Minggu, 28 Juni 2015

Cerita yang Rentan Munafik (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Merapi" edisi Minggu, 28 Juni 2015)

Terbitnya buku kumpulan cerpen bertajuk Mata Empat (Senikata, 2013) menandai kesetiaan Riki Utomi dalam berkarya. Jamak tahun bergumul dengan sastra, nyatanya tidak lantas membuat Riki bosan, tetapi justru kian merasa nyaman dengan memupuk rasa cinta begitu mendalam. Tampaknya, ia menyimpan kiat-siasat agar hubungannya dengan sastra terlihat semakin harmonis.
Sebagaimana pendahulunya di Riau, Taufik Ikram Jamil, Riki memiliki sikap teguh dan keras kepala. Sesibuk apapun, ia masih menyempatkan diri untuk selalu ‘mengasah pena’. Sehingga, bukan hal yang berlebihan jika kita menggolongkannya sebagai penulis dengan jam terbang tinggi. Sebagai apresiasi atas pencapaian yang genap diraih, berikut ulasan singkat mengenai buku kumpulan cerpennya.
Pertama, apa yang ditulis Riki rata-rata bersikait dengan dunia pendidikan. Cerpen Mata Empat, Pisau dalam Mata, Tangan, Sekolah Babi, Seorang Anak yang Menjadi Anjing, Sepercik Harapan, dan Hidung Bapak Ada Dua adalah sebagian contohnya. Sebagai seorang guru, barang tentu semua pengalaman Riki dalam mendidik para siswa turut memberi kesan tersendiri dalam cerita-ceritanya. Cara ia mengajar, memahami psikologi anak-anak didik, memberi bekal bagi masa depan mereka, serta memandang dengan semangat keberhasilan yang kelak merka raih, genap membekas dalam balutan kisahnya.
Meskipun tidak melulu bersetting sekolah atau tempat belajar-mengajar, kebanyakan cerita Riki memiliki keterkaitan dengan bidang pendidikan. Secara langsung maupun tidak, hal tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang penulis mempunyai pengaruh dan andil besar terhadap lahirnya sebuah karya.
Kedua, sebagian karya Riki ditandai dengan gejala rentannya kemunafikan. Ciri manusia Indonesia yang digemborkan oleh Mochtar Lubis dan sempat diperdebatkan oleh pelbagai pihak ini merupakan salah satu titik krusial dari kritik sosial Riki dalam menghadapi realitas. Baik Tangan maupun Sekolah Babi, dua-duanya menunjukkan bahwa dalam dunia yang penuh dengan misi-misi mulia (baca: pendidikan), ternyata tersimpan niat busuk orang yang berkecimpung di dalamnya. Dalam cerpen Tangan, seseorang yang bekerja di kantor Dinas Pendidikan bermaksud menggelapkan uang kantor. Awalnya, gelagatnya sebagai seorang koruptor memang tidak terendus. Bahkan, kerap kali berlagak sok pahlawan dan menganggap semua orang hanya berjuang demi kantong sendiri. Tak bosan-bosannya ia bercita-cita menjadi pahlawan dengan mendengungkan semangat mengabdi sebagai abdi negara (halaman 26). Tapi, di akhir riwayat tokoh ini terlibat proyek gelap dan terbukti melakukan korupsi.
Dalam cerpen Sekolah Babi, gejala kemunafikan bersifat lebih samar. Penulis tak hendak menuduh bahwa guru yang mengabdi di sebuah sekolah adalah seorang munafik. Tampaknya, penulis menyadari bahwa kemunafikan tidak selamanya harus merekat pada diri sang tokoh. Atas dasar itulah, ia lebih memilih untuk melekatkan sifat munafik justru pada para siswa yang menuntut ilmu. Kemunafikan tersebut diungkapkan oleh guru yang idealis dengan menyebut mereka sebagai babi. Anak-anak yang seharusnya belajar dengan benar dan memiliki tata krama yang baik, justru rajin membikin onar dengan membuat marah gurunya (halaman 32). Hal ini mengindikasikan bahwa penulis, secara tidak langsung, ingin menyampaikan bahwa anak-anak yang telah ‘melenceng’ dari fitrahnya itu genap merawat sifat munafik dalam diri mereka.
Lelah meladeni para siswa yang bengal, guru tadi sering mengumpat dan berkata kasar. Ia begitu menyesal mengapa berhijrah ke sekolah di pelosok desa di mana anak-anak susah sekali diatur. Jauh berbeda dengan tempat mengajarnya dulu di kota. Terlebih lagi, tindakan guru dalam mendisiplinkan siswa selalu dibatasi dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Selaku pendidik, ia tidak dibekali hak untuk memberi peringatan dengan tegas. Menindak dengan sebatan rotan, misalnya. Imbas dari ketentuan ini yaitu: di hadapan anak-anak yang susah dinasehati tersebut ia hanya bisa menggigil menahan geram (halaman 33).
Pesan yang ingin disampaikan, baik kurang beresnya dunia pendidikan maupun benih-benih kemunafikan yang layak dihapus, menemukan ruang pada cerpen-cerpen yang diolah Riki. Hal tersebut antara lain karena: pertama,  Riki sengaja menjauhi kata-kata bombastis dan cenderung menggunakan bahasa ringan. Dengan demikian, misinya berpeluang terwujud karena ia dapat menjangkau lebih banyak khalayak pembaca.
Kedua, dengan menggarap tema pendidikan (bidang yang selama ini digeluti) barang tentu membawa keuntungan tersendiri bagi Riki. Bermodal data juga pengalaman yang dimiliki, bukan hal yang sulit bagi Riki untuk merangkai serta menuangkannya dalam cerita. Apalagi, selain menghindarkan karya dari kesan asal-asalan, kedekatan tema dengan pengalaman juga membuka jalan bagi penulis untuk menghasilkan karya yang matang.
Ketiga, beberapa cerpen Riki menunjukkan adanya perhatian lebih terhadap anggota tubuh. Semisal Mata Empat, Pisau dalam Mata, Tangan dan Hidung Bapak Ada Dua. Dalam keempat cerpen tersebut, anggota tubuh (dalam hal ini: mata, tangan dan hidung) berhasil dieksplorasi dengan baik, meskipun terkadang Riki masih terlihat ‘ngos-ngosan’. Bila berusaha secara lebih intens berfokus pada anggota tubuh, niscaya karya-karya Riki akan semakin berkualitas. Penyair Joko Pinurbo telah membuktikannya dalam buku kumpulan puisi Celana (Indonesia Tera, 1999).
Selain kelebihan-kelebihan di atas, tercatat sejumlah kelemahan pada karya Riki. Pertama, Riki cenderung abai terhadap logika cerita. Dalam beberapa cerpen, pembaca tentu merasa kecewa, sebab alur yang ditawarkan Riki kurang tertata rapi. Apalagi, didukung dengan porsi yang kurang berimbang di beberapa bagian.
Kedua, bahasa lokal cenderung berpengaruh ‘negatif’ atas karya Riki. Dalam berkarya, Riki kurang mampu menempatkan mana kalimat yang perlu di-lokal-kan dan mana yang tidak, sehingga kreatifitas Riki cenderung ‘salah tempat’. Padahal, jika diolah secara serius, lokalitas justru mempunyai daya tawar tinggi bagi sebuah karya. Sudah banyak penulis melahirkan karya bernas setelah berhasil memanfaatkan lokalitas (baik content maupun bahasa).
Namun demikian, sejumlah kelemahan di atas tidak lantas mendegradasi Riki sebagai penulis kelahiran Pekanbaru ternama yang karya-karyanya rajin menyambangi halaman media.


Yogyakarta, 2014

Minggu, 21 Juni 2015

Sumi (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 21 Juni 2015)

Sebulan yang lalu, seperti biasa, Sumi mengamen di bus kota. Ia mendendangkan lagu dangdut dan campur sari. Seperti biasa pula, usai mempersembahkan dua biji lagu, ia menadahkan topi ke para penumpang guna menakik buah kerjanya.
Bus jurusan Nyawo–Sriben menjadi target operasi Sumi. Perempuan bermata kelereng itu memilih bus jurusan tersebut, agar tak terlalu jauh melangkah dari rumah.
Mengamen? Benar. Ia punya suami? Punya. Suaminya, Mat Palu, seorang pengangguran. Lelaki ceking berkumis tebal itu termasuk pemabuk berat sekaligus penjudi kelas kambing. Saban malam, bisa dipastikan, ia mencongkong di pos dekat warung Mbok Suti. Di sanalah ia melampiaskan candunya bersama Dul, Gani, dan Cemplik. Dan kalau kekenyangan tuak, Mat Palu berguling-guling di tanah dan menyemburkan sebuah nama.
“Yen… Yen.. Yeniku sayang”
Bagaimana dengan Sumi? Setiap hari, saat gelap terbit dan jarum jam memeluk angka delapan, Sumi meringkuk di ranjang, menemani tidur anaknya. Tanpa suami. Tanpa belaian lelaki yang dulu sangat dicintai dan mencintainya. Dan, jika Sumi ditanya, apakah ia masih mencintai lelakinya? Ia akan memilih diam. Ia mafhum bahwa suaminya enggan lagi melahap cintanya. Akan tetapi, ia tetap nekat bertahan. Mempertahankan biduk rumah tangga yang tengah oleng.
Pada waktu itu pula, ia mengetahui persis ke mana suaminya keluar. Ia juga sadar, suaminya pergi tanpa pamit dengan membawa buah keringatnya; rupiah hasil mengamen. Ya. Mat Palu memakainya buat mabuk-mabukan dan berjudi buntut.
Sumi paham betul dengan tabiat buruk suaminya. Namun, tiada yang dapat ia perbuat. Tatkala Mat Palu dinasehati agar menamatkan kebiasaan, kepalanya mendidih dan berkata seenak perutnya. Sok ngatur lah. Sok alim lah. Bahkan selagi gelap mata, pernah ia suguhkan parang dan hampir saja leher anaknya digorok. Kalau terlambat dibawa ke rumah mertua, nyawa Rita pasti sudah mengapung.
Sumi tak tahu entah sampai kapan kehidupannya menggelinding seperti itu. Harapannya sederhana; sang suami menyingkirkan kebiasaan buruknya dan kembali seperti semula, kala usia pernikahan belum genap lima tahun.
Siang itu, lagi-lagi, saat menceritakan awal mula penderitaan, pipinya basah kuyup. Kebanjiran air mata.
“Saya juga kurang tahu, Mbak. Sejak ia bertemu Yeni, tingkahnya berubah.”
Kata-katanya perlahan mengalir.
Dan, tentu kau akan merugi jika melewatkan penuturannya. Ini penting buat bekal sebelum naik ke pelaminan. Maka, ceraplah ceritanya penuh seksama!
***
Yeni adalah gadis penunggu warung Mbok Suti. Perempuan bertubuh sintal, berwajah rembulan, dan masih hijau itu keponakan Mbok Suti, yang berasal dari desa Sagejek. Mbok Suti sengaja mendatangkannya supaya menemani dan mengurangi bobot kerja. Maklumlah, umur Mbok Suti hampir menginjak kepala enam. Marni, anak semata wayangnya, entah minggat ke mana.
Dan, pilihan Mbok Suti memang tepat. Sejak warung ditunggui Yeni, pelanggannya kian membludak. Saking berjibunnya pelanggan, hingga ia sediakan tikar daun pandan di muka warung. Pada mulanya, nenek pemakan daun sirih itu mengira bahwa para pelanggan terpikat dengan racikan kopi Yeni. Ternyata dugaannya salah. Mereka setia berkunjung sebab terpesona dengan senyum sang keponakan. Ya, senyum merekah bak mawar merah dan memicu jantung berhenti berdetak.
Mat Palu, suami saya, termasuk korban. Awalnya, ia doyan ngopi di warung Mbak Sukijah. Racikan yang pas, didukung dengan keramahan pemilik warung, membuat lidahnya kerasan. Ia juga memiliki ikatan batin dengan beberapa pelanggan di sana. Sesungguhnya, kurang tepat bila ada yang mengecapnya pelanggan tetap. Lha wong, ia ke sana dua minggu sekali. Itu pun kalau ada uang. Sampai sini, tak ada yang perlu dirisaukan. Dan, perjalanan rumah tangga kami berjalan penuh kehangatan.
Namun, semuanya berubah setiba perempuan itu di desa ini. Benih perubahan mulai muncul ketika suami saya berburu belut dengan Sukaji.
“Kang. Kamu tahu warung Mbok Suti?”
Emang kenapa?”
“Waduh, ketinggalan jaman. Sekarang kopinya makin suegerrr
Masak? Yang bener?”
Ih, gak percaya. Kamu tahu gak? Yang ngracik perawan bahenol, lho. Wajahnya muaaaniss.
Lantas suami saya betul-betul ingin mengecek ocehan temannya.
Keesokan harinya, ia pergi ke tengkulak belut. Ia hendak menikmati kerja lemburnya semalam, dengan memanggul belut-belut tangkapan dan menukarkannya dengan uang. Benar. Rupiah yang selama ini digunakan menafkahi keluarga merupakan hasil penukaran dengan belut. Ya, belut. Hewan licin dan berlendir itu menjadi penopang hidup kami bertiga; Saya, Rita, dan ayahnya.
Suami saya, Mat Palu, adalah tipe orang bertanggung jawab, meski lambat laun sifatnya berubah. Uang hasil kerja benar-benar dihemat demi meruncit beras dan sesekali membelikan pisang buat Rita. Bila uang makan bersisa, barulah ia ngopi di warung Mbak Sukijah.  
Selasa itu ia memang mujur. Belut yang dibekuk lumayan banyak. Setelah dihitung-hitung dan kebutuhan keluarga dikalkulasi, ternyata uangnya lebih secolek. Pandangannya mengarah ke cakrawala. Sedang batinnya mendesis:
“Asyik. Nanti sore bisa ngopi di warung baru.”
Benar. Sore harinya, setelah merebahkan badan sejenak, ia pamit keluar. Tanpa banyak tanya, saya pun mengijinkan. Tiada kecurigaan. Tiada pikiran macam-macam. Sebelum pergi, terlebih dahulu ia sambar uang kembalian dari beras yang dibeli. Tetapi, itu kali berbeda. Ia keluar menuju arah utara. Bukan ke selatan, sebagaimana kala hendak ngopi di Mbak Sukijah. Usut punya usut, ternyata ia menongkrong di warung hijau bercadar bambu. Tepatnya di warung Mbok Suti.
Mulai ia duduk, memesan kopi, menyeruputnya sedikit demi sedikit, hingga cairan kental hitam itu tinggal seteguk, matanya belum melihat tanda-tanda keberadaan gadis yang diceritakan temannya. Kepalanya tegang. Lehernya kaku. Gerahamnya mengait. Baru ini kali ia merasa dibodohi Sukaji.
Mbok Suti membaca isyarat kegelisahannya.
“Ada apa, Kang? Jadi pelanggan baru kok sudah menggerutu. Kalau ada masalah ya cerita saja. Apa kopinya kurang enak?”
Suami saya gelagapan. Peluhnya bertunas. Jemari yang asalnya berada di kursi, tiba-tiba beringsut ke alis. Mulutnya terjahit. Perbendaharaan kata-kata di lidahnya habis.
Seperti ada yang memberitahu Mbok Suti, sejurus kemudian, katup bibir sang nenek terbuka:
“O, Yeni? Hari ini dia gak ke warung. Dia lagi sakit, Kang. Tapi tenang kok. Paling-paling besok sudah sembuh. Jangan pakai malu! Semua lelaki yang baru ke sini pasti ingin ketemu dia. Kamu juga to?”
Bagai maling terpergok, suami saya tak berani berulah sedikit pun. Membalas senyum saja tidak. Dan, segesit kilat, sisa kopi ditenggak. Uang ditaruh di meja dan pamit pulang.
Malam hari, biasanya ia tunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Ya, menuntut uang. Malam, baginya adalah waktu yang sangat berharga. Meski ia menyukai pagi, siang dan sore hari. Malam tetap lebih unggul dan lebih istimewa daripada yang lain. Karena pada waktu itulah anak-bini belut bersedia menampakkan diri di sawah, parit, sungai, dan rawa-rawa. Dan ia dengan mudah akan meringkus dan menjebloskannya ke dalam karung.
Namun, ada yang lain. Di suatu malam yang senyap, suami saya begitu bersemangat. Menggebu-gebu. Bahkan, jika boleh dikatakan, nafsu kerjanya memuncak. Roh apa yang tengah merasuki tubuhnya. Bertemu jin macam apa pula ia, sehingga selepas magrib, ia sudah berpamitan. Padahal, belum saatnya ia berangkat. Lazimnya, ia akan ongkang-ongkang kaki, menggelesot dulu di tikar sembari berbagi cerita masa kecilnya dengan Rita. Juga berkisah tentang Malin Kundang, Sangkuriang, Joko Tarub, Nyi Roro Kidul, dan seribu dongeng lainnya. Sepuluh menit kemudian, ia akan membaringkan Rita yang telah tersihir dengan ceritanya itu. Baru pada jam sembilan ia bersiap meluncur bersama kawanannya.
Ada apa gerangan?
Ada apa ya?
Emm… Maaf, saya lupa. Hal ini sering terjadi, bila cerita beranjak sampai sini. Sebentar, sebentar. Saya cermat-cermat dulu.
O, ya. Saya ingat. Pasti suami saya bertingkah sedemikian rupa gara-gara Mbok Suti. Ah, bukan, bukan. Tepatnya sebab Yeni. Ya, si gadis penebar masalah itu. Suami saya ingin menangkap belut lebih banyak supaya uang yang diperoleh dari tengkulak juga besar. Kalau sudah demikian, pasti esoknya ia akan menggelundung ke warung Mbok Suti untuk yang kedua kali.
Betul kan yang saya bilang? Esoknya ia kembali ke warung Mbok Suti. Dan, akhirnya bisa bertembung dengan Yeni.  
Semenjak itulah hubungan saya dengan suami bertambah renggang. Ia cukup dingin. Nafkah batin yang sebelumnya diberikan tiga hingga empat kali dalam sepekan, makin jarang saya terima. Sebulan sekali saja untung-untungan. Yang lebih gila, selagi menunaikannya, ia menyebut-nyebut nama Yeni. Edan tenan.
Penderitaan kian berlimpah ketika Yeni pulang kampung untuk menikah. Suami saya merasa begitu kehilangan. Setiap hari kerjanya hanya mabuk dan berjudi. Ia malas berburu belut, sehingga pemasukan berhenti sama sekali. Guna menuruti kebutuhan sehari-hari, terpaksa saya mengutang ke Pak Har. Tetapi, lama kelamaan saya malu, karena utang terus menumpuk dan saya tak sanggup membayar. Akhirnya, terpaksa saya mengamen. Bagi saya, ini lebih mulia daripada melacur. Ya, lebih baik melego suara daripada obral harga diri. Begitulah, Mbak.
Dan, karena bosan menghadapi cobaan, sering saya berhasrat mengakhiri hidup. Namun, tiap kali mau gantung leher di pohon jati, bayangan Rita menyembul seketika dan membatalkan niat saya.
Minta cerai? Saya sudah bosan. Bahkan terakhir, saya mengucapkannya waktu ia datang malam-malam. Begitu mendengarnya, suami saya kalap dan mengancam akan membunuh Rita.
Cukup, ya. Saya capai dengan semua ini. Barangkali jalan takdir yang harus saya tempuh memang demikian. Saya hanya sanggup berdoa. Semoga Tuhan meluluskan doa saya.
Memang betul pesan Emak: “Jika mau kawin, kau harus siap lahir batin, Nduk”.
***
Dan, pagi tadi, Sumi melantukan lagu dangdut dan campur sari di bus kota. Usai menghidangkan dua biji lagu, ia memetik buah kerjanya. Namun, tidak dengan topi. Melainkan dengan beberapa gelintir amplop. Ya, amplop putih seukuran kantong kemeja. Di amplop tersebut tergores dua baris tulisan:
MOHON KEIKHLASANNYA
BUAT BELI PERALATAN SEKOLAH ANAK SAYA 
Seturun dari bus, sambil mengurutkan napas, ia berpikir bagaimana caranya mencari uang tambahan. Besok pagi Rita masuk sekolah.

Yogyakarta, 2011

Rabu, 17 Juni 2015

Migrasi Budaya (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 17 Juni 2015)

Belum lama ini, sebab tidak mengantongi dokumen keimigrasian bekerja, sebanyak 80 WNI dideportasi dari Sabah, Malaysia. Mereka yang berniat mengais rizki di negeri jiran tersebut terpaksa gigit jari karena diusir oleh petugas setempat dan ditelantarkan di Nunukan.
Kasus seperti ini berulang kali terjadi. Dari tahun ke tahun, kasus deportasi TKI masih saja ditemukan. Alasan jauhnya lokasi kerja dari kota membuat sebagian orang yang bekerja di Sabah tidak membawa dokumen yang lengkap. Imbasnya, mereka harus melewati proses ‘repatriasi’, yaitu proses pemulangan dengan membawa Surat Permintaan Nyata dari majikan. Setelah mengurus paspor TKI dan dokumen, mereka baru bisa kembali bekerja di Sabah.
Sabah menjadi loka tujuan mereka yang berhasrat meningkatkan taraf hidup. Saat lahan kerja semakin sempit, Sabah menawarkan jasa dengan menjanjikan posisi di beberapa bidang pekerjaan. Gayung pun bersambut. Orang-orang Indonesia berbondong-bondong bermigrasi ke sana, meski harus menjual tanah dan sawah.
Sebenarnya, mobilitas penduduk ke Sabah memiliki sejarah panjang. Dulu, sebelum bercokolnya kolonialisme, Sabah merupakan tempat pergumulan orang-orang dari beragam suku bangsa. Terbentuknya negara-bangsa setelah kemerdekaan melahirkan permasalahan baru bagi penduduk yang secara tradisional keluar-masuk Sabah. Sejak saat itu, batas negara (state’s borders) menjadi sebuah kendala, adapun status kewarganegaraan (citizenship) menjadi pembeda antara pekerja migran dan lokal. Selanjutnya, beragam peraturan keimigrasian melahirkan dikotomi antara pekerja migran yang “legal” dan “ilegal”, juga antara pemegang dokumen dan yang tidak berdokumen (Riwanto, 2007).
Mencermati fenomena migrasi, sejumlah peneliti menggunakan pendekatan ekonomis dan sosio-demografis. Pendekatan ekonomis menyebutkan bahwa migrasi yang dilakukan oleh WNI tidak tanpa dasar. Meskipun harus meninggalkan keluarga dan sanak famili, mereka telah mengambil pilihan yang rasional. Secara ekonomis, mereka mampu mengalkulasi biaya (cost) dan keuntungan (benefit) jika meninggalkan rumah. Mereka bisa memutuskan untuk hijrah ke tempat yang baru atau tetap bermukim di kampung halaman. Mobilitas penduduk berlangsung secara alamiah sebagai respons terhadap peluang kerja yang tersedia di tempat lain.
Dalam pendekatan sosio-demografis, penduduk yang melakukan migrasi dikonstruksi sebagai manusia yang memiliki sejumlah karakteristik, seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, daerah asal, pendidikan, serta pekerjaan. Padahal, dua pendekatan ini mengandung kelemahan, yaitu direduksinya penduduk menjadi angka statistik dan dilepaskannya manusia dari konteks sosial-budaya.
Miyazaki, ahli antropologi dari Jepang, mengajukan konsep “niche” dan “otherness” guna menjelaskan migrasi sebagai suatu gerak atau perpindahan kebudayaan (culture flows). Niche adalah  sebuah konsep yang menjelaskan suatu lingkungan tertentu mampu membuat para migran merasa nyaman untuk mengembangkan kebudayaan mereka di tempat yang baru. Sedangkan Otherness merupakan konsep di mana makna kehadiran orang-orang dari kelompok etnis lain sebagai peneguh identitas etnis dari latar belakang kebudayaan yang berbeda (Riwanto, 2007).
Dengan demikian, memandang mobilitas WNI ke Sabah semestinya digenapi dengan pendekatan kebudayaan yaitu menganggap perpindahan penduduk sebagai suatu ekspresi budaya. Migrasi sebagai sebuah ekspresi budaya etnis-etnis di Indonesia terungkap dari idiom “cari hidup”. Hal ini mencermikan kemampuan (inner strength) yang mereka miliki untuk pindah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Sebagai ekspresi budaya, migrasi tidak sekadar gejala ekonomis dan sosio-demografis, akan tetapi juga manifestasi dari sistem kebudayaan suatu masyarakat.


Bojonegoro, 2015

Selasa, 16 Juni 2015

Cermati Kemunculan Hukum Adat (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 16 Juni 2015)

Baru-baru ini ditemukan terobosan dalam bidang hukum. Berorientasi pada pelayanan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta, Jawa Barat, telah membentuk Majelis Adat yang diharapkan dapat memberdayakan, melestarikan, serta mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, Lembaga Adat dan Hukum Adat daerah. Pranata sosial yang mengatur keseimbangan pertukaran sumber daya ekonomi, politik, dan sosial juga bisa lebih tertata.
Ini berlatar belakang, masyarakat sudah tidak percaya kepada hukum konvensional. Di negeri ini, hukum dengan berbagai perangkatnya telah disalahgunakan oknum tertentu untuk melindungi diri sendiri, mengorgan- isasi kepentingan, bahkan menjerumuskan mereka yang tidak bersalah. Bagi kaum the have, hukum bisa dengan mudah dibeli. Bagi pemodal, menghindari jerat hukum bisa dilakukan hanya dengan menjentikkan jari.
Tapi, bagi rakyat jelata? Mereka harus merasakan pengapnya bui, meski pelanggarannya hanya sepele. Dengan demikian, hukum merupakan representasi status sosial. Realitas ini mengamini tesis Karl Marx, hukum hanya melindungi kelompok-kelompok dominan dan menjadi sarana kaum kapitalis untuk melanggengkan kekuasaan.
Beberapa desa seperti Sukamulya, Nagrog, Sumurrugul, Linggamukti serta Pusakamulya sedang dipersiapkan menjadi Desa Adat. Dengan memberdayakan Badan Musyawarah Desa (Bamusdes) sebagai Majelis Adat, Pemkab Purwakarta benar-benar ingin menerapkan sistem hukum adat.
Di antara yang perlu disoroti dalam upaya memberlakukan hukum adat di sejumlah desa tadi seperti penanganan kasus pencurian. Pemkab Purwakarta mengeluarkan ketentuan, andai karena kemiskinan, seseorang terpaksa mencuri, maka hukuman tidak diberlakukan kepadanya seorang diri, melainkan juga warga sekitar yang telah dianggap menelantarkan tetangga.
Ketetapan pemerintah setempat ini menarik karena keyakinan masyarakat, dosa dan kesalahan selalu melekat pada individu, diubah. Dosa, jika dilakukan bersama, harus ditanggung juga secara bersamaan, sehingga sanksinya juga harus diterima secara komunal. Inilah yang dinamakan ‘dosa sosial.’
Dosa sosial ditanggung setiap orang yang sengaja menafikan atau menghilangkan rasa down to earth, empati terhadap problematika sosial. Dosa ini merupakan representasi dari struktur sosial yang tidak adil, timpang, bahkan menindas. Egoisme dan individualisme yang menjangkiti masyarakat telah meluluhlantakkan prinsip-prinsip sosial. Masyarakat sudah tidak peduli dengan nasib sesama. Mereka mengutamakan kepentingan pribadi, cenderung tak acuh terhadap kehidupan orang lain. Kebahagiaan dan ketenteraman hanya untuk diri sendiri dan keluarga.
Hukum adat dipercaya dapat menuntaskan kasus-kasus pidana yang selama ini dikembalikan pada KUHP. Hukum adat dengan ciri komunalnya yang kuat menjadikan kasus-kasus kriminal bisa teratasi dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan hukum adat, masyarakat lebih menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebersamaan daripada menjebloskan seseorang ke penjara sebagai praktik ‘balas dendam.’
Ditambah lagi, dari sisi prosedural, masyarakat diajak menimbang, andai proses hukum konvensional cenderung berbelit, memakan waktu, serta biaya yang mahal. Adapun dengan hukum adat, masalah bisa cepat diselesaikan.
Saat hukum Indonesia dalam kondisi karut-marut seperti sekarang, memberlakukan hukum adat bisa jadi sebuah alternatif mencari keadilan. Dengan corak magis, komunal, kontan, dan konkret, hukum adat mungkin lebih menjanjikan.

Asli Lokal
Meskipun terkesan kurang memiliki kepastian dan senantiasa berubah, hukum yang tumbuh dan perkembangannya ditopang kesadaran masyarakat ini memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya responsif, fleksibel, dan sesuai dengan rasa keadilan. Sistem hukum adat juga merefleksikan kehidupan masyarakat sehari-hari. Djojodigoeno pernah menjelaskan bahwa terdapat persamaan antara sistem hukum adat dan Common Law negara-negara Anglo Saxon.
Bahan sistem hukum adat berupa hukum Indonesia asli, sedangkan sistem Common Law memuat unsur-unsur hukum Romawi kuno yang telah mengalami Receptio in Complexu (Yesmil Anwar dan Adang, 2008: 99).
Tentu masyarakat, sebagai subjek maupun objek hukum, diharapkan mendukung implementasinya. Hukum adat sudah ada sejak ratusan tahun sebagai warisan nenek moyang. Ini dianggap lebih sakral ketimbang hukum pemerintah, di mana muatannya mengandung beragam kepentingan.
Sebagaimana negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok, hukum adat dinilai mampu menjamin bagi masyarakat akan hak dan kewajiban secara proporsional. Rasa nyaman inilah yang membuat masyarakat patuh terhadap aturan hukum tersebut.
Sistematika hukum adat sangatlah sederhana, sehingga mudah diaplikasikan. Masyarakat yang akhir-akhir ini cenderung realistis, menganggap bahwa hukum konvensional terlalu teoritis. Di samping hanya menjadi proyek anggota legislatif dan para akademisi, materi perundang-undangan seolah menghindari konteks sosial. Akibatnya, setelah diterbitkan, peraturan perundang- undangan menumpuk di penjual buku dan percetakan.
Di balik hukum adat terdapat kekuatan magis yang mengakibatkan munculnya kekhawatiran para pelanggarnya. Masyarakat percaya, pelanggaran terhadap hukum adat dapat menimbulkan bencana dan malapetaka. Hal ini bukan mustahil.

Bojonegoro, 2015

Senin, 15 Juni 2015

Pahit Gula bagi Jawa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Joglosemar" edisi Sabtu, 13 Juni 2015)

Oleh Presiden Joko Widodo, Indonesia ditargetkan berswasembada gula pada 2019. Untuk mencapai target ini, Staf Ahli Kementerian Badan Usaha Milik Negara Sahala Lumbangaol mengatakan pemerintah berencana membangun sepuluh pabrik gula baru di Tanah Air.
Latar belakang lahirnya kebijakan di atas yaitu laju prosentase impor gula yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Impor gula merupakan imbas tidak langsung dari keengganan Soeharto memulai land reform, sehingga produksi tanaman pangan semakin menurun. Produksi beras besar-besaran pada masa Soeharto menyebabkan merosotnya produksi gula. Akibatnya, pemerintah terpaksa mengimpor gula dari negara lain. Jumlah impor semakin besar karena dengan cara itu, keran korupsi terbuka lebar.
Kebijakan pemerintah menemukan rasionalisasinya dengan fakta bahwa gula memainkan peran signifikan. Dulu kala, gula menjadi ujung tombak kekuatan ekonomi, sampai-sampai Hindia Belanda diakui sebagai ‘negeri gula’ dengan produksi gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.   

Paradoks Gula
Selain katalisasi ekonomi, gula berperan sebagai simbolisasi nilai-nilai kemuliaan, manifestasi pewartaan agama, juga realisasi gejala-gejala dekadensi moral. Ini berarti, tidak hanya untuk beritikad baik, gula juga difungsikan manusia untuk mengingkari dirinya sebagai homo religius.
Kerajaan Majapahit menggunakan gula-kelapa sebagai lambang negara. Penggunaaan simbol ini bukan bermaksud menyodorkan sebuah kearifan etnik, tetapi lebih pada universalitas kearifan bangsa. Hal ini tidak terlepas dari keinginan Majapahit untuk mempersatukan seluruh kawasan Nusantara. Dalam pemahaman tradisi Jawa, gula berarti harapan sekaligus ajakan yang baik (pangajap manis) dalam mewujudkan intisari atau mustika kelapa (Ki Juru Bangunjiwa, 2009: 132). Kerajaan yang mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk tersebut menggunakan simbol gula-kelapa dalam rangka mewariskan ajaran dan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa (piwulang luhur).
Dulu kala, di Ganjuran dan Medari, Yogyakarta, sebagian orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang bekerja dan tinggal di kawasan pabrik gula adalah pemeluk Katolik. Mereka berhak memperoleh pelayanan rohani dan sakramen-sakramen dari pastor paroki, sehingga memungkinkan adanya kunjungan pastoral.
Selain itu, lingkaran inti pabrik gula, tempat bermukim sebagian kecil orang Eropa, merupakan kawasan semi-urban. Tak heran jika para misionaris yang notabene juga berkebangsaan Eropa memulai karya pewartaan agamanya dari sana. Pusat-pusat pabrik gula sebagai titik pijak awal lebih mencerminkan kerja sistematis daripada pemenuhan kepentingan lain. Hal ini menyebabkan kunjungan-kunjungan yang lebih bermuatan kegiatan pastoral tersebut dilanjutkan dengan usaha perintisan pewartaan agama (Anton Haryono, 2009: 1921).
Moralitas yang merosot boleh dihubungkan dengan bertambahnya produksi gula. Mengutip Leonard Blusse (2004), pada tahun 1710, hampir keseluruhan usaha budi daya gula berada dalam genggaman orang-orang Cina. Sebab mendapat dukungan dari pihak kolonial, perkebunan-perkebunan gula yang mereka miliki bertebaran di pedesaan sekitar Batavia,  sehingga pada tahun itu terdapat 130 pabrik gula milik 84 orang pengusaha di Ommelanden.
Namun demikian, produksi gula besar-besaran memunculkan banyak masalah. Sejak tahun 1960, Belanda berusaha menghalangi membanjirnya tenaga kerja dari Cina dengan mempengaruhi para nahkoda. Ternyata upaya ini membuka jalan bagi para nahkoda untuk menyuap pejabat-pejabat pelabuhan yang memiliki hubungan dengan penguasa pabrik gula. Emigran-emigran Cina juga didaratkan di Pulau Seribu, di depan pantai Batavia, atau di sepanjang pantai Jawa yang bebas dari patroli, guna menghindari pendaftaran di rumah kapiten atau mengecoh kuota imigrasi. Dengan semakin banyaknya penyelundupan tenaga kerja ilegal, semakin besar pula keuntungan para pengusaha pabrik gula.

Gula dan Jawa
Gula telah mempermanis rintisan dagang Hindia Belanda di pasar Eropa. Atas kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) yang menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), gula turut menyumbang besarnya laba Pemerintah Belanda. Hingga permulaan abad ke-20, ladang-ladang tebu dan pabrik-pabrik gula di Jawa merupakan mesin-mesin produksi gula dunia.
Namun, tidak demikian bagi masyarakat Jawa. Gula tidak semanis rasanya. Gula cenderung mewariskan rasa pahit-getir yang terpaksa ditelan. Dalam proses berdiri dan beroperasinya pabrik-pabrik gula, perbudakan dan kemiskinan menjadi bagian tak terelakkan. Melejitnya pertumbuhan ekonomi pabrik-pabrik gula tidak lantas mengentas masyarakat Jawa dari jurang kemelaratan.
Di Jawa, gula merupakan beban bagi para petani. Dalam pandangan C. Geertz, gula berimbas pada lahirnya proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan, sehingga struktur pertanian sawah mengecil (Onghokham, 1985). Sebaliknya, keuntungan yang berlipat menjadikan terbentuknya modal, sehingga perkebunan atau pabrik gula mengalami evolusi.
Di samping itu, telah muncul perbedaan kelas antara mereka yang menduduki jabatan strategis di pabrik gula dengan orang-orang bawahan sebagai buruh-buruh. Di pabrik gula Ngadirejo, Kediri, terdapat perbedaan kelas antara “employe” yang mencakup direktur, wakil direktur, sinder tebu, masinis, ahli gula, dan kepala kendaraan dengan “buruh” yang terdiri dari buruh tetap, buruh musiman, sopir, dan penjaga keamanan (waker).
Kelas employe memperoleh beragam fasilitas, seperti penyediaan bus gratis bagi anak-anak employe setiap berangkat dan pulang sekolah, pemutaran film, pemandian, tenis, rekreasi, serta pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga employe yang sakit. Sementara itu, anak-anak buruh harus mengayuh sepeda sekitar 14 kilometer untuk pergi ke sekolah dan keluarga buruh yang sakit cukup dibawa ke klinik pabrik gula.
Pada pergelaran pesta yang digelar pihak pabrik saat buka giling, perbedaan kelas juga begitu mencolok. Barang tentu para employe menikmati pertunjukan yang lebih mewah dengan hadirnya para artis top, sedangkan buruh-buruh hanya menikmati pasar malam atau wayang kulit semalam-suntuk (Budi Susanto, 2007: 82).
Gula seakan terasa lebih pahit ketika Pemerintah Belanda sengaja menggabungkan “gula” dengan “jawa” (baca: gula jawa) dengan tujuan supaya orang-orang Jawa selalu merasa minder dan kurang percaya diri. Hal ini dikarenakan, gula jawa tidak semanis gula pasir, meskipun memiliki aroma khas. Warna merah kehitaman dan bentuknya yang besar menjadikan gula jawa bercitra negatif. Di pasar tradisional, gula yang merupakan hasil rebusan bunga kelapa tersebut biasanya ditemukan dalam kondisi kurang layak, lantaran tercampur tepung kanji dan kotoran. Maka, sebelum diaduk dalam bahan makanan, biasanya gula jawa direbus dan disaring terlebih dahulu.
Belum lagi istilah-istilah lain yang diciptakan guna menghina orang-orang Jawa. Adapun istilah-istilah yang dilekatkan dengan “belanda” sengaja diunggulkan. Sebut saja asam jawa dengan warna hitam pekat, yang biasanya digunakan sebagai perasa atau penambah rasa asam dalam masakan, sedangkan asam belanda berwarna putih dengan rasa sedikit manis. Orang-orang Jawa juga direndahkan dengan istilah rokok jawa atau rokok kelobot yang kerap dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan kurang berpendidikan. Adapun rokok belanda tiada lain adalah cerutu, rokok putih, yang identik dengan orang-orang berduit dan berpendidikan tinggi.  
Dengan demikian, inferioritas masyarakat Jawa disebabkan munculnya istilah-istilah berkonotasi negatif tersebut, di samping terutama mitos Indonesia yang dijajah selama 350 tahun.

Bojonegoro, 2015

Rabu, 10 Juni 2015

Menjelma Negara Maritim Sejati (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 10 Juni 2015)

Menjadi negara maritim yang maju, mandiri, dan kuat di dunia. Itulah target Indonesia pada tahun 2025 nanti. Akankah hal ini akan berhasil direalisasikan? Jawabannya tergantung pada komitmen. Komitmen semua elemen untuk membuktikan bahwa target tersebut bukanlah isapan jempol belaka.
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak target—sesuatu yang barangkali tidak perlu dirisaukan. Target muluk-muluk yang bertujuan memajukan Indonesia. Dengan menentukan target, diharapkan timbul sejumlah upaya dalam mencapainya. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa tidak semua target bisa diwujudkan. Bahkan, banyak target Indonesia meleset dan termakan arus kepentingan. Apabila hal tersebut lolos dari evaluasi, maka dikhawatirkan target dalam bidang kelautan ini juga bakal mengalami hal serupa.  

Persyaratan Maritim
Sebenarnya, Indonesia mengantongi persyaratan yuridis dalam mendaulat diri sebagai negara maritim. Persyaratan yang jarang dipunyai oleh negara-negara lain. Sebut saja Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Berkat Deklarasi Juanda, luas wilayah Indonesia tumbuh menjadi lima kali lipat seluas 5,9 juta kilometer persegi, terdiri dari 3,2 juta kilometer persegi wilayah teritorial, dan 2,7 kilometer persegi wilayah zona ekonomi eksklusif. Sedangkan pada pasal 46 UNCLOS, disebutkan bahwa keadaan faktual geografis dan konfigurasi teritorial (kesatuan ekonomi, politik, dan sejarah masa lampau) menjadikan Indonesia memenuhi syarat sebagai Negara Kepulauan.
Menilik fakta sejarah, Indonesia pernah menjadi negara maritim yang perkasa. Masa keemasan maritim berpuncak pada zaman kerajaan Sriwijaya-Majapahit. Betapa pada waktu itu, wilayah laut, darat, dan gunung benar-benar dimanfaatkan menjadi pangkal devisa guna menggerakkan roda pembangunan. Celakanya, mata rantai pengembangan potensi maritim Indonesia terputus sebab beberapa hal. Di antaranya yaitu hegemoni kolonial Portugal, Inggris, serta Belanda, yang mengambil alih kekuatan maritim kerajaan-kerajaan Nusantara melalui perjanjian dagang yang bersifat merugikan.
Melalui VOC, Belanda meluncurkan pujian semu, bahwa orang Indonesia merupakan petani yang baik. Dengan pujian tersebut, ternyata Belanda sekadar ingin menetapkan wilayah Indonesia sebagai sumber keuangannya. Akibatnya, bercokolnya Belanda menyebabkan negara Indonesia yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja ini terus diarahkan menjalani identitas agraris.
Hal ini diperparah dengan datangnya Dai Nippon—sebutan untuk Jepang—yang pura-pura memberi hati kepada rakyat dengan rayuan manisnya: mengangkat Indonesia sebagai saudara tua serta mensejajarkan bendera Indonesia dengan bendera Jepang. Kala itu, belum timbul kecurigaan, jika hal tersebut diarahkan agar rakyat Indonesia bersedia membantu Jepang melawan Sekutu pada Perang Dunia II. Inilah malapetaka yang menimpa Indonesia. Setelah benar-benar merasa kuat, akhirnya Jepang menerapkan program kerja paksa (romusha) yang mengeruk tenaga rakyat secara cuma-cuma sekaligus menghabisi kekayaan alam Indonesia.  

Strategi Maritime Policy
Kepada Indonesian Maritime Megazine, Sri Sultan Hamengkubuwono X (2011) menjelaskan betapa pentingnya Maritime Policy bagi pembangunan negara, khususnya di sektor kelautan. Ia mencontohkan keberhasilan Singapura dalam menerapkan strategi tersebut. Mereka sanggup menguasai pelayaran Indonesia bahkan dunia meski luas negaranya hanya 16 mil. Sebaliknya, sebagai negara dengan 17.506 pulau dan memiliki 95.108 kilometer garis pantai terpanjang kelima di dunia, Indonesia justru tergantung terhadap negara tetangga kecil itu.
“Selama ini kita banyak menggunakan kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan mendistribusikan barang ke provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu, mereka juga membangun hub port terbesar dan tercanggih di dunia,” kata Sultan. (Indonesia Maritime Institute, 2011).
Melimpahnya kekayaan laut Indonesia harus segera dimaksimalkan. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, menyebut bahwa sumber-sumber ekonomi kelautan sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menuturkan, "Laut dengan segala potensi dan kekayaannya dapat dijadikan sebagai pilar utama penopang ekonomi nasional sekaligus sebagai primover."
Selain itu, kedaulatan di wilayah laut Indonesia juga wajib ditegakkan. Yaitu dengan adanya program publikasi mengenai batas wilayah teritorial Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut kepada dunia internasional. Program ini bertujuan dalam rangka melahirkan ketertiban (orderliness), keamanan (security), kesejahteraan (prosperity) dengan memperhatikan hubungan internasional (international relation).
Dengan demikian, bukan tidak mungkin, di masa mendatang, Indonesia menjadi negara maritim yang begitu disegani. Ucapan Soekarno pada tahun 1945, our geopolitical destiny is maritime, akan semakin bergaung.

Yogyakarta, 2011

Minggu, 07 Juni 2015

Puisi_Riza Multazam Luthfy (Terbit di harian "Lampung Post" edisi Minggu, 7 Juni 2015)


Putra Pengganti
: Amangkurat I

ah, kalian
kalian memang bukan berotak sepertiku
kalian belumlah meringkus isyarat kejayaan dariku

: jiwa, hati kalian cenderung lengai
  tiba saatnya disentuh canai

kita tidak waktu lagi menghamba nenek moyang
kita bakal timbun dalam-dalam peninggalan
serta menyigi cerdasnya kaum penjajah

o, o, tidak
juga kebijakan, kebajikan,
kelihaian, keahlian,
keistimewaan
orang-orang bergelimir aneh
dengan surai-surai menggelikan itu

edan!
demikianlah aku

edan!
kalian harusnya menguntit perangaiku

dengarlah!
enggan aku menampak kejam
ketika melucuti nyawa Wiraguna,
Pangeran Alit, mengapit sejawatnya
dalam siasat licin juga sabung konyol

pembesar-pembesar Islam berwajah teduh
enam ribu lelaki, perempuan tanpa luput
tersisir badik tajam
demi menjangkau perubahan

wahai rakyatku
istana baru berdiri gagah
angkuh, dinding bata warna merah

lihatlah bagaimana aku
lihatkan perkasaku
menyulap muka tanah
jadi gedung pagan nan indah

wahai penganutku
orang sepuh yang lemah
para penyimak sejarah
kuraibkan jejak mereka
dari lindungan semesta

perhatikan caraku
memperhatikan bujang muda
meletakkan biji pantatnya
di kursi ayah, kakek, bahkan buyutnya

itulah aku
raja baru kalian
penerus Sultan Agung
pasak kunci Mataram
sigap menanti kehancuran

Yogyakarta, 2012


Kecundang Pakubuwana IV

                      “hei, siapa itu
berani menggencet istanaku”

                      “istana ini, kau tahu
memuat liur serta ingus
teman pereda serba hangus”

ribuan prajurit menerjang
pekikan raja menumpuk berang
pada sepukal daging dan tulang

berbekal hasut, berpayung kabut
Si Pengeruk memasok ratusan serdadu
berlidah Madura, Bugis, Melayu
ke gerbang benteng kekar
berdiri congah di detak ramai

pangeran menumbuk penasihat
buntalan rencana juga siasat
mengundang linglung
mengantar bingung
ke atas karpet raja
merawat kuasanya

dalam iklim terhimpit
raja mengemis ampun
pada sang fakir rasa
pengantong batu dursila
ialah Si Pengeruk
makhluk bengal berempat tanduk

Yogyakarta, 2012

Rabu, 03 Juni 2015

Emergensi Taman Kota (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 3 Juni 2015)

Beberapa dasawarsa terakhir, kota-kota besar di Indonesia identik dengan kata kumuh, tak terawat, dan penuh polusi. Kota menjadi hilir penampung sampah. Kota ibarat bak besar yang siap menampung plastik, kertas, dan barang-barang bekas. Kota tidak lagi menjanjikan keindahan dan kenyamanan. Orang-orang yang ingin berlibur dan melihat pusat kota tentu kecewa sebab pemandangan di sana tampak mengerikan.
Sebagai tempat pelarian orang-orang yang terbelit permasalahan ekonomi, kota kurang mendapat perhatian. Urusan perut menjadikan manusia kurang peka terhadap lingkungan. Kota hanya menjadi loka singgah. Orang-orang memanfaatkan kota untuk sekadar numpang makan, mandi dan tidur. Nasib kota semakin tragis tatkala akhir-akhir ini, kota cenderung dimanfaatkan sebagai lokasi pembunuhan sadis, pemerkosaan brutal, transaksi narkoba dan beragam bentuk kejahatan lain yang sama sekali tidak manusiawi.   
Kota dengan panas menyengat rentan mengundang aksi nekat. Tingginya suhu mudah menyulut tindakan kriminal. Boleh dibilang, kasus-kasus kekerasan merupakan imbas tidak langsung berkurangnya pohon dan tanaman di kota. Keteduhan dan kesejukan yang mulai terkikis membuat manusia semakin beringas. Hal ini merupakan ekses pendirian pusat perbelanjaan, gedung mewah, dan kantor, yang abai terhadap tata lingkungan. Pohon-pohon ditebangi demi kepentingan segelintir orang. Padahal, pohon menjadi penyelamat, saat sendi-sendi kehidupan mulai kering kerontang. Pohon menjadi habitat bagi makhluk hidup sehingga memberi kesempatan bagi terciptanya sebuah ekosistem.
Dalam keadaan seperti inilah, keberadaan taman perlu dilestarikan. Taman merupakan simbol nilai-nilai ideal, aspirasi, harapan, serta impian dari suatu kebudayaan. Taman bukanlah sekadar representasi fisik konsep manusia, tetapi juga harapan dan impian akan kehidupan surgawi (Doni, 2007). Dengan demikian, saat ini, taman merupakan tempat membuang jenuh dan menghirup udara segar. Berbeda dengan dahulu kala, di mana taman didapuk sebagai benteng pertahanan dan “asrama” angkatan perang, seperti Taman Sari Yogyakarta dan Taman Sunyaragi Cirebon. Hal ini menandakan bahwa taman mengalami degradasi nilai filosofis.
Bagi masyarakat perkotaan yang telah dikepung budaya konsumtif dan pola pikir pragmatis, taman menempati most urgent need. Taman menjanjikan garansi perlindungan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Maka dari itu, bagi kota yang miskin penghijauan, taman baru perlu didirikan. Adapun taman yang sudah mangkrak dan tidak terurus sebaiknya direnovasi.
Guna mewujudkan taman yang dimaksud, Pemerintah Daerah perlu menggunakan seni bina taman (art of landscaping and gardening). Mengingat, taman-taman yang dikembangkan harus merupakan resolusi inovatif terhadap kondisi ekologi, perkembangan teknologi, dan impresi budaya.
Dalam menerapkan seni bina taman (art of landscaping and gardening), arsitek dan kontraktor perlu memerhatikan unsur-unsur yang memengaruhi bentuk taman yaitu: pertama, kondisi fisik, seperti iklim, tapak, dan material. Kedua, persepsi dan aspirasi budaya sebagai dasar filosofi yang memengaruhi perilaku manusia, seperti hubungan antarmanusia dan hubungan alam-manusia. Ketiga, sumber daya dan teknologi sebagai alat memodifikasi kondisi untuk merealisasikan aspirasi budaya (Doni, 2007).
Cara memadukan ketiga unsur di atas yaitu dengan mengusung air sebagai salah satu pelengkap elemen taman. Murhananto (2004) mencatat bahwa peranan air dalam desain taman memiliki sejarah panjang. Selama masa Plato, penggunaan air mancur sebagai penghias taman dan kuil sangat sering ditemukan. Pada waktu itu, air mancur juga dianggap suci, sehingga taman-taman yang di tengahnya terdapat air mancur banyak digunakan sebagai lokasi bersemedi. Adapun penemuan teknik hidrolik di Roma ditandai dengan kehadiran air mancur hias di taman-taman. Taman air di Villa Hadrian’s yang terletak di kota Tivoli adalah salah satu yang patut disebut. Gabungan antara aliran sungai kecil, terusan air, air mancur dan kolam membentuk taman ini menjadi tempat yang sejuk dan menentramkan hati.
Air mancur dalam taman tidak hanya menyajikan keindahan visual yang memanjakan pancaindera, akan tetapi juga integritas makna. Sebab, dua elemen taman, yaitu material keras (hard material) dan material lunak (soft material), harus memiliki keselarasan. Kolam termasuk elemen keras, karena bahan bakunya berupa semen dan batuan. Namun setelah diisi air, ikan, atau tanaman, elemen keras tadi telah berbaur dengan elemen lunak. Sinkronisasi tercipta jika terjadi perubahan elemen keras menjadi elemen lunak dengan ditambahkannya instalasi air mancur di tengah-tengah kolam.
Setelah membenahi taman dengan sentuhan filosofis, pemangku jabatan harus mampu mempromosikannya ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk mengajak orang berbondong-bondong mengunjungi taman, perlu dilakukan strategi jitu. Apa yang dilakukan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, perlu ditiru oleh para Bupati dan Wali Kota lain. Terobosannya yaitu menghidupkan kembali sejumlah taman kota dengan meluncurkan taman-taman tematik, seperti: Taman Lansia, Taman Jomblo, Taman Musik Centrum, Taman Fotografi, Taman Pustaka Bunga, Taman Persib, dan Taman Film. Langkah ini penting, mengingat, taman diharapkan menjadi sarana hiburan utama tanpa pungutan biaya.

Bojonegoro, 2015

Selasa, 02 Juni 2015

Guru Favorit (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 31 Mei 2015)

Pagi-pagi benar Karim berangkat sekolah. Ia begitu bersemangat menuntut ilmu. Maklum. Hari itu adalah hari Selasa. Hari dimana Karim biasa bertemu Pak Gani pada jam pertama.
Karim suka sekali diajar Pak Gani. Guru berkumis tebal itu sanggup membuat keadaan kelas menyenangkan. Pelajaran matematika yang dianggap susah menjadi menarik dan mudah dipahami. Melalui beragam permainan, Pak Gani mengajarkan ilmu berhitung. Karim yang semula membenci matematika, kini berubah menyukainya. Ternyata matematika tak sesulit yang dibayangkan. Karena itulah, Pak Gani menjadi guru favorit bagi Karim. Tentunya selain Bu Fatimah, gurunya menggambar.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.” Bu Khadijah mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam warahmatullah wabarokatuh.” Anak-anak menjawabnya kompak.
Karim terheran-heran. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa Bu Khadijah yang masuk kelas. Padahal, itu kan waktunya Pak Gani.
“Anak-anak sekalian. Mohon maaf, Pak Gani sedang sakit. Sebagai ganti, Bu Khadijah yang akan mengajar matematika.”
Mendengar perkataan Bu Khadijah, Karim langsung lemas. Ia begitu kecewa, karena hari itu Pak Karim tidak masuk. Padahal, ia sudah menyiapkan diri sejak subuh. Sampai-sampai ia tidak sarapan. Ia hanya membawa bekal roti dan susu untuk dimakan pada jam istirahat.
Saat materi disampaikan, Karim tidak memerhatikan keterangan Bu Khadijah. Ia malah melamun sendirian sambil menggerak-gerakkan pensil. Ia berandai-andai kalau saat itu Pak Gani yang berdiri di depan kelas.
Bu Khadijah mengerti kalau Karim tidak konsentrasi. Setelah menjelaskan panjang lebar, ia menunjuk Karim untuk menjawab pertanyaan. Ia sengaja melakukannya, agar pikiran Karim terpusat pada pelajaran.
Karim kebingungan. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah. Sebab, ia sama sekali tidak mengikuti keterangan Bu Khadijah.
Sesuai perbuatannya, Karim dikenai hukuman. Ia harus menulis istighfar sebanyak satu halaman penuh. Tugas itu dikumpulkan besok.
***
Sepulang sekolah, Karim melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia berbaring di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai kebiasaan, sesampai dari sekolah Karim mengucap salam, menjabat tangan orang tua, meletakkan sepatu dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya tidak kotor dan bisa dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Karim yang aneh, Bu Halimah terheran-heran. Tidak biasanya Karim seperti itu. Selama ini, ia mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya, ingin sekali ia menegur Karim dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Halimah memilih waktu yang tepat untuk meminta penjelasan Karim.
Bu Halimah bergegas menyiapkan nasi dan ayam goreng kecap di meja makan.
“Teereeeeng… Waktunya makan. Ayam goreng kecap. Ayo siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Halimah mengundang Karim ke ruang makan. Kalau dengar ada lauk ayam, biasanya Karim lekas keluar sambil berteriak, “serbu…”. Akan tetapi, kali itu, Karim belum terlihat.
Khawatir terjadi apa-apa, Bu Halimah mendekat ke pintu kamar Karim. Tak lupa ia memukul piring dengan sendok berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng kecap. Ayam goreng kecap.”
Karim keluar dengan mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia menangis di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya. Bu Halimah mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Karim.
Karim mulai menyantap hidangan di meja makan. Akan tetapi, ia kelihatan tak bernafsu. Padahal, biasanya ia begitu bersemangat kalau makan lauk ayam.
“Karim.” Bu Halimah memanggil anaknya dengan lembut.
Karim tidak menoleh.
“Karim kenapa?” Bu Halimah bertanya pada Karim.
Karim tidak menjawab. Ia pura-pura melihat jam dinding di atas lemari.  
“Ada apa, Karim? Ayo katakan. Barangkali ibu bisa membantu.” Bujuk Bu Halimah.
“Emmm….” Karim ragu-ragu berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Karim kena hukuman. Karim tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah.” Karim akhirnya memberanikan diri.
“Tidak bisa menjawab?” tutur Bu Halimah seolah tak percaya. Padahal setiap hari ia menemani Karim dalam belajar.
“Sebabnya Karim tidak mendengarkan keterangan Bu Khadijah.” Ujar Karim polos.
“Kenapa, Karim?” Tanya Bu Halimah lagi.
“Pak Gani tidak masuk, Bu. Jadi, Bu Khadijah yang mengajar matematika. Karim kan malas kalau tidak diajar Pak Gani.” Sepasang mata Karim berkaca-kaca. Kalau tidak ditahan, pasti ia menangis lagi.
Bu Halimah mengelus rambut Karim sambil memberinya nasihat, “Karim. Semua guru ingin siswanya rajin dan pintar. Mereka tidak mau siswanya menjadi pemalas dan bodoh. Mereka mengorbankan waktu demi anak didiknya. Seperti Bu Khadijah. Bayangkan kalau jam pelajaran dibiarkan kosong, pasti para siswa gaduh di kelas. Makanya Bu Khadijah menggantikan Pak Gani, agar para siswa tetap belajar.”
Karim menganggukkan kepala. Ia menyimak nasihat ibunya dengan seksama.
Setelah dipikir-pikir, Karim membenarkan apa yang dikatakan sang bunda. Ia berjanji, mulai besok ia tidak akan membeda-bedakan siapa yang mengajar. Ia akan memerhatikan semua keterangan dari gurunya.
Malamnya, ia mengerjakan tugas dari Bu Khadijah. Bagaimana pun, hukuman itu ditujukan untuk kebaikannya kelak.

Yogyakarta, 2012