Rabu, 10 Juni 2015

Menjelma Negara Maritim Sejati (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 10 Juni 2015)

Menjadi negara maritim yang maju, mandiri, dan kuat di dunia. Itulah target Indonesia pada tahun 2025 nanti. Akankah hal ini akan berhasil direalisasikan? Jawabannya tergantung pada komitmen. Komitmen semua elemen untuk membuktikan bahwa target tersebut bukanlah isapan jempol belaka.
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak target—sesuatu yang barangkali tidak perlu dirisaukan. Target muluk-muluk yang bertujuan memajukan Indonesia. Dengan menentukan target, diharapkan timbul sejumlah upaya dalam mencapainya. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa tidak semua target bisa diwujudkan. Bahkan, banyak target Indonesia meleset dan termakan arus kepentingan. Apabila hal tersebut lolos dari evaluasi, maka dikhawatirkan target dalam bidang kelautan ini juga bakal mengalami hal serupa.  

Persyaratan Maritim
Sebenarnya, Indonesia mengantongi persyaratan yuridis dalam mendaulat diri sebagai negara maritim. Persyaratan yang jarang dipunyai oleh negara-negara lain. Sebut saja Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Berkat Deklarasi Juanda, luas wilayah Indonesia tumbuh menjadi lima kali lipat seluas 5,9 juta kilometer persegi, terdiri dari 3,2 juta kilometer persegi wilayah teritorial, dan 2,7 kilometer persegi wilayah zona ekonomi eksklusif. Sedangkan pada pasal 46 UNCLOS, disebutkan bahwa keadaan faktual geografis dan konfigurasi teritorial (kesatuan ekonomi, politik, dan sejarah masa lampau) menjadikan Indonesia memenuhi syarat sebagai Negara Kepulauan.
Menilik fakta sejarah, Indonesia pernah menjadi negara maritim yang perkasa. Masa keemasan maritim berpuncak pada zaman kerajaan Sriwijaya-Majapahit. Betapa pada waktu itu, wilayah laut, darat, dan gunung benar-benar dimanfaatkan menjadi pangkal devisa guna menggerakkan roda pembangunan. Celakanya, mata rantai pengembangan potensi maritim Indonesia terputus sebab beberapa hal. Di antaranya yaitu hegemoni kolonial Portugal, Inggris, serta Belanda, yang mengambil alih kekuatan maritim kerajaan-kerajaan Nusantara melalui perjanjian dagang yang bersifat merugikan.
Melalui VOC, Belanda meluncurkan pujian semu, bahwa orang Indonesia merupakan petani yang baik. Dengan pujian tersebut, ternyata Belanda sekadar ingin menetapkan wilayah Indonesia sebagai sumber keuangannya. Akibatnya, bercokolnya Belanda menyebabkan negara Indonesia yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja ini terus diarahkan menjalani identitas agraris.
Hal ini diperparah dengan datangnya Dai Nippon—sebutan untuk Jepang—yang pura-pura memberi hati kepada rakyat dengan rayuan manisnya: mengangkat Indonesia sebagai saudara tua serta mensejajarkan bendera Indonesia dengan bendera Jepang. Kala itu, belum timbul kecurigaan, jika hal tersebut diarahkan agar rakyat Indonesia bersedia membantu Jepang melawan Sekutu pada Perang Dunia II. Inilah malapetaka yang menimpa Indonesia. Setelah benar-benar merasa kuat, akhirnya Jepang menerapkan program kerja paksa (romusha) yang mengeruk tenaga rakyat secara cuma-cuma sekaligus menghabisi kekayaan alam Indonesia.  

Strategi Maritime Policy
Kepada Indonesian Maritime Megazine, Sri Sultan Hamengkubuwono X (2011) menjelaskan betapa pentingnya Maritime Policy bagi pembangunan negara, khususnya di sektor kelautan. Ia mencontohkan keberhasilan Singapura dalam menerapkan strategi tersebut. Mereka sanggup menguasai pelayaran Indonesia bahkan dunia meski luas negaranya hanya 16 mil. Sebaliknya, sebagai negara dengan 17.506 pulau dan memiliki 95.108 kilometer garis pantai terpanjang kelima di dunia, Indonesia justru tergantung terhadap negara tetangga kecil itu.
“Selama ini kita banyak menggunakan kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan mendistribusikan barang ke provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu, mereka juga membangun hub port terbesar dan tercanggih di dunia,” kata Sultan. (Indonesia Maritime Institute, 2011).
Melimpahnya kekayaan laut Indonesia harus segera dimaksimalkan. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, menyebut bahwa sumber-sumber ekonomi kelautan sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menuturkan, "Laut dengan segala potensi dan kekayaannya dapat dijadikan sebagai pilar utama penopang ekonomi nasional sekaligus sebagai primover."
Selain itu, kedaulatan di wilayah laut Indonesia juga wajib ditegakkan. Yaitu dengan adanya program publikasi mengenai batas wilayah teritorial Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut kepada dunia internasional. Program ini bertujuan dalam rangka melahirkan ketertiban (orderliness), keamanan (security), kesejahteraan (prosperity) dengan memperhatikan hubungan internasional (international relation).
Dengan demikian, bukan tidak mungkin, di masa mendatang, Indonesia menjadi negara maritim yang begitu disegani. Ucapan Soekarno pada tahun 1945, our geopolitical destiny is maritime, akan semakin bergaung.

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar