Selasa, 02 Juni 2015

Guru Favorit (Cernak_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Solo Pos" edisi Minggu, 31 Mei 2015)

Pagi-pagi benar Karim berangkat sekolah. Ia begitu bersemangat menuntut ilmu. Maklum. Hari itu adalah hari Selasa. Hari dimana Karim biasa bertemu Pak Gani pada jam pertama.
Karim suka sekali diajar Pak Gani. Guru berkumis tebal itu sanggup membuat keadaan kelas menyenangkan. Pelajaran matematika yang dianggap susah menjadi menarik dan mudah dipahami. Melalui beragam permainan, Pak Gani mengajarkan ilmu berhitung. Karim yang semula membenci matematika, kini berubah menyukainya. Ternyata matematika tak sesulit yang dibayangkan. Karena itulah, Pak Gani menjadi guru favorit bagi Karim. Tentunya selain Bu Fatimah, gurunya menggambar.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.” Bu Khadijah mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam warahmatullah wabarokatuh.” Anak-anak menjawabnya kompak.
Karim terheran-heran. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa Bu Khadijah yang masuk kelas. Padahal, itu kan waktunya Pak Gani.
“Anak-anak sekalian. Mohon maaf, Pak Gani sedang sakit. Sebagai ganti, Bu Khadijah yang akan mengajar matematika.”
Mendengar perkataan Bu Khadijah, Karim langsung lemas. Ia begitu kecewa, karena hari itu Pak Karim tidak masuk. Padahal, ia sudah menyiapkan diri sejak subuh. Sampai-sampai ia tidak sarapan. Ia hanya membawa bekal roti dan susu untuk dimakan pada jam istirahat.
Saat materi disampaikan, Karim tidak memerhatikan keterangan Bu Khadijah. Ia malah melamun sendirian sambil menggerak-gerakkan pensil. Ia berandai-andai kalau saat itu Pak Gani yang berdiri di depan kelas.
Bu Khadijah mengerti kalau Karim tidak konsentrasi. Setelah menjelaskan panjang lebar, ia menunjuk Karim untuk menjawab pertanyaan. Ia sengaja melakukannya, agar pikiran Karim terpusat pada pelajaran.
Karim kebingungan. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah. Sebab, ia sama sekali tidak mengikuti keterangan Bu Khadijah.
Sesuai perbuatannya, Karim dikenai hukuman. Ia harus menulis istighfar sebanyak satu halaman penuh. Tugas itu dikumpulkan besok.
***
Sepulang sekolah, Karim melemparkan tas dan sepatunya. Ia langsung ke kamar tanpa berkata apa-apa. Ia berbaring di ranjang dengan seragam melekat di badan. Padahal, sesuai kebiasaan, sesampai dari sekolah Karim mengucap salam, menjabat tangan orang tua, meletakkan sepatu dan tas di tempatnya. Seragamnya juga dicopot, supaya tidak kotor dan bisa dipakai keesokan harinya.
Melihat sikap Karim yang aneh, Bu Halimah terheran-heran. Tidak biasanya Karim seperti itu. Selama ini, ia mendidik anaknya untuk selalu bersikap manis dan sopan. Sebenarnya, ingin sekali ia menegur Karim dan bertanya perihal perbuatannya. Akan tetapi, setelah dipikir-pikir, akhirnya diurungkan. Bu Halimah memilih waktu yang tepat untuk meminta penjelasan Karim.
Bu Halimah bergegas menyiapkan nasi dan ayam goreng kecap di meja makan.
“Teereeeeng… Waktunya makan. Ayam goreng kecap. Ayo siapa yang mau. Keburu habis.”
Bu Halimah mengundang Karim ke ruang makan. Kalau dengar ada lauk ayam, biasanya Karim lekas keluar sambil berteriak, “serbu…”. Akan tetapi, kali itu, Karim belum terlihat.
Khawatir terjadi apa-apa, Bu Halimah mendekat ke pintu kamar Karim. Tak lupa ia memukul piring dengan sendok berulang-ulang. Ting. Ting. Ting. Ting. “Ayam goreng kecap. Ayam goreng kecap.”
Karim keluar dengan mengucek kedua matanya. Pipinya yang bulat nampak basah. Ternyata dari tadi ia menangis di dalam kamar. Rasa sedih bercampur kesal memenuhi raut wajahnya. Bu Halimah mengira ada sesuatu yang disembunyikan oleh Karim.
Karim mulai menyantap hidangan di meja makan. Akan tetapi, ia kelihatan tak bernafsu. Padahal, biasanya ia begitu bersemangat kalau makan lauk ayam.
“Karim.” Bu Halimah memanggil anaknya dengan lembut.
Karim tidak menoleh.
“Karim kenapa?” Bu Halimah bertanya pada Karim.
Karim tidak menjawab. Ia pura-pura melihat jam dinding di atas lemari.  
“Ada apa, Karim? Ayo katakan. Barangkali ibu bisa membantu.” Bujuk Bu Halimah.
“Emmm….” Karim ragu-ragu berkata sejujurnya.
“Tadi pagi Karim kena hukuman. Karim tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Khadijah.” Karim akhirnya memberanikan diri.
“Tidak bisa menjawab?” tutur Bu Halimah seolah tak percaya. Padahal setiap hari ia menemani Karim dalam belajar.
“Sebabnya Karim tidak mendengarkan keterangan Bu Khadijah.” Ujar Karim polos.
“Kenapa, Karim?” Tanya Bu Halimah lagi.
“Pak Gani tidak masuk, Bu. Jadi, Bu Khadijah yang mengajar matematika. Karim kan malas kalau tidak diajar Pak Gani.” Sepasang mata Karim berkaca-kaca. Kalau tidak ditahan, pasti ia menangis lagi.
Bu Halimah mengelus rambut Karim sambil memberinya nasihat, “Karim. Semua guru ingin siswanya rajin dan pintar. Mereka tidak mau siswanya menjadi pemalas dan bodoh. Mereka mengorbankan waktu demi anak didiknya. Seperti Bu Khadijah. Bayangkan kalau jam pelajaran dibiarkan kosong, pasti para siswa gaduh di kelas. Makanya Bu Khadijah menggantikan Pak Gani, agar para siswa tetap belajar.”
Karim menganggukkan kepala. Ia menyimak nasihat ibunya dengan seksama.
Setelah dipikir-pikir, Karim membenarkan apa yang dikatakan sang bunda. Ia berjanji, mulai besok ia tidak akan membeda-bedakan siapa yang mengajar. Ia akan memerhatikan semua keterangan dari gurunya.
Malamnya, ia mengerjakan tugas dari Bu Khadijah. Bagaimana pun, hukuman itu ditujukan untuk kebaikannya kelak.

Yogyakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar