Rabu, 03 Juni 2015

Emergensi Taman Kota (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Fajar Sumatera" edisi Rabu, 3 Juni 2015)

Beberapa dasawarsa terakhir, kota-kota besar di Indonesia identik dengan kata kumuh, tak terawat, dan penuh polusi. Kota menjadi hilir penampung sampah. Kota ibarat bak besar yang siap menampung plastik, kertas, dan barang-barang bekas. Kota tidak lagi menjanjikan keindahan dan kenyamanan. Orang-orang yang ingin berlibur dan melihat pusat kota tentu kecewa sebab pemandangan di sana tampak mengerikan.
Sebagai tempat pelarian orang-orang yang terbelit permasalahan ekonomi, kota kurang mendapat perhatian. Urusan perut menjadikan manusia kurang peka terhadap lingkungan. Kota hanya menjadi loka singgah. Orang-orang memanfaatkan kota untuk sekadar numpang makan, mandi dan tidur. Nasib kota semakin tragis tatkala akhir-akhir ini, kota cenderung dimanfaatkan sebagai lokasi pembunuhan sadis, pemerkosaan brutal, transaksi narkoba dan beragam bentuk kejahatan lain yang sama sekali tidak manusiawi.   
Kota dengan panas menyengat rentan mengundang aksi nekat. Tingginya suhu mudah menyulut tindakan kriminal. Boleh dibilang, kasus-kasus kekerasan merupakan imbas tidak langsung berkurangnya pohon dan tanaman di kota. Keteduhan dan kesejukan yang mulai terkikis membuat manusia semakin beringas. Hal ini merupakan ekses pendirian pusat perbelanjaan, gedung mewah, dan kantor, yang abai terhadap tata lingkungan. Pohon-pohon ditebangi demi kepentingan segelintir orang. Padahal, pohon menjadi penyelamat, saat sendi-sendi kehidupan mulai kering kerontang. Pohon menjadi habitat bagi makhluk hidup sehingga memberi kesempatan bagi terciptanya sebuah ekosistem.
Dalam keadaan seperti inilah, keberadaan taman perlu dilestarikan. Taman merupakan simbol nilai-nilai ideal, aspirasi, harapan, serta impian dari suatu kebudayaan. Taman bukanlah sekadar representasi fisik konsep manusia, tetapi juga harapan dan impian akan kehidupan surgawi (Doni, 2007). Dengan demikian, saat ini, taman merupakan tempat membuang jenuh dan menghirup udara segar. Berbeda dengan dahulu kala, di mana taman didapuk sebagai benteng pertahanan dan “asrama” angkatan perang, seperti Taman Sari Yogyakarta dan Taman Sunyaragi Cirebon. Hal ini menandakan bahwa taman mengalami degradasi nilai filosofis.
Bagi masyarakat perkotaan yang telah dikepung budaya konsumtif dan pola pikir pragmatis, taman menempati most urgent need. Taman menjanjikan garansi perlindungan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Maka dari itu, bagi kota yang miskin penghijauan, taman baru perlu didirikan. Adapun taman yang sudah mangkrak dan tidak terurus sebaiknya direnovasi.
Guna mewujudkan taman yang dimaksud, Pemerintah Daerah perlu menggunakan seni bina taman (art of landscaping and gardening). Mengingat, taman-taman yang dikembangkan harus merupakan resolusi inovatif terhadap kondisi ekologi, perkembangan teknologi, dan impresi budaya.
Dalam menerapkan seni bina taman (art of landscaping and gardening), arsitek dan kontraktor perlu memerhatikan unsur-unsur yang memengaruhi bentuk taman yaitu: pertama, kondisi fisik, seperti iklim, tapak, dan material. Kedua, persepsi dan aspirasi budaya sebagai dasar filosofi yang memengaruhi perilaku manusia, seperti hubungan antarmanusia dan hubungan alam-manusia. Ketiga, sumber daya dan teknologi sebagai alat memodifikasi kondisi untuk merealisasikan aspirasi budaya (Doni, 2007).
Cara memadukan ketiga unsur di atas yaitu dengan mengusung air sebagai salah satu pelengkap elemen taman. Murhananto (2004) mencatat bahwa peranan air dalam desain taman memiliki sejarah panjang. Selama masa Plato, penggunaan air mancur sebagai penghias taman dan kuil sangat sering ditemukan. Pada waktu itu, air mancur juga dianggap suci, sehingga taman-taman yang di tengahnya terdapat air mancur banyak digunakan sebagai lokasi bersemedi. Adapun penemuan teknik hidrolik di Roma ditandai dengan kehadiran air mancur hias di taman-taman. Taman air di Villa Hadrian’s yang terletak di kota Tivoli adalah salah satu yang patut disebut. Gabungan antara aliran sungai kecil, terusan air, air mancur dan kolam membentuk taman ini menjadi tempat yang sejuk dan menentramkan hati.
Air mancur dalam taman tidak hanya menyajikan keindahan visual yang memanjakan pancaindera, akan tetapi juga integritas makna. Sebab, dua elemen taman, yaitu material keras (hard material) dan material lunak (soft material), harus memiliki keselarasan. Kolam termasuk elemen keras, karena bahan bakunya berupa semen dan batuan. Namun setelah diisi air, ikan, atau tanaman, elemen keras tadi telah berbaur dengan elemen lunak. Sinkronisasi tercipta jika terjadi perubahan elemen keras menjadi elemen lunak dengan ditambahkannya instalasi air mancur di tengah-tengah kolam.
Setelah membenahi taman dengan sentuhan filosofis, pemangku jabatan harus mampu mempromosikannya ke seluruh lapisan masyarakat. Untuk mengajak orang berbondong-bondong mengunjungi taman, perlu dilakukan strategi jitu. Apa yang dilakukan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, perlu ditiru oleh para Bupati dan Wali Kota lain. Terobosannya yaitu menghidupkan kembali sejumlah taman kota dengan meluncurkan taman-taman tematik, seperti: Taman Lansia, Taman Jomblo, Taman Musik Centrum, Taman Fotografi, Taman Pustaka Bunga, Taman Persib, dan Taman Film. Langkah ini penting, mengingat, taman diharapkan menjadi sarana hiburan utama tanpa pungutan biaya.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar