Senin, 23 September 2013

Ikhtiar Menakali Tuhan (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 22 September 2013)


Menggaungkan ekspresi spiritualitas penyair sebagai homo religious. Itulah di antara misi yang coba digencarkan Muhammad Asqalani Eneste (MAE) dalam buku kumpulan puisi terbarunya (Mei, 2013). Maklum, bagi MAE, puisi bukan sekadar alat perecok urusan politik, sosial, ataupun moral. Lebih dari itu, puisi dijelmakan sarana menjajaki ke-aku-an sekaligus menggapai keakraban dengan Tuhan.
Dengan coraknya sendiri, MAE ingin menggambarkan hubungan antara dirinya dengan Tuhan bukan sekadar bersifat kontraktual dan berbentuk pola: hamba-pencipta (‘abd-‘abid), melainkan juga seperti sepasang teman yang identik dengan keakraban. Apalagi, didukung dengan diksi yang sangat gamblang, hubungan tersebut bisa dengan mudah diendus oleh pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kadar dan waktu tertentu, kedekatan yang terjalin antara manusia dengan Tuhan tidak perlu lagi disembunyikan. Bahkan, usaha untuk menggembor-gemborkannya merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. Kedekatan yang dinyatakan penyair di antaranya bisa disimak dalam puisi berikut!
lude 1
pada lubang gelap desember, aku
diperkosa hujan
tubuhku melahirkan janin januari, yang
tak berbadan
aku memeluk tubuh tuhan, memanjat
tiang gantungan
Saking dekatnya aku penyair dengan Tuhan, maka upaya pelarian dari kutukan (tubuh melahirkan januari tak berbadan) dilakukan dengan cara memeluk tubuh tuhan. MAE menawarkan frase yang nyentrik sekaligus menggelitik dalam konteks peribadatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan cara merapatkan diri dengan tuhan, ia bisa mendapatkan perlindungan.
‘Memeluk’ pastilah mengalami penyortiran panjang. Kata ini dipilih bukan sekadar karena terlintas sesaat dalam minda ataupun tersesat dalam mimpi penyair. ‘Memeluk’ adalah upaya merekatkan diri dengan tujuan utama menghadirkan kehangatan. Bila dikaitkan dengan baris sebelumnya: pada lubang gelap desember, aku diperkosa hujan, maka tampaklah dalih penyair. Hujan yang menggumulinya dengan rasa dingin mencekam, akhirnya dihilangkan dengan cara menyelundupkan kehangatan. Rasionalisasi yang barangkali ringan diterima logika, sebab tubuh tuhan merupakan tempat bersandar paling nyaman. Bahkan, tuhan sendiri adalah Sang Pemberi Kehangatan.
Adapun frase memanjat tiang gantungan adalah sikap pasrah penyair terhadap segala perlakuan Tuhan. Pada saat itu, ke-aku-an sang penyair dileburkan sepenuhnya dalam diri Tuhan. Dengan cara berserah diri, penyair mengharapkan Tuhan berkenan mencurahkan kasih sayang. Jadi, esensi dari frase memanjat tiang gantungan yaitu upaya berburu perhatian dalam sikap kerendahdirian.
Dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, keakraban aku penyair dengan Tuhan seringkali ditemukan dalam beberapa karya penyair ternama. Sebut saja puisi Joko Pinurbo (Jokpin) berjudul ‘Doa Seorang Pesolek’.
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik. 
Bila disandingkan, puisi MAE dan Jokpin sama-sama berusaha mengakrabi Tuhan dengan cara masing-masing. Perbedaannya, dalam puisi ‘Doa Seorang Pesolek’, jarak antara manusia dengan Tuhan masih begitu kentara, sedangkan puisi ‘lude 1’ menggambarkan bahwa antara keduanya seperti tidak berjarak. Hal ini mengisyaratkan keakraban aku penyair dalam dua puisi tersebut memang bertingkat.
Bermodal kepercayaan diri penuh, MAE seakan berkoar bahwa rasa takut dalam jiwa seorang hamba seyogyanya senantiasa dipupuk dan dipelihara. Barang tentu bukan dengan menjauh-hindarkan diri dari pencipta, sebagaimana ketika berjumpa dengan hantu atau malapetaka. Akan tetapi, sebaliknya. Rasa takut yang dimaksud wajib ditunjukkan dengan cara mendekat-lekatkan diri kepada Tuhan, tanpa disertai curiga serta buruk prasangka. Bagaimana pun juga, seorang hamba harus berkeyakinan bahwa segala ketentuan Tuhan digariskan dalam kondisi terbaik. Sehingga, tak pantas kiranya ia menyudutkan Tuhan ketika menemui perkara yang dalam timbangan logika cenderung kontradiktif-kontraproduktif. Kewajiban manusia hanyalah mengamini keputusan Tuhan, dengan keyakinan utuh bahwa di dalamnya terkandung hikmah serta kebaikan.
Proses pendekatan di atas apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya dapat mengantar kedudukan manusia melesat lebih tinggi. Dan jika dilakukan secara intens, maka tak ayal ia pun akan mengalami ekstase dalam pengembaraan spiritual, karena berhasil ‘merasuki’ Tuhan. Sehingga, Tuhan, baginya, lebih lekat dan tancap dari dirinya sendiri, sebagaimana layaknya Tuhan yang lebih dekat dari urat nadi. Akhirnya, hubungan antara Tuhan dengan manusia bukanlah bercorak: penguasa-yang didikuasai (dengan indikasi keterpaksaan), melainkan kekasih-yang dikasihi (dengan ciri utama: kemesraan).
Kemesraan antara Tuhan dengan aku penyair antara lain bisa dirunut dalam puisi ‘istikharah DNA’ (halaman 8).
setelah mengecup keningMu
rindu mengaku tak mampu bersiteru
dengan candu
MAE sengaja menggunakan frase mengecup keningMu sebagai gambaran keintiman dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kata-kata didaulat sebagai sarana pengurai rindu. Kata-kata berpretensi mengungkapkan sakau kepada Tuhan. Hal yang kerap dilakukan oleh kaum sufi dalam menunjukkan rasa cinta (mahabbah) kepada Sang Pencipta (al-Khaliq), semisal Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya.
Barang tentu tidak semua pembaca bisa menikmati gaya dan metafora yang disajikan MAE. Bagi mereka yang skeptis atau bahkan konservatif, puisi-puisi MAE bernada arogan dan enggan memedulikan kesopanan. Dalam puisi-puisi MAE tersimpan kesombongan membabibuta yang layak sirna. Bagaimana tidak? Berbekal bahasa yang transparan, MAE gemar membuat pembaca geram sambil menudingkan telunjuk. Guna membuktikannya, periksalah puisi ‘yang tak lagi senggama’ (halaman 63).
kelaminku jatuh ke dalam kolam
gairah dan naluriku memuncrat
tangan tuhan mencincang selangkangan
kelelakianku terbuang ke lubang larangan
Bila ditelisik dengan cermat, puisi di atas menghidangkan beberapa baris kalimat yang ‘kurang ajar’, sebab kata Tuhan dipautkan dengan hal-hal tabu dan vulgar. Bagi para pengusung etika, jelas-jelas hal ini merupakan pelanggaran norma. Apalagi, menilik konteks pembicaraan, seakan-akan aku penyair tidak terima dengan perlakuan Tuhan yang telah mencincang selangkangan.
Itulah mengapa, terdapat indikasi kuat bahwa buah tangan MAE cenderung dikategorikan sebagai karya urakan ketimbang manis dan penurut. Tak mengapa. Kategorisasi, bagi MAE, tidak akan dipersoalkan atau bahkan dibela mati-matian. Sebagai penyair yang berproses, ia hanya berambisi mengekspresikan kegelisahan yang telah dan sedang digumuli.
Dari puisi di atas, di satu sisi, nampak kebengalan serta keliaran penyair dalam berimajinasi. MAE memperlakukan puisi guna menampakkan diri sebagai hamba yang genit dan nakal. Di sisi lain, pengalaman spiritualitas penyair dibocorkan dengan tetap mengawat erat tradisi lirisisme.
Dalam buku anggitan MAE ini, bertebaran puisi-puisi yang memprovokasi untuk mengukur sejauh mana hubungan pembaca—sebagai hamba—dengan Sang Pencipta. Sebuah ikhtiar dalam rangka reinterpretasi diri dalam bingkai mikrokosmos dan makrokosmos. Walaupun demikian, masih ditemukan juga sebagian kecil puisi yang memperlihatkan sikap penyair selaku makhluk lemah (dlaif) menghadapi kebesaran Tuhan. Sebut saja puisi ‘ulang tahun’‘sabda asa’ dan ‘dalam pelarian’. Sesuatu yang tak mengherankan. Mengingat, MAE pernah tumbuh besar dalam pesantren, tempat yang erat dengan ritual pendalaman agama serta perenungan hakikat hidup sesungguhnya.


Yogyakarta, 2013

Selasa, 17 September 2013

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Banjarmasin Post" edisi Minggu, 15 September 2013)


Sesal, Maut

penyesalan berlatar belakang ketidakpuasan. dengan begitu, kau bisa menyalahkanku sepuasnya: karena selalu menjadi sebab utama. dosaku telah merubahmu menjadi kepingan rindu. dosamu, karena aku hadir sebagai lelaki kikir.

wahai perawan pembuat mata berlinang permata: perhiasan sekaligus luka dalam. ketidakpuasan tak perlu kauumbar berlebihan. sebab, semua jalan akan berbuah pertaubatan. pertaubatan yang kau sendiri tak tersadarkan. hanya tertentu saja, kaupilah dan hidangkan pada tempat bersahaja.

aku yang tak sulit kauhindari, terus saja mengharap keluguanmu, gadis bermimpi ngilu. sekali lagi, tak perlu kauteruskan niat sesal itu, karena semua akan terlewati seperti jalan-jalan sempit menuju rumahmu. sediakah sesal berterus kekal di perut si empu maut? ya, karena mati tak berkerabat dengan sesal, pasti kau pun kini merasa puas menikmatinya tanpa kesal, menanti maut tanpa kecut.

setelah bercumbu dengan sesal, sama sekali maut tak kausebut. sungguh kepuasan yang telah berhasil memperdayamu tetap saja berbuat semaunya. sedang kau sendiri menyesal atas puas yang tak kunjung lepas.

Malang, 2009


Keluh Penjaja

biarkan mereka memandangiku dengan seribu ulah. jelaskan! ada-ku selalu mengerutkan dahi setiap peziarah. kecil, kerdil, berbau, terpanggang amarah. sungguh, kemilau yang ada tak buatku betah, malah berpongah.

sore, dengan sumpah serapah. kuangkat semua gerah, pasrah. barang titipan ini tak menawan hati. hanya dianggap rongsokan, bercampur baki. sudahlah, kalau semua mengaku si derma. pasti mereka akan ingat sirna. bukannya, menyimpan telinga dalam gundukan durjana. atau menikmati sendu tertutup nafsu.

jiwaku yang ringkih. ragaku yang berselimut perih. sekarang saatnya kau tinggalkan segala. waktu telah hadirkan senja. tiada harga yang kita dapat. tiada senyum yang bersahabat. sekadar benar, sasar, gusar, dan memar yang dibalut pendar sinar. 

Malang, 2009

Rabu, 11 September 2013

Melawan Derita dengan Berkelana (Resensi_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Jateng Pos" edisi Minggu, 8 September 2013)


Judul: On a Journey
Penulis: Desi Puspitasari
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Pustaka Populer (Bentang Pustaka)
Tebal: 272 halaman
ISBN: 978-602-7888-01-2
Harga: Rp. 44.500,-

Kaburnya seorang gadis dari rumah untuk berkelana ke pelbagai tempat rupanya telah mendermakan pelajaran berarti, bahwa  hidup tidak seperti apa yang ia lihat di televisi dan koran. Di luar sana, apa yang menimpa orang lain ternyata lebih berat ketimbang penderitaannya selama ini. Sayatan hati yang sangat mendalam belumlah seberapa bila dibandingkan dengan beban hidup yang harus dipikul oleh orang lain. Maka, ia pun bersyukur. Dengan menempuh perjalanan dua sampai tiga bulan tanpa tujuan, ia berkenalan dengan mereka yang begitu tabah dan sabar menghadapi cobaan.
Berawal dari usahanya menghindari Stine, Ruby Tuesday menghilangkan jejak dengan mengajak serta sepeda kesayangannya untuk melancong. Ia merasa yakin bahwa keputusannya kali ini tidaklah meleset. Guna memantapkan pendiriannya, bahkan ia mengutip secuplik kalimat dari Orhan Pamuk, “kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” (halaman 8)
Terbatasnya perbekalan yang dibawa juga uang simpanan dalam tabungannya, bagaimana pun juga, mengharuskan Ruby untuk berhemat. Itulah mengapa, guna merebahkan badan juga menghindarkan diri dari gigitan angin malam, terpaksa Ruby beberapa kali menyewa motel murah. Bahkan, sempat juga ia tidur di trotoar dan halaman depan toko. Atau jika beruntung, ia bisa menumpang di rumah orang tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
Dalam kenyataannya, pilihan ‘minggat’ sebagai solusi paling tepat bagi Ruby untuk melupakan Stine, tidak pernah terbukti. Di waktu malam, ketika ia berbaring sendirian di penginapan, ternyata ia begitu merindukan sosok Stine. Bayangan Stine seolah selalu hadir di depannya. Ruby teringat saat ia sering duduk di kedai, sambil menunggu Stine pulang dari kantor. Sesampainya lelaki penggemar berat kopi tersebut di kedai, mereka berdua akan berbincang tentang pelbagai hal, baik fakta maupun sekadar rekaan imajinasi belaka. Bagi Ruby, Stine adalah pemuda istimewa. Selain karena ia adalah teman di antara sedikit teman yang dimiliki Ruby, ia juga dianggap mampu mengimbangi pengetahuannya tentang profil sastrawan-sastrawan besar beserta karya-karya mereka.
Dalam perjalanan yang melelahkan itu, Ruby kerap bertanya dalam hati, mengapa hanya gara-gara patah hati, ia nekat melakukan hal konyol yang baru pertama kali ia lakukan sepanjang hidupnya. Stine, pemuda tampan yang menjadi sahabat terbaiknya selama dua tahun merupakan satu-satunya alasan kepergiannya meninggalkan rutinitasnya sebagai penulis. Sebelumnya, sama sekali ia tidak menyangka bahwa penolakan Stine terhadap cintanya bakal berbuntut panjang seperti ini. Mengenai kekonyolan tindakan Ruby tersebut, seseorang berkata, “kau terlalu takut menghadapi kenyataan. Takut menerima kenyataan patah hatimu sendiri. Kau lalu memutuskan pergi. Melarikan diri. Mengepak pakaian. Menyiapkan kendaraan bobrok. Lalu, kau bersepeda. Keluyuran tanpa tujuan pasti. Kau sebenarnya sedang menyembuhkan rasa kagetmu. Tidakkah kau sadari itu?” (halaman 109)
Ruby percaya bahwa apa yang dikatakan oleh hati nuraninya sendiri ataupun orang lain perihal kekonyolannya memang benar adanya. Menghindari seseorang dengan cara kabur dari rumah dan melakukan petualangan tanpa tujuan adalah tindakan yang barangkali akan disalahkan oleh siapa pun. Akan tetapi, di luar dugaan, di tengah perjalanan, ia menemukan pelajaran yang begitu berharga. Ia menemukan sosok Pak Oto, Pak sam, dan Bu Ros, yang dengan kedewasaan masing-masing, mereka memberikan nasehat dan masukan untuk Ruby. Ia bertemu dengan Bili dan Sofi, sepasang kekasih yang nekat lari demi menyelamatkan bayi mereka. Bili mengerti bahwa ayah Sofi tidak pernah percaya dengan kemampuannya untuk membahagiakan Sofi. Meskipun demikian, Sofi begitu yakin bahwa Bili adalah lelaki baik-baik dan mau bertanggung jawab. Oleh sebab itulah, ketimbang tinggal di rumah dengan pelayanan ekstra mewah, Sofi lebih memilih hidup bersama Bili yang terbiasa menginap di kontrakan amburadul dan mirip kapal pecah. Ruby terkesima dengan Sofi yang mau sengsara demi mempertahankan cinta juga janin yang terbungkus dalam rahimnya. Begitu pula dengan Bili, yang meskipun telah menggasak sepeda Ruby, nyatanya uang yang dihasilkan dari barang curian itu digunakan untuk biaya bersalin Sofi. Dari keduanyalah, Ruby berkesimpulan bahwa penderitaan yang dialami dirinya belumlah sebanding. Juga dari keduanya, ia belajar bagaimana manusia harus tangguh dan tegas dalam memilih jalan hidup.
Pengalaman bertemu sejumlah orang dengan beragam karakter menyebabkan Ruby ingin mengabadikannya dalam sebuah karya. Atas dasar itulah, akhirnya ia memutuskan untuk menerbitkan buku dengan bahan-bahannya berasal dari diary. Berharap, dengan buku tersebut, baik ia maupun orang lain, dapat belajar tentang hakikat kehidupan dengan sebaik-baiknya. 
Penyebutan beberapa nama tokoh besar, seperti Ernesto Che Guevara—ikon perjuangan terutama dalam bidang pergerakan—, Goethe, Pablo Neruda, menunjukkan persinggungan penulis dengan buku-buku sejarah, seni, maupun sastra. Berbekal ketekunan dan kekhidmatan dalam menggali pesona serta keindahan karya-karya orang-orang besar, setidaknya penulis mengetam ribuan manfaat, sehingga menginspirasinya untuk melahirkan karya yang berbobot. Tentu, apa yang dipetik dari bacaan-bacaan tersebut, genap mempengaruhi bagaimana ia menyusun kata untuk dirangkai dalam sebuah kalimat, sehingga menjadi satu kesatuan dalam membentuk paragraf. Sebab yang dikarang adalah buku fiksi, maka tak ayal, kerapnya kata-kata yang muncul, bergelimang rupa karakter tokoh, cara merangkai plot, ataupun penggunaan metafora—secara langsung maupun tidak—telah berimbas pada bagaimana ia mengemas dan merampungkan karyanya.

Yogyakarta, 2013

Selasa, 03 September 2013

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 1 September 2013)


Berani Gila

berani berarti mengeluhkan endapan nurani. di saat semua tertimpa tuli. kausimpan mimpi. kaubuang dengki. teriak demi kuak. bergerak melawan tamak. sungguh, kau manusia bersuara panjang. tak lihat petang, tak hirau siang. tetap saja mencuat garang.

ini, hari bersejarah. saat mendiamkan amarah. waktu mengikat lengah. buang jauh gelisah. sebab bunga suci akan merekah. hanya tersenyum. sekadar menebar harum. demi kau, manusia berwajah ranum.

kau begitu bersemangat. tak pernah malu berkucur keringat. darah memuncrat. nanah berhasrat. demi sebuah keputusan. yang mustahil digulirkan. tapi itu tak apa. aku yang jadi pembela. aku yang rela berhina. meski mereka: akhirnya, menyebut kita gila. gila untuk memberi. bukan untuk mencari.

Malang, 2009


Terima Kasih, Angin!

angin begitu riang. mendengar tangis sesenggukan. ia ceritakan kebodohan. ia obral semua kecongkakan. yang sengaja kita lakukan. sungguh, relamu membunuh pilu. sediamu mencekik kalbu. sebenarnya kami tak ingin kau gelisah. sekadar berpikir tentang kisah. yang lama terkunyah. meskipun kita sadar. kau tetap jadi sasar: membungkam pendar. mengubur ikhtiar.

angin begitu sendu. melihat beribu-ribu tandu. juga kepingan waktu. mengelilingi hati kita. yang selalu saja terluka. ia terawang bosan. ia bungkam si angan. pada seribu alasan. terima kasih, angin. kini kauhadiahkan cermin. guna mengubur dingin. yang telah lama menyelinap. di mata yang lindap. dan tertutup lanskap.

Bojonegoro, 2010

Darah di Punggung Kiai Maksum dan Perjalanan Menuju Hakikat (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di majalah "Cahaya Nabawiy" edisi September 2013)


Surya baru bangun dari dengkurnya. Udara masih mematung di sudut desa. Kerumunan embun bersiap melesat ke angkasa. Suara serak basah Kiai Maksum tersaring nyaring disokong mikropon surau renta. Seperti biasa, sehabis jama’ah shubuh, ia membacakan kitab Nashaih al-‘Ibad di hadapan para warga.
Bermodal pengetahuan agama mendalam—karena usia mondoknya bertahun-tahun, didukung pula dengan pengalaman selaku tangan kanan kiainya tatkala belajar di sebuah pesantren di Jombang, Kiai Maksum dipercaya untuk melempar petuah dan wejangan dalam segala problematika kehidupan, lebih-lebih terkait ihwal agama. Bahkan, orang-orang yang berasal dari desa sebelah pun turut bersoal. Tentang waktu paling tepat untuk nikahlah, hari terbaik untuk mengkhitan anaklah, pun kiat paling mujarab bagi yang bosan mandul. Juga pernah ada seseorang memohon doa Kiai Maksum agar gatal yang dipelihara kabur tunggang-langgang. Itulah mengapa, di ruang tamu lelaki yang selalu memegang tasbih itu sama sekali tak teronggok kursi-meja. Hamparan karpet dirasa lebih nyaman guna menyambut kedatangan para tamu—sejak fajar mendarat, hingga senja menguap.
***
“Wahai Kakak, kenapa kau tak sudi berjamaah denganku? Padahal, sudah dua belas tahun para warga menjadi makmumku.”
“Maaf. Bukan maksud meremehkanmu. Aku cuma kurang mantap jika kau menjadi imam.”
“Maksudmu?”
“Ya. Aku terus ragu-ragu ketika beribadah di belakangmu.”
Ucapan Kang Sadik terang saja membuat Kiai Maksum marah. Dua lembar telinganya mendidih. Bisa-bisanya lelaki yang berumur delapan tahun lebih tua darinya itu berujar demikian. Padahal, semua orang mafhum, bahwa Kiai Maksum dikenal khusyu’ dalam beribadah, istiqamah menebar ilmu syari’at, serta teguh menyebarkan Islam.
Terdesak keadaan, Kiai Maksum melaporkan kepada sang bunda perihal tingkah laku kakaknya. Sungguh, telah lama ia bertahan menutupi isi hatinya, demi meracik keharmonisan antar saudara. Akan tetapi, nyatanya, geram yang ia tumpuk kian menggunung dan enggan lagi ditampung. Barangkali dengan mendedahkan hal tersebut, perasaannya bakal lebih tenang. Syukur-syukur wanita yang menetaskannya ke dunia itu bersedia menghibahkan solusi terbaik.
“Baiklah, aku akan ngobrol dengan kakakmu.”
“Terima kasih, Ibu.”
***
Usai shalat dluha, Mak Romlah teringat dengan janjinya kemarin. Sebab itulah, memakai klompen kesayangannya, ia menyempatkan diri berkunjung ke rumah reot di ujung jalan. Meski dinding dirakit dari anyaman bambu, rumah itu, rumah mungil bercat putih tulang itu terlihat rapi dan amat bersih. Bunga sepatu yang merekah di pelatarannya menambah nyaman setiap orang yang memandang.
Belum sampai mengetuk pintu, Kang Sadik tahu kalau perempuan berambut uban yang membawa ubi rebus itu adalah ibunya. Segesit kilat, ia mempersilakannya masuk.
“Wahai, anakku.” Menggelesot di atas tikar daun pandan, dengan suara agak tertahan, raut muka Mak Romlah mulai serius, setelah sebelumnya berbicara ngalor-ngidul dan sesekali bercanda.
“Ya, Ibu.”
“Selama ini, kau tak pernah berjamaah dengan Asum?”
Sejak balita, Kiai Maksum dipanggil dengan Asum oleh Mak Romlah dan saudara-saudaranya.
“Benar, Ibu.”
“Bagaimana hubunganmu dengan Asum?”
Alhamdulillah baik-baik saja.”
“Apa Asum punya salah kepadamu?”
“Sungguh, ia tak bersalah sedikit pun.”
“Lalu mengapa ketika berada di musholla, kau lebih suka menanti orang lain untuk kau ajak berjamaah, setelah jamaah Asum buyar?”
“Emm…. Shalat Dik Asum penuh dengan darah.”
Buah cakap Kang Sadik tak lekas membuat Mak Romlah paham. Malah, beragam pertanyaan baru membuntang di kepalanya. Sebetulnya, ia masih bingung dengan jawaban yang dicetuskan Kang Sadik. Ingin sekali ia menggali lebih dalam apa yang tersembunyi dari pernyataan sulungnya itu. Akan tetapi, karena suara adzan dzuhur berkumandang, enggan ia lanjutkan pembicaraan. Hendak ia bersiap-siap guna menunaikan shalat berjamaah.
***
“Kau bilang, shalatku penuh dengan darah. Apa maksudmu?”
Dengan nada lantang, Kiai Maksum menghunjamkan pertanyaan pada Kang Sadik.
“Tenanglah dulu, Dik Asum.”
“Kau pasti iri denganku. Itu kan yang membuatmu malas berjamaah dengan adikmu ini?”
Astaghfirullah…”
“Sudahlah, aku sudah muak dengan kelakuanmu!”
“Baiklah, akan kujelaskan.”
Kang Sadik menghirup nafas dalam-dalam. Sepemakan sirih kemudian, ia melanjutkan, “dari dulu aku ingin sekali berjamaah denganmu, Dik Asum. Akan tetapi, darah di punggungmu itu yang menyebabkanku urung.”
“Darah? Darah apa?”
“Ya, Dik Asum. Para perempuan di desa ini rajin bertanya tentang darah haid, bukan?”
“Benar. Hampir tiap hari ada saja yang bertanya tentang darah haid. Maklum. Pengetahuan mereka tentang haid sangatlah minim. Apalagi, sebagian besar dari mereka belum pernah mempelajarinya. Jadilah mereka bersuci asal-asalan. Padahal tidak semudah itu. Semua ada  ilmunya. Begitulah urusan haid. Urusan rentan, namun sering kali disepelekan. Makanya, akhir-akhir ini aku rajin menelaah kembali kitab Risalat al-Mahid.
“Darah itulah yang membikin shalatmu kurang khusyu’. Di saat menghadap Tuhan, kau masih terngiang dengan satu-dua pertanyaan yang belum kau selesaikan, sehingga punggungmu penuh dengan darah.”
“Ya, Allah. Jadi shalatku selama ini….”
Belum sempat Kang Sadik menyambung, lidah Kiai Maksum terlebih dulu menyulam pertanyaan.
“Dari siapa kau belajar, Kakak?”
“Dari…….”
***
Assalamu’alaikum.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
“Mohon maaf. Apa benar Bapak yang bernama Ngatmo?”
“Benar. Ada keperluan apa ya?”
“Bolehkah aku belajar kepada Bapak?”
“Belajar apa?”
Kening tukang tambal ban itu bergelombang, seakan memperlihatkan kebingungan.
“Belajar ilmu hakikat.”
“Ilmu hakikat? Wah, ada-ada saja! Kalau disuruh menambal ban bocor aku bisa.”
“Sudilah Bapak menerimaku sebagai murid.”
Kiai maksum merunduk dan mencium kaki Pak Ngatmo. Lelaki berbaju kumal itu menyuruhnya bangun. Dan, dari katup mulutnya menyembul kata-kata, “baiklah. Setiap pagi kau harus ke sini.”
“Terima kasih. Terima kasih.”
Sepulang dari tempat mangkal Pak Ngatmo, wajah Kiai Maksum berseri-seri. Senyum simpul menggelantung di sejenjang bibirnya. Barangkali, sekali lagi barangkali, tiada hari yang lebih indah ketimbang hari itu. Benar. Hari di mana ia diangkat murid oleh seseorang yang genap menularkan ilmu hakikat kepada kakaknya.
Malamnya, ia membayangkan pelajaran apa yang akan diterima esok hari. Sungguh, ia tak sabar ingin segera mengetamnya. Ah, tentulah ilmu itu berbeda dengan ilmu-ilmu yang tunai digumuli. Lelaki yang dulu gemar berburu belut itu sangat bergembira, bagaikan anak TK yang akan bertembung dengan guru menggambarnya di kelas.
***
Pagi dirubung mendung itu, Kiai Maksum membersihkan selingkar tempat Pak Ngatmo beroperasi. Betapa menjijikkan! Kotoran burung dan kelelawar tergeletak di sana-sini. Basah dan lengket. Adapun sapu lidi yang disediakan ternyata tak mampu mencongkelnya.
“Maaf, Pak. Kotoran-kotoran ini susah sekali dihilangkan. Bagaimana ya caranya?”
“Terserah. Kayaknya memakai tangan lebih mudah.”
Menggunakan tangan telanjang? Sungguh ini merupakan cobaan berat di hari pertama Kiai Maksum menimba ilmu. Akankah kiai yang disanjung-sanjung itu meletakkan begitu saja kehormatan sekaligus wibawanya? Nafsunya meraung-raung, memberontak. Batinnya dengan enteng memekik: “Apa kau bakal mengorbankan nama kebesaranmu, Maksum?”
Ah, untungnya, nurani Kiai Maksum lebih tangguh, sehingga secepatnya ia buang jauh-jauh pikiran negatif yang berseliweran di otaknya. Ia pun memunguti kotoran-kotoran itu dengan tangannya. Dengan jari-jarinya. Berbekal semangat membabibuta, akhirnya loka di mana Pak Ngatmo mengais rejeki itu bersih, meski membutuhkan waktu agak lama. Betul-betul tiada kotoran secolek pun. Kiai Maksum bernafas lega. Pastilah, serejang lagi, guru barunya itu akan mendermakan ilmu hakikat.
“Pekerjaanmu sudah selesai, Maksum?”
Alhamdulillah, Pak.”
“Kau boleh pulang sekarang.”
Pulang? Apa ada yang salah dengan ucapan itu? Meskipun agak kecewa, Kiai Maksum menuruti dawuh gurunya. Bisa jadi, ilmu itu akan diturunkan besok. Begitulah batinnya menghibur.
Esoknya, pagi benar Kiai Maksum tiba di tempat Pak Ngatmo. Tanpa aba-aba, ia melaksanakan kembali titah gurunya kemarin. Ya. Melenyapkan kotoran-kotoran burung dan kelelawar. Semangatnya menggebu, karena di hari itu, ilmu hakikat yang disebut-sebut kakaknya bakal ia dapatkan.
Melendeh di betis pohon mangga, ia mengusap peluh yang merembes dari kulitnya. Pekerjaannya rampung. Sepasang netranya memandangi Pak Ngatmo yang tengah memegangi roda motor. Dan, hingga siang bertandang, ia tetap sigap sambil menanti kalau-kalau Pak Ngatmo memanggilnya.
“Maksum.”
Benar. Pak Ngatmo memanggil.
“Ya, Pak.”
“Pekerjaanmu hari ini lebih cepat. Kau boleh pulang.”
Kiai Maksum betul-betul tidak mengerti dengan maksud Pak Ngatmo. Saat gundah itulah, ia menimbang-nimbang: apa ada yang salah? O, ya. Hari ini kan hari Selasa. Boleh jadi, ilmu hakikat hanya dapat diunduh pada hari Rabu. Hari ketika cahaya diciptakan oleh Tuhan.
Gairah belajar Kiai Maksum terancam luntur. Hampir saja ia patah arang. Perkiraannya meleset. Jangkap di hari keempat, belum tersua tanda-tanda Pak Ngatmo akan mengajarnya. Malah, tugasnya berganda. Selain membersihkan kotoran, ia juga diserahi membuka dan menutup tempat tambal ban Pak Ngatmo. Praktis, ia harus berangkat lebih pagi, dan pulang menjelang malam.
Meski cara membimbing Pak Ngatmo agak nyeleneh, Kiai Maksum tetap bersikukuh, bahkan kian percaya kepadanya. Atas dasar itulah, saban hari ia mematuhi perintah gurunya itu, walaupun secara kasat mata, ilmu hakikat yang ia cari belum juga ditularkan. Ia yakin, bahwa kepatuhan kepada guru merupakan hal utama dalam menjemput ilmu.
Bertahun-tahun Kiai Maksum mengabdikan diri kepada Pak Ngatmo. Dan, di sore itu, ia dipersilakan mampir ke rumah. Wajah Kiai Maksum begitu semringah. Naga-naganya, waktu yang diidam-idamkan itu khatamnya tiba juga.
Sesudah berbasa-basi, Pak Ngatmo mengulurkan maksud, “Maksum. Kau berhasil melaksanakan perintahku dengan tulus. Besok kau tak usah ke tempatku lagi. Cukup sampai di sini kau belajar kepadaku.”
***
Kiai Humaidi duduk dilingkari para santri. Mereka tampak anteng memungut penjelasan sebiji kitab tersohor. Ya. Kitab tebal anggitan almarhum Kiai Maksum yang dikaji oleh para muslim seantero dunia. Banyak penelitian berkesimpulan bahwa kitab tersebut dikarang oleh seorang ‘allamah, sehingga apa yang ditulis sanggup menembus ruang dan masa. Bahkan, hingga ratusan tahun ke depan, kitab fenomenal itu diperkirakan akan senantiasa dipelajari oleh mereka yang menghajatkan kesempurnaan diri.

Yogyakarta, 2012
Keterangan:
Cerpen ini diolah dari biografi Imam Ghozali

Catatan:
Nashaih al-‘Ibad         : Kitab karangan Ibnu Hajar al-Asqolani, diberi syarah oleh Syekh Nawawi al-Bantani, berisi tentang nasihat-nasihat bagi para hamba
Risalat al-Mahid          : Kitab susunan  Syekh Muhammad Ardani, memuat tuntunan bagi para wanita dalam masalah haid
‘Allamah                     : Seseorang berpengetahuan luar biasa