Jumat, 29 Juni 2018

Mengelola Infrastruktur Lokal (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Detik" edisi Kamis, 28 Juni 2018)


Guyuran hujan deras yang melanda Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, belum lama ini menyebabkan bencana longsor. Akibatnya, Desa Tompobulu, Desa Baringeng, Kecamatan Libureng dan Desa Mattirowalie serta Desa Watangcani, Kecamatan Bontocani terisolir lantaran akses jalan terputus. Warga setempat yang hendak mengungsi ke desa tetangga nekat menorobos derasnya arus sungai. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerusakan infrastruktur lokal turut mempengaruhi jalannya roda kehidupan masyarakat perdesaan.
Sebagaimana di kantong-kantong urban, infrastruktur merupakan kebutuhan vital di wilayah pedalaman. Segenap lapisan masyarakat memerlukannya guna menjalani kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan sumber-sumber ekonomi dan beragam potensi desa sangat tergantung pada tersedianya jalan, jembatan, dan sarana-sarana lainnya. Dengan demikian, pengelolaan, pembenahan, serta pemeliharaan infrastruktur oleh pemerintah desa merupakan keniscayaan. Bagaimanapun, terwujudnya good governance di level akar rumput senantiasa memiliki keterkaitan dengan kokohnya infrastruktur lokal.

Menggerogoti Nasionalisme
Terbatasnya infrastruktur membuat sebagian orang desa enggan bermukim dan bekerja di tanah kelahiran. Demi menyambung hidup, menambah pendapatan, bahkan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, mereka rela mengundi nasib di negeri seberang. Celakanya, saat menanggalkan status Tenaga Kerja Indonesia (TKI), hasrat meninggalkan kampung halaman senantiasa menguat karena desa tak bisa lagi diharapkan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong orang desa mengais rezeki di negeri tetangga.
Kebobrokan infrastruktur di wilayah perdesaan, mulai jaringan irigasi yang kurang terurus hingga jalan yang rusak parah, menjadikan mantan TKI ingin kembali bekerja ke luar negeri. Hasrat ini terutama muncul ketika tabungan mereka mulai menipis. Mereka meninggalkan rumah-rumah bagus yang dibangun dari sebagian gaji, tetapi pada waktu yang sama terkadang juga menjual sawah yang baru dibeli sebagai modal ke luar negeri.
Desakan ekonomi akibat sempitnya lapangan kerja di desa membuat orang-orang tanpa tingkat pendidikan dan skill memadai nekat menjadi TKI. Besarnya gaji dan pengalaman hidup di negara lain yang dijanjikan oleh sponsor yang menyerbu pelosok desa membujuk para perempuan berbagai usia untuk segera berangkat ke luar negeri. (Maria Hartiningsih [ed], 2011: 40).
Kemiskinan yang merupakan imbas terbatasnya infrastruktur lokal cukup dirasakan oleh mereka yang tinggal di kawasan perbatasan. Fakta ini kerap dijumpai di sejumlah wilayah Kabupaten Entikong. Berawal dari proses yang sangat panjang, realitas sosial yang ada di desa-desa di sana menggambarkan kemiskinan akut. Parahnya kemiskinan di kawasan perbatasan tersebut antara lain dikarenakan sarana penghubung, semisal jalan dan alat transportasi sangat minim, sehingga membuatnya menjadi daerah terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan.
Ironisnya, desa-desa yang dari perspektif Indonesia terisolir, ternyata berdekatan dengan desa-desa di Sarawak yang terbilang makmur. Kemiskinan akut yang menimpa penduduk desa-desa perbatasan berbanding terbalik dengan kesejahteraan penduduk desa-desa tetangga yang secara geografis termasuk negara bagian Sarawak. (Thung Ju Lan dan M.' Azzam Manan [ed], 2011: 19).
Apabila keadaan di atas dibiarkan berlarut-larut, bukan mustahil banyak warga setempat yang lebih tertarik untuk menggabungkan diri ke Negara Malaysia ketimbang bertahan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam taraf tertentu, terganggungnya infrastruktur lokal rentan menggerogoti nasionalisme. Betapa idenitas kebangsaan orang desa mudah tergadaikan ketika negara belum mampu menyediakan infrastruktur secara maksimal. Berbagai alasan menjadikan orang-orang yang tinggal di desa-desa perbatasan tersebut nekat berbondong-bondong pindah ke desa-desa tetangga sekaligus berganti kewarganegaraan.

Corak Bottom-Up
Penggelontoran dana pembangunan melalui program-program pemerintah merupakan solusi konkrit atas terbengkalainya infrakstur di desa. Sayangnya, dalam banyak kasus, dana tersebut tersedot kembali ke Jakarta akibat penyerapan anggaran yang kurang maksimal. Hal ini diperparah dengan tingginya keterlibatan pemerintah pusat dalam mengambil keputusan. Anehnya, seringkali pembangunan infrastruktur di berbagai daerah kurang sesuai dengan kebutuhan riil di tingkat desa.
Atas dasar inilah, jika pada masa-masa sebelumnya pembangunan infrastuktur lokal di wilayah perdesaan lebih banyak diputuskan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan sebagian besar kontraktor dari Jakarta, maka sudah saatnya pembangunan infrastuktur lokal diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan agar pembangunan di wilayah perdesaan benar-benar melibatkan orang desa. Dengan demikian, kompetensi pamong desa beserta warganya mampu diberdayakan.
Inisiatif dan prakarsa lokal selayaknya ditampung dalam ikhtiar mewujudkan pembangunan yang partisipatif. Corak top-down dalam pembangunan yang genap dilegitimasi oleh penguasa, terutama pada masa Orde Baru, semestinya diubah dengan corak bottom-up. Harapannnya, semangat demokratisasi yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan bisa diimplementasikan. Pemberdayaan orang desa dalam pembangunan mengandung upaya mewujudkan otonomi desa yang genap dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bojonegoro, 2018