Senin, 15 Juli 2019

Kuasa Elite Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Sabtu, 13 Juli 2019)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berencana menguatkan sistem pengawasan dana desa berbasis kolaboratif. Upaya ini akan ditempuh demi menghasilkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dana Desa yang bisa menjadi rujukan aparat penegak hukum, auditor, serta sejumlah kementerian/lembaga.
Sejak digulirkan pada 2015, dana desa menjadi isu yang cukup sensitif. Apalagi, jumlah dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin besar. Sampai penghujung 2018, pemerintah pusat genap menganggarkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut untuk diberikan kepada desa sebesar Rp 561 triliun.
Melimpahnya dana desa turut menumbuhkan kembali taring kekuasaan elite lokal. Melalui perangkat perundang-undangan, kuasa pemerintahan desa dikukuhkan. Merujuk Ivanovich Agusta (2015), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengokohkan kembali kuasa pemerintahan desa melalui dana desa, berikut wewenang mengelola seluruh program yang masuk desa.
Agusta juga mensinyalir bahwa dengan adanya perolehan honor bulanan bagi perangkat desa, cengkeraman pemerintahan desa menjalar sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT). Gencarnya insentif program dan dana yang masuk ke desa merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat dan daerah terhadap implementasi fungsi-fungsi pemerintahan desa.
Terbitnya peraturan perundang-undangan tentang desa tersebut genap menguatkan kuasa pemerintahan desa yang sempat melemah pasca reformasi. Sayangnya, upaya penguatan tersebut berimplikasi serius lantaran turut mengembalikan posisi kepala desa sebagai sosok superior. Padahal, tak lama setelah Soeharto tumbang, derasnya arus demokratisasi dan desentralisasi ternyata mengakibatkan kewibawaan mereka merosot drastis.
Barang tentu hal ini memberikan kegembiraan bagi elite lokal yang sejak lama kehilangan taring. Kini, mereka memperoleh kepercayaan untuk mengelola dana desa yang berjumlah ratusan juta rupiah per tahun di luar proyek-proyek pemerintah pusat yang dititipkan ke desa. Jika fungsi kontrol di desa kurang berjalan maksimal, maka dikhawatirkan kepala desa akan tampil arogan bergaya otoritarian-sentralistik di hadapan warganya. Implementasi kehidupan desa juga akan timpang, sebab kepala desa rentan menjalankan kewenangan secara kebablasan.

Mekanisasi
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam perjalanannya telah memunculkan mekanisasi. Bagaimanapun, tersedianya honor bulanan bagi perangkat desa menyebabkan penetrasi pemerintahan desa dirasakan sampai level RT. Padahal, dahulu kala, RT merupakan lembaga kemasyarakatan yang bersifat sukarela. Kondisi demikian menyebabkan selain kemandiriannya dalam berinovasi semakin terbatas, RT juga menjadi penampung kepentingan kekuasaan di atasnya.
Itulah mengapa, ketua RT tiada lain merupakan kepanjangan tangan kepala desa di wilayah masing-masing. Akhirnya, kepastian honor membuat kerja perangkat desa semakin mekanis. Tidak ada prakarsa dan inisiatif dalam rangka menjanjikan kesejahteraan masyarakat desa. Honor sejatinya sekadar meniscayakan hasil kinerja yang terukur, bercorak kuantiatif, namun menihilkan kreativitas.
Di samping honor, mekanisasi perangkat desa sebenarnya juga dilakukan melalui seragam dinas. Meskipun bukan termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi perangkat desa dituntut mengenakan seragam ala pemerintah. Atribut ini mengesankan bahwa mereka merupakan bagian dari pemerintah pusat yang menjalankan tugas negara. Pakaian resmi menandakan, mereka senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki oleh supra desa. Instruksi pemerintah pusat dan daerah merupakan titah yang wajib dilaksanakan. Suasana formal dan teratur melingkupi mereka saat bertugas. Tak heran apabila berkumpulnya para pamong di balai desa lebih merefleksikan petugas kantor dibanding pelayan masyarakat.
Kepastian honor bagi perangkat desa mendaulat uang sebagai sarana kontrol yang paling efektif. Negara leluasa melakukan pengawasan terhadap rakyat melalui uang. Pengendalian terhadap kehidupan desa cukup mudah diwujudkan dengan uang. Seringkali perangkat desa kehilangan daya kritis ketika dijejali uang. Pada dasarnya uang merupakan perangkat penguasa untuk mengondisikan” siapa saja yang berani melawannya.
Dengan adanya dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, pemerintah pusat dan daerah mengikutsertakan pendamping desa yang bertugas mengawalnya. Padahal, boleh jadi pendamping desa membawa ideologi dan misi tertentu yang lebih berpihak pada negara ketimbang desa. Pencairan dana dari atas menyiratkan kemauan supra desa untuk membaca dinamika masyarakat desa.

Budaya Korupsi
Dalam taraf tertentu, kuasa pemerintahan desa dicemari oleh menjamurnya penyelewengan di level lokal. Bagaimanapun, melimpahnya uang di desa menjadi pemantik korupsi oleh aktor-aktor lokal. Dalam enam bulan pertama 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya 27 kasus korupsi dana desa yang naik ke tahap penyidikan. Data tersebut mengamini tesis bahwa budaya korupsi genap mengakar di negeri ini.
Menurut catatan sejarah, korupsi seolah dilegalkan sejak zaman kerajaan. Korupsi memperoleh jalan lempang sebab raja memberikan keleluasaan bagi elite lokal untuk memperkaya diri. Pada masa silam, kepala desa sebagai tangan kanan raja mendapat peluang besar untuk mengeruk keuntungan dengan jalan haram. Tanpa kepastian gaji, mereka justru leluasa memonopoli tenaga kerja untuk kepentingan pribadi.
Rakyat kecil yang semestinya memperoleh perlindungan justru diperas oleh pemimpinnya. Mereka yang bermental individualistis pasti merasa diuntungkan dengan keputusan raja. Adapun rakyat kecil selalu mengeluh karena menjadi korban kesewenangan elite lokal. Orang desa kerap menerima imbas dan risiko dari kebijakan yang menihilkan eksistensinya.
Kesewenangan kepala desa menurun saat Herman Willem Daendels terpilih menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808-1811. Masa pemerintahan Daendels yang cukup singkat rupanya membatasi dominasi elite lokal. Kebijakan pemerintah menyebabkan penghasilan mereka merosot sedemikian rupa. Bahkan, apa yang mereka “kantongi” cenderung sekadar merupakan pemberian dari atas. Pendapatan yang benar-benar pasti hanyalah gaji. Sehingga, untuk mencari pemasukan lain, mereka merasa kesulitan.
Posisi kepala desa terancam jika nekat mengutip keuntungan dari penjualan hasil bumi. Mereka tidak lagi leluasa menambah pundi kekayaan dengan menghisap kekayaan orang-orang desa. Sanksi atas kasus korupsi membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan penghisapan. Kebijakan ini secara tidak langsung meringankan penderitaan rakyat kecil. Kerja orang desa menjadi lebih ringan lantaran kepala desa tidak lagi membebaninya.
Getolnya Daendels membasmi korupsi menjadikan beban rakyat otomatis berkurang. Sebelumnya, diperbolehkannya kepala desa mengambil keuntungan dari hasil panen membuat warga desa kerap diperas oleh pemimpinnya. Kepala desa berhasrat melipatgandakan keuntungan dengan memaksa warganya menghasilkan lebih banyak hasil panen. Ketika target upeti berhasil terpenuhi, kepala desa bisa mengantongi sisanya. Warga desa kerap bekerja di luar kemampuan demi menuruti hasrat elite lokal.

Bojonegoro, 2018

Jumat, 12 Juli 2019

Harmoni Desa Jawa (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Kamis, 11 Juli 2019)



Tak bisa dimungkiri, kasus-kasus kekerasan masih membelit beberapa desa. Uniknya, warga desa mampu bersikap bijak seraya menahan diri dari perilaku reaktif-emosional. Dengan berpikir jernih, mereka berusaha agar kekerasan dapat segera diredam. Orang desa benar-benar menjunjung tinggi toleransi beragama. Mereka senantiasa memuliakan prinsip kerukunan yang genap diwariskan nenek moyang.
Saat menjalankan ibadah, mereka mampu menghindarkan diri dari sikap fanatisme membabibuta. Dengan demikian, implementasi ajaran kitab suci bukan justru melahirkan rasa benci, melainkan harmoni. Inilah di antara kesan yang diperoleh saat kita membaca buku bertajuk Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi pada Masyarakat Pedesaan Jawa (Yayasan Pustaka Obor Indonesia).

Harmonisme Kultural
Kokohnya bangunan toleransi dalam kehidupan desa antara lain dikarenakan orang Jawa mampu memposisikan agama dan tradisi dengan baik. Keduanya mendapat ruang yang luas dalam diri orang Jawa. Bahkan, mereka membingkainya dalam suatu harmoni, sehingga antara satu dengan lainnya saling menguatkan. Inilah di antara point penting yang ingin ditonjolkan dalam buku ini.
Penulis buku ini, Bungaran Antonius Simanjuntak, mengungkap bahwa masyarakat Jawa menerima agama dan tradisi selaku pelengkap hidup yang komplementer. Bagi mereka, prinsip agama dan nilai tradisi menunjukkan kepaduan. Namun demikian, sikap mereka terhadap keduanya bersifat dualistis. Sebagian orang menyatakan agama bagian dari kebudayaan, adapun sisanya menolak pandangan tersebut.
Agama berfungsi sebagai sarana mencapai ketenteraman, kedamaian, ketenangan; mengendalikan kehidupan sosial; mengatur tingkah laku manusia; memberikan norma dan pedoman; serta menjanjikan kebahagiaan sejati. Sebagai suatu gejala sosial, esensi agama dikuduskan oleh adanya dogma, moral, dan etika (hlm. 167).
Lantaran menekankan urgensi agama, orang Jawa begitu mudah menerima masuknya agama ke wilayah pedesaan. Pengalaman membuktikan, sejak berabad-abad silam, Hindu dan Budha telah memasuki pulau Jawa. Tak heran jika sejumlah peninggalan berupa candi-candi Borobudur, Prambanan, Mendut, Kalasan, serta Jago masih bisa dinikmati sampai sekarang. Pesatnya perkembangan kedua agama tersebut menyebabkan kebudayaan Hindu-Budha terakulturasi dengan tradisi asli Jawa. Anehnya, setelah para pedagang Gujarat, Persia, dan sebagainya membawa Islam ke pulau ini, penduduk setempat meninggalkan agama Hindu dan Budha (hlm. 173).
Bagi masyarakat Jawa, fungsi kebudayaan dan tradisi juga tidak kalah penting. Dalam upaya menyesuaikan diri dengan orang lain, mereka menempuhnya melalui kebudayaan. Selain menciptakan perdamaian sosial, esensi kebudayaan juga mengatur kehidupan manusia agar tenteram, aman, bahagia, damai, sejahtera, teratur, terkendali, berpengharapan, dan berpendorongan. Dalam tataran praktis, upacara tradisi digunakan oleh masyarakat sebagai sarana mencapai ini semua (hlm. 167).
Uniknya, meski berkutat dengan kebudayaan dan tradisi lama, masyarakat Jawa senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Bagaimanapun, globalisasi dan modernisasi harus dihadapi, bukan justru dihindari. Itulah mengapa, agama dipakai untuk memaknai setiap perubahan yang terjadi. Dalam taraf tertentu, agama merupakan ‘agent of modernization’.

Oposisi Biner
Simpulan yang disajikan penulis seolah melahirkan suatu pertentangan antara desa dan kota. Desa sebagai lokasi tumbuhnya harmoni, sedangkan kota merupakan tempat lahirnya tragedi. Pertentangan demikian merupakan konstruksi oposisi biner sebagai sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berlawanan.
Pemandangan di desa menunjukkan upaya setiap orang dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjalin interaksi, kolektivitas dan komunalitas orang desa tetap terjaga. Betapa kultur yang santun dan lembut merupakan imbas dari corak kehidupan pedesaan yang dilandasi prinsip gotong-royong.
Adapun nuansa kota selalu terkesan sinis dan brutal. Globalisasi dan modernisasi membuat kota semakin arogan, sehingga membentuk kepribadian yang egoistis. Menjamurnya tindak kekerasan akhir-akhir ini antara lain disulut oleh merembesnya budaya perkotaan dalam kepribadian masyarakat.
Padahal, desa masa kini cenderung beriklim perkotaan. Di sini, karakter perdesaaan semakin sulit ditemukan. Dalam taraf tertentu, desa menampilkan wajah rural di satu sisi dan tampilan urban di sisi lain. Realitas ini berimbas pada kurang relevannya meletakkan desa dan kota dalam bingkai oposisi biner. Dalam era borderless society, definisi keduanya saling berkelindan dan senantiasa berhubungan.

Yogyakarta, 2016

Rabu, 10 Juli 2019

Pergeseran Mentalitas Perempuan (Aspirasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Harian Jogja" edisi Senin, 8 Juli 2019)



Saat mengadakan jumpa pers belakangan ini, Kepala Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, mengaku prihatin terhadap status darurat Nusa Tenggara Timur (NTT). Di Indonesia, NTT genap dinobatkan sebagai daerah dengan angka kasus perdagangan orang (human trafficking) tertinggi.
Maraknya kasus human trafficking menunjukkan rendahnya pandangan publik terhadap perempuan. Pandangan negatif terhadap perempuan selama ini merupakan akibat tidak langsung dari kentalnya kultur patriarki di negeri ini. Betapa sejak lama, penghormatan terhadap kaum lelaki sekaligus penghinaan terhadap harkat kaum Hawa menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan lintas generasi. Oleh masyarakat, perempuan acapkali dianggap lemah, bodoh, tak berbudaya, kurang berkompeten, serta miskin prestasi.

Penyebab Kemunduran
Menurut kepercayaan kuno, kelahiran anak lelaki merupakan suatu kebanggaan dan kemuliaan bagi keluarga. Sebaliknya, keluarnya bayi perempuan dari rahim ibu merupakan musibah dan bencana. Tak mengherankan apabila pasangan suami-istri yang memiliki anak perempuan dinilai mengandung aib serta mengundang bermacam kesialan. Apalagi, persepsi demikian didukung dengan catatan historis.
Merujuk Djajadiningrat, faktor utama penyebab kemunduran Aceh ialah kepemimpinan raja perempuan yang berlangsung selama setengah abad, mulai tahun 1641. Tanpa mengantongi izin keluar dari harem, raja-raja perempuan terpaksa menginisiasi jabatan kepala himpunan desa-desa penghasil beras dan lada sekaligus mengukuhkan pemegang kekuasaan setempat selaku ketua himpunan.
Sayang, kedudukan strategis yang dapat menghasilkan banyak kekayaan tersebut kerap diisi oleh anggota keluarganya. Kebijakan istana yang bernuansa nepotisme akhirnya memantik perlawanan. Apa yang dilakukan oleh raja memperoleh pertentangan serius dari alim ulama dan petinggi lelaki kerajaan. Hal inilah yang di kemudian hari menyebabkan hak-hak istimewa raja Aceh semakin berkurang. (Henk Schulte Nordholt, et.al. [ed], 2008: 336).
Namun demikian, tidak berarti kaum perempuan selalu dibelenggu dengan image negatif. Dalam tataran realitas, kemajuan desa tak terlepas dari peran dan sumbangsih perempuan. Kesejahteraan desa merupakan imbas dari keikutsertaan perempuan dalam ruang publik. Ada banyak bukti tentang kehebatan perempuan, antara lain ditemukan di Desa Sumur Lor Kabupaten Probolinggo.
Bukan hanya program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), partisipasi perempuan di desa ini ternyata cukup marak dalam kegiatan publik dan aktivitas sosial lainnya. Menurut Hetifah Sj. Sumarto dalam Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia (2009: 286), kondisi demikian muncul akibat motivasi yang kerap ditiupkan oleh kepala desa. Dipimpin oleh seorang perempuan, Pemerintah Desa Sumur Lor berkomitmen untuk senantiasa melibatkan perempuan dalam beberapa kegiatan.

Kesetaraan Gender
Di sejumlah daerah, telah terjadi peralihan mentalitas perempuan seiring dengan berubahnya nilai dan norma kehidupan. Bagaimanapun, semangat zaman turut membentuk sikap, karakter, serta perilaku mereka. Perempuan tidak lagi terikat dengan pemikiran masyarakat yang pernah mengungkungnya. Dengan melepaskan diri dari mitos, asumsi, serta keyakinan lama, mereka kini lebih tampil percaya diri.
Perempuan ingin memperoleh peluang yang sama dengan kaum lelaki, terutama dalam menjalankan hak sebagai warga negara. Perempuan bermaksud membuang beragam citra negatif yang terlanjur dilekatkan pada diri mereka. Dengan demikian, ada kehendak yang cukup kuat untuk menyuarakan ketidakadilan gender (gender inequalities). Bagaimanapun, perbedaan jenis kelamin tidak serta-merta mengubur hasrat untuk mewujudkan cita-cita kaum perempuan.
Kesetaraan antara lelaki dan perempuan sebenarnya wajib dilindungi oleh pemerintah. Sebagai negara hukum (Rechtsstaat), Indonesia telah menggariskan kesetaraan gender melalui produk hukum. Sejumlah peraturan perundang-undangan mengusahakan keterlibatan perempuan dalam ranah publik, salah satunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada Pasal 58 ayat (1) disebutkan, “Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan…. dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.”
Dengan terbitnya undang-undang tersebut, kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi masyarakat terbuka lebar. Sehingga, keanggotaan badan legislatif desa tidak hanya didominasi atau bahkan menjadi domain kaum lelaki. Mereka dapat menggali informasi tentang kebutuhan kelompok perempuan sekaligus mengintegrasikannya dalam forum bersama. Harapannya, potensi perempuan semakin diperhitungkan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.

Bojonegoro, 2019

Senin, 08 Juli 2019

Eksistensi Jagatirta dalam Kultur Agraris (Seni & Tradisi_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Senin, 8 Juli 2019)



Ajal telah menjemput Anang (67). Lelaki uzur asal Kampung Citeureup, Desa Neglasari, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung itu menghembuskan nafas terakhir setelah dibacok rekannya berinisial Y (39). Berdasarkan dugaan sementara, rebutan sumber air untuk sawah merupakan pemicu insiden tragis tersebut. Barangkali apa yang menimpa Anang tak mungkin terjadi apabila jagatirta berperan maksimal.
Jagatirta menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintah desa. Dengan memakai jasanya, program-program pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan, sejak dulu kala, mayoritas mata pencaharian orang desa adalah petani yang selalu membutuhkan pasokan air guna menumbuhkan bibit tanaman di sawah. Bertahannya kultur agraris di daerah-daerah pedalaman antara lain dikarenakan peran jagatirta masih diemban oleh sejumlah orang.

Urgensi Jagatirta
Di desa-desa Jawa, jagatirta merupakan pamong desa, selain kepala desa, kamituwa, carik, kebayan, dan jagabaya. Menurut Purwadi (2007: 191), jagatirta berasal dari kata jaga yang berarti menjaga dan tirta yang bermakna air. Mengantongi nama lain reksabumi, sambong, ulu-ulu, atau kuwowo, ia berperan mengatur pengairan, membuat saluran air, mengatur pembagian air, memelihara dan menyelesaikan persoalan bila ada persengketaan yang disebabkan oleh pengairan sawah. Dengan demikian, jagatirta adalah pamong desa yang bertugas mengatur pengairan sawah-sawah rakyat.
Dalam kehidupan perdesaan tradisional, peran jagatirta sangat urgen. Peran jagatirta sangat dibutuhkan dalam rangka menumbuhkan berbagai tanaman di sawah. Seberapa besar dan baik hasil panen di antaranya tergantung pada intensitas jagatirta dalam menjalankan tugasnya. Di balik hasil panen yang melimpah terdapat kerja kerasnya. Dalam menghasilkan beras yang berkualitas, orang-orang desa berutang budi padanya.
Semangat dan etos kerja jagatirta turut menentukan kesuksesan para petani dalam menggarap sawah. Perkembangan dan kemajuan bidang pertanian tidak terlepas dari kinerja jagatirta. Maju dan mundurnya bidang pertanian di wilayah perdesaan antara lain ditentukan oleh peran jagatirta. Itulah mengapa, hubungan erat dan harmonisme tercipta antara para petani dengan salah satu pamong desa ini. Terdapat ikatan batin yang begitu kuat antara keduanya. Dari masa ke masa, ikatan tersebut tetap bertahan dan tak tergoyahkan.
Keberadaan jagatirta membuat kultur agraris senantiasa terpelihara dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Implementasi nilai dan prinsip kaum petani dalam mewujudkan kearifan lokal (local wisdom) memiliki keterkaitan dengan jagatirta. Tak hanya itu, adat istiadat perdesaan yang berhubungan dengan pertanian, semisal bermacam ritual dan upacara, tidak mungkin bertahan tanpa adanya jagatirta.
Tugas mengatur pengairan ke sawah-sawah, terutama dilakukan jagatirta pada waktu musim kemarau. Pembagian air harus diatur seadil mungkin, supaya setiap pemilik sawah mendapatkannya secara proporsional. Guna menghasilkan bahan pangan sekaligus menghindarkan keluarga dari kelaparan, kaum petani memerlukan jagatirta. Oleh sebab itu, tugas ini tidak bisa diemban oleh sembarang orang. Ada syarat dan kriteria tertentu bagi siapa saja yang ingin berperan selaku jagatirta. Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (1988: 106), jagatirta harus dipilih dari orang yang bijaksana dan mampu bertindak adil. Bagaimanapun, ketidakadilan (dalam pembagian air) rentan menimbulkan keributan di antara para petani. Bahkan, bukan tidak mungkin terjadi permusuhan di antara mereka.
Seiring berkembangnya lahan pekerjaan manusia, kedudukannya semakin melemah. Ia terpaksa berbagi pengaruh dengan profesi-profesi lainnya. Kala jumlah petani di desa masih tinggi, ia benar-benar diperhitungkan. Wibawa melekat pada diri seseorang dengan ‘predikat’ jagatirta. Lambat laun, menipisnya atensi dan simpati masyarakat membuatnya tak berdaya. Globalisasi dan modernisasi menjadikannya semakin tak berarti. Perkembangan zaman dan pergeseran pola pikir manusia menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan jagatirta. Berbeda jauh dengan masa silam, di mana orang-orang terdahulu mempunyai kepedulian terhadap keberadaan jagatirta, generasi belakangan tidak memiliki perhatian terhadapnya. Merosotnya jumlah petani berimbas pada hilangnya kharisma pada dirinya.

Otonomi Desa
Di luar urusannya selaku pengelola air untuk dibagikan ke setiap sawah, tugas jagatirta juga mencakup upaya penyelesaian persengketaan kaum petani dalam urusan pengairan sawah. Mengatasi perselisihan yang timbul akibat pembagian air yang kurang merata menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Dengan demikian, selain berhubungan dengan sawah, membangun interaksi sekaligus solidaritas sosial antar pemilik sawah merupakan kewenangannya. Ia tidak hanya memastikan apakah air dapat dirasakan semua petani, melainkan juga menjauhkan mereka dari segala bentuk perpecahan.
Di sinilah peran jagatirta dalam menempatkan diri selaku penengah yang arif dan bijak. Ia dituntut mampu menjadi mediator yang baik bagi siapa saja yang berselisih. Ia mesti berpikir jernih dan matang dalam upaya melahirkan solusi terbaik bagi kehidupan petani. Komunikasi dengan warga desa senantiasa ia bangun demi tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan. Supaya tidak ada yang merasa dirugikan, unsur-unsur nepotisme dan kongkalikong benar-benar dijauhi. Ia harus menaungi semua petani agar kecemburuan sosial dapat dihindarkan. Keputusannya meniscayakan prinsip-prinsip keadilan, kerukunan, serta kebersamaan, agar dapat diterima semua pihak. Apa yang genap diputuskan juga dilatarbelakangi ikhtiar dalam mengutamakan kepentingan publik.
Salah satu penilaian terhadap jalannya pemerintahan desa bisa ditinjau dari kinerja jagatirta. Sebagian evaluasi atas tugas pamong desa dilakukan dengan melihat apakah jagatirta menunaikan kewajibannya secara maksimal dan seberapa besar usahanya dalam melestarikan sawah. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu, jagatirta turut membentuk good governance di desa. Keputusannya seolah menjadi garansi atas kenyamanan dan kemakmuran warga yang tinggal di suatu tempat.
Eksistensi jagatirta pada masa silam merupakan bukti bahwa desa memiliki otonomi yang sangat besar. Desa memiliki kewenangan untuk mengelola sawah secara mandiri tanpa bergantung kepada pemerintah pusat. Desa menjadi arena para petani dalam mengukuhkan identitas dan jatidiri. Desa dibekali dengan kemampuan untuk menata diri sendiri tanpa intervensi dari luar. Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru, di mana tata kelola pertanian selalu bersifat top down. Instruksi pemerintah menjadi dasar atas berkembangnya laju pertanian. Untuk sekadar mengolah tanah, para petani menunggu program pemerintah. Desa tak lagi memiliki daya cipta dan prakarsa. Dengan dalih keteraturan dan penyeragaman, segala bentuk inovasi dihapuskan. Lebih dari itu, pada masa inilah, desa menjadi kaki tangan penguasa dalam mensukseskan proyek-proyek pembangunan. Desa tak lebih dari komunitas berbasis ruang yang bertanggung jawab atas terselenggaranya program pemerintah.
Belakangan, saat materialisme dan individualisme berhasil menyusup ke wilayah perdesaan, kinerja jagatirta mulai diragukan. Apa yang dilakukan seringkali menunjukkan bahwa dirinya kurang profesional. Daripada dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian, kinerjanya lebih berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Dalam beberapa kasus, ia memanfaatkan posisinya untuk menguntungkan satu kelompok dan merugikan kelompok lain. Saat mengalirkan air irigasi ke sawah, ia cenderung tebang pilih. Skala prioritas diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai hubungan pertemanan, kekeluargaan, dan kekerabatan dengannya. Unsur kedekatan melandasi keputusannya dalam urusan pengairan sawah. Netralitas tidak lagi menjadi acuannya dalam bekerja, melainkan pemihakan atas kelompok tertentu.

Yogyakarta, 2017