Senin, 31 Juli 2017

Desa dan Industrialisasi Pertanian (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Detik" edisi Senin, 31 Juli 2017)


Banjir yang melanda kawasan perdesaan membuat padi di jutaan hektare sawah terpaksa harus ditanam ulang. Musibah ini mengakibatkan para petani mengalami kerugian besar. Padahal, selama ini sawah menjadi lokus utama sektor agraris.
Siklus kehidupan orang desa, khususnya para petani, kerap dipengaruhi oleh masa panen. Guna menyiasati keadaan, orang-orang yang tidak memiliki kerja sampingan harus memutar otak. Pada bulan-bulan sebelum panen, kerap mereka meminjam rupiah dari saudara, tetangga, bank, atau lembaga keuangan lainnya. Uang ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk membeli kebutuhan sekunder, kaum tani harus menunggu panen. Di masa inilah para petani memegang uang dan menikmati jerih payah mereka.
Dalam taraf tertentu, sawah menyimpan hak komunal. Sawah menggambarkan bahwa kehidupan perdesaan dibangun oleh kebersamaan dan kolektivitas. Sawah menjadi simbol bahwa toleransi, kerja sama, dan gotong royong menjadi pijakan orang desa dalam bertindak. Selain menyumpal kebutuhan perut, hasil tanah juga dipakai untuk membiayai pendidikan buah hati sebagai aset terbaik di masa depan.
Urgensi sawah tampak dari realitas bahwa negara selalu menuntut petani untuk memasok bahan pangan. Apa yang mereka hasilkan dari sawah diangkut ke perkotaan. Keringat mereka diperlukan guna memenuhi kebutuhan makanan pokok. Sayangnya, saat petani berharap uluran tangan, negara tidak pernah hadir.
Negara enggan berkoar bahwa di balik kesengsaraan petani terdapat perlindungan pemerintah. Berbagai bentuk kerugian, mulai dari gagal panen, melonjaknya harga pupuk, hingga merosotnya harga beras ditanggung oleh petani. Boleh dibilang, secara tidak langsung terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh negara. Di sinilah muncul tuntutan yang kurang berimbang. Pengorbanan petani tidak diimbangi oleh kesigapan negara melindungi hak mereka.

Kultur Agraris
Pada masa silam, saat globalisasi dan modernisasi belum sepenuhnya menyentuh wilayah pedalaman, rata-rata mata pencaharian orang desa adalah bertani. Profesi ini digeluti karena pada waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan alam, demografi, serta kondisi lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah sebisa mungkin.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 95) menilai bahwa orang desa memiliki filosofi kerja yang tinggi. Bagi mereka, bekerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan, tetapi bagian dari "ritual" menjalani hidup. Seluruh pekerjaan petani dan warga pedesaan bukan dilakukan karena mereka ingin menjadikan usaha utama dan sampingan sebagai bagian dari sistem produksi ekonomi. Lebih dari itu, apa yang mereka kerjakan merupakan cara mengisi waktu kosong yang menjadi penggalan kehidupan rohani yang bernilai dan mendalam.
Dalam catatan sejarah, kultur agraris mendarahdaging dalam diri orang Islam. Kuntowijoyo menyebutkan, transformasi profesi umat Islam dari pedagang ke petani terjadi menyusul kehadiran Belanda di Nusantara. Demi menghindari kontak dengan pihak kolonial, sejak abad ke-18 dan ke-19, mereka menjalankan aktivitas bertani serta bermukim di desa dan daerah terpencil (Lathiful Khuluq, 2008: 4).
Sektor agraris juga mampu menyokong kekuatan perekonomian negara. Saat menanggung dampak krisis ekonomi untuk menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor pertanian terbukti cukup kuat. Itulah mengapa, pada periode 1998-2000, sektor pertanian menjadi salah satu unsur penyelamat ekonomi Indonesia.

Tiga Prinsip
Dalam rangka memajukan sektor agraris di wilayah pedesaan, industrialisasi pertanian merupakan keniscayaan. Setidaknya terdapat tiga prinsip industrialisasi pertanian yang kerap digunakan oleh negara-negara berkembang (Bustanul Arifin, 2005: 142-143). Pertama, pembangunan berbasis pertanian yang mengutamakan potensi pasar dalam negeri sekaligus memanfaatkan besarnya jumlah penduduk.
Upaya memompa daya beli masyarakat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, perluasan peluang kerja, stabilisasi nilai tukar, serta pembangunan industri yang berhubungan dengan pertanian dan pedesaan. Kedua, pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri. Prinsip ini melihat bahwa lantaran mengandalkan lahan dan tenaga kerja, sumber daya di pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian.
Biasanya sumber daya pedesaan lebih terampil dalam usaha tani di hulu, namun kurang terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Di sinilah industrialisasi pertanian yang membidik daerah pedesaan akan mampu mengatrol kualitas sumber daya manusia pedesaan dan pembangunan perdesaan pada umumnya.
Prinsip tersebut menekankan urgensi keterkaitan ke depan dan ke belakang dari proses industrialisasi yang dapat menghasilkan nilai tambah cukup besar. Ketiga, pembangunan daya dorong yang berusaha meningkatkan produktivitas dan daya beli kaum miskin serta mendorong motivasi kaum berada.
Analogi yang sama dipakai untuk menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi ini memprioritaskan atensi pada kelompok miskin dan daerah pedesaan, bukan kelompok kaya dan daerah perkotaan.

Yogyakarta, 2017

Minggu, 30 Juli 2017

Figur Sentral di Ranah Lokal (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Ruang Gramedia" edisi Sabtu, 29 Juli 2017)


Setiap daerah, pasti memiliki seorang tokoh sentral nan bijak, yang banyak jasa terhadap keteraturan daerah tersebut. Jejak mereka dikisahkan dari mulut ke mulut, sebagai bagian dari kebudayaan folklor.
Figur-figur sentral ini, lambat laun menjadi ikon lokalitas. Dalam beberapa situasi, folklor yang menampilkan para pembesar taraf lokal dimunculkan oleh desa perdikan.
Jajat Burhanudin dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia, menyebut bahwa sistem dan budaya politik Jawa di desa perdikan menjadi sarana menciptakan dan mengawal tata negara (njaga tata-tentreming pradja).
Memandang agama ikut andil penting dalam pemerintahan, para raja Mataram mengangkat sejumlah ulama untuk ditempatkan di desa-desa tertentu. Mereka diberi tugas untuk memelihara makam elite kerajaan dan kaum bangsawan, mengorganisasi bermacam kegiatan keagamaan di tempat ibadah, dan menyebarluaskan syiar Islam.
Di desa-desa tadi, ulama memiliki wewenang untuk mengatur hampir semua persoalan. Menariknya, folklor juga memantapkan posisi figur sentral di puncak hierarki kewibawaan di ranah lokal.
Mereka sangat dihormati, baik sebelum ataupun setelah kematiannya. Saat masih hidup, mereka dipilih sebagai pemimpin lokal atau lurah. Keturunannya berhak menjadi aparatur desa.
Di dalam buku Prospek Pedesaan 1987 disebutkan bahwa dalam masyarakat tradisional, pamong desa tumbuh dari “dalam”. Sedangkan kepala desa adalah primus interpares—yang pertama di antara sesama.
Melalui mereka, pelaksanaan proyek diturunkan dari atas, dan dengan sendirinya lembaga desa menjadi bagian terbawah dari hierarki birokasi.

Figur Pemersatu
Di Bojonegoro, Jawa Timur, ada sebuah folklor tentang tokoh yang berwibawa. Ia dipercaya sebagai pembangun lima desa, yakni Slandeng, Tanggungan, Mruwut, Mbak Atu, dan Ndukoh, menjadi satu desa besar bernama Semambung.
Dahulu, saat Belanda masih berkuasa, kelima daerah tersebut saling selisih paham. Tingkat kepercayaan dan kerukunan rendah. Ditambah lagi, sebagian penduduknya memiliki kekuatan fisik dan kesaktian. Tak jarang, mereka saling baku hantam, adu kesaktian.
Perkelahian semacam itu menjadi alternatif utama untuk memecahkan masalah. Di dalam diri mereka, ada kepercayaan bahwa kewibawaan dihadirkan dari seberapa kuat tubuh mengangkangi musuh. Syak wasangka mendorong mereka, secara tak sadar, melestarikan tradisi barbar.
Hadirnya Ki Ageng Mruwut membawa angin segar bagi perubahan desa-desa itu. Perilaku orang desa, perlahan mulai berubah. Pandangan terhadap realitas pun bergeser.
Sikap terbuka diperlihatkan dengan menerima masukan dari luar. Mereka tak lagi kaku dalam memaknai prinsip kehidupan leluhur. Pendekatan yang ditempuh Ki Ageng Mruwut ternyata sanggup meluluhkan hati mereka. Kekolotan warga desa dihadapi dengan luwes dan bijak. Kiprahnya menyebabkan daerah-daerah yang bermusuhan dapat bersatu.
Ki Ageng Mruwut, yang memiliki hubungan darah dengan Sunan Mahmudin Ashari (Sunan Bejagung), datang dari Tuban. Setelah melewati hutan belantara dan melintasi sungai Bengawan Solo, ia berhasil ke wilayah itu.
Saat itu, air sungai mengalir dari barat Desa Ngrengel hingga kaki gunung Ngrengel. Lalu, peralihan zaman menjadikan alirannya mulai surut, bahkan berhenti.
Ciri-ciri Bengawan akhirnya benar-benar raib. Tak heran kalau sejumlah orang menyebutnya “Bengawan mati”. Kemudian, aliran air pindah jalur, dan mengelilingi wilayah yang nantinya bernama Semambung.
Kembali ke Ki Ageng Mruwut. Selain dikenal sebagai pemersatu daerah-daerah yang bergejolak, ia juga dinilai berjasa menyebar Islam. Bahkan, opini publik menganggapnya sebagai tokoh perdana yang membawa Islam ke Desa Semambung.

Danyang
Nama Ki Ageng Mruwut diabadikan sebagai sosok yang selama ini dipercaya mengenalkan Islam, bersama dengan Kyai Cele, Kyai Tegal Agung, Kyai Thol Joyo Negoro, Kyai Joyo Negoro, Kyai Masnegoro, Kyai Yahya, Kyai Sarafuddin, Kyai Panembusan, Kyai Pademangan, dan Nyai Kademangan.
Kedudukan Ki Ageng Mruwut diyakini cukup tinggi, baik di hadapan manusia maupun Sang Khalik. Umat Islam di desa ini senantiasa menaruh hormat, sebab merasa berutang budi kepada Ki Ageng Mruwut. Ialah “orang suci” yang genap menghibahkan pengetahuan tentang halal dan haram.
Karena perannya inilah, ia mengantongi kewibawaan yang cukup besar. Tak heran makamnya dikeramatkan.
Agenda tahunan yang diselenggarakan masyarakat dengan maksud memperingati kematian Ki Ageng Mruwut mengindikasikan bahwa kewibawaannya tetap diakui sepanjang masa. Hal ini juga menunjukkan, tercabutnya ruh dari raga tidak lantas meruntuhkan martabatnya. Kewibawaan tetap dibawa ketika ia berhijrah ke alam nir kasat mata.
Desa-desa lainnya juga memiliki figur serupa Ki Ageng Mruwut. Biasanya, setelah meninggal dunia, sebagian tokoh sentral dinobatkan sebagai danyang—roh pelindung desa.
Figur berwibawa yang meninggal dunia dilegitimasi menjadi sosok yang dianggap mampu menyelamatkan desa dari segala bentuk musibah dan malapetaka. Kewibawaan mengantarkan seseorang menjadi makhluk astral yang dalam waktu-waktu tertentu memperoleh persembahan dan sesaji.
Di dalam kebudayaan Jawa, setiap desa memiliki ruh pelindung yang bersemayam dalam pohon rindang. Menurut Zaini Muchtarom dalam Santri dan Abangan di Jawa, warga desa kerap membayangkan roh-roh itu tinggal di dalamnya, sebelum tanah dibersihkan untuk pembangunan desa.
Lantaran dianggap angker, sejumlah titik yang dikuasai danyang dilarang berpenghuni manusia.

Bojonegoro, 2017

Realisasi Program Listrik Masuk Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kontan" edisi Jumat, 28 Juli 2017)


Ingar-bingar modernisasi belum sepenuhnya dirasakan rakyat kecil. Sampai detik ini, kegelapan masih menyelimuti  sejumlah  desa di Indonesia. Pasokan listrik ke beberapa daerah pun belum merata. Sehingga, banyak daerah disibukkan soal penerangan.
Catatan pemerintah, terdapat 2.500 desa belum ada listrik. Ironisnya, listrik belum berhasil menjangkau Kalimantan yang dikenal sebagai lumbung energi. Orang desa di sekitar perbatasan dan pedalaman kerap membayangkan ada listrik yang membuat hidup lebih mudah dan praktis.
Guna mengatasi persoalan itu, pemerintah berupaya mengalirkan listrik ke sejumlah desa. Namun akses yang sulit menuju lokasi serta kurangnya pembangkit listrik menjadi kendala tersendiri.
Persoalan lain, modernisasi tidak selalu diterima  semua lapisan masyarakat. Apalagi jika prosesnya berlangsung cepat. Sebab program listrik masuk desa bisa mendorong transformasi nilai kehidupan melalui alat komunikasi modern, semisal televisi, sebagai sarananya.
Rianto Adi (2012: 62) mensinyalir, transformasi ini memunculkan beragam ekses dan dilema. Di satu sisi, masyarakat bersedia menerima nilai yang ditawarkan televisi. Ini juga membuat masyarakat mulai meninggalkan nilai tradisi yang sejak dulu dianut. Sisi lain, masyarakat berani menolak nilai baru karena bisa merusak sekaligus mendegradasi nilai-nilai lama.
Para pakar dan peneliti mengakui, merebaknya teknologi komunikasi turut menularkan gaya berbicara, gaya berpakaian, serta gaya hidup Jakarta ke wilayah pedalaman. Betapa identitas lokal telah diberangus sedemikian rupa oleh bermacam tontonan yang mengusung Jakarta sebagai ikon kemajuan. Diluncurkannya program listrik masuk desa oleh pemerintah dan semakin terjangkaunya antena parabola bisa memunculkan Jakartaisme lebih dahsyat.
Meskipun demikian, teknologi komunikasi yang menjadikan listrik selaku penyangga utama menyebabkan orang desa semakin kritis. Rasionalitas membimbing mereka dalam menyikapi berbagai peristiwa yang terjadi.

Listrik bisa membuka mata
Inilah salah satu manfaat adanya pasokan listrik ke desa. Rakyat kecil mampu membedakan fakta, dagelan politik, dan upaya pencitraan kaum elite. Mereka juga sanggup memilah antara hak dan kewajiban selaku warga negara. Dengan demikian, munculnya tuntutan demokratisasi akhir-akhir ini antara lain disebabkan semakin kritisnya daya berpikir orang desa.
Tersedianya pasokan listrik juga berpengaruh terhadap berkembangnya lokasi wisata dan meningkatnya perekonomian lokal. Jika ditelisik secara mendalam, sebenarnya pariwisata mulai berkembang di Ubud pada tahun 1976, sewaktu listrik dipasang di desa.
Pada permulaan tahun 1980-an, perkembangan pesat terjadi saat bank, restoran, penginapan, galeri, butik, dan biro perjalanan bermunculan di sepanjang jalan desa, serentak dengan program pengaspalan jalan. Sejak itulah, bungalo, cottage, homestay, serta losmen menyebar ke sekeliling Ubud (Michel Picard, 2006: 124).
Terlepas dari sisi positif dan negatif, bagaimanapun listrik merupakan kebutuhan vital bagi warga negara. Potensi yang tersimpan di setiap daerah akan lebih tergali jika listrik tersebar ke berbagai penjuru Indonesia. Supaya program listrik masuk desa bisa berjalan lancar, dua langkah berikut perlu segera ditempuh.
Pertama, pemerintah daerah (pemda) semestinya mempermudah terbitnya izin pelaksanaan kebijakan energi nasional. Hal ini dilakukan dalam rangka mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan untuk mempererat hubungan dan jalinan komunikasi antara pusat dengan daerah.
Berdasarkan pengakuan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar, pembangunan pembangkit listrik antara lain terkendala oleh peraturan daerah (perda) yang mempersulit proses investasi. Banyak Perda yang tidak mendukung, tetapi justru menghambat program listrik masuk desa.
Kedua, komitmen Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mempercepat pembangunan listrik desa, terutama yang terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi, harus tetap dipegang teguh. Komitmen tersebut antara lain  mengaliri listrik ke 484 desa di wilayah Indonesia Timur pada 2017. Disertai dengan usaha serius, target ini pasti dapat tercapai. Mengingat, pada tahun 2016, PLN sanggup mengalirkan listrik ke 96 desa di wilayah Papua dan Papua Barat.

Yogyakarta, 2017

Kamis, 27 Juli 2017

Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Geotimes" edisi Kamis, 27 Juli 2017)


Publik tengah dikejutkan dengan temuan aparat kepolisian yang menyatakan bahwa sejumlah perusahaan diduga telah mengoplos beras subsidi menjadi beras premium, menggencarkan mis-selling, serta mencurangi konsumen dengan menjual produk berkualitas lebih rendah dari label kemasan. Bermerk “Maknyuss”.
Aksi nekat di atas merupakan upaya sejumlah oknum untuk menjalankan usaha dengan cara ilegal. Dengan cara mengotori iklim bisnis yang sehat sekaligus mengesampingkan keselamatan pembeli, mereka ingin meraup sebanyak mungkin keuntungan.
Peluang menjadikan beras sebagai sarana menggandakan laba berangkat dari kesadaran bahwa nasi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, terutama orang Jawa. Dalam kehidupan orang Jawa, nasi menduduki posisi penting dan tak tergantikan. Betapa nasi turut menentukan perkembangan sosio-kultur masyarakat Jawa. Nasi membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir masyarakat Jawa dari dahulu hingga sekarang.
Nasi menyuguhkan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi sosial. Hikayat tentang nasi menawarkan pemahaman tentang kearifan lokal, sehingga nilai-nilai budaya masyarakat Jawa bisa diwariskan. Legenda Jaka Tarub sebagai salah satu cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah Babad Tanah Jawi menyajikan secuplik kisah nasi.
Dikisahkan, Jaka Tarub gemar keluar masuk hutan untuk berburu. Tanpa sengaja, ia melihat tujuh bidadari sedang mandi di telaga, salah satunya Nawangwulan yang kemudian diperistri. Sebelum menikah, Nawangwulan mengingatkan Jaka Tarub untuk tidak sekali-kali menanyakan kebiasaannya menanak nasi dengan sebutir beras. Merasa penasaran, Jaka Tarub membuka tutup penanak nasi. Akibatnya, kesaktian Nawangwulan raib dan sejak itu ia menanak nasi lazimnya perempuan biasa.

Simbolisasi
Nasi menjadi simbol penting dalam selamatan. Ritual yang genap mendarah daging dalam masyarakat Jawa tersebut tak bisa terlepas dari akar sejarah kepercayaan yang mereka anut. Sebagai wujud rasa syukur, orang Jawa mengundang beberapa kerabat, teman, dan tetangga dengan menyajikan bermacam-macam hidangan. Tujuan utamanya yaitu memperoleh keselamatan dan menghindarkan bencana.
Berbagai jenis ritual selamatan keluarga Jawa, semisal tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan, pitonan, sunat, perkawinan, dan kematian menyajikan tiga macam nasi, yaitu nasi putih, nasi merah dan bubur. Clifford Gerrtz (1969) menulis bahwa nasi putih ditaruh di sekeliling (bagian luar) dan nasi merah diletakkan di tengah-tengah meja. Putih menggambarkan pemuas ibu, merah adalah air bagi ayah, dan campuran keduanya berguna untuk menjauhkan roh-roh jahat.
Nasi merupakan prasyarat agar adat-istiadat Jawa bisa diterima. Nasi menjadi salah satu unsur digelarnya tradisi suran dalam rangka menyambut tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa. Tradisi yang semula milik elite dan kemudian menyebar di kalangan masyarakat jelata tersebut menggunakan nasi sebagai sesaji.
Dalam lingkup istana Surakarta, yang kental dengan kirap pusaka keraton dengan unsur magis dan mitologis, suran selalu menyertakan persembahan berupa nasi. Guna menuruti kegemaran penguasa Pantai Selatan Nyi Ratu Kidul, dibuatlah nasi putih berbentuk kerucut dengan telur di ujungnya (tumpeng megana dan tumpeng asahan).
Dalam peribahasa Jawa, terdapat ungkapan “ana dina ana upa” (ada hari ada sebutir nasi) yang memuat makna filosofis tinggi. Peribahasa ini sebagai gambaran orang Jawa yang bisa menerima keadaan dengan tetap memupuk optimisme. Masyarakat Jawa dianjurkan untuk senantiasa berusaha mencari rejeki agar terhindar dari musibah kelaparan. Dengan demikian, peribahasa ini memiliki hubungan dengan peribahasa Jawa lain, “sing sapa gelem obah bakal owah” (barang siapa mau bergerak, niscaya nasib juga berubah).
Mengutip pandangan Suwardi (2014), peribahasa di atas merupakan ungkapan berpikir positif yang menjadikan hidup orang Jawa semakin ringan. Pikiran positif mampu membuat jiwa manusia semakin tenang, sehingga tidak dibayang-bayangi oleh apa yang dikhawatirkan. Sebaliknya, pikiran negatif rentan membuyarkan tujuan yang ingin dicapai dan hanya menjadi beban hidup. Sayangnya, dalam perkembangannya, peribahasa ini mengalami salah tafsir. Sebagian masyarakat Jawa belum merasa makan jika perutnya belum terisi nasi, meski sudah kenyang menyantap makanan lain.

Pola Kuliner
Boleh jadi, cara berpikir sebagian masyarakat Jawa terhadap nasi mulai bergeser seiring dengan terjadinya perubahan drastis aspek-aspek kehidupan di Nusantara pada 1870. Saat itu, orang-orang Belanda mengubah corak penyajian nasi lebih bermartabat. Identitas nasi sebagai makanan pribumi terangkat setelah mendapat atensi kaum kolonial.
Risttafel sebagai konsep modern pertama dalam sejarah kuliner Indonesia lahir dari proses akulturasi unsur budaya Jawa dan Eropa. Ketika makanan Eropa susah ditemukan, muncul sifat adaptif orang-orang Belanda yang bersedia mengonsumsi nasi. Kebiasaan dan pola konsumsi Wong Londo berubah, sebab menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Kombinasi makanan pribumi dengan tata saji Barat menunjukkan perkembangan ragam penyajian dan variasi hidangan, sehingga makanan pribumi dapat hadir dalam gaya Eropa (Fadli Rahman, 2011: 90). Elemen budaya Nusantara, salah satunya Jawa, barangkali berperan melahirkan faktor penentu perkembangan risttafel dalam periode selanjutnya.
Nasi juga mengubah pola kuliner orang Jawa yang bermukim di perkotaan. Saat ini, kaum migran lebih suka memilih nasi tradisional dibanding hidangan cepat saji (fast food). Nasi tradisional menjadi makanan favorit guna mengganjal perut. Itulah mengapa, di sejumlah pusat jajanan, restoran, bahkan kaki lima, tersedia aneka nasi tradisional.
Sebagai pemantik klangenan masa lalu, orang-orang urban membeli nasi bak moi (Semarang), nasi brongkos (Demak), nasi lengko (Brebes), nasi megono (Pekalongan), dan nasi pecel (Ponorogo). Dalam ragam nasi tradisional tersebut tersimpan citra kehidupan pedesaan yang asri, guyub, dan penuh keakraban. Ketika pola kehidupan urban semakin keras, mereka membutuhkan fantasi yang dapat menjinakkan berbagai tragedi. Yang ini tentu lebih maknyus dari beras merk Maknyuss, kan?

Yogyakarta, 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Sanksi Sosial dalam Arus Digitalisasi (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Jumat, 14 Juli 2017)

Secara perlahan, digitalisasi menyebabkan pergeseran sanksi sosial. Seiring dengan berubahnya semangat zaman dan berkembangnya aturan hidup manusia, sanksi sosial mengalami evolusi. Saat modernisasi dan globalisasi tak mungkin dinihilkan, muncul pola dan karakter sanksi sosial yang sebelumnya tak dijumpai. Hal ini menggambarkan bahwa sanksi sosial senantiasa menyesuaikan dengan realitas yang mengelilingi manusia. Ada titik singgung antara pemikiran manusia yang semakin maju dengan sanksi sosial bercorak baru.
Kini, sanksi sosial juga menampung nilai-nilai modern seperti dalam dunia maya. Orang desa yang melek teknologi menjadikan jagat virtual sebagai sarana menjatuhkan sanksi sosial para pelanggar norma.
Dulu, pasangan kumpul kebo ditelanjangi dan diarak keliling desa, sekarang suami atau istri yang berselingkuh cukup diabadikan dalam kamera atau ponsel, lantas dilempar ke ruang publik. Masyarakat lintas desa, daerah, bahkan negara diajak untuk bersama-sama menghakimi. Dengan demikian, risiko dan konsekuensinya lebih besar. Rasa malu tidak lekas dapat disembuhkan. Trauma seseorang yang telanjur berbuat kesalahan boleh jadi dirasakan selama bertahun-tahun.
Sanksi sosial tidak lagi berfungsi mendidik, melainkan untuk membalas dendam dan mencari pembenaran terhadap segala bentuk kekerasan psikologis. Ditambah lagi, melalui media sosial, siapa pun merasa berhak menjatuhkan sanksi sosial. Orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang duduk peristiwa atau latar belakang kejadian bisa seenaknya ikut menghukum.
Akhirnya, kewenangan mengadili berada di tangan semua orang. Para pesakitan digiring untuk dibawa ke pengadilan rimba yang rasa keadilannya belum tentu memuaskan. Interpretasi keadilan menjadi sangat relatif. Media sosial layaknya ajang pembantaian bagi siapa saja yang telah berbuat alpa. Bagaimanapun, kesalahan tak bisa ditolerir. Dalam taraf tertentu, manusia mulai enggan menerima alasan. Seseorang yang berusaha mempertahankan kebenaran justru dianggap menyampaikan alibi menyesatkan.
Bully menjadi senjata menghancurkan kehidupan orang lain. Dalam berbagai situasi, serapah dengan mudahnya dilontarkan. “Kata-kata jamban” yang kurang pantas diucapkan memenuhi ruang publik. Setiap permasalahan dihadapi dengan spontanitas dan ketergesaan. Seiring dengan begitu cepatnya roda kehidupan manusia, keputusan dihasilkan dengan serba terburu-buru. Fakta dan opini direspons tanpa menelusuri dan kroscek.
Berbagai peristiwa berlalu tanpa filter dan pengendapan. Akhirnya melahirkan informasi abal-abal (hoax). Banyaknya orang yang terjerat UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menunjukkan, sikap dan perilaku manusia mengesampingkan moralitas. Ketika rasionalitas semakin didewakan, pertimbangan logis mengalahkan suara nurani.

Modal Sosial
Ironisnya, berbagai fasilitas yang ditawarkan jagat virtual menyebabkan orang desa pun mulai melupakan modal sosial. Padahal, selama ratusan tahun, mereka menjadi pengawal utama kebersamaan dan toleransi. Bagi masyarakat perdesaan, kebutuhan sosial melebihi keperluan sehari-hari. Uang yang disediakan untuk aktivitas tolong-menolong dan kerja sama seringkali lebih besar daripada modal untuk menyekolahkan anak dan menyumpal perut. Boleh dibilang, kebutuhan sosial bercorak primer lantaran keberadaannya mendesak dan tak mungkin ditangguhkan.
Sejak silam, di wilayah perdesaan, sanksi sosial merupakan momok. Dicetuskannya sanksi sosial memaksa mereka membedakan kewajiban dan larangan. Tampaknya cemooh dan gunjingan lebih dikhawatirkan ketimbang risiko gizi buruk. Tak heran, orang desa rela merendahkan diri untuk memperoleh pinjaman uang demi menghadiri pesta perkawinan. Hal yang mungkin sukar dijumpai ketika seseorang ingin membeli susu atau buah-buahan, misalnya.
Begitu pula dengan respons musibah. Orang desa begitu sigap menghadapi kematian. Rasanya tak ada yang mengalahkan kegesitan mereka saat menangani orang mati. Mereka memegang teguh filosofi, penguburan cepat langkah terbaik bagi jenazah. Mereka percaya, tindakan demikian dapat menghindarkan roh dari segala bentuk penyiksaan. Sebagaimana semasa hidup, orang mati juga merasakan perhatian lebih atau tidak.
Dalam taraf tertentu, kematian diratapi namun juga ditanggapi dengan hikmat dan bijak. Di balik kesedihan tersimpan geliat berdesa. Di sinilah modal sosial begitu tampak dalam aktivitas warga. Kebersamaan dan gotong-royong menyertai kehidupan bermasyarakat. Ucapan bela sungkawa tidak mesti diwujudkan dengan sekadar menampakkan kesedihan, namun juga gairah toleransi. Ketika salah seorang di antara mereka meninggal, tetangga serta kerabat segera merawat dan mengubur.

Revitalisasi
Seiring dengan semakin derasnya arus digitalisasi hingga perdesaan, dibutuhkan revitalisasi modal sosial yang memang sangat penting dalam proses pendewasaan manusia dan transformasi sosial. Pengalaman berbagai negara menunjukkan kuatnya keterkaitan antara modal sosial dan potensi terbangunnya masyarakat mandiri. Modal sosial juga berhubungan erat dengan semangat kebersamaan suatu bangsa.
Melalui corong Daulat Ra’yat No 75 edisi 10 Oktober 1933, Mohammad Hatta mensinyalemen semangat kebersamaan masyarakat asli Indonesia bersumber dari proses kepemilikian dan pengolahan tanah. Di wilayah perdesaan, tanah sebagai faktor produksi terpenting pada masa silam merupakan milik bersama (keluarga, kaum, suku, dan masyarakat desa), bukan milik perorangan atau penguasa.
Maka, penggunaan sebagian tanah untuk memenuhi kebutuhan suatu keluarga hanya bisa diwujudkan melalui jalan musyawarah dan kesepakatan bersama. Ini baik di kalangan keluarga, kaum, suku, maupun warga desa keseluruhan. Namun demikian, keputusan kolektif disertai catatan, tanah kembali berada dalam kepemilikan bersama ketika tidak lagi dimanfaatkan keluarga tertentu. Kelak, tanah ini bisa digunakan masyarakat lain dengan aturan serupa.
Asas kebersamaan inilah yang seharusnya dipegang teguh ketika seseorang berselancar di dunia maya. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi dan interaksi di ruang publik semestinya diimplementasikan dengan menghargai hak orang lain. Harkat dan martabat manusia senantiasa dihormati. Penerapan sanksi sosial tidak boleh dilakukan dengan hanya mengedepankan nilai-nilai individualisme. Kolektivisme harus diutamakan melebihi kepentingan individu yang berjangka sesaat.
Selain itu, perlu diperhatikan munculnya benturan berbagai kepentingan akibat beroperasinya sistem nilai kolektivitas dan sistem nilai individual secara bersamaan. Apalagi, belakangan digitalisasi cenderung berpihak pada kapitalisme yang menihilkan prinsip-prinsip kekeluargaan dan kekerabatan.
Gema liberalisme selama beberapa dasawarsa terakhir mengakibatkan pemikiran manusia lebih diarahkan kepada diri sendiri daripada orang lain. Maka, penggunaan produk teknologi dan perangkat digital selayaknya berdasar pada falsafah, kearifan, dan kebajikan warisan leluhur dengan tetap menampung ide-ide modernitas.

Bojonegoro, 2017

Kamis, 13 Juli 2017

Gasing vs Gadget (Edukasi_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Ruang Gramedia" edisi Rabu, 12 Juli 2017)


Bentara Budaya Jakarta pernah menyelenggarakan pameran bertajuk “Menyelami Kegairahan Masa Kecil”. Salah satu misi dalam acara tersebut yaitu merevitalisasi permainan tradisional. Tema pameran ini tampaknya sengaja dipilih lantaran saat ini anak-anak lebih gandrung dengan game-game modern yang ditawarkan perangkat virtual. Padahal, jauh sebelum teknologi berkembang dan munculnya beragam perangkat gadget, anak-anak kerap bermain permainan tradisional berbahan sederhana dan ramah lingkungan.
Endi Aras, penggagas pameran ini menyebut, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdapat bukit gasing. Menurut pendiri komunitas Gudang Dolanan tersebut, di tempat itu sebulan sekali warga setempat memainkan gasing bersama-sama. Uniknya, adu gasing dimainkan secara berkelompok beranggotakan 10 orang dan diselenggarakan di lapangan berukuran 10x8 meter. Pertandingan yang berlangsung selama dua kali 45 menit ini cukup semarak, lantaran diramaikan hingga 80 kelompok.

Harmonisasi
Meski terdapat persamaan dalam pola, cara, dan alat bermain gasing di seluruh Indonesia, namun masing-masing daerah menyimpan nilai dan filosofi berbeda. Di Lombok, misalnya, adu gasing memerankan fungsi ganda. Di samping merambah semua usia –mulai dari anak-anak sampai orang dewasa—permainan berhadiah kambing atau tape compo tersebut juga merupakan sarana silaturahim. Dalam konteks inilah, efektivitas permainan tradisional dapat membentuk sistem sosial yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Betapa permainan tradisional berperan besar dalam mengokohkan fondasi masyarakat madani (civil society).
Adu gasing di Lombok mengutamakan kerukunan, keakraban, serta kebersamaan. Dari sini kita bisa melihat, aktivitas bermain bersama terbukti mampu menekan bahkan mengatasi gejala-gejala perpecahan dan konflik sosial. Dengan digelarnya ajang rutin tersebut membuat tidak ada perbedaan strata. Pelestarian permainan tradisional menjadikan harmonisasi terjalin antara warga desa,. Dengan begitu, interaksi sosial senantiasa dapat terpelihara. Semua lapisan masyarakat juga dapat meraih kesenangan. Di sinilah muncul kegembiraan komunal yang dapat mengkonter pesatnya kegembiraan individual yang ditularkan kaum urban.
Tentu dengan ajang tersebut, pemerintah desa cukup terbantu dalam merealisasikan kebijakannya. Bagaimanapun, keharmonisan membuat prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal lebih mudah diimplementasikan. Kuatnya jalinan persaudaraan dan kekerabatan di Lombok meringankan tugas perangkat desa dalam menjalankan birokratisasi di level grass root (akar rumput), memberdayakan potensi lokal, melancarkan misi pembangunan pemerintah pusat, memberikan pelayanan administratif, serta melakukan dinamisasi masyarakat. Terlaksananya program pemerintahan desa antara lain ditopang oleh intimitas serta intensitas komunikasi para warganya. Lebih jauh, kepatuhan warga terhadap apa yang digariskan oleh pemerintah desa menabalkan ciri komunal serta mengukuhkan ikatan emosional.

Etos Modernitas
Meskipun demikian, menjamurnya game online, media sosial, dan media virtual akhir-akhir ini secara perlahan menelan tradisi permainan tradisional. Fenomena ini menunjukkan bahwa perbudakan, penindasan, bahkan penjajahan telah berubah bentuk. Padahal, demokrasi modern bertumpu pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni dan dominasi pihak lain. Pilar kesetaraan yang mendasari mekanisme demokrasi sebagai warisan alam (natural endowment) mestinya perlu diutamakan.
Lahir di era modern, barang tentu anak-anak di desa sukar mengelak dari nilai, prinsip, dan etos modernitas. Dalam situasi demikian, mereka tergiur untuk memanfaatkan perangkat modern sebagai pemuas imajinasi. Sayangnya, ketika menggunakan gadget, anak-anak kerap terjebak pada permainan yang kurang mendidik. Bila diperhatikan, banyak game menghadirkan berbagai kekerasan dan pornografi yang rentan merusak mental dan kejiwaan mereka. Padahal, selain menjadi sarana belajar dan pendongkrak prestasi, permainan seharusnya juga mampu merekatkan ikatan emosional dengan menjunjung tinggi pluralitas masyarakat dalam bingkai keindonesiaan.
Dalam konteks inilah, perlu dilestarikannya kembali permainan tradisional yang dapat memupuk daya kreatifitas, mengembangkan emosi antar personal, melejitkan kemampuan bersosialisasi, melatih sportivitas, serta membentuk bermacam kecerdasan (intelektual, logika, spasial, kinestetik, dan natural) sebagai respons atas gencarnya gejala-gejala kapitalisme.
Mayke (1995) mengatakan bahwa belajar dengan bermain memberi peluang kepada anak-anak untuk memanipulasi, mengulang, menghasilkan penemuan, bereksplorasi, melakukan praktik, dan memperoleh bermacam konsep serta pengertian yang melimpah. Di sinilah pembelajaran berlangsung. Mereka mengambil keputusan, menentukan, mencipta, memilih, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mencetuskan gagasan, memecahkan problem, melakukan pekerjaan secara tuntas, bekerja sama, serta mengalami beragam perasaan (Anggani Sudono, 2000: 3).

Peran Keluarga
Selayaknya berbagai efek modernitas yang timbul dewasa ini tidak lantas memaksa anak-anak meninggalkan kultur nenek moyang. Mereka tidak boleh dimanipulasi oleh segala kemudahan, kenyamanan, serta kemewahan yang dijanjikan modernisme. Sebaliknya, anak-anak yang tumbuh di wilayah perdesaan senantiasa memungut kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu. Di sinilah kontribusi keluarga sangat diharapkan dalam menanamkan kecintaan terhadap permainan tradisional.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tua dituntut mampu membentuk sebuah kultur yang meyakinkan anak-anak dalam memaknai diri. Lazimnya, mereka lebih suka membenamkan diri dengan kultur yang ada. Daripada mencoba hal baru, mereka merasa nyaman berada di bawah dominasi kultur tersebut. Mengubah mindset anak-anak yang terlanjur akrab dengan dunia maya membutuhkan waktu dan proses adaptasi. Lingkungan sosial diciptakan dalam rangka mendukung optimalisasi permainan tradisional, sehingga nalar, karakter, serta pola hidup anak-anak bisa dibangun sejak dini.
Selain itu, upaya pemahaman harus digalakkan. Orang tua senantiasa memberikan pengertian bahwa di balik nikmatnya berselancar di jagat virtual, terkandung bahaya dan ekses yang mengancam. Mereka dibekali informasi bahwa produk-produk modernitas, terutama internet dan game online, tidak sepenuhnya bermanfaat. Bahkan, jika digunakan secara serampangan dan berlebihan, risiko dan kerugian mustahil bisa dihindarkan.

Yogyakarta, 2017

Mudik dan Romantisme Desa (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Detik" edisi Sabtu, 24 Juni 2017)


Hari-hari ini, terutama di kota-kota besar, para perantau disibukkan dengan persiapan mudik alias pulang kampung. Mereka meninggalkan hiruk-pikuk kota dengan segala kesibukannya. Bagi mereka, alangkah celakanya jika Hari Raya dihabiskan dengan polusi udara, kemacetan, dan kebisingan.
Jika hal itu terjadi, betapa nasib telah mengempaskan mereka pada pusat kriminalitas dan tindak kekerasan. Berita tentang pencurian, perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan "nutrisi" sehari-hari. Padahal, hari kemenangan seyogyanya dilalui penuh khidmat tanpa gangguan yang berarti.
Untuk sementara mereka ingin melupakan ritus kehidupan yang serba praktis. Atmosfer urban genap menjadikan mereka lebih kaku, mekanis, dan kurang peka terhadap lingkungan. Intimitas manusia seringkali menjadi tumbal perangkat-perangkat urban.
Modernitas sebagai capaian utama kota-kota besar memberi jalan untuk mengesampingkan perasaan. Mereka adalah robot-robot hidup yang selalu mengutamakan pertimbangan logis. Imbasnya, alasan rasional kerap mendasari ucapan dan perbuatan.
Sikap serba terburu-buru menjadi pedoman hidup mengalahkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Sisi-sisi humanis kian luntur oleh menjamurnya nilai-nilai pragmatis. Bagaimanapun, kota merefleksikan pengaruh hedonisme dan materialisme. Di dalamnya terdapat rivalitas para pemodal dan kapitalis yang sibuk berebut keuntungan.
Kota mewujudkan mimpi-mimpi semu dan artifisial orang-orang yang bernafsu menggapai kesuksesan. Dengan berkunjung ke desa, mereka berusaha meruntuhkan gejolak egoisme dalam diri. Hasrat individualistis yang mulai tumbuh berusaha dipangkas sedemikian rupa.
Hubungan manusia yang syarat kepentingan dibelokkan menjadi interaksi berbasis kekeluargaan. Kerja sama tercipta tidak sekadar memenuhi persyaratan dunia kerja yang penuh formalitas dan basa-basi, namun juga membangun harmonisasi kehidupan sehari-hari. Kerukunan yang terjalin lebih didasarkan pada nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan gotong-royong.
Desa merajut kembali ikatan pertemanan dan kekerabatan yang mulai pudar. Kolektivisme orang desa mampu menundukkan kesombongan, kewibawaan, dan kehormatan. Gairah berdesa menjadi pemantik seseorang melepaskan jabatan, identitas formal, dan status sosial. Hanya di desa, pepatah "duduk sama rata, berdiri sama tinggi" mampu terealisasi. Jadilah manusia makhluk tanpa kasta.
Prinsip-prinsip demokrasi dijunjung tinggi dengan menghargai segala bentuk perbedaan. Identitas agama, budaya, dan suku bangsa melebur, menihilkan beragam perselisihan dan permusuhan.
Mereka menganggap desa sebagai sarana peredam segala kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun berada di tanah rantau, mereka terikat dengan iklim perdesaan yang guyub, damai, dan tenang. Desa menjadi tempat istirahat paling nyaman dan mengesankan. Desa menampung romantisme masa kecil yang penuh kenangan. Di sana terbentang ribuan kenangan yang menautkan masa kini dengan masa silam.
Semangat hidup kaum urban boleh jadi dipupuk sejak kecil ketika masih menghirup udara perdesaan. Kebijakan dan motivasi hidup bisa dengan mudah dipetik dari moda kehidupan sederhana, namun menjanjikan kebahagiaan.
Masa depan gemilang tidak terlepas dari "sejarah hidup" yang penuh proses. Jajanan perdesaan paling tidak mampu menyelamatkan tubuh dari imbas junk food. Makanan instan yang kian menjamur berusaha diimbangi dengan hidangan tradisional.

Pasang Surut Otonomi
Tradisi mudik menggambarkan kerinduan para perantau tentang romantisme desa yang otonom. Sejak masa kerajaan, desa memiliki otonomi yang begitu besar. Sayangnya, telaah sejarah dan produk legal menunjukkan bahwa bobot otonomi desa mengalami kemerosotan drastis.
Pelemahan terhadap otonomi desa terutama dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini menghendaki adanya penyeragaman bentuk pada pemerintahan desa. Tujuannya untuk memperkuat desa supaya mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menyelenggarakan administrasi desa yang lebih efektif dan efisien serta memberikan dorongan perkembangan dan pembangunan masyarakat desa.
Selain itu, penyeragaman tersebut bertujuan agar "Demokrasi Pancasila" bisa terwujud secara nyata. Akan tetapi, realitas berbicara lain. Dengan adanya undang-undang tersebut, masyarakat desa bukan diberdayakan, melainkan lebih dibudidayakan/diperlemah, karena sumber penghasilannya dikeruk, hak ulayat mereka selaku masyarakat tradisional diambil.
Masyarakat desa juga masih asing dengan Demokrasi Pancasila. Yang perlu disesalkan yaitu politik penyeragaman pemerintahan desa dilakukan tanpa mengindahkan keberagaman kultur masyarakat adat dan bentuk pemerintahan asli lokal (Solekhan, 2012: 49).
Runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 menjadi momen penting diadakannya perubahan besar-besaran terhadap pemerintahan lokal. Pada era Reformasi ini, desentralisasi dan demokratisasi diangkat menjadi isu utama perubahan politik negara. Euforia pembebasan yang bergaung rupanya ikut menjangkiti desa.
Desakan masyarakat desa agar diadakan perombakan besar-besaran terhadap pemerintahan desa dijawab pemerintah pusat dengan berulang kali menerbitkan undang-undang tentang desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah peraturan perundang-undangan terbaru yang diharapkan mampu mewujudkan demokrasi perdesaan.

Urgensi Partisipasi
Realitas tercerabutnya otoritas asli, keswadayaan, dan kemandirian desa mengharuskan adanya penguatan otonomi desa yang merupakan upaya sistematik dalam rangka mengubah wajah desa ke arah terwujudnya tatanan masyarakat baru dengan berpijak pada prakarsa rakyat. Hal paling mendasar yang perlu diperhatikan yaitu tingkat partisipasi aktif masyarakat desa dalam menentukan arah dan bentuk tatanan yang berlaku di daerah setempat.
Partisipasi masyarakat desa turut menentukan masa depan desa. Perkembangan desa akan menunjukkan grafik yang signifikan apabila masyarakat desa terlibat dalam keputusan-keputusan penting mengenai desa. Mengingat, masyarakat desa merupakan pihak yang paling mengerti tentang kebutuhan desa. Lebih dari itu, mereka juga berhak dalam proses serta hasil dari penataan kehidupan mereka sendiri.
Terlebih lagi, setiap kebijakan publik, termasuk di tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga poros kekuatan dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga kekuatan yang dimaksud yaitu pemerintah desa, lembaga legislatif desa, serta masyarakat desa; masing-masing pihak diberi kedudukan yang sama dalam mencetuskan kebijakan publik.
Dalam kerangka teoritisnya, upaya membangkitkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan menetapkan saluran atau akses bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Bagaimanapun, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, bukan pejabat pemerintah. Oleh dasar itulah, masyarakat harus dilibatkan dalam proyek pembangunan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil.  

Yogyakarta, 2017

Implementasi Jaga Warga (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Sabtu, 10 Juni 2017)


Delapan desa di Kulonprogo mengantongi kepercayaan untuk melaksanakan program Jaga Warga. Sejumlah desa yang dimaksud yaitu Giripeni dan Bendungan di Wates, Karangsari, Tawangsari, dan Margosari di Pengasih, Kedundang di Temon, Hargorejo di Kokap, serta Pendoworejo di Girimulyo. Masyarakat setempat diharapkan berkontribusi dalam upaya memelihara ketenteraman dan kesejahteraan sosial di lingkungan masing-masing.
Selama ini, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat rentan menghambat kelancaran pembangunan daerah. Dengan diluncurkannya program ini, masyarakat desa hendaknya memiliki kepedulian supaya wilayah sekitarnya tetap aman, nyaman, serta kondusif. Mereka dituntut lebih peka terhadap problematika yang mengancam stabilitas daerah, seperti premanisme, narkoba, serta konflik antarwarga.

Urgensi Partisipasi
Di antara tujuan program Jaga Warga yaitu melibatkan masyarakat dalam urusan publik. Mereka diajak untuk bersama-sama memperhatikan kondisi sekitarnya. Dalam iklim yang demokratis, kedudukan warga negara benar-benar diakui, di mana hak dan kewajiban mereka genap diatur dalam Pasal 27 Sampai 34 UUD 1945. Mereka tidak lagi diperankan menjadi objek, melainkan sebagai subjek pembangunan. Di sinilah arti penting masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah daerah. Guna mewujudkan prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal, partisipasi merupakan keniscayaan.
Partisipasi menjadi sarana yang efektif dalam menumbuhkan kembali modal sosial di desa. Partisipasi menghendaki terbangunnya masyarakat yang mandiri dengan ikatan sosial yang kuat. Apalagi, merangseknya budaya urban ke wilayah perdesaan membuat semangat kekeluargaan dan kerja sama di tingkat grassroot (akar rumput) kian luntur. Padahal, sejak dulu, prinsip kebersamaan melekat pada diri orang desa. Dalam kehidupan desa berlaku gotong-royong, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan rakyat.
Pada masa kerajaan Majapahit, tradisi ini disebut rajakarya, atau dalam bahasa Jawa baru gugur gunung. Sebagaimana arti menurut susunan katanya, rajakarya tidak dikhususkan bagi kepentingan raja atau penguasa semata. Rajakarya juga diberlakukan untuk kepentingan masyarakat desa. Tradisi ini disemarakkan oleh para penghuni desa tanpa disertai upah (Slamet Muljana, 2005: 100-101).
Dalam negara demokrasi, pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kepentingan publik merupakan hal yang urgen. Pemerintah daerah dituntut mampu melahirkan lembaga-lembaga atau organisasi non-negara yang menjadi saluran preferensi di aras lokal. Kehadiran lembaga atau organisasi tersebut tidak menghambat jalannya pemerintahan, melainkan justru membantu terlaksananya kebijakan. Agenda pendampingan yang dicanangkan bisa memfasilitasi peran lembaga atau organisasi non-negara dalam pembangunan daerah.
Demokratisasi sebagai salah satu prinsip kelembagaan lokal sangat penting karena sejumlah alasan. Pertama, meningkatkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam menginisiasi sekaligus mewujudkan kebijakan pemerintah supra desa. Kedua, membekali pendidikan politik bagi masyarakat dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik. Ketiga, membangun kepercayaan, baik sesama warga desa maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini, kepercayaan kepada elite pemerintahan semakin melemah.

Perlu Solidaritas
Implementasi program Jaga Warga memerlukan solidaritas. Partisipasi orang desa dalam kegiatan-kegiatan publik dan sosial kemasyarakatan meniscayakan interaksi dan komunikasi yang intens. Semua yang terlibat dalam program ini harus mempunyai komitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah.
Agar bernuansa demokratis, partisipasi semestinya tidak meninggalkan perempuan. Bagaimanapun, kaum Hawa memegang peranan penting dalam mengintegrasikan kebutuhannya dalam program-program pemerintah daerah. Berbagai pengalaman di lapangan membuktikan bahwa budaya patriarkal membuat proses pengambilan keputusan di tingkat lokal berada dalam dominasi laki-laki. Padahal, iklim yang berpihak pada kaum Adam hanya menjadikan program Jaga Warga “jalan di tempat”.
Yang tidak kalah penting, terhadap berbagai macam permasalahan, masyarakat bisa menempuh langkah preventif yang dinilai lebih baik dibanding mekanisme “pemadam kebakaran”, di mana upaya penyelesaian dilakukan setelah masalah muncul ke permukaan. Karena berusaha mencegah risiko dan bahaya di masa mendatang, langkah ini membutuhkan perencanaan yang matang. Dalam konteks inilah, mereka dapat menggelar musyawarah formal dan informal. Dengan demikian, kecuali berhubungan dengan tindak pidana yang tentu menjadi domain aparat kepolisian, masalah-masalah sosial bisa teratasi dengan baik.

Yogyakarta, 2017