Sabtu, 07 Juli 2018

Orang Desa Naik Haji (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Rabu, 4 Juli 2018)


Bagi orang desa, berdirinya “agen umrah” tentu membawa kabar gembira. Ketika Ongkos Naik Haji (ONH) belum dapat dikantongi, tersedianya jasa layanan keberangkatan ke tanah suci dengan harga miring menjawab sebagian permasalahan mereka. Dalam taraf tertentu, dilaksanakannya ibadah umrah mengandung ikhtiar “menghibur diri” saat rukun Islam yang kelima belum mampu ditunaikan.
Adapun mereka yang mampu menunaikan ibadah haji biasanya memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Boleh dibilang, keduanya menjadi pembeda antara jamaah haji dari wilayah pedalaman dengan jamaah haji yang berasal dari wilayah urban. Tulisan ini berusaha menyinggung sebagian kekhasan yang dimaksud.

Narasi Minor
Diselenggarakannya ibadah haji setiap tahun menyajikan beragam romansa kebahagiaan. Tak heran jika para jamaah haji gemar menyampaikan cerita mengesankan setiba di tanah air. Bagi mereka, Mekah merupakan representasi surga yang senantiasa menyuguhkan ketenangan, kesejukan, serta kedamaian. Lahirnya kisah-kisah tersebut merupakan ekspresi kerinduan seorang makhluk kepada sang pencipta. Namun demikian, ada pula ‘narasi minor’ yang jarang terungkap. Di balik rukun Islam kelima tersebut tersimpan sisi-sisi lain yang dalam banyak hal ditampilkan oleh orang desa.
Sebelum genap mengenal etos modernitas, masyarakat perdesaan merasa asing dengan perangkat teknologi sebagai produk berkembangnya daya berpikir manusia. Ada saja peristiwa lucu dan unik seputar respons mereka terhadap sarana modern, termasuk menjelang pelaksanaan ibadah haji. Sebagai contoh, kegagalan keberangkatan haji seseorang dipicu oleh fobia ketinggian. Ada pula yang rela membatalkan niatnya lantaran khawatir jika armada yang akan ditumpangi tiba-tiba jatuh. 
Padahal, disediakannya alat transportasi berupa pesawat terbang, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin keamanan, kesehatan, serta kenyamanan jamaah haji. Akan tetapi, kebijakan ini kerap dirasakan oleh orang-orang yang berasal dari udik sebagai suatu kesulitan lantaran belum terbiasa dengan hal-hal baru yang terkadang bahkan dianggap aneh.
Apa yang mereka tampilkan merupakan wujud kepolosan, keluguan, serta kesederhanaan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka belum siap menerima perubahan. Mereka membutuhkan waktu untuk menyerap berbagai bentuk transformasi dalam kehidupan. Bagaimanapun, menancapnya nilai-nilai globalisasi di daerah-daerah pedalaman memerlukan proses dan adaptasi. 

Sakralitas
Orang desa kerap menghubungkan tanah suci dengan tanah kelahiran. Dalam buku Direktori Potensi Wisata Budaya di Kawasan Karst Maros-Pangkep Sulawesi Selatan Indonesia (2007: 40) tertulis bahwa karena menjadi pusat bumi (to’do), masyarakat setempat pada masa silam menyebut Gantarang Lalang Bata sebagai Makkakeke (Mekah).
Konon, ibadah haji seseorang tak mungkin sah sebelum ia mengunjungi to’do yang berada di Dusun Gantarang, Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Selayang. Itulah mengapa, sebelum berangkat ke tanah suci, para calon jamaah haji terlebih dahulu menggelar manasik haji di tempat yang dikeramatkan tersebut.
Tradisi yang sudah lama ditinggalkan di atas menggambarkan karakteristik asli masyarakat perdesaan. Betapa sikap, perbuatan, serta pikiran mereka senantiasa dilingkupi dengan mitos dan legenda yang diwariskan lintas generasi. Mereka menganggap bahwa desa memuat sakralitas yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Sejumlah titik dipercaya menyimpan aura dan kekuatan magis, sehingga layak memperoleh penghormatan.
Dalam taraf tertentu, mereka berusaha mempererat ikatan psikologis-spiritual yang menautkan antara ritual agama dengan tanah kelahiran. Ibadah haji yang begitu dimuliakan tetap memiliki keterkaitan dengan ruang di mana mereka tumbuh. Perilaku demikian merupakan sebagian wujud rasa cinta terhadap desa. Tak berlebihan apabila kemudian muncul asumsi bahwa nasionalisme pertama-tama tumbuh di hati ‘orang udik’.

Etos Beribadah
Selama dua ratus tahun, tepatnya sejak abad IX hingga abad XX, secara umum jamaah haji Indonesia berasal dari wilayah perdesaan yang terdiri atas kaum petani dan nelayan. Fakta ini mengindikasikan bahwa orang desa memegang etos beribadah yang kuat. Berbagai keterbatasan tidak lantas membuat mereka menyerah dan putus asa. Mereka senantiasa memupuk harapan dengan senantiasa mengagungkan yang kudus, meningkatkan aspek kerohanian, serta mengatasi segala sesuatu yang bersifat profan. Seiring dengan kemauan yang kerap melebihi modal finansial, maka munculnya hasrat beribadah membuat mereka nekat. Mereka melaksanakan ibadah haji meski dengan ‘kantong cekak’.
Bila ditelisuri, sebenarnya mayoritas jamaah haji yang berangkat setiap tahun ke tanah suci belum mempunyai bekal materi yang cukup. Keadaan inilah yang menyebabkan orang-orang Arab di Hijaz menjulukinya dengan “haji miskin”. Daya pikat haji kerap mendorong orang desa berbuat melebihi kemampuan, sehingga timbul kesan bahwa mereka memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji meski bermodal pas-pasan (M. Shaleh Putuhena, 2007: 336).
Rupanya keinginan yang besar untuk menunaikan rukum Islam kelima tersebut genap merangsang mereka untuk menempuh bermacam aktivitas ekonomi dan berhemat. Di sinilah muncul kreativitas manusia dalam mengelola hidup. Ada saja kiat orang desa untuk menabung dan mengumpulkan uang. Dalam pandangan Jacob Vredenbregt, keduanya menjadi faktor pembeda antara calon jamaah haji dari desa dengan lainnya. Lebih dari itu, hadirnya haji sebagai kelas baru dalam masyarakat tentu memantik perubahan struktur sosial di level akar rumput (grass root).
Dalam perkembangannya, ibadah haji ternyata mampu menggeliatkan perekonomian. Terutama pada abad XX, perjalanan haji telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi rakyat melalui kerja keras dan ikhtiar menekan pengeluaran. Buku Historiografi Haji Indonesia (2007: 396) mencatat bahwa selain mengatrol taraf hidup rakyat, proses pengumpulan biaya perjalanan haji juga memberi keuntungan bagi pedagang perantara di lingkup perdesaan dan pedagang besar di perkotaan.
Anehnya, meski setiap tahun biaya pemberangkatan orang desa ke tanah suci sangat besar, namun perputaran ekonomi lokal tidak terganggu. Dalam beberapa segi, kondisi perekonomian di wilayah pedalaman justru semakin kuat. Bahkan, karena tidak terlalu bergantung pada ekonomi rakyat, fondasi keuangan pemerintah Hindia Belanda juga tidak goyah.

Yogyakarta, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar