Minggu, 21 Juni 2015

Sumi (Cerpen_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 21 Juni 2015)

Sebulan yang lalu, seperti biasa, Sumi mengamen di bus kota. Ia mendendangkan lagu dangdut dan campur sari. Seperti biasa pula, usai mempersembahkan dua biji lagu, ia menadahkan topi ke para penumpang guna menakik buah kerjanya.
Bus jurusan Nyawo–Sriben menjadi target operasi Sumi. Perempuan bermata kelereng itu memilih bus jurusan tersebut, agar tak terlalu jauh melangkah dari rumah.
Mengamen? Benar. Ia punya suami? Punya. Suaminya, Mat Palu, seorang pengangguran. Lelaki ceking berkumis tebal itu termasuk pemabuk berat sekaligus penjudi kelas kambing. Saban malam, bisa dipastikan, ia mencongkong di pos dekat warung Mbok Suti. Di sanalah ia melampiaskan candunya bersama Dul, Gani, dan Cemplik. Dan kalau kekenyangan tuak, Mat Palu berguling-guling di tanah dan menyemburkan sebuah nama.
“Yen… Yen.. Yeniku sayang”
Bagaimana dengan Sumi? Setiap hari, saat gelap terbit dan jarum jam memeluk angka delapan, Sumi meringkuk di ranjang, menemani tidur anaknya. Tanpa suami. Tanpa belaian lelaki yang dulu sangat dicintai dan mencintainya. Dan, jika Sumi ditanya, apakah ia masih mencintai lelakinya? Ia akan memilih diam. Ia mafhum bahwa suaminya enggan lagi melahap cintanya. Akan tetapi, ia tetap nekat bertahan. Mempertahankan biduk rumah tangga yang tengah oleng.
Pada waktu itu pula, ia mengetahui persis ke mana suaminya keluar. Ia juga sadar, suaminya pergi tanpa pamit dengan membawa buah keringatnya; rupiah hasil mengamen. Ya. Mat Palu memakainya buat mabuk-mabukan dan berjudi buntut.
Sumi paham betul dengan tabiat buruk suaminya. Namun, tiada yang dapat ia perbuat. Tatkala Mat Palu dinasehati agar menamatkan kebiasaan, kepalanya mendidih dan berkata seenak perutnya. Sok ngatur lah. Sok alim lah. Bahkan selagi gelap mata, pernah ia suguhkan parang dan hampir saja leher anaknya digorok. Kalau terlambat dibawa ke rumah mertua, nyawa Rita pasti sudah mengapung.
Sumi tak tahu entah sampai kapan kehidupannya menggelinding seperti itu. Harapannya sederhana; sang suami menyingkirkan kebiasaan buruknya dan kembali seperti semula, kala usia pernikahan belum genap lima tahun.
Siang itu, lagi-lagi, saat menceritakan awal mula penderitaan, pipinya basah kuyup. Kebanjiran air mata.
“Saya juga kurang tahu, Mbak. Sejak ia bertemu Yeni, tingkahnya berubah.”
Kata-katanya perlahan mengalir.
Dan, tentu kau akan merugi jika melewatkan penuturannya. Ini penting buat bekal sebelum naik ke pelaminan. Maka, ceraplah ceritanya penuh seksama!
***
Yeni adalah gadis penunggu warung Mbok Suti. Perempuan bertubuh sintal, berwajah rembulan, dan masih hijau itu keponakan Mbok Suti, yang berasal dari desa Sagejek. Mbok Suti sengaja mendatangkannya supaya menemani dan mengurangi bobot kerja. Maklumlah, umur Mbok Suti hampir menginjak kepala enam. Marni, anak semata wayangnya, entah minggat ke mana.
Dan, pilihan Mbok Suti memang tepat. Sejak warung ditunggui Yeni, pelanggannya kian membludak. Saking berjibunnya pelanggan, hingga ia sediakan tikar daun pandan di muka warung. Pada mulanya, nenek pemakan daun sirih itu mengira bahwa para pelanggan terpikat dengan racikan kopi Yeni. Ternyata dugaannya salah. Mereka setia berkunjung sebab terpesona dengan senyum sang keponakan. Ya, senyum merekah bak mawar merah dan memicu jantung berhenti berdetak.
Mat Palu, suami saya, termasuk korban. Awalnya, ia doyan ngopi di warung Mbak Sukijah. Racikan yang pas, didukung dengan keramahan pemilik warung, membuat lidahnya kerasan. Ia juga memiliki ikatan batin dengan beberapa pelanggan di sana. Sesungguhnya, kurang tepat bila ada yang mengecapnya pelanggan tetap. Lha wong, ia ke sana dua minggu sekali. Itu pun kalau ada uang. Sampai sini, tak ada yang perlu dirisaukan. Dan, perjalanan rumah tangga kami berjalan penuh kehangatan.
Namun, semuanya berubah setiba perempuan itu di desa ini. Benih perubahan mulai muncul ketika suami saya berburu belut dengan Sukaji.
“Kang. Kamu tahu warung Mbok Suti?”
Emang kenapa?”
“Waduh, ketinggalan jaman. Sekarang kopinya makin suegerrr
Masak? Yang bener?”
Ih, gak percaya. Kamu tahu gak? Yang ngracik perawan bahenol, lho. Wajahnya muaaaniss.
Lantas suami saya betul-betul ingin mengecek ocehan temannya.
Keesokan harinya, ia pergi ke tengkulak belut. Ia hendak menikmati kerja lemburnya semalam, dengan memanggul belut-belut tangkapan dan menukarkannya dengan uang. Benar. Rupiah yang selama ini digunakan menafkahi keluarga merupakan hasil penukaran dengan belut. Ya, belut. Hewan licin dan berlendir itu menjadi penopang hidup kami bertiga; Saya, Rita, dan ayahnya.
Suami saya, Mat Palu, adalah tipe orang bertanggung jawab, meski lambat laun sifatnya berubah. Uang hasil kerja benar-benar dihemat demi meruncit beras dan sesekali membelikan pisang buat Rita. Bila uang makan bersisa, barulah ia ngopi di warung Mbak Sukijah.  
Selasa itu ia memang mujur. Belut yang dibekuk lumayan banyak. Setelah dihitung-hitung dan kebutuhan keluarga dikalkulasi, ternyata uangnya lebih secolek. Pandangannya mengarah ke cakrawala. Sedang batinnya mendesis:
“Asyik. Nanti sore bisa ngopi di warung baru.”
Benar. Sore harinya, setelah merebahkan badan sejenak, ia pamit keluar. Tanpa banyak tanya, saya pun mengijinkan. Tiada kecurigaan. Tiada pikiran macam-macam. Sebelum pergi, terlebih dahulu ia sambar uang kembalian dari beras yang dibeli. Tetapi, itu kali berbeda. Ia keluar menuju arah utara. Bukan ke selatan, sebagaimana kala hendak ngopi di Mbak Sukijah. Usut punya usut, ternyata ia menongkrong di warung hijau bercadar bambu. Tepatnya di warung Mbok Suti.
Mulai ia duduk, memesan kopi, menyeruputnya sedikit demi sedikit, hingga cairan kental hitam itu tinggal seteguk, matanya belum melihat tanda-tanda keberadaan gadis yang diceritakan temannya. Kepalanya tegang. Lehernya kaku. Gerahamnya mengait. Baru ini kali ia merasa dibodohi Sukaji.
Mbok Suti membaca isyarat kegelisahannya.
“Ada apa, Kang? Jadi pelanggan baru kok sudah menggerutu. Kalau ada masalah ya cerita saja. Apa kopinya kurang enak?”
Suami saya gelagapan. Peluhnya bertunas. Jemari yang asalnya berada di kursi, tiba-tiba beringsut ke alis. Mulutnya terjahit. Perbendaharaan kata-kata di lidahnya habis.
Seperti ada yang memberitahu Mbok Suti, sejurus kemudian, katup bibir sang nenek terbuka:
“O, Yeni? Hari ini dia gak ke warung. Dia lagi sakit, Kang. Tapi tenang kok. Paling-paling besok sudah sembuh. Jangan pakai malu! Semua lelaki yang baru ke sini pasti ingin ketemu dia. Kamu juga to?”
Bagai maling terpergok, suami saya tak berani berulah sedikit pun. Membalas senyum saja tidak. Dan, segesit kilat, sisa kopi ditenggak. Uang ditaruh di meja dan pamit pulang.
Malam hari, biasanya ia tunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Ya, menuntut uang. Malam, baginya adalah waktu yang sangat berharga. Meski ia menyukai pagi, siang dan sore hari. Malam tetap lebih unggul dan lebih istimewa daripada yang lain. Karena pada waktu itulah anak-bini belut bersedia menampakkan diri di sawah, parit, sungai, dan rawa-rawa. Dan ia dengan mudah akan meringkus dan menjebloskannya ke dalam karung.
Namun, ada yang lain. Di suatu malam yang senyap, suami saya begitu bersemangat. Menggebu-gebu. Bahkan, jika boleh dikatakan, nafsu kerjanya memuncak. Roh apa yang tengah merasuki tubuhnya. Bertemu jin macam apa pula ia, sehingga selepas magrib, ia sudah berpamitan. Padahal, belum saatnya ia berangkat. Lazimnya, ia akan ongkang-ongkang kaki, menggelesot dulu di tikar sembari berbagi cerita masa kecilnya dengan Rita. Juga berkisah tentang Malin Kundang, Sangkuriang, Joko Tarub, Nyi Roro Kidul, dan seribu dongeng lainnya. Sepuluh menit kemudian, ia akan membaringkan Rita yang telah tersihir dengan ceritanya itu. Baru pada jam sembilan ia bersiap meluncur bersama kawanannya.
Ada apa gerangan?
Ada apa ya?
Emm… Maaf, saya lupa. Hal ini sering terjadi, bila cerita beranjak sampai sini. Sebentar, sebentar. Saya cermat-cermat dulu.
O, ya. Saya ingat. Pasti suami saya bertingkah sedemikian rupa gara-gara Mbok Suti. Ah, bukan, bukan. Tepatnya sebab Yeni. Ya, si gadis penebar masalah itu. Suami saya ingin menangkap belut lebih banyak supaya uang yang diperoleh dari tengkulak juga besar. Kalau sudah demikian, pasti esoknya ia akan menggelundung ke warung Mbok Suti untuk yang kedua kali.
Betul kan yang saya bilang? Esoknya ia kembali ke warung Mbok Suti. Dan, akhirnya bisa bertembung dengan Yeni.  
Semenjak itulah hubungan saya dengan suami bertambah renggang. Ia cukup dingin. Nafkah batin yang sebelumnya diberikan tiga hingga empat kali dalam sepekan, makin jarang saya terima. Sebulan sekali saja untung-untungan. Yang lebih gila, selagi menunaikannya, ia menyebut-nyebut nama Yeni. Edan tenan.
Penderitaan kian berlimpah ketika Yeni pulang kampung untuk menikah. Suami saya merasa begitu kehilangan. Setiap hari kerjanya hanya mabuk dan berjudi. Ia malas berburu belut, sehingga pemasukan berhenti sama sekali. Guna menuruti kebutuhan sehari-hari, terpaksa saya mengutang ke Pak Har. Tetapi, lama kelamaan saya malu, karena utang terus menumpuk dan saya tak sanggup membayar. Akhirnya, terpaksa saya mengamen. Bagi saya, ini lebih mulia daripada melacur. Ya, lebih baik melego suara daripada obral harga diri. Begitulah, Mbak.
Dan, karena bosan menghadapi cobaan, sering saya berhasrat mengakhiri hidup. Namun, tiap kali mau gantung leher di pohon jati, bayangan Rita menyembul seketika dan membatalkan niat saya.
Minta cerai? Saya sudah bosan. Bahkan terakhir, saya mengucapkannya waktu ia datang malam-malam. Begitu mendengarnya, suami saya kalap dan mengancam akan membunuh Rita.
Cukup, ya. Saya capai dengan semua ini. Barangkali jalan takdir yang harus saya tempuh memang demikian. Saya hanya sanggup berdoa. Semoga Tuhan meluluskan doa saya.
Memang betul pesan Emak: “Jika mau kawin, kau harus siap lahir batin, Nduk”.
***
Dan, pagi tadi, Sumi melantukan lagu dangdut dan campur sari di bus kota. Usai menghidangkan dua biji lagu, ia memetik buah kerjanya. Namun, tidak dengan topi. Melainkan dengan beberapa gelintir amplop. Ya, amplop putih seukuran kantong kemeja. Di amplop tersebut tergores dua baris tulisan:
MOHON KEIKHLASANNYA
BUAT BELI PERALATAN SEKOLAH ANAK SAYA 
Seturun dari bus, sambil mengurutkan napas, ia berpikir bagaimana caranya mencari uang tambahan. Besok pagi Rita masuk sekolah.

Yogyakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar