“Ya, anak muda. Pernahkah kau menyakiti perempuan?”
“Hmmmm…..”
***
Sungguh, persyaratan yang luar biasa berat bagi Suhoi. Benar. Menggali maaf dari perempuan adalah sesuatu yang memalukan dan pantang dilaksanakan. Apakah Hiras belum mengerti, bahwa selama ini kaum Hawalah yang layak mengharap maaf darinya. Bukan sebaliknya. Namun, apalah daya. Demi mencabut kutukan Aruh, rela ia menunaikannya. 
Fajar buta, Suhoi pergi ke Xulleas—kampung yang dulu menampung Aruh. Di tengah perjalanan, Suhoi terlihat gelisah. Sangat gelisah. Entah mau ditaruh mana mukanya kala bertembung dengan Aruh. Jalannya merayap laksana siput yang baru melahirkan. Dengan harapan tiada lekas Suhoi hinggap di Xulleas.
Udara masih menggelar selimut. Surya belum menampakkan batang hidungnya. Dalam suasana cukup lengang, tiada yang sudi menemani Suhoi, kecuali segebok pertanyaan yang bergelantungan di kepala.
“Apa yang hendak Aruh lakukan saat berjumpa denganku? Bersediakah ia menerima maaf dari orang yang menyakitinya? Masihkah ia menyimpan perasaan itu?,” serta masih rimbun lagi pertanyaan lainnya.
Setiba di loka tujuan, Suhoi tercengang. Suasana dan tata ruang Xulleas berubah total. Tiada lagi pasar Nonu yang dulu terletak di sudut kampung. Tiada lagi bommbe—toko penyedia senjata yang biasa riuh di Minggu petang. Bola mata Suhoi hanya mendapati beberapa keadaan yang malas berubah: altar di sebelah utara sungai Syiir, balai kampung di jalur menuju jembatan Remah, dan tugu raksasa di pusat keramaian. Sedang rumah-rumah yang tergeletak dalam angan Suhoi lenyap. Dalam keadaan demikian, rasanya sulit sekali menemukan letak rumah Aruh.
Saat berjalan memirsa pemandangan, ia memindai pohon komu berdaun rindang. “Di sana. Ya, di dekat pohon itulah dulu Aruh tinggal.”
Hati Suhoi mengayuh gembira. Namun, ia agak heran ketika melihat rumah di balik pohon dengan ranting-ranting menjulang itu berbeda dengan rumah yang lampau Aruh diami.
“Barangkali rumahnya telah diperbaiki.” Segesit kilat, ia mengatasi keraguan.
“Nenek, benarkah ini rumah Aruh?.” Suhoi bersoal kepada perempuan usang yang tengah melanting seikat sayuran dari dalam rumah.
“Ada keperluan apa, Nak?”
“Ada hal penting yang mau kubicarakan dengannya, Nenek.”
“Maaf, Nak. Aruh meninggal dua tahun silam. Ia digigit ular vloria saat mencari kayu bakar.”
***
Usai mendengar penjelasan, Suhoi berpamit diri. Ia mesti menemukan kuburan Aruh. Kuburan yang dalam pikirannya ringan didapati. Kuburan yang di atasnya teronggok bunga sarukao dan nisannya berwarna hijau tua.
Suhoi berjalan gontai sambil menenangkan diri. “Kali ini, aku bakal menemukanmu, Aruh. Biarlah! Walaupun berupa mayat, aku tetap akan meminta maaf darimu.” Benak Suhoi melenguh. 
Namun apa yang terjadi? Suhoi mencerap kuburan yang ditujunya berantakan. Roqiu—si juru kunci—mewartakan bahwa tiga hari yang lalu, turun angin puting beliung yang memporakporandakan kuburan beserta isinya.
Suhoi tersungkur. Mustahil ia menemui tanda-tanda yang dijelaskan nenek tua. Tiada yang bisa ia perbuat, kecuali melanjutkan lagi pencariannya terhadap burung Gomi.
***
Burung Gomi kesal dengan ulah Suhoi. Betapa karena perbuatan dungunya, Suhoi telah merendahkan burung Gomi di kalangan spesiesnya. Ia dinilai menerap Suhoi jatuh cinta. Sebagian di antara kawanannya mengucilkannya. Mereka berdalih bahwa burung Gomi dituduh mencemarkan kehormatan nenek moyang yang bersumpah memusuhi manusia. Akibatnya, berbulan-bulan burung Gomi sukar tidur, hingga terbitlah sebutir rencana mengerikan: mengkhatami hidup Suhoi.
Burung Gomi mafhum bahwa Angin Timur adalah sosok pemarah serta mudah dihasut. Atas dasar itulah, suatu malam berkabut, burung Gomi mengundang Angin Timur ke rompoknya. Sesampai di sana, burung Gomi mengolah warta:
“Ketahuilah, Angin Timur. Usai mengejarku, Suhoi juga berencana menaklukkanmu.”
Belum genap merangkai buah tuturnya, burung Gomi diperintah diam. Angin Timur terperangah dengan wajah memerah. Kasih dari Angin Barat saja belum sempat ia wadahi. Kini, muncul lagi makhluk yang hendak mengincarnya. Makhluk yang seisi jagat raya mengecapnya gila—karena ingin bercinta dan hidup bersama dengan burung. “Sial. Aku mesti bertindak.” Pikirnya.
***
Kisah di atas kami pungut dari bibir Eyang. Selama ribuan tahun, mitos tersebut beralih tangan dari satu pencerita ke pencerita lainnya. Mitos tentang lakon cinta yang begitu dramatis sekaligus tragis. Itulah mengapa, hingga sekarang, berjuta-juta manusia memilih gurun Bellon selaku loka wisata paling diminati. Di sanalah berbaring Talduc—sejenis pohon mirip beringin. Ialah jelmaan Suhoi yang memungut sihir dari Angin Timur sebab termakan hasutan burung Gomi.


Yogyakarta, 2011

Wanita dan Komik (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 27 April 2014)

Goenawan Mohammad (2005) menaruh sinisme terhadap perkembangan komik Indonesia. Ia menuding sejarah buku komik tanah air tidak pernah ditopang oleh serangkaian prasarana sosial-ekonomi. Barang tentu hal ini berbeda jauh dibanding Amerika Serikat. Geliat komik di sana sejak awal memang menunjukkan kabar menggembirakan. Tak ayal, melalui buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Goenawan mengklaim The Katzenjammer Kids sebagai ‘garansi’ bahwa tokoh satu seri komik dapat terus-menerus hadir sebagai bahan bacaan sampai selama 70 tahun di Negeri Paman Sam.    
Bagi saya, tudingan di atas memantik perenungan mendalam atas capaian para komikus Indonesia yang sering kali dipandang sebelah mata. Namun demikian, minimnya prasarana sosial-ekonomi tidak lantas membuat para komikus kita rendah diri. Buktinya, sejumlah karya lahir di tengah keterbatasan, bahkan termasyhur dan menjadi bahan perbincangan oleh para akademisi serta seniman dalam negeri. Tak jarang, atensi pun berasal dari luar. Semisal Marcel Bonnef, seorang berkebangsaan Prancis, yang mengangkat komik Indonesia sebagai tema penelitiannya. Sedemikian pentingnya, disertasi yang berhasil dipertahankan pada 1972 tersebut diterbitkan dan beberapa tahun selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Si Buta dari Gua Hantu (Ganes TH), Sebuah Noda Hitam (Jan Mintaraga), Si Put On (Kho Wan Gie), Buku Harian Monita (Sim Kim Toh), Gundala Putra Petir (Harya Suryaminata), Sri Asih (RA. Kosasih), dan Setitik Air Mata buat Peter (Zaldy Armendaris) merepresentasikan fakta bahwa ‘buah tangan’ para komikus kita sanggup membungkam keraguan. Di tengah gempuran pesimisme, komik-komik tersebut berhasil menyajikan riwayat kesuksesan.
Sayang dalam perkembangannya, terdapat indikasi kuat bahwa komik Indonesia sedang mati suri sebab komikus-komikus generasi baru tidak mewarisi tongkat estafet keberhasilan para pendahulu mereka. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur, sehingga industri komik berjalan tersendat-sendat. Atas dasar itulah, demi membendung gejala yang lebih akut, muncullah gerakan tokoh-tokoh wanita yang menaruh passion pada komik. Mereka berusaha sekuat tenaga agar karya komikus-komikus Indonesia tetap berumur panjang.
Pertama, Rahayu Surtiati. Wanita yang pernah menjadi dosen Fakultas Sastra Prancis Universitas Indonesia (UI) ini menggagas berdirinya Kajian Komik Indonesia (KKI) pada awal 1990an. Beberapa kali seminar dan diskusi yang digelar dengan menghadirkan sejumlah panelis antara lain Rudy Badil, Ishadi SK, Moerti Bunata, dan Arswendo Atmowiloto telah mencoba melihat sejauh mana nasib komik di masa lalu serta harapan di masa datang. Rahayu percaya bahwa selain menghibur komik juga berfungsi sebagai penyampai pesan. Komik memerankan diri selaku agen komunikasi dalam masyarakat. Boleh dibilang, apa yang dilakukan Rahayu setali tiga uang dengan pernyataan Marcel Bonnef (2008: 18) bahwa “komik merupakan salah satu karya sastra yang ampuh dalam menyebarkan gagasan.”
Kedua, Edi Sedyawati. Atas prakarsa wanita inilah untuk pertama kalinya komik disayembarakan oleh pemerintah melalui Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen dan Kebudayaan (Depdikbud). Ia juga dinilai sebagai tokoh yang berani menelurkan gebrakan terhadap perkembangan komik tanah air. Dengan beragam upaya, ia bermaksud meningkatkan harga diri komik dengan cara mempublikasikannya ke masyarakat luas. Ia menganggap komik sangat layak diperjuangkan dalam Kongres Kesenian Nasional 1995. Langkah taktis yang dilakukan demi kemajuan komik adalah beraudiensi dengan Presiden Soeharto di Istana Negara. Setelah itu, ia merangkul Dwi Koendoro untuk bersama-sama merancang pekan komik nasional. Hasilnya, pekan komik nasional untuk kali pertama di Indonesia terselenggara pada Februari 1998 (Dwi Koendoro, 2007: 55). Tak salah bila Edi didaulat sebagai pencetus Hari Komik dan Animasi Indonesia.  
Ketiga, Vivian Wijaya atau Vee, satu-satunya mangaka (pembuat manga) asal Indonesia yang karyanya tiap bulan menghiasi koran Jepang. Wanita yang didapuk menjadi asisten Kenjiro Hata yang terkenal dengan karya Hayate The Combat Butler tersebut meresahkan kondisi tragis-melankolis yang dialami komik-komik Indonesia. Ia pun menaruh perhatian khusus terhadap kemunduran komik tanah air.  
Berbeda dengan Rahayu Surtiati dan Edi Sedyawati yang berhasrat mengembalikan kejayaan komik Indonesia masa silam dengan ciri asli dan local wisdom-nya, Vee gencar mempromosikan ‘produk lokal’ berbalut unsur Jepang dengan mendirikan sekolah komik di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berdiri sejak Oktober 2012, sekolah ini genap diikuti oleh banyak siswa baik domestik maupun mancanegara, seperti Jerman dan Australia. Dengan sekolah ini, alumnus Royal College Surgeon of Irlandia tersebut berharap agar ke depannya, komik Indonesia mampu bersaing dengan komik-komik luar. Menurut saya, hal ini bisa dipandang sebagai solusi (atau alternatif?) merangkul konsumen, sehingga karya komikus Indonesia mampu bersaing dan beradaptasi dengan pasar. Lebih dari itu, langkah ini merupakan upaya agar komik-komik dalam negeri memiliki gaung dan citra eksklusif.
Apa yang dilakukan baik oleh Rahayu Surtiati, Edi Sedyawati maupun Vivian Wijaya termasuk bagian dari agenda besar mempertahankan identitas kebangsaan. Sebuah identitas yang layak dijaga guna menjauhi cengkeraman kaum pengusung kapitalisme-materialistis juga oknum oportunis-pragmatis yang rentan menyelundupkan nilai-nilai perusak jiwa generasi bangsa. Dalam tataran tertentu, ikhtiar tersebut tergolong dalam strategi kebudayaan di mana akhir-akhir ini implementasinya pasang surut sebab mengalami pendefinisan ulang.
Gerakan ketiga tokoh wanita ini patut mendapat apresiasi. Mereka menawarkan semangat nasionalisme melalui ‘komikisasi’, aksi menjadikan komik sebagai ikon antusiasme sekaligus perlawanan: antusiasme memelihara warisan budaya bangsa sekaligus perlawanan menyapu bersih isme-isme destruktif yang tengah membanjiri masyarakat kita lewat beragam media.
Demikianlah secuplik perjuangan tokoh-tokoh wanita, demi menjaga martabat komik Indonesia. Maka, adakah di antara kalian, wahai para wanita, yang mendaftarkan diri sebagai pembela komik tanah air agar memiliki taji dan selalu disegani?


Yogyakarta, 2014

Kamis, 13 Maret 2014

Puisi Menyihir Sahabat Nabi (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 2 Maret 2014)

Dalam taraf tertentu, puisi bisa menjelma semacam sihir yang membuaikan. Ia sanggup membuat manusia terlena dengan kata-kata yang dihidangkan, imajinasi yang memesonakan, ilustrasi yang menghanyutkan, juga dunia baru yang menjanjikan. Akhirnya, puisi menjadi candu bagi mereka yang terbelenggu kehidupan duniawi dan mengkhayalkan keindahan surgawi.
Oleh dasar itulah, pada zaman Arab Jahiliyah, banyak orang terpana ketika seorang penyair mendeklamasikan sebuah puisi. Terlebih lagi, apabila puisi tersebut sengaja diperuntukkan bagi mereka. Sebagaimana halnya saat Zuhair Ibn Abi Sulma menyanjung kebesaran dan keagungan Haram Ibn Sinan. Bermodal kata-kata, Zuhair dengan lihai menggambarkan kehebatan dan kemuliaan pembesar negara tersebut. Saking gembiranya, Haram memberikan hadiah kepada Zuhair atas karya ciptaannya. Hal yang tak mengherankan, mengingat mayoritas ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair Ibn Abi Sulma mengantongi beberapa kelebihan, semisal: singkat, padat, dengan bahasa mudah dicerna; melanting pujian sesuai dengan keadaan sebenarnya; serta tidak bersifat cabul. Selain itu, Kamal Yusuf (2009) mencatat, bahwa Zuhair dikenal sebagai penyair hikmah, yang puisi-puisinya memuat ajakan dan anjuran menuju kebaikan.
Bahkan Labid Ibn Rabiah, yang dianugerahi usia panjang serta suatu saat memeluk Islam, ketika masih kecil mampu membuat tercengang seorang penyair masyhur. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bakat kepenyairannya sudah terendus sebelum memasuki usia dewasa. Sebuah riwayat menyebutkan, Labid pernah berjumpa dengan Nabighah dalam suatu majelis. Nabighah, penyair tersohor waktu itu, memperhatikannya. Ketika Nabighah mengatakan bahwa dalam diri Labid terpendam bakat puisi, spontan anak kecil tersebut berpuisi dengan baik. Nabighah menaruh takjub dan berkata bahwa Labid kelak menjadi penyair besar suku Qias. Prediksi itu terbukti dengan didaulatnya Labid sebagai salah seorang penyair yang sangat disegani.
Begitu pula ketika masyarakat Arab menghayati puisi-puisi gubahan Imru’ul Qais, Nabighah Zibyani, A’sya Ibn Qais, Amr Ibn Kaltsum, Tharfah Ibn ‘Abd, Al-Haris ibn Hilza, Abid al-Abros al-Asadi, juga Khansa’ yang bernama lengkap Tumadir bintu Amrin as-Syarib. Bagi mereka, puisi-puisi yang ditulis penyair-penyair di atas sanggup menyajikan ramuan yang menyebabkan orang mabuk kepayang.
Tidak berhenti pada masyarakat Arab pada umumnya, daya tenung puisi ternyata juga menyerang para sahabat Nabi. Sebut saja Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Adonis, melalui buku Ats-tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Itba ‘inda al-Arab yang diterjemahkan dengan Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2012), mengungkapkan bahwa Umar suatu hari mendengar puisi elegi karangan Mutammam bin Nuwairah terhadap saudaranya Malik. Pada waktu itu, Umar langsung terpikat dan memohon kepada Mutammam, “sungguh aku menginginkan engkau membuat puisi elegi untuk saudaraku seperti halnya kamu membuat puisi elegi untuk saudaramu”. Sesaat setelah Mutammam memenuhi permintaan untuk menulis puisi dukacita, Umar berkomentar, “tak seorang pun yang memberikan pelipur lara kepadaku seperti halnya yang ia berikan.”
Umar juga merasa kagum terhadap Zuhair Ibn Abi Sulma yang selalu berhasil memikat pembaca atau pendengar melalui puisi. Dua puisi berikut ini adalah contohnya:
Walau anna hamdan yukhlidu an-nasa akhladu #
                                                   Walakin hamdu an-nasi laisa bimukhlidin
(Andai pujian dapat mengabadikan manusia, mereka pasti mengabadikannya #
Akan tetapi, pujian terhadap mereka tidaklah membuat abadi)
Wa inna al-haqqa muqthi’uhu tsalatsun #
                                                   Yaminun au nafarun au jalaun
(Sesungguhnya kebenaran itu diputuskan dengan tiga hal #
Sumpah, memperkarakan atau mencari kejelasan)
Untuk puisi terakhir, sampai-sampai Umar menyempatkan diri untuk mengulang-ulang baitnya, sebagai rasa kagum atas pengetahuan Zuhair tentang kebenaran.
Adapun Ali bin Abi Thalib dalam menyikapi puisi, sebuah riwayat menuturkan bahwa suatu hari suami Fatimah tersebut ditanya mengenai siapa orang yang paling pandai dalam membuat ilustrasi. Lantas Ali menjawab bahwa orang tersebut adalah Abu Mihjan dengan ucapannya, “janganlah kamu (perempuan) bertanya kepada orang lain tentang hartaku dan berapa banyaknya”. Kalimat singkat ini begitu membekas dalam diri Ali. Sebab kekagumannya itulah, Ali berpendapat bahwa Abu Mihjan merupakan seseorang yang memiliki kelihaian dalam merangkai ilustrasi yang indah, didukung dengan tepatnya pernyataan.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa sahabat Nabi pun merasa teror puisi ternyata dapat ‘menghantui’ jiwa manusia, sehingga menyelundupkan kritik, pencerahan, atau sekadar celoteh yang perlu ditularkan. Namun demikian, yang perlu dicatat yaitu tidak setiap puisi mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Barang tentu puisi para penyair matang yang rajin berpikir, berkontemplasi, merenung di atas riak-riak kehidupan. Pun tidak semua orang bisa tertimpa sihir puisi, kecuali mereka yang bersih pikirannya juga jernih perasaannya. Semoga kita bukan tergolong orang yang terlanjur mengidap “gila”. 

Yogyakarta, 2013

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di majalah "Kalimas" edisi Januari-Fabruari 2014)

Kepala Sakti

tukang babat itu
tak pernah menghitung
berapa helai bulu
yang telah dipancung

setiap kali beraksi
ia hanya mengingat
bentuk kepala
tak sudi lihat wajah empunya

suatu hari
ada pelanggan istimewa

“kok aneh,
beda dengan kepala biasanya”

dengan memegang gunting
ia siap mengakhiri
riwayat bulu-bulu
yang sedang menunggu

setelah dua jam
tak ada perubahan

si kepala besar
tambah besar kepala
pasalnya,
bulunya kebal senjata

setelah ditelusuri,
ternyata banyak
utang luar negeri
yang diganyang sendiri

“pantas kepalanya sakti
sudah berulang kali
ia masuk bui”

Malang, 2010


Penentuan

kata,
kalau berani
ambil pisaumu

kita
selesaikan
di sini

agar
semua tahu
: siapa yang
dipinang oleh
 - puisi -

Malang, 2010


Kerja Baru

karena sudah
lama nganggur
aku ingin bekerja
padamu, bu!
           
            mengawasi burung ayah
            yang manggung
            di luar rumah

Malang, 2010