Senin, 15 Juni 2015

Pahit Gula bagi Jawa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Joglosemar" edisi Sabtu, 13 Juni 2015)

Oleh Presiden Joko Widodo, Indonesia ditargetkan berswasembada gula pada 2019. Untuk mencapai target ini, Staf Ahli Kementerian Badan Usaha Milik Negara Sahala Lumbangaol mengatakan pemerintah berencana membangun sepuluh pabrik gula baru di Tanah Air.
Latar belakang lahirnya kebijakan di atas yaitu laju prosentase impor gula yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Impor gula merupakan imbas tidak langsung dari keengganan Soeharto memulai land reform, sehingga produksi tanaman pangan semakin menurun. Produksi beras besar-besaran pada masa Soeharto menyebabkan merosotnya produksi gula. Akibatnya, pemerintah terpaksa mengimpor gula dari negara lain. Jumlah impor semakin besar karena dengan cara itu, keran korupsi terbuka lebar.
Kebijakan pemerintah menemukan rasionalisasinya dengan fakta bahwa gula memainkan peran signifikan. Dulu kala, gula menjadi ujung tombak kekuatan ekonomi, sampai-sampai Hindia Belanda diakui sebagai ‘negeri gula’ dengan produksi gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.   

Paradoks Gula
Selain katalisasi ekonomi, gula berperan sebagai simbolisasi nilai-nilai kemuliaan, manifestasi pewartaan agama, juga realisasi gejala-gejala dekadensi moral. Ini berarti, tidak hanya untuk beritikad baik, gula juga difungsikan manusia untuk mengingkari dirinya sebagai homo religius.
Kerajaan Majapahit menggunakan gula-kelapa sebagai lambang negara. Penggunaaan simbol ini bukan bermaksud menyodorkan sebuah kearifan etnik, tetapi lebih pada universalitas kearifan bangsa. Hal ini tidak terlepas dari keinginan Majapahit untuk mempersatukan seluruh kawasan Nusantara. Dalam pemahaman tradisi Jawa, gula berarti harapan sekaligus ajakan yang baik (pangajap manis) dalam mewujudkan intisari atau mustika kelapa (Ki Juru Bangunjiwa, 2009: 132). Kerajaan yang mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk tersebut menggunakan simbol gula-kelapa dalam rangka mewariskan ajaran dan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa (piwulang luhur).
Dulu kala, di Ganjuran dan Medari, Yogyakarta, sebagian orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang bekerja dan tinggal di kawasan pabrik gula adalah pemeluk Katolik. Mereka berhak memperoleh pelayanan rohani dan sakramen-sakramen dari pastor paroki, sehingga memungkinkan adanya kunjungan pastoral.
Selain itu, lingkaran inti pabrik gula, tempat bermukim sebagian kecil orang Eropa, merupakan kawasan semi-urban. Tak heran jika para misionaris yang notabene juga berkebangsaan Eropa memulai karya pewartaan agamanya dari sana. Pusat-pusat pabrik gula sebagai titik pijak awal lebih mencerminkan kerja sistematis daripada pemenuhan kepentingan lain. Hal ini menyebabkan kunjungan-kunjungan yang lebih bermuatan kegiatan pastoral tersebut dilanjutkan dengan usaha perintisan pewartaan agama (Anton Haryono, 2009: 1921).
Moralitas yang merosot boleh dihubungkan dengan bertambahnya produksi gula. Mengutip Leonard Blusse (2004), pada tahun 1710, hampir keseluruhan usaha budi daya gula berada dalam genggaman orang-orang Cina. Sebab mendapat dukungan dari pihak kolonial, perkebunan-perkebunan gula yang mereka miliki bertebaran di pedesaan sekitar Batavia,  sehingga pada tahun itu terdapat 130 pabrik gula milik 84 orang pengusaha di Ommelanden.
Namun demikian, produksi gula besar-besaran memunculkan banyak masalah. Sejak tahun 1960, Belanda berusaha menghalangi membanjirnya tenaga kerja dari Cina dengan mempengaruhi para nahkoda. Ternyata upaya ini membuka jalan bagi para nahkoda untuk menyuap pejabat-pejabat pelabuhan yang memiliki hubungan dengan penguasa pabrik gula. Emigran-emigran Cina juga didaratkan di Pulau Seribu, di depan pantai Batavia, atau di sepanjang pantai Jawa yang bebas dari patroli, guna menghindari pendaftaran di rumah kapiten atau mengecoh kuota imigrasi. Dengan semakin banyaknya penyelundupan tenaga kerja ilegal, semakin besar pula keuntungan para pengusaha pabrik gula.

Gula dan Jawa
Gula telah mempermanis rintisan dagang Hindia Belanda di pasar Eropa. Atas kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) yang menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), gula turut menyumbang besarnya laba Pemerintah Belanda. Hingga permulaan abad ke-20, ladang-ladang tebu dan pabrik-pabrik gula di Jawa merupakan mesin-mesin produksi gula dunia.
Namun, tidak demikian bagi masyarakat Jawa. Gula tidak semanis rasanya. Gula cenderung mewariskan rasa pahit-getir yang terpaksa ditelan. Dalam proses berdiri dan beroperasinya pabrik-pabrik gula, perbudakan dan kemiskinan menjadi bagian tak terelakkan. Melejitnya pertumbuhan ekonomi pabrik-pabrik gula tidak lantas mengentas masyarakat Jawa dari jurang kemelaratan.
Di Jawa, gula merupakan beban bagi para petani. Dalam pandangan C. Geertz, gula berimbas pada lahirnya proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan, sehingga struktur pertanian sawah mengecil (Onghokham, 1985). Sebaliknya, keuntungan yang berlipat menjadikan terbentuknya modal, sehingga perkebunan atau pabrik gula mengalami evolusi.
Di samping itu, telah muncul perbedaan kelas antara mereka yang menduduki jabatan strategis di pabrik gula dengan orang-orang bawahan sebagai buruh-buruh. Di pabrik gula Ngadirejo, Kediri, terdapat perbedaan kelas antara “employe” yang mencakup direktur, wakil direktur, sinder tebu, masinis, ahli gula, dan kepala kendaraan dengan “buruh” yang terdiri dari buruh tetap, buruh musiman, sopir, dan penjaga keamanan (waker).
Kelas employe memperoleh beragam fasilitas, seperti penyediaan bus gratis bagi anak-anak employe setiap berangkat dan pulang sekolah, pemutaran film, pemandian, tenis, rekreasi, serta pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga employe yang sakit. Sementara itu, anak-anak buruh harus mengayuh sepeda sekitar 14 kilometer untuk pergi ke sekolah dan keluarga buruh yang sakit cukup dibawa ke klinik pabrik gula.
Pada pergelaran pesta yang digelar pihak pabrik saat buka giling, perbedaan kelas juga begitu mencolok. Barang tentu para employe menikmati pertunjukan yang lebih mewah dengan hadirnya para artis top, sedangkan buruh-buruh hanya menikmati pasar malam atau wayang kulit semalam-suntuk (Budi Susanto, 2007: 82).
Gula seakan terasa lebih pahit ketika Pemerintah Belanda sengaja menggabungkan “gula” dengan “jawa” (baca: gula jawa) dengan tujuan supaya orang-orang Jawa selalu merasa minder dan kurang percaya diri. Hal ini dikarenakan, gula jawa tidak semanis gula pasir, meskipun memiliki aroma khas. Warna merah kehitaman dan bentuknya yang besar menjadikan gula jawa bercitra negatif. Di pasar tradisional, gula yang merupakan hasil rebusan bunga kelapa tersebut biasanya ditemukan dalam kondisi kurang layak, lantaran tercampur tepung kanji dan kotoran. Maka, sebelum diaduk dalam bahan makanan, biasanya gula jawa direbus dan disaring terlebih dahulu.
Belum lagi istilah-istilah lain yang diciptakan guna menghina orang-orang Jawa. Adapun istilah-istilah yang dilekatkan dengan “belanda” sengaja diunggulkan. Sebut saja asam jawa dengan warna hitam pekat, yang biasanya digunakan sebagai perasa atau penambah rasa asam dalam masakan, sedangkan asam belanda berwarna putih dengan rasa sedikit manis. Orang-orang Jawa juga direndahkan dengan istilah rokok jawa atau rokok kelobot yang kerap dikonsumsi oleh orang-orang miskin dan kurang berpendidikan. Adapun rokok belanda tiada lain adalah cerutu, rokok putih, yang identik dengan orang-orang berduit dan berpendidikan tinggi.  
Dengan demikian, inferioritas masyarakat Jawa disebabkan munculnya istilah-istilah berkonotasi negatif tersebut, di samping terutama mitos Indonesia yang dijajah selama 350 tahun.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar