Rabu, 18 Juli 2018

Aceh, Sekolah Desa, dan Paradigma Gender (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Rabu, 18 Juli 2018)


Lantaran termakan usia, beberapa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) dalam kondisi memprihatinkan. Rusaknya bangunan antara lain ditandai dengan langit-langit yang pecah, lantai yang retak, serta cat yang mengelupas. Adapun minimnya fasilitas bisa dilihat dari sebagian meja dan kursi yang tak layak pakai. Keadaan demikian tentu mengganggu aktivitas belajar dan mengajar di sekolah. Tingginya semangat para murid dalam menuntut ilmu kurang seimbang dengan sarana dan prasarana yang ada.
Motivasi mereka dalam mengejar cita-cita justru direspons dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Padahal, pada masa kolonialisme Belanda, berdirinya “sekolah desa” di Aceh menunjukkan atensi pemerintah terhadap bidang pendidikan, meski coraknya ambivalen dan kontradiktif. Di satu sisi, lahirnya sekolah desa turut mengurangi angka buta huruf. Namun, di sisi lain, kehadirannya juga menunjukkan bahwa kaum kolonial sekadar berhasrat menyuguhkan citra positif di hadapan rakyat jajahan.

Persamaan Hak
Eksistensi sekolah desa di Aceh menggambarkan fenomena menarik. Langkah penguasa kolonial menghadirkan lembaga pendidikan pada daerah dengan adat-adat lokal yang begitu kuat tersebut ternyata disertai dengan dikenalkannya paradigma gender. Budaya patriarki yang didukung oleh tokoh-tokoh Islam diimbangi dengan dimasukkannya persamaan hak laki-laki dengan perempuan. Selain itu, ikhtiar mengupayakan pendidikan bagi orang-orang kecil senantiasa melahirkan pihak pro dan kontra. Uniknya, perbedaan pandang ini tidak hanya menimpa pihak kolonial, tetapi juga masyarakat setempat.
Pada tahun 1907, Gubernur Van Daalen memprakarsai kelahiran sekolah desa di Aceh. Lembaga pendidikan bagi anak-anak perempuan dibangun pertama kali di Ulee Lheue pada tanggal 1 Mei 1910. Di bawah pemerintah Gubernur Swat, sekolah desa cukup berkembang. Istri pejabat-pejabat tinggi Belanda turut berkontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan kaum perempuan Aceh. Bagi orang-orang kampung yang terpandang dan anak-anak pegawai rendahan dibangun sekolah rendah lima tahun (Inlandsche School atau Sekolah Melayu), di mana para lulusan sekolah desa tiga tahun boleh melanjutkan studinya ke sekolah ini. Proses pembelajaran mengalami hambatan, lantaran guru-gurunya yang berasal dari suku Batak dan Minangkabau tidak bisa berbahasa Aceh, sedangkan rakyat di desa-desa tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa Melayu.
Melalui buku Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia, Anthony Reid (2011: 334-335) menjelaskan bahwa pada waktu sekolah desa dibuka pada awal tahun 1900-an, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Melayu. Tepatnya pada tahun 1932, saat mengkhawatirkan rakyat Aceh yang mengombinasikan sikap anti-asing dengan nasionalisme Indonesia, pemerintah kolonial mengganti bahasa pengantar dengan bahasa Aceh. Lantaran mencurigai bahwa kebijakan ini merupakan siasat politik Belanda untuk mengisolasi Aceh, banyak elite terpelajar dari daerah serambi Mekah tersebut merasa keberatan.

Perbedaan Sikap
Lahirnya sekolah-sekolah dukungan Belanda direspons dengan munculnya kelompok fanatik dan kelompok luwes. Lantaran tidak mampu memprediksi hasilnya, kelompok pertama pada awalnya bersikap kaku terhadap pendidikan model Barat tersebut. Bagi mereka, lembaga pendidikan agama tradisional, yaitu dayah atau deah, sudah cukup memadai. Sikap ini dikukuhkan dengan mengeluarkan isu bahwa siapa saja yang belajar di sekolah-sekolah tersebut dianggap kafir. Muncul pula keengganan penduduk menyekolahkan buah hati, dikarenakan kepercayaan mereka terhadap pendapat bahwa tangan orang yang pandai menulis huruf latin bakal dipotong di akhirat. Berangkat dari asumsi inilah, sekolah desa mereka sebut dengan sikula deesa (sekolah dosa). Adapun kelompok yang luwes justru mengekor langkah pemimpin-pemimpin adat dengan mendaftarkan buah hati pada sekolah-sekolah bikinan Belanda. (Muhammad Ibrahim, dkk., 1991: 159-160).
Munculnya respons positif dan negatif sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa masyarakat Aceh berbeda dalam menyikapi keadaan. Dipeliharanya nilai-nilai lama dan diterimanya nilai-nilai baru dalam kehidupan menjadikan mereka tidak selalu seragam dalam menghadapi realitas. Orang-orang yang berjiwa responsif dan dinamis akan menerima kehadiran sekolah desa. Adapun mereka yang memegang teguh tradisi leluhur cenderung menolak keberadaannya. Sekolah desa merupakan institusi baru yang muncul belakangan setelah masyarakat menaruh kepercayaan besar terhadap lembaga pendidikan agama. Sejak lama, mereka tumbuh bersama doktrin dan ajaran yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama melalui institusi tradisional. Melalui sistem pendidikan yang diterapkan pada dayah atau deah, mereka sangat teguh merawat tradisi. 
Berdasarkan buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1991: 186), perkembangan sejarah menunjukkan bahwa sekolah desa bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan yang pernah “hidup” di Aceh. Pada akhir penjajahan Belanda telah muncul beragam jenis pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan swasta. Pendidikan umum dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari sekolah desa (Volkschool) yang berdiri di kawasan pedesaan hingga MULO yang ada di Kutaraja (Banda Aceh). Adapun lembaga pendidikan yang diselenggarakan pihak swasta antara lain yaitu Muhammadiyah dan Taman Siswa serta sekolah-sekolah rintisan masyarakat setempat, semisal Pasuka Peurelak, Rumah Perguruan Kita, dan Rumah Perguruan Murid di Takengon.

Bojonegoro, 2018

Selasa, 17 Juli 2018

Desa Wisata dan Derap Modernisasi (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Sabtu, 14 Juli 2018)


Selama liburan Hari Raya Idul Fitri, para wisatawan atau pemudik genap menyerbu Desa Wisata Religi Bongo di Gorontalo. Setiap hari terdapat 10.000 orang hilir mudik menuju pesisir utara Teluk Tomini. Lokasi wisata dengan mayoritas pengunjung berasal dari Sulawesi Utara tersebut menyajikan wisata religi berupa Masjid Walima Emas di puncak gunung dengan dikelilingi kolam yang indah.
Banyaknya pengunjung lokasi wisata di wilayah pedalaman menunjukkan bahwa desa mempunyai daya tarik tersendiri. Keistimewaan, kekhasan, dan keunikan desa mampu menyedot perhatian publik. Seiring dengan mengentalnya nilai-nilai urban dalam diri manusia, sentimentalitas dan rasa kangen terhadap hal-hal berbau kampung merupakan keniscayaan. Itulah mengapa, dalam dasawarsa terakhir, kehadiran desa wisata semakin fenomenal.
Tak heran apabila para pegiat pariwisata berusaha menonjolkan pemandangan udik. Dalam berbagai kesempatan, para sponsor mengukuhkan desa sebagai ikon destinasi. Hal ini dilakukan terutama untuk menggaet wisatawan. Betapa sektor pariwisata di level lokal turut digenjot oleh ketertarikan masyarakat terhadap panorama desa yang selain menjanjikan keindahan juga menyimpan kearifan lokal. Keteduhan, kesejukan, serta ketenteraman desa juga menjadi komoditas berharga yang mesti dimanfaatkan dengan baik.

Potensi Lokal
Banyak lokasi wisata di berbagai penjuru negeri ini yang sejatinya mempunyai potensi luar biasa, namun belum sepenuhnya digarap secara serius. Terbatasnya anggaran, minimnya kapasitas pengelolaan, serta rendahnya political will mengakibatkan manfaatnya kurang dirasakan oleh warga setempat. Fakta ini antara lain ditemukan di sejumlah daerah di Kalimantan Timur dan Sumatera Barat.
Kondisi hutan dan lanskap di Desa Setulang dan Desa Sengayan sebenarnya sangat mendukung dalam upaya mengembangkan kawasan ekowisata. Di desa pertama, berdiri kuburan tua yang cukup potensial untuk menarik minat para pengunjung mancanegara. Adapun di dua desa yang berada di Malinau, Kalimantan Timur tersebut, tradisi dan budaya lokal masih sangat kuat. (Kade Sidiyasa, dkk., 2006: 49). Inilah yang menjadi modal dasar dalam ikhtiar memajukan wilayah perdesaan. Sayangnya, pemerintah setempat tampak belum menunjukkan keberpihakan terhadap potensi lokal. Sehingga, kawasan ekowisata yang ada cenderung terabaikan.
Berdasarkan pemberitaan surat kabar Haluan edisi 16-09-2017, objek wisata alam Goa Tambubuang Rayo di Jorong Gumarang, Nagari III Koto Silungkang, Kecamatan Palembayan, Sumatera Barat, hingga detik ini belum terjamah. Pada atap dan dasar goa sepanjang sekitar 100 meter berpintu gerbang luas tersebut melekat batu stlaktik dan stlagmik. Tersusun rapi secara alamiah, tampilan batuan tersebut menimbulkan keindahan tersendiri. Dalam goa bersarang kelelawar dan burung “layang-layang sarok”. Selain itu, tersedia juga pemancingan ikan di sungai sekitar goa yang memanjakan setiap pengunjung.
Padahal, pemberdayaan sektor pariwisata di wilayah pedalaman dipercaya mampu menggerakkan roda perekonomian lokal. Berbagai data menunjukkan bahwa seiring berkembangnya desa wisata, tingkat perekonomian warga ikut terdongkrak. Kemiskinan akut yang merongrong sebagian masyarakat dapat dihindarkan apabila objek-objek wisata yang bertebaran di wilayah pedalaman dikelola secara maksimal. Dengan diresmikannya desa wisata, masyarakat setempat dapat mengekspresikan kreativitas dengan menjajakan panganan tradisional dan menawarkan produk lokal. Lebih jauh, rumah penduduk yang berada di sekitar objek wisata bisa disulap menjadi lokasi penginapan (homestay) atau tempat peristirahatan pengunjung.

Prototipe
Apabila digarap secara serius, potensi lokal mampu digunakan sebagai modal besar pembentuk destinasi wisata unggulan. Namun demikian, usaha menghadirkan desa wisata yang berkarakter dan berkualitas memerlukan proses panjang. Untuk mewujudkannya, pamong desa selaku aktor lokal bisa menempuh beberapa langkah berikut.
Pertama, menentukan prototipe pengembangan desa wisata. Dalam konteks ini, Desa Medal Sari, Kecamatan Pangkalan, Karawang, merupakan contoh yang baik. Lantaran dikenal rajin mengkonservasi lingkungan sekaligus getol membumikan tradisi lama, desa yang berada dalam kawasan Jawa Barat tersebut layak dijadikan sebagai salah satu model. Berdasarkan buku Karawang dalam Lintasan Peradaban (2016: 224), penduduk Desa Medalsari bertekad menciptakan keseimbangan ekosistem serta mempertahankan budaya asli. Bagaimanapun, tradisi-tradisi sarat nilai yang masih bertahan dari gempuran modernisasi merupakan kekayaan tak ternilai yang sukar dijumpai pada masa kini.
Kedua, menggalang dukungan dari pemerintah daerah. Baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi memiliki andil besar dalam mendukung eksistensi desa wisata. Guna mendongkrak popularitas di mata publik, Dinas Pariwisata provinsi dan kabupaten semestinya ikut melakukan promosi atas kelebihan, kenyamanan, serta beragam fasilitas yang ditawarkan desa wisata. Apabila memungkinkan, pemerintah desa juga meminta dukungan dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Ketiga, menggelar kegiatan-kegiatan pendampingan yang berkelanjutan bagi semua stakeholder. Karena terlibat secara langsung, mereka mesti memperoleh bimbingan yang intens dari penggerak pariwisata yang berpengalaman. Keempat, memberikan pemahaman yang mendalam tentang kepariwisataan kepada segenap lapisan masyarakat. Bagaimanapun, kerjasama dan komitmen semua pihak menjadi kunci kemajuan desa wisata.

Bojonegoro, 2018

Senin, 09 Juli 2018

Persekusi, Sebuah Peradilan Massa (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Senin, 9 Juli 2018)

Kecaman terhadap tindak kekerasan yang menimpa Oryza Ardiansyah Wirawan diwujudkan oleh puluhan jurnalis dengan menggelar aksi damai di Surabaya. Sebagaimana diketahui, saat meliput pertandingan antara Persid Jember dan Sindo Dharaka, di Jember Sport Garden, Jawa Timur, pada 4 Juli lalu, jurnalis media online tersebut mengalami pengeroyokan. Bukan sekali ini saja, aksi serupa sebelumnya juga kerap dijumpai di sejumlah tempat.
Menjamurnya persekusi massa akhir-akhir ini menunjukkan gemarnya masyarakat Indonesia menggelar pengadilan massa. Fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat tidak lagi percaya kepada penegak hukum yang kerap mengantongi stereotip negatif. Gencarnya pemberitaan media cetak atau daring tentang terlibatnya hakim dan aparat kepolisian dalam kasus korupsi atau pungutan liar (pungli) tentu memangkas simpati masyarakat terhadap mereka. Imbasnya, kewibawaan hukum merosot sedemikian rupa.
Lantaran menghendaki tegaknya keadilan, ketertiban, dan keamanan, masyarakat bertindak sekaligus sebagai penegak hukum. Guna mewujudkan berfungsinya norma-norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akhirnya tindakan persekusi massa diambil. Masyarakat seolah meminjam daya paksa yang dimiliki oleh “petugas negara” dalam menjalankan kewajibannya. Sehingga, rasionalitas, kebijakan, dan kearifan seringkali ditinggalkan demi mencapai kehendak tertentu. Dalam taraf tertentu, masyarakat kini dibutakan oleh individualisme dan egoisme yang mulai menyerang bangsa-bangsa beradab. Dalam kondisi demikian, muncul sebuah konsensus tak tertulis, “asal keinginan terwujud, apa pun boleh dilakukan”.

Sejumlah Sebab
Ada sebab-sebab mengapa aksi main hakim sendiri seringkali ditemui. Belum terwujudnya kehidupan adil dan makmur yang digariskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya membuat masyarakat gelap mata. Emosi kerap menyulut orang-orang yang belum sepenuhnya merasakan perlindungan negara. Kecurigaan seringkali menghinggapi mereka yang selama ini dikecewakan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan bercorak top-down yang kurang mampu menyentuh orang-orang kecil genap menimbulkan sikap antipati terhadap kebijakan rezim pemerintahan.
Selain itu, mental menerabas yang dimiliki orang-orang Indonesia seolah menjadi semacam legitimasi atau pengabsah bagi segala “perilaku Barbar”. Celakanya, fenomena ini bukan hanya ditemukan di perkotaan, melainkan juga di pedalaman. Padahal, kawasan perdesaan pada masa silam menjadi oase di tengah keringnya peradaban. Namun demikian, terjadi pergeseran karakter orang-orang desa yang dulu dikenal ramah menjadi beringas akibat beragam kebijakan pemerintah pusat yang menihilkan potensi masyarakat.
Sejak lama, arah pembangunan pertanian dan perdesaan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Rembug desa hanya merupakan formalitas, di mana masyarakat desa kurang dilibatkan dalam prosesnya. Mereka tidak diajak serta dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Semua yang terjadi serba cepat, serba seragam, serta meninggalkan dinamika demokrasi yang menumbuhkan partisipasi, kemandirian, dan rasa memiliki. Akibatnya, di samping membuat masyarakat kehilangan kendali dan jatidiri, hal ini juga melahirkan mentalitas menerabas, semisal menjarah, main hakim sendiri atau menggelar pengadilan massa. (Karwan A. Salikin. 2003: 99).
Menjamurnya gejala-gejala persekusi massa juga dipengaruhi oleh menguatnya budaya instan yang merangsek ke hampir semua lini kehidupan. Etos globalisasi dan modernisasi menuntut manusia mengerjakan urusannya sekaligus mengatasi berbagai macam permasalahannya dengan serba cepat. Pada abad ke-21, manusia senantiasa didorong untuk mencapai angan dan mimpinya dengan cara kilat. Bahkan, virtualisasi dan digitalisasi mengajak manusia untuk menempuh cara-cara instan dengan mengabaikan proses. Akibatnya, apa yang terjadi di sekitar manusia lewat begitu saja tanpa terlebih dahulu diendapkan dalam pikiran. Manusia enggan menjadikannya sebagai bahan renungan karena dinilai tak berharga.

Kontrol Sosial
Munculnya kasus-kasus persekusi massa tidak terlepas dari kentalnya kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Luasnya daerah dan kemajemukan di Indonesia turut menyuburkan kontrol sosial informal di masyarakat. Dalam buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan tercatat bahwa di Kalipoh, Kebumen, Jawa Tengah, pernah berlangsung “pengadilan desa”. Pengadilan informal yang dipimpin oleh kepala desa setempat tersebut dilaksanakan sebagaimana pengadilan formal atau negeri. Di dalamnya termuat dakwaan atas suatu perbuatan beserta sanksinya. Monopoli oleh institusi kontrol formal ternyata tidak selamanya dapat dipertahankan dan pertukaran antara kontrol formal dan informal sukar dihindarkan.
Tindakan serupa terjadi pula di Malang, Jawa Timur. Ketika itu dua orang tanpa status pernikahan yang didakwa melakukan hubungan seks disuruh warga setempat untuk memeragakannya di hadapan umum. Aksi ini bertujuan untuk menunjukkan “pembalasan sosial” sebagai bagian dari implementasi kontrol sosial oleh desa. Oleh Satjipto Rahardjo (2007: 93), kontrol informal semacam ini disebut dengan “Sindrom Arakan Bugil” (SAB). Istilah ini diambil dari suatu peristiwa “main hakim sendiri” yang kerap terjadi di berbagai daerah. Seseorang yang oleh masyarakat dituduh berbuat asusila, secara spontan dipaksa mengelilingi desa dalam keadaan telanjang. Dalam pandangan pemikir hukum tersebut, SAB merupakan perbuatan “main hakim sendiri” dan dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum.
Eldar Braten pernah menganalisa tiga kasus kekerasan di suatu desa di Jawa dan menghubungkannya dengan pengabsahan perilaku tersebut secara kultural. Ia berusaha menelisik lebih jauh mengenai hubungan antara negara, komunitas, dan kejahatan sekaligus menunjukkan “di dalam kasus-kasus macam apa dan di bawah keadaan bagaimana para penduduk desa main hakim sendiri dan kapan mereka dipersiapkan untuk menyerahkan penyelesaian konflik dan tindakan-tindakan kriminal kepada negara”. Seolah penggunaan kekerasan di tingkat lokal secara sepintas mengindikasikan kesewenangan dan berlangsung secara kebetulan (fortuitiousness). Akan tetapi, pengamatan lebih mendalam mengungkapkan bahwa tercatat parameter-parameter kultural khusus terkait gagasan tentang kemanusiaan dan komunitas yang mengizinkan penggunaan kekerasan. (Frans Hüsken dan Huub de Jonge [ed], 2003: 8).
Parameter-parameter inilah yang semestinya dipahami oleh pemerintah dalam upaya menempuh pendekatan terhadap pelaku dan korban persekusi. Sehingga, berbagai bentuk penghakiman massa tanpa melibatkan penegak hukum bisa diminimalisir. Bagaimanapun, belum terwujudnya keadilan dan kemakmuran secara merata tidak serta-merta mengizinkan warga negara menempuh pengadilan massa karena rentan meluluhlantakkan fondasi kebangsaan yang genap dibangun oleh para pendahulu dan nenek moyang.

Bojonegoro, 2018

Sabtu, 07 Juli 2018

Orang Desa Naik Haji (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Rabu, 4 Juli 2018)


Bagi orang desa, berdirinya “agen umrah” tentu membawa kabar gembira. Ketika Ongkos Naik Haji (ONH) belum dapat dikantongi, tersedianya jasa layanan keberangkatan ke tanah suci dengan harga miring menjawab sebagian permasalahan mereka. Dalam taraf tertentu, dilaksanakannya ibadah umrah mengandung ikhtiar “menghibur diri” saat rukun Islam yang kelima belum mampu ditunaikan.
Adapun mereka yang mampu menunaikan ibadah haji biasanya memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Boleh dibilang, keduanya menjadi pembeda antara jamaah haji dari wilayah pedalaman dengan jamaah haji yang berasal dari wilayah urban. Tulisan ini berusaha menyinggung sebagian kekhasan yang dimaksud.

Narasi Minor
Diselenggarakannya ibadah haji setiap tahun menyajikan beragam romansa kebahagiaan. Tak heran jika para jamaah haji gemar menyampaikan cerita mengesankan setiba di tanah air. Bagi mereka, Mekah merupakan representasi surga yang senantiasa menyuguhkan ketenangan, kesejukan, serta kedamaian. Lahirnya kisah-kisah tersebut merupakan ekspresi kerinduan seorang makhluk kepada sang pencipta. Namun demikian, ada pula ‘narasi minor’ yang jarang terungkap. Di balik rukun Islam kelima tersebut tersimpan sisi-sisi lain yang dalam banyak hal ditampilkan oleh orang desa.
Sebelum genap mengenal etos modernitas, masyarakat perdesaan merasa asing dengan perangkat teknologi sebagai produk berkembangnya daya berpikir manusia. Ada saja peristiwa lucu dan unik seputar respons mereka terhadap sarana modern, termasuk menjelang pelaksanaan ibadah haji. Sebagai contoh, kegagalan keberangkatan haji seseorang dipicu oleh fobia ketinggian. Ada pula yang rela membatalkan niatnya lantaran khawatir jika armada yang akan ditumpangi tiba-tiba jatuh. 
Padahal, disediakannya alat transportasi berupa pesawat terbang, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin keamanan, kesehatan, serta kenyamanan jamaah haji. Akan tetapi, kebijakan ini kerap dirasakan oleh orang-orang yang berasal dari udik sebagai suatu kesulitan lantaran belum terbiasa dengan hal-hal baru yang terkadang bahkan dianggap aneh.
Apa yang mereka tampilkan merupakan wujud kepolosan, keluguan, serta kesederhanaan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka belum siap menerima perubahan. Mereka membutuhkan waktu untuk menyerap berbagai bentuk transformasi dalam kehidupan. Bagaimanapun, menancapnya nilai-nilai globalisasi di daerah-daerah pedalaman memerlukan proses dan adaptasi. 

Sakralitas
Orang desa kerap menghubungkan tanah suci dengan tanah kelahiran. Dalam buku Direktori Potensi Wisata Budaya di Kawasan Karst Maros-Pangkep Sulawesi Selatan Indonesia (2007: 40) tertulis bahwa karena menjadi pusat bumi (to’do), masyarakat setempat pada masa silam menyebut Gantarang Lalang Bata sebagai Makkakeke (Mekah).
Konon, ibadah haji seseorang tak mungkin sah sebelum ia mengunjungi to’do yang berada di Dusun Gantarang, Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Selayang. Itulah mengapa, sebelum berangkat ke tanah suci, para calon jamaah haji terlebih dahulu menggelar manasik haji di tempat yang dikeramatkan tersebut.
Tradisi yang sudah lama ditinggalkan di atas menggambarkan karakteristik asli masyarakat perdesaan. Betapa sikap, perbuatan, serta pikiran mereka senantiasa dilingkupi dengan mitos dan legenda yang diwariskan lintas generasi. Mereka menganggap bahwa desa memuat sakralitas yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Sejumlah titik dipercaya menyimpan aura dan kekuatan magis, sehingga layak memperoleh penghormatan.
Dalam taraf tertentu, mereka berusaha mempererat ikatan psikologis-spiritual yang menautkan antara ritual agama dengan tanah kelahiran. Ibadah haji yang begitu dimuliakan tetap memiliki keterkaitan dengan ruang di mana mereka tumbuh. Perilaku demikian merupakan sebagian wujud rasa cinta terhadap desa. Tak berlebihan apabila kemudian muncul asumsi bahwa nasionalisme pertama-tama tumbuh di hati ‘orang udik’.

Etos Beribadah
Selama dua ratus tahun, tepatnya sejak abad IX hingga abad XX, secara umum jamaah haji Indonesia berasal dari wilayah perdesaan yang terdiri atas kaum petani dan nelayan. Fakta ini mengindikasikan bahwa orang desa memegang etos beribadah yang kuat. Berbagai keterbatasan tidak lantas membuat mereka menyerah dan putus asa. Mereka senantiasa memupuk harapan dengan senantiasa mengagungkan yang kudus, meningkatkan aspek kerohanian, serta mengatasi segala sesuatu yang bersifat profan. Seiring dengan kemauan yang kerap melebihi modal finansial, maka munculnya hasrat beribadah membuat mereka nekat. Mereka melaksanakan ibadah haji meski dengan ‘kantong cekak’.
Bila ditelisuri, sebenarnya mayoritas jamaah haji yang berangkat setiap tahun ke tanah suci belum mempunyai bekal materi yang cukup. Keadaan inilah yang menyebabkan orang-orang Arab di Hijaz menjulukinya dengan “haji miskin”. Daya pikat haji kerap mendorong orang desa berbuat melebihi kemampuan, sehingga timbul kesan bahwa mereka memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji meski bermodal pas-pasan (M. Shaleh Putuhena, 2007: 336).
Rupanya keinginan yang besar untuk menunaikan rukum Islam kelima tersebut genap merangsang mereka untuk menempuh bermacam aktivitas ekonomi dan berhemat. Di sinilah muncul kreativitas manusia dalam mengelola hidup. Ada saja kiat orang desa untuk menabung dan mengumpulkan uang. Dalam pandangan Jacob Vredenbregt, keduanya menjadi faktor pembeda antara calon jamaah haji dari desa dengan lainnya. Lebih dari itu, hadirnya haji sebagai kelas baru dalam masyarakat tentu memantik perubahan struktur sosial di level akar rumput (grass root).
Dalam perkembangannya, ibadah haji ternyata mampu menggeliatkan perekonomian. Terutama pada abad XX, perjalanan haji telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi rakyat melalui kerja keras dan ikhtiar menekan pengeluaran. Buku Historiografi Haji Indonesia (2007: 396) mencatat bahwa selain mengatrol taraf hidup rakyat, proses pengumpulan biaya perjalanan haji juga memberi keuntungan bagi pedagang perantara di lingkup perdesaan dan pedagang besar di perkotaan.
Anehnya, meski setiap tahun biaya pemberangkatan orang desa ke tanah suci sangat besar, namun perputaran ekonomi lokal tidak terganggu. Dalam beberapa segi, kondisi perekonomian di wilayah pedalaman justru semakin kuat. Bahkan, karena tidak terlalu bergantung pada ekonomi rakyat, fondasi keuangan pemerintah Hindia Belanda juga tidak goyah.

Yogyakarta, 2018

Kamis, 05 Juli 2018

Dana Desa dan Kearifan Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Kamis, 28 Juni 2018)


Dana desa yang genap dikucurkan sejak tahun 2015 kerap disambut dengan beragam respons positif. Bermacam bentuk dukungan mengalir dari berbagai penjuru. Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menyambut baik kebijakan pemerintah pusat yang mengalokasikan 30% dana desa untuk kegiatan Padat Karya. Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday menyarankan kegiatan padat karya diarahkan untuk memajukan ekonomi kreatif. Sementara Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mengarahkan penggunaan dana desa untuk merealisasikan kawasan desa mandiri dengan menghargai potensi lokal.
Dalam konteks ini, dana desa dipercaya mampu membangkitkan aktivitas ekonomi berbasis lokal. Semangat, ide, dan kreativitas masyarakat desa dalam mencari sumber penghidupan dilakukan berdasarkan pranata lokal. Data Kemendes PDTT menunjukkan bahwa 61.821 desa menyimpan potensi pertanian, 20.034 desa menyimpan potensi perkebunan, 1.902 desa menyimpan potensi menjadi desa wisata, sementara 12.827 desa menyimpan potensi perikanan, 64.587 desa menyimpan potensi energi baru terbarukan. Potensi inilah yang mestinya terus digarap oleh pemerintah daerah.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di level lokal tidak lagi mengacu pola top-down yang mengandalkan instruksi pemerintah pusat, melainkan pola bottom up yang mengutamakan inisiatif masyarakat. Dalam taraf tertentu, dana desa mengandung gagasan demokratisasi yang ingin membangkitkan lokalitas dalam konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Warisan Pendahulu
Terpeliharanya kearifan lokal (local wisdom), khususnya dalam pemberdayaan bahan-bahan alami untuk menghasilkan produk jadi, merupakan konsekuensi logis dari adanya dana desa. Tersedianya sejumlah dana ternyata memantik inspirasi orang-orang desa untuk merawat pemikiran, tradisi, dan kebijaksanaan nenek moyang. Mereka beritikad kuat untuk membumikan warisan leluhur yang menjadikan materi-materi ramah lingkungan sebagai unsur utama terciptanya kerajinan tangan (handycraft). Mereka tidak ingin bumi ini kian tercemar lantaran semakin membludaknya beragam produk berbahan plastik, kaca, atau materi lainnnya yang lebih berpotensi merugikan ketimbang menguntungkan manusia. Bagaimanapun, eksplotasi terhadap alam tak mungkin dibiarkan atau bahkan dilestarikan.
Selain itu, mereka juga ingin meneguhkan ikatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kuatnya kebersamaan, harmoni dan toleransi antarperajin terbentuk dari intensitas kerja sama. Dengan tetap mempertahankan cara-cara tradisional, mereka ingin menghindari individualisme yang akhir-akhir ini menggerogoti generasi bangsa. Hal ini yang barangkali tidak ditemukan ketika kerja manusia sudah tergantikan oleh mesin. Mekanisasi berdampak serius terhadap keringnya hubungan antarmanusia. Dalam Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia disebutkan bahwa budaya gotong-royong, toleransi, kebersamaan, dan kekeluargaan merupakan pandangan hidup sekaligus merupakan ciri khas, karakter, dan jati diri budaya bangsa Indonesia. (Sudjito, dkk., 2012: 35).
Keteguhan menjaga apa yang diwariskan oleh para pendahulu inilah yang antara lain bisa ditelusuri di Desa Seketi, Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, selain memakai bambu sebagai sarana berburu rezeki sekaligus medium menularkan kreativitas, masyarakat setempat juga bersikukuh memakai pola lama dalam mengais rupiah. Di tengah derasnya laju industrialisasi, sebagian warga Desa Seketi tetap mempertahankan usaha anyaman bambu. Sayangnya, produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif mereka kurang berkembang karena terbatasnya keterampilan. Kaum perajin tak mampu mengikuti perkembangan pasar anyaman bambu yang semakin luas dan permintaan produk yang kian bervariasi. Minimnya APBDes membuat pemerintah desa menyerah. Namun, sejak muncul dana desa, desa yang mengantongi julukan Kampung Bambu tersebut mulai menggeliat. Ekonomi berbasis kerakyatan, semisal kerajinan anyaman bambu dan pertanian, memperoleh atensi yang besar. (Kompas, 24-1-2018: 23).

Kesadaran Tinggi
Terbentuknya kearifan lokal (local wisdom) melalui dana desa juga dijumpai di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Konservasi bambu di lahan desa yang digencarkan oleh perangkat desa ternyata memberikan dua manfaat besar. Di samping tujuh mata air yang ada di sana terlindungi, gairah wisata lokal juga bergairah. Kerja sama antara perangkat Desa Sanankerto dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas berhasil menumbuhkan 16.000 batang bambu.
Aktivitas konservasi membuat seluruh kawasan seluas 36,8 hektar (dari luasan sebelumnya yang hanya 10 hektar) telah ditanami bambu. Guna mendukung langkah tersebut sekaligus memberdayakan potensi lokal, pemerintah desa pada tahun 2015 membentuk BUMDes. Setahun setelahnya, tepatnya tahun 2016, ekowisata Boon Pring menyumbang pemasukan Rp 90 juta. Melihat pendapatan yang luar biasa inilah akhirnya pada tahun 2017 pihak desa nekat menyertakan modal sebesar Rp 170 juta dari dana desa demi memacu perkembangan wisata. (Kompas, 24-5-2017: 28).
Dengan tingkat kesadaran yang tinggi, perangkat Desa Sanankerto turut merawat sistem ekologi di sekitarnya. Perlindungan terhadap ekosistem dan kekayaan alam memuat ikhtiar menyelamatkan bumi dari bermacam kerusakan dan kehancuran. Dengan demikian, terbentuklah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan. Betapa aktivitas pertambangan, misalnya, yang kerap menimbulkan polusi tanah, air dan udara benar-benar memuat komersialisasi yang cenderung berpihak pada kepentingan individu dan korporasi ketimbang kepentingan publik. Eksploitasi secara besar-besaran dilakukan terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dengan mengutamakan keuntungan jangka pendek sekaligus menihilkan keberlanjutan.

Bojonegoro, 2018